LUKA BAKAR
Pembimbing :
Disusun oleh :
M. Rezky Emerald (1102008166)
DAFTAR ISI
Kata pengantar
Daftar isi
Daftar tabel
Daftar gambar
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
B. Anatomi dan fisiologi kulit
6
7
8
10
12
16
17
19
20
21
21
28
29
BAB III
Kesimpulan
34
Daftar pustaka
35
DAFTAR TABEL
15
Daftar gambar
10
11
12
13
14
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Luka bakar adalah cedera pada kulit atau jaringan organik lainnya yang disebabkan oleh
panas atau termasuk radiasi, radioaktif, listrik, atau kontak dengan bahan kimia.
Luka bakar dapat terjadi bila kulit atau jaringan lainnya dirusak oleh :
- Cairan panas
- Benda panas
- Api
Luka bakar adalah masalah kesehatan public yang menyebabkan kematian hingga
195.000 jiwa. Sebagian besar korban luka bakar terbanyak di Negara dengan
sosioekonomi menengah kebawah terutama bagian Asia.Di Negara berkembang,
kematian akibat luka bakar telah mengalami penurunan dan kematian anak akibat luka
bakar mengalami penurunan sebanyak 7 kali daripada Negara yang sedang berkembang.
Wanita mengalami luka bakar lebih banyak daripada pria. Wanita di Asia Tenggara
mengalami luka bakar lebih sering 27% daripada Negara lainnya dan 70% lebih banyak
daripada wilayah sekitarnya. Frekuensi tersebut kebanyakan disebabkan oleh ledakan
kompor gas. Selain wanita, anak anak sering mengalami luka bakar. Anak anak usia 1
9 tahun memiliki resiko tinggi terkena luka bakar.
Faktor resiko lainnya adalah tingginya pajanan terhadap api, wilayah padat penduduk,
merokok, pemakaian cairan kimia, pemakaian kompor gas dan alat alat listrik yang
tidak benar.
Oleh karena itu dibutuhkan pencegahan serta penanganan yang benar terhadap luka
bakar untuk mencegah komplikasinya. Penanganan pada luka bakar tergantung pada
usia, keadaan, letak dan luasnya luka bakar. Diperlukan penanganan intensif yang
mengacu pada fisiologi cairan dan elektrolit, pencegahan infeksi, pemeliharaan nutrisi,
perawatan terhadap luka bakar.
BAB II
LUKA BAKAR
A. DEFINISI DAN ETIOLOGI
Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang
disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi.
Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi yang
memerlukan penatalaksanaan khusus sejak awal (fase syok) sampai fase lanjut.
Luka bakar dapat disebabkan oleh paparan api, baik secara langsung maupun tidak langsung,
misal akibat tersiram air panas yang banyak terjadi pada kecelakaan rumah tangga. Selain itu,
pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik maupun bahan kimia juga dapat menyebabkan luka
bakar. Secara garis besar, penyebab terjadinya luka bakar dapat dibagi menjadi:
Paparan api
Flame: Akibat kontak langsung antara jaringan dengan api terbuka, dan menyebabkan
cedera langsung ke jaringan tersebut. Api dapat membakar pakaian terlebih dahulu baru
mengenai tubuh. Serat alami memiliki kecenderungan untuk terbakar, sedangkan serat sintetik
cenderung meleleh atau menyala dan menimbulkan cedera tambahan berupa cedera kontak.
Benda panas (kontak): Terjadi akibat kontak langsung dengan benda panas. Luka bakar
yang dihasilkan terbatas pada area tubuh yang mengalami kontak. Contohnya antara lain
adalah luka bakar akibat rokok dan alat-alat seperti solder besi atau peralatan masak.
Terjadi akibat kontak dengan air panas. Semakin kental cairan dan semakin lama waktu
kontaknya, semakin besar kerusakan yang akan ditimbulkan. Luka yang disengaja atau akibat
kecelakaan dapat dibedakan berdasarkan pola luka bakarnya. Pada kasus kecelakaan, luka
umumnya menunjukkan pola percikan, yang satu sama lain dipisahkan oleh kulit sehat.
Sedangkan pada kasus yang disengaja, luka umumnya melibatkan keseluruhan ekstremitas
dalam pola sirkumferensial dengan garis yang menandai permukaan cairan.
Uap panas
Terutama ditemukan di daerah industri atau akibat kecelakaan radiator mobil. Uap panas
menimbulkan cedera luas akibat kapasitas panas yang tinggi dari uap serta dispersi oleh uap
bertekanan tinggi. Apabila terjadi inhalasi, uap panas dapat menyebabkan cedera hingga ke
saluran napas distal di paru.
Gas panas
Inhalasi menyebabkan cedera thermal pada saluran nafas bagian atas dan oklusi jalan nafas
akibat edema.
Aliran listrik
Cedera timbul akibat aliran listrik yang lewat menembus jaringan tubuh. Umumnya luka bakar
mencapai kulit bagian dalam. Listrik yang menyebabkan percikan api dan membakar pakaian
dapat menyebabkan luka bakar tambahan.
Radiasi
resusitasi, dan adanya infeksi pada luka. Selain api yang langsung menjilat tubuh, baju yang ikut terbakar
juga memperdalam luka bakar. Bahan baju yang paling aman adalah yang terbuat dari bulu domba
(wol). Bahan sintetis seperti nilon dan dakron, selain mudah terbakar juga mudah meleleh oleh suhu
tinggi, lalu menjadi lengket sehingga memperberat kedalaman luka bakar.
Kedalaman luka bakar dideskripsikan dalam derajat luka bakar, yaitu luka bakar derajat I, II, atau
III:
Derajat I
Pajanan hanya merusak epidermis sehingga masih menyisakan banyak jaringan untuk dapat
melakukan regenerasi. Luka bakar derajat I biasanya sembuh dalam 5-7 hari dan dapat sembuh
secara sempurna. Luka biasanya tampak sebagai eritema dan timbul dengan keluhan nyeri dan
atau hipersensitivitas lokal. Contoh luka bakar derajat I adalah sunburn.
Derajat II
Lesi melibatkan epidermis dan mencapai kedalaman dermis namun masih terdapat epitel vital
yang bisa menjadi dasar regenerasi dan epitelisasi. Jaringan tersebut misalnya sel epitel basal,
kelenjar sebasea, kelenjar keringat, dan pangkal rambut. Dengan adanya jaringan yang masih
sehat tersebut, luka dapat sembuh dalam 2-3 minggu. Gambaran luka bakar berupa
gelembung atau bula yang berisi cairan eksudat dari pembuluh darah karena perubahan
permeabilitas dindingnya, disertai rasa nyeri. Apabila luka bakar derajat II yang dalam tidak
ditangani dengan baik, dapat timbul edema dan penurunan aliran darah di jaringan, sehingga
cedera berkembang menjadi full-thickness burn atau luka bakar derajat III.
Derajat III
Mengenai seluruh lapisan kulit, dari subkutis hingga mungkin organ atau jaringan yang lebih
dalam. Pada keadaan ini tidak tersisa jaringan epitel yang dapat menjadi dasar regenerasi sel
spontan, sehingga untuk menumbuhkan kembali jaringan kulit harus dilakukan cangkok kulit.
Gejala yang menyertai justru tanpa nyeri maupun bula, karena pada dasarnya seluruh jaringan
kulit yang memiliki persarafan sudah tidak intak.
Semakin luas permukaan tubuh yang terlibat, morbiditas dan mortalitasnya meningkat, dan
penanganannya juga akan semakin kompleks. Luas luka bakar dinyatakan dalam persen terhadap luas
seluruh tubuh. Ada beberapa metode cepat untuk menentukan luas luka bakar, yaitu:
Estimasi luas luka bakar menggunakan luas permukaan palmar pasien. Luas telapak tangan
individu mewakili 1% luas permukaan tubuh. Luas luka bakar hanya dihitung pada pasien
dengan derajat luka II atau III.
Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif permukaan kepala anak jauh lebih
besar dan luas relatif permukaan kaki lebih kecil. Karena perbandingan luas permukaan bagian
tubuh anak kecil berbeda, dikenal rumus 10 untuk bayi, dan rumus 10-15-20 untuk anak.
Pada anak di bawah usia 1 tahun: kepala 18% dan tiap tungkai 14%. Torso dan lengan
persentasenya sama dengan dewasa.
Untuk tiap pertambahan usia 1 tahun, tambahkan 0.5% untuk tiap tungkai dan turunkan
persentasi kepala sebesar 1% hingga tercapai nilai dewasa.
Lund and Browder chart illustrating the method for calculating the percentage of body surface area affected by
burns in children.
ruang tertutup atau bila luka terjadi di wajah, dapat terjadi kerusakan mukosa jalan napas karena gas,
asap atau uap panas yang terisap. Edema laring yang ditimbulkannya dapat menyebabkan hambatan
jalan napas dengan gejala sesak napas, takipnea, stridor, suara serak dan dahak berwarna gelap akibat
jelaga.Dapat juga terjadi keracunan gas CO atau gas beracun lainnya. CO akan mengikat hemoglobin
dengan kuat sehingga hemoglobin tak mampu lagi mengikat oksigen. Tanda keracunan ringan adalah
lemas, bingung, pusing, mual dan muntah. Pada keracunan yang berat terjadi koma. Bila lebih dari 60%
hemoglobin terikat CO, penderita dapat meninggal.
Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi mobilisasi serta penyerapan
kembali cairan edema ke pembuluh darah. Ini ditandai dengan meningkatnya diuresis.
Luka bakar sering tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati, yang merupakan medium yang baik
untuk pertumbuhan kuman, akan mempermudah infeksi. Infeksi ini sulit diatasi karena daerahnya tidak
tercapai oleh pembuluh kapiler yang mengalami trombosis. Padahal, pembuluh ini membawa sistem
pertahanan tubuh atau antibiotik. Kuman penyebab infeksi pada luka bakar, selain berasal dari dari kulit
penderita sendiri, juga dari kontaminasi kuman saluran napas atas dan kontaminasi kuman di lingkungan
rumah sakit.
Infeksi nosokomial ini biasanya sangat berbahaya karena kumannya banyak yang sudah resisten
terhadap berbagai antibiotik.
Pada awalnya, infeksi biasanya disebabkan oleh kokus Gram positif yang berasal dari kulit
sendiri atau dari saluran napas, tetapi kemudian dapat terjadi invasi kuman Gram negatif, Pseudomonas
aeruginosa yang dapat menghasilkan eksotoksin protease dari toksin lain yang berbahaya, terkenal
sangat agresif dalam invasinya pada luka bakar. Infeksi pseudomonas dapat dilihat dari warna hijau pada
kasa penutup luka bakar. Kuman memproduksi enzim penghancur keropeng yang bersama dengan
eksudasi oleh jaringan granulasi membentuk nanah.
Infeksi ringan dan noninvasif ditandai dengan keropeng yang mudah terlepas dengan nanah
yang banyak. Infeksi yang invasif ditandai dengan keropeng yang kering dengan perubahan jaringan di
tepi keropeng yang mula-mula sehat menadi nekrotik; akibatnya, luka bakar yang mula-mula derajat II
menjadi derajat III. Infeksi kuman menimbulkan vaskulitis pada pembuluh kapiler di jaringan yang
terbakar dan menimbulkan trombosis sehingga jaringan yang didarahinya nanti.
Bila luka bakar dibiopsi dan eksudatnya dibiak, biasanya ditemukan kuman dan terlihat invasi
kuman tersebut ke jaringan sekelilingnya. Luka bakar demikian disebut luka bakar septik. Bila
penyebabnya kuman Gram positif, seperti stafilokokus atau basil Gram negatif lainnya, dapat terjadi
penyebaran kuman lewat darah (bakteremia) yang dapat menimbulkan fokus infeksi di usus. Syok sepsis
dan kematian dapat terjadi karena toksin kuman yang menyebar di darah.
Bila penderita dapat mengatasi infeksi, luka bakar derajat II dapat sembuh dengan
meninggalkan cacat berupa parut. Penyembuhan ini dimulai dari sisa elemen epitel yang masih vital,
misalnya sel kelenjar sebasea, sel basal, sel kelenjar keringat, atau sel pangkal rambut. Luka bakar
derajat II yang dalam mungkin meninggalkan parut hipertrofik yang nyeri, gatal, kaku dan secara estetik
jelek. Luka bakar derajat III yang dibiarkan sembuh sendiri akan mengalami kontraktur. Bila terjadi di
persendian, fungsi sendi dapat berkurang atau hilang.
Pada luka bakar berat dapat ditemukan ileus paralitik. Pada fase akut, peristalsis usus menurun
atau berhenti karena syok, sedangkan pada fase mobilisasi, peristalsis dapat menurun karena
kekurangan ion kalium.
Stres atau badan faali yang terjadi pada penderita luka bakar berat dapat menyebabkan
terjadinya tukak di mukosa lambung atau duodenum dengan gejala yang sama dengan gejala tukak
peptik. Kelainan ini dikenal sebagai tukak Curling.
Fase permulaan luka bakar merupakan fase katabolisme sehingga keseimbangan protein menjadi
negatif. Protein tubuh banyak hilang karena eksudasi, metabolisme tinggi dan infeksi. Penguapan
berlebihan dari kulit yang rusak juga memerluka kalori tambahan. Tenaga yang diperlukan tubuh pada
fase ini terutama didapat dari pembakaran protein dari otot skelet. Oleh karena itu, penderita menjadi
sangat kurus, otot mengecil, dan berat badan menurun. Dengan demikian, korban luka bakar menderita
penyakit berat yang disebut penyakit luka bakar. Bila luka bakar menyebabkan cacat, terutama bila luka
mengenai wajah sehingga rusak berat, penderita mungkin mengalami beban kejiwaan berat. Jadi
prognosis luka bakar ditentukan oleh luasnya luka bakar.
F. FASE PADA LUKA BAKAR
Dalam perjalanan penyakit, dapat dibedakan menjadi tiga fase pada luka bakar, yaitu:
1.
Pada fase ini, masalah utama berkisar pada gangguan yang terjadi pada saluran nafas yaitu
gangguan mekanisme bernafas, hal ini dikarenakan adanya eskar melingkar di dada atau trauma
multipel di rongga toraks; dan gangguan sirkulasi seperti keseimbangan cairan elektrolit, syok
hipovolemia.
2.
3.
Fase lanjut
Fase ini berlangsung setelah penutupan luka sampai terjadinya maturasi jaringan. Masalah yang
dihadapi adalah penyulit dari luka bakar seperti parut hipertrofik, kontraktur dan deformitas lain
yang terjadi akibat kerapuhan jaringan atau struktur tertentu akibat proses inflamasi yang hebat dan
berlangsung lama
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan:
1. Pemeriksaan darah rutin dan kimia darah
2. Urinalisis
3. Pemeriksaan keseimbangan elektrolit
4. Analisis gas darah
5. Radiologi jika ada indikasi ARDS
6. Pemeriksaan lain yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis SIRS dan MODS
I. PENATALAKSANAAN LUKA BAKAR
Pasien luka bakar harus dievaluasi secara sistematik. Prioritas utama adalah mempertahankan
jalan nafas tetap paten, ventilasi yang efektif dan mendukung sirkulasi sistemik. Intubasi endotrakea
dilakukan pada pasien yang menderita luka bakar berat atau kecurigaan adanya jejas inhalasi atau luka
bakar di jalan nafas atas. Intubasi dapat tidak dilakukan bila telah terjadi edema luka bakar atau
pemberian cairan resusitasi yang terlampau banyak. Pada pasien luka bakar, intubasi orotrakea dan
nasotrakea lebih dipilih daripada trakeostomi.
Pasien dengan luka bakar saja biasanya hipertensi. Adanya hipotensi awal yang tidak dapat
dijelaskan atau adanya tanda-tanda hipovolemia sistemik pada pasien luka bakar menimbulkan
kecurigaan adanya jejas tersembunyi. Oleh karena itu, setelah mempertahankan ABC, prioritas
berikutnya adalah mendiagnosis dan menata laksana jejas lain (trauma tumpul atau tajam) yang
mengancam nyawa. Riwayat terjadinya luka bermanfaat untuk mencari trauma terkait dan kemungkinan
adanya jejas inhalasi. Informasi riwayat penyakit dahulu, penggunaan obat, dan alergi juga penting
dalam evaluasi awal.
Pakaian pasien dibuka semua, semua permukaan tubuh dinilai. Pemeriksaan radiologik pada
tulang belakang servikal, pelvis, dan torak dapat membantu mengevaluasi adanya kemungkinan trauma
tumpul.
Setelah mengeksklusi jejas signifikan lainnya, luka bakar dievaluasi. Terlepas dari luasnya area
jejas, dua hal yang harus dilakukan sebelum dilakukan transfer pasien adalah mempertahankan ventilasi
adekuat, dan jika diindikasikan, melepas dari eskar yang mengkonstriksi.
Tatalaksana resusitasi luka bakar
a. Tatalaksana resusitasi jalan nafas:
1. Intubasi
Tindakan intubasi dikerjakan sebelum edema mukosa menimbulkan manifestasi obstruksi. Tujuan
intubasi mempertahankan jalan nafas dan sebagai fasilitas pemelliharaan jalan nafas.
2. Krikotiroidotomi
Bertujuan sama dengan intubasi hanya saja dianggap terlalu agresif dan menimbulkan morbiditas
lebih besar dibanding intubasi. Krikotiroidotomi memperkecil dead space, memperbesar tidal
volume, lebih mudah mengerjakan bilasan bronkoalveolar dan pasien dapat berbicara jika
dibanding dengan intubasi.
3. Pemberian oksigen 100%
Bertujuan untuk menyediakan kebutuhan oksigen jika terdapat patologi jalan nafas yang
menghalangi suplai oksigen. Hati-hati dalam pemberian oksigen dosis besar karena dapat
menimbulkan stress oksidatif, sehingga akan terbentuk radikal bebas yang bersifat vasodilator
dan modulator sepsis.
4. Perawatan jalan nafas
5. Penghisapan sekret (secara berkala)
6. Pemberian terapi inhalasi
Bertujuan mengupayakan suasana udara yang lebih baik didalam lumen jalan nafas dan
mencairkan sekret kental sehingga mudah dikeluarkan. Terapi inhalasi umumnya menggunakan
cairan dasar natrium klorida 0,9% ditambah dengan bronkodilator bila perlu. Selain itu bias
ditambahkan zat-zat dengan khasiat tertentu seperti atropin sulfat (menurunkan produksi
sekret), natrium bikarbonat (mengatasi asidosis seluler) dan steroid (masih kontroversial)
7. Bilasan bronkoalveolar
8. Perawatan rehabilitatif untuk respirasi
9. Eskarotomi pada dinding torak yang bertujuan untuk memperbaiki kompliansi paru
optimalisasi
status
volume
dan
komposisi
intravaskular
untuk
menjamin
survival/maksimal dari seluruh sel, serta meminimalisasi respons inflamasi dan hipermetabolik
dengan menggunakan kelebihan dan keuntungan dari berbagai macam cairan seperti kristaloid,
hipertonik, koloid, dan sebagainya pada waktu yang tepat. Dengan adanya resusitasi cairan yang
tepat, kita dapat mengupayakan stabilisasi pasien secepat mungkin kembali ke kondisi fisiologik
dalam persiapan menghadapi intervensi bedah seawal mungkin.
Resusitasi cairan dilakukan dengan memberikan cairan pengganti. Ada beberapa cara untuk
menghitung kebutuhan cairan ini:
Cara Evans
1. Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL NaCl per 24 jam
2. Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL plasma per 24 jam
Cara Baxter
Luas luka bakar (%) x BB (kg) x 4 mL
Separuh dari jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya diberikan dalam 16 jam
berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah jumlah cairan hari pertama. Pada hari ketiga
diberikan setengah jumlah cairan hari kedua.
c.
Resusitasi nutrisi
Pada pasien luka bakar, pemberian nutrisi secara enteral sebaiknya dilakukan sejak dini dan
pasien tidak perlu dipuasakan. Bila pasien tidak sadar, maka pemberian nutrisi dapat melalui nasogastric tube (NGT). Nutrisi yang diberikan sebaiknya mengandung 10-15% protein, 50-60%
karbohidrat dan 25-30% lemak. Pemberian nutrisi sejak awal ini dapat meningkatkan fungsi
kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya atrofi vili usus. Dengan demikian diharapkan pemberian
nutrisi sejak awal dapat membantu mencegah terjadinya SIRS dan MODS.
Kasus luka bakar dalam yang diperkirakan mengalami penyembuhan lebih dari 3 minggu.
Tersedia donor yang cukup untuk menutupi permukaan terbuka yang timbul.
Eksisi dini diutamakan dilakukan pada daerah luka sekitar batang tubuh posterior. Eksisi dini
terdiri dari eksisi tangensial dan eksisi fasial.
Eksisi tangensial adalah suatu teknik yang mengeksisi jaringan yang terluka lapis demi lapis
sampai dijumpai permukaan yang mengeluarkan darah (endpoint). Adapun alat-alat yang digunakan
dapat bermacam-macam, yaitu pisau Goulian atau Humbly yang digunakan pada luka bakar dengan
luas permukaan luka yang kecil, sedangkan pisau Watson maupun mesin yang dapat memotong
jaringan kulit perlapis (dermatom) digunakan untuk luka bakar yang luas. Permukaan kulit yang
dilakukan tindakan ini tidak boleh melebihi 25% dari seluruh luas permukaan tubuh. Untuk
memperkecil perdarahan dapat dilakukan hemostasis, yaitu dengan tourniquet sebelum dilakukan
eksisi atau pemberian larutan epinephrine 1:100.000 pada daerah yang dieksisi. Setelah dilakukan
hal-hal tersebut, baru dilakukan skin graft. Keuntungan dari teknik ini adalah didapatnya fungsi
optimal dari kulit dan keuntungan dari segi kosmetik. Kerugian dari teknik adalah perdarahan
dengan jumlah yang banyak dan endpoint bedah yang sulit ditentukan.
Eksisi fasial adalah teknik yang mengeksisi jaringan yang terluka sampai lapisan fascia. Teknik ini
digunakan pada kasus luka bakar dengan ketebalan penuh (full thickness) yang sangat luas atau luka
bakar yang sangat dalam. Alat yang digunakan pada teknik ini adalah pisau scalpel, mesin pemotong
electrocautery. Adapun keuntungan dan kerugian dari teknik ini adalah:
-
Keuntungan : lebih mudah dikerjakan, cepat, perdarahan tidak banyak, endpoint yang lebih
mudah ditentukan
Kerugian : kerugian bidang kosmetik, peningkatan resiko cedera pada saraf-saraf superfisial
dan tendon sekitar, edema pada bagian distal dari eksisi
2. Skin grafting
Skin grafting adalah metode penutupan luka sederhana. Tujuan dari metode ini adalah:
a. Menghentikan evaporate heat loss
b. Mengupayakan agar proses penyembuhan terjadi sesuai dengan waktu
c. Melindungi jaringan yang terbuka
Skin grafting harus dilakukan secepatnya setelah dilakukan eksisi pada luka bakar pasien. Kulit
yang digunakan dapat berupa kulit produk sintesis, kulit manusia yang berasal dari tubuh manusia
lain yang telah diproses maupun berasal dari permukaan tubuh lain dari pasien (autograft). Daerah
tubuh yang biasa digunakan sebagai daerah donor autograft adalah paha, bokong dan perut. Teknik
mendapatkan kulit pasien secara autograft dapat dilakukan secara split thickness skin graft atau full
thickness skin graft. Bedanya dari teknik teknik tersebut adalah lapisan-lapisan kulit yang diambil
sebagai donor. Untuk memaksimalkan penggunaan kulit donor tersebut, kulit donor tersebut dapat
direnggangkan dan dibuat lubang lubang pada kulit donor (seperti jaring-jaring dengan
perbandingan tertentu, sekitar 1 : 1 sampai 1 : 6) dengan mesin. Metode ini disebut mess grafting.
Ketebalan dari kulit donor tergantung dari lokasi luka yang akan dilakukan grafting, usia pasien,
keparahan luka dan telah dilakukannya pengambilan kulit donor sebelumnya. Pengambilan kulit
donor ini dapat dilakukan dengan mesin dermatome ataupun dengan manual dengan pisau Humbly
atau Goulian.
Prosedur operasi skin grafting sering menjumpai masalah yang dihasilkan dari eksisi luka bakar
pasien, dimana terdapat perdarahan dan hematom setelah dilakukan eksisi, sehingga pelekatan kulit
donor juga terhambat. Oleh karenanya, pengendalian perdarahan sangat diperlukan. Adapun
beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan penyatuan kulit donor dengan jaringan yang mau
dilakukan grafting adalah:
-
Pastikan kontak antara kulit donor dengan bed (jaringan yang dilakukan grafting), hal ini
dapat dilakukan dengan cara :
J.
PROGNOSIS
Prognosis dan penanganan luka bakar terutama tergantung pada dalam dan luasnya permukaan
luka bakar, dan penanganan sejak awal hingga penyembuhan. Selain itu faktor letak daerah yang
terbakar, usia dan keadaan kesehatan penderita juga turut menentukan kecepatan penyembuhan.
Penyulit juga mempengaruhi progonosis pasien. Penyulit yang timbul pada luka bakar antara lain
gagal ginjal akut, edema paru, SIRS, infeksi dan sepsis, serta parut hipertrofik dan kontraktur.
K. KOMPLIKASI
Sistemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), Multi-system Organ Dysfunction Syndrome
(MODS),dan Sepsis
SIRS adalah suatu bentuk respon klinik yang bersifat sistemik terhadap berbagai stimulus klinik
berat akibat infeksi ataupun noninfeksi seperti trauma, luka bakar, reaksi autoimun, sirosis, pankreatitis,
dll.
Respon ini merupakan dampak dari pelepasan mediator-mediator inflamasi (proinflamasi) yang
mulanya bersifat fisiologik dalam proses penyembuhan luka, namun oleh karena pengaruh beberapa
faktor predisposisi dan faktor pencetus, respon ini berubah secara berlebihan (mengalami eksagregasi)
dan menyebabkan kerusakan pada organ-organ sistemik, menyebabkan disfungsi dan berakhir dengan
kegagalan organ terkena menjalankan fungsinya; MODS (Multi-system Organ Disfunction Syndrome)
bahkan sampai kegagalan berbagai organ (Multi-system Organ Failure/MOF).
SIRS dan MODS merupakan penyebab utama tingginya angka mortalitas pada pasien luka bakar
maupun trauma berat lainnya. Dalam penelitian dilaporkan SIRS dan MODS keduanya menjadi penyebab
81% kematian pasca trauma; dan dapat dibuktikan pula bahwa SIRS sendiri mengantarkan pasien pada
MODS.
Ada 5 hal yang bisa menjadi aktivator timbulnya SIRS, yaitu infection, injury, inflamation,
inadequate blood flow, dan ischemia-reperfusion injury. Kriteria klinik yang digunakan, mengikuti hasil
konsensus American College of Chest phycisians dan the Society of Critical Care Medicine tahun 1991,
yaitu bila dijumpai 2 atau lebih menifestasi berikut selama beberapa hari, yaitu:
-
Takipneu (frekuensi nafas > 20x/menit) atau tekanan parsial CO2 rendah (PaCO2 < 32 mmHg)
Leukositosis (jumlah lekosit > 12.000 sel/mm3), leukopeni (< 4000 sel/mm3) atau dijumpai > 10%
netrofil dalam bentuk imatur (band).
Bila diperoleh bukti bahwa infeksi sebagai penyebab (dari hasil kultur darah/bakteremia), maka
SIRS disebut sebagai sepsis. SIRS akan selalu berkaitan dengan MODS karena MODS merupakan akhir
dari SIRS.
Pada dasarnya MODS adalah kumpulan gejala dengan adanya gangguan fungsi organ pada
pasien akut sedemikian rupa, sehingga homeostasis tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi. Bila
ditelusuri lebih lanjut, SIRS sebagai suatu proses yang berkesinambungan sehingga dapat dimengerti
bahwa MODS menggambarkan kondisi lebih berat dan merupakan bagian akhir dari spektrum keadaan
yang berawal dari SIRS.
Patofisiologi
Perjalanan SIRS dijelaskan menurut teori yang dikembangkan oleh Bone dalam beberapa tahap.
Tahap I
Respon inflamasi sistemik didahului oleh suatu penyebab, misalnya luka bakar atau trauma
berat lainnya. Kerusakan lokal merangsang pelepasan berbagai mediator pro-inflamasi seperti sitokin;
yang selain membangkitkan respon inflamasi juga berperan pada proses penyembuhan luka dan
mengerahkan sel-sel retikuloendotelial. Sitokin adalah pembawa pesan fisiologik dari respon inflamasi.
Molekul utamanya meliputi Tumor Necrotizing Factor (TNF), interleukin (IL1, IL6), interferon, Colony
Stimulating Factor (CSF), dan lain-lain. Efektor selular respon inflamasi adalah sel-sel PMN, monosit,
makrofag, dan sel-sel endotel. Sel-sel untuk sitokin dan mediator inflamasi sekunder seperti
prostaglandin, leukotrien, thromboxane, Platelet Activating Factor (PAF), radikal bebas, oksida nitrit, dan
protease. Endotel teraktivasi dan lingkungan yang kaya sitokin mengaktifkan kaskade koagulasi sehingga
terjadi trombosis lokal. Hal ini mengurangi kehilangan darah melalui luka, namun disamping itu timbul
efek pembatasan (walling off) jaringan cedera sehingga secara fisiologik daerah inflamasi terisolasi.
Tahap II
Sejumlah kecil sitokin yang dilepaskan ke dalam sirkulasi justru meningkatkan respon lokal.
Terjadi pergerakan makrofag, trombosit dan stimulasi produksi faktor pertumbuhan (Growth Factor/GF).
Selanjutnya dimulailah respon fase akut yang terkontrol secara simultan melalui penurunan
kadar mediator proinflamasi dan pelepasan antagonis endogen (antagonis reseptor IL1 dan mediatormediator anti-inflamasi lain seperti IL4, IL10, IL11, reseptor terlarut TNF (Transforming Growth
Factor/TGF). Dengan demikian mediator-mediator tersebut menjaga respon inflamasi awal yang
dikendalikan dengan baik oleh down regulating cytokine production dan efek antagonis terhadap sitokin
yang telah dilepaskan. Keadaan ini berlangsung hingga homeostasis terjaga.
Tahap III
Jika homeostasis tidak dapat dikembalikan, berkembang tahap III (SIRS); terjadi reaksi sistemik
masif. Efek predominan dari sitokin berubah menjadi destruktif. Sirkulasi dibanjiri mediator-mediator
inflamasi sehingga integritas dinding kapiler rusak. Sitokin merambah ke dalam berbagai organ dan
mengakibatkan kerusakan. Respon destruktif regional dan sistemik (terjadi peningkatan vasodilatasi
perifer, gangguan permeabilitas mikrovaskular, akselerasi trombosis mikrovaskular, aktivasi sel leukositendotel) yang mengakibatkan perubahan-perubahan patologik di berbagai organ. Jika reaksi inflamasi
tidak dapat dikendalikan, terjadi syok septik, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), ARDS,
MODS, dan kematian.
MODS merupakan bagian akhir dari spektrum klinis SIRS. Pada pasien luka bakar dapat dijumpai
secara kasar 30% kasus mengalami MODS. Ada 3 teori yang menjelaskan timbulnya SIRS, MODS dan
sepsis; yang mana ketiganya terjadi secara simultan.
Teori pertama menyebutkan bahwa syok yang terjadi menyebabkan penurunan penurunan
sirkulasi di daerah splangnikus, perfusi ke jaringan usus terganggu menyebabkan disrupsi mukosa
saluran cerna. Disrupsi mukosa menyebakan fungsi mukosa sebagai barrier berkurang/hilang, dan
mempermudah terjadinya translokasi bakteri. Bakteri yang mengalami translokasi umumnya flora
normal usus yang bersifat komensal, berubah menjadi oportunistik; khususnya akibat perubahan
suasana di dalam lumen usus (puasa, pemberian antasida dan beberapa jenis antibiotika). Selain
kehilangan fungsi sebagai barrier terhadap kuman, daya imunitas juga berkurang (kulit, mukosa),
sehingga mudah dirusak oleh toksin yang berasal dari kuman (endo atau enterotoksin). Pada kondisi
disrupsi, bila pasien dipuasakan, maka proses degenerasi mukosa justru berlanjut menjadi atrofi mukosa
usus yang dapat memperberat keadaan.
hubungannya dengan infeksi. Respon yang timbul mulanya bersifat lokal, terbatas pada daerah cedera;
kemudian berkembang menjadi suatu bentuk respon sistemik.
Teori ketiga menjelaskan kekacauan sistem metabolisme (hipometabolik pada fase akut
dilanjutkan hipermetabolik pada fase selanjutnya) yang menguras seluruh modalitas tubuh khususnya
sistim imunologi. Mediator-mediator pro-inflamasi yang dilepas ke sirkulasi sebagai respon terhadap
suatu cedera tidak hanya menyerang benda asing atau toksin yang ada; tetapi juga menimbulkan
kerusakan pada jaringan organ sistemik. Kondisi ini dimungkinkan karena luka bakar merupakan suatu
bentuk trauma yang bersifat imunosupresif.
Tatalaksana
Penatalaksanaan luka bakar bersifat lebih agresif dan bertujuan mencegah perkembangan SIRS,
MODS, dan sepsis.
Pemberian Nutrisi Enteral Dini (NED) melalui pipa nasogastrik dalam 8 jam pertama pasca
cedera. Selain bertujuan mencegah terjadinya atrofi mukosa usus, pemberian NED ini bertitik tolak
mencegah dan mengatasi kondisi hipometabolik pada fase akut / syok dan mengendalikan status
hiperkatabolisme yang terjadi pada fase flow. Pemberian antasida dan antibiotika tidak dibenarkan
karena akan merubah pola / habitat kuman yang mengganggu keseimbangan flora usus.
Jaringan nekrosis maupun jaringan non vital lainnya yang disebabkan cedera termis harus segera
dilakukan nekrotomi dan debridement, dan dilakukan sedini mungkin (eksisi dini, hari ketiga-keempat
pasca cedera luka bakar sedang, hari ketujuh-kedelapan pada luka bakar berat), bahkan bila
memungkinkan dilakukan penutupan segera (immediate skin grafting) untuk mengatasi berbagai
masalah akibat kehilangan kulit sebagai penutup (mencegah evaporative heat loss yang menimbulkan
gangguan metabolisme), barrier terhadap kuman dan proses inflamasi berkepanjangan yang
mempengaruhi proses penyembuhan, tidak menunggu jaringan granulasi yang dalam hal ini mengulur
waktu dan memperberat stres metabolisme.
Pemberian obat-obatan yang bersifat anti inflamasi seperti antihistamin dianggap tidak
bermanfaat. Pemberian steroid sebelumnya dianggap bermanfaat namun harus diingat saat pemberian
serta efek sampingnya.
Pemberian zat yang meningkatkan imunologik seperti Omega-3 akan menjinakkan leukotrien
(LTB4 yang bersifat maligna) dengan cara mempengaruhi lypoxygenase pathway pada metabolisme
asam arakhidonat, sehingga menghasilkan leukotrien yang lebih benigna. Pemberian Omega-6 memiliki
efek pada cyclo-oxygenase pathway asam arakhidonat, sehingga menghasilkan tromboksan yang lebih
benigna menggantikan tromboksan (ThromboxaneA2) yang bersifat maligna.
Komplikasi
Komplikasi SIRS bervariasi tergantung etiologi. Komplikasi yang mungkin terjadi pada SIRS
adalah gagal napas, Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), dan pneumonia nosokomial, gagal
ginjal, perdarahan saluran cerna dan stres gastritis, anemia, Trombosis vena dalam (Deep Vein
Thrombosis/DVT), hiperglikemia, dan Disseminated intravascular coagulation (DIC)
BAB III
KESIMPULAN
Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan
kontak dengan sumber api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi.
Luka bakar dibagi 4 derajat. Cara menentukan derajat luka bakar yaitu, Wallace rule of
nine dan Lund and Bowder chart.
Tingginya angka kejadian luka bakar didaerah Asia Tenggara disebabkan juga karena
factor resiko lainnya. Untuk itu perlu pencegahan dan penanganan luka bakar untuk
menghindari terjadinya komplikasi.
Penanganan luka bakar perlu diketahui luas luka bakar, derajat luka bakar, fase luka
bakar. Penanganan luka bakar mencakup, pertolongan pertama, resusitasi cairan, pencegahan
infeksi, perawatan luka bakar dan pencegahan terhadap komplikasi.
Prognosis dan penanganan luka bakar terutama tergantung pada dalam dan luasnya permukaan
luka bakar, dan penanganan sejak awal hingga penyembuhan. Selain itu faktor letak daerah yang
terbakar, usia dan keadaan kesehatan penderita juga turut menentukan kecepatan penyembuhan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ahmadsyah I, Prasetyono TOH. Luka. Dalam: Sjamsuhidajat R, de Jong W, editor. Buku ajar ilmu
bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005. h. 73-5.
2. Moenadjat Y. Luka bakar. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003.
3. Heimbach DM, Holmes JH. Burns. In: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG,
Pollock RE, editors. Schwartzs principal surgery. 8th ed. USA: The McGraw-Hill Companies; 2007.
4. Naradzay JFX, Alson R. Thermal burns. Dalam: Slapper D, Talavera F, Hirshon JM, Halamka J, Adler J,
editors. Diunduh dari: http://www.emedicinehealth.com
5. Burns 2012 http : // www.who .int/mediacenter/factsheet/fs365/en/