Anda di halaman 1dari 167

Pemicu 2

Sheila Jessica
405100047

INFORMED CONSENT

Informed Consent
Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29
th 2004 Pasal 45 serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran
KKI tahun 2008, Informed Consent merupakan persetujuan
tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga
terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap
mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap
pasien tersebut
Menurut Lampiran SKB IDI No. 319/P/BA./88 dan Permenkes no
585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis
Pasal 4 ayat 2 menyebutkan dalam memberikan informasi kepada
pasien / keluarganya, kehadiran seorang perawat / paramedik
lainnya sebagai saksi adalah penting.

Informasi/keterangan yang wajib diberikan sebelum


suatu tindakan kedokteran dilaksanakan adalah:

Diagnosa yang telah ditegakkan.


Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan.
Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut.
Resiko resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi daripada
tindakan kedokteran tersebut.
Konsekwensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan
adakah alternatif cara pengobatan yang lain.
Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan kedokteran
tersebut.

Resiko resiko yang harus diinformasikan kepada


pasien yang dimintakan persetujuan tindakan
kedokteran :
Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran tersebut.
Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya.

Pengecualian terhadap keharusan pemberian


informasi sebelum dimintakan persetujuan tindakan
kedokteran adalah:
Dalam keadaan gawat darurat ( emergensi ), dimana
dokter harus segera bertindak untuk menyelamatkan jiwa.
Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak
bisa menghadapi situasi dirinya.
Ini tercantum dalam PerMenKes No.
290/Menkes/Per/III/2008.

Tujuan Informed Consent:


Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap
tindakan dokter yang sebenarnya tidak diperlukan dan
secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang
dilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya.
Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap
suatu kegagalan dan bersifat negatif, karena prosedur
medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap
tindakan medik ada melekat suatu resiko (Permenkes No.
290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3).

Bentuk
Implied consent (tersirat/ dianggap telah
diberikan)
Keadaan normal
Keadaan darurat
Expressed consent (dinyatakan)
Lisan
Tulisan

INFORMASI
Permenkes no. 585 tahun 1989 tentang PTM dokter harus
menyampaikan informasi/ penjelasan kepada pasien/keluarga
diminta/ tidak diminta

APA (WHAT) YANG HARUS DISAMPAIKAN


Segala sesuatu yang berkaitan dengan penyakit pasien
Tindakan apa yang akan dilakukan(bentuk, tujuan, resiko,
manfaat dari terapi yang akan dilaksanakan & alternatif terapi)
Penyampaian informasi harus secara lisan
Penyampaian formulir untuk ditandatangani pasien/ keluarga
tanpa penjelasan & pembahasan secara lisan dengan pasien/
keluarga tidaklah memenuhi persyaratan

KAPAN DISAMPAIKAN (WHEN)


Tergantung waktu yang tersedia setelah dokter memutuskan
akan melakukan tindakan invasif & keluarga/ pasien harus
diberi waktu yang cukup untuk menentukan keputusannya
SIAPA YANG HARUS MENYAMPAIKAN (WHO)
Tergantung dari jenis tindakan yang akan dilakukan tindakan
invasif/ pembedahan : dokter yang akan melakukan tindakan
(bila bukan tindakan invasif/ pembedahan dokter lain/
perawat)
INFORMASI YANG MANA (WHICH) YANG PELRLU DISAMPAIKAN
Dalam permenkes : harus selengkap lengkapnya, kecuali
dokter menilai nformasi tersebut dapat merugikan kepentingan
kesehatan pasien/ pasien menolak diberikan informasi (bila
perlu informasi dapat diberikan kepada keluarga pasien)

SIFAT PEMBERIAN INFORMASI


Obyektif
Tidak memihak
Tanpa tekanan
Setelah mendapat informasi pasien diberi waktu untuk
berfikir dan mempertimbangkan keputusannnya
KETIDAK PEMBERITAHUAN INFORMASI
Pasien telah meminta jangan diberitahukan
Situasi kejadian adalah dalam keadaan gawat darurat
Pengungkapannya akan sangat mengacaukan kejiwaan
pasien

INFORMASI/KETERANGAN YANG WAJIB DIBERIKAN


SEBELUM SUATU TINDAKAN KEDOKTERAN
DILAKSANAKAN ADALAH:
1. Diagnosa yang telah ditegakkan.
2. Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan.
3. Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut.
4. Resiko resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
daripada tindakan kedokteran tersebut.
5. Konsekwensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut
dan adakah alternatif cara pengobatan yang lain.
6. Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan
kedokteran tersebut.

Resiko resiko yang harus diinformasikan kepada


pasien yang dimintakan persetujuan tindakan
kedokteran :
a) Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran
tersebut.
b) Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya
(Pasal 11 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III /
2008)
.

Pengecualian terhadap keharusan pemberian


informasi sebelum dimintakan persetujuan
tindakan kedokteran dalam PerMenKes no
290/Menkes/Per/III/2008 :
1. Dalam keadaan gawat darurat ( emergensi ),
dimana dokter harus segera bertindak untuk
menyelamatkan jiwa.
2. Keadaan emosi pasien yang sangat labil
sehingga ia tidak bisa menghadapi situasi
dirinya

KKI memberikan 12 kunci informasi yang sebaiknya diberikan


kepada pasien:
1. Diagnosis dan prognosis secara rinci dan juga prognosis apabila
tidak diobati
2. Ketidakpastian tentang diagnosis
3. Pilihan pengobatan atau penatalaksanaan terhadap kondisi
kesehatannya, termasuk pilihan untuk tidak diobati
4. Tujuan dari rencana pemeriksaan atau pengobatan
5. Untuk setiap tindakan, diperlukan keterangan tentang kelebihan /
keuntungan dan tingkat kemungkinan keberhasilannya, dan diskusi
tentang kemungkinan risiko yang serius atau sering terjadi, dan
perubahan gaya hidup sebagai akibat dari tindakan tersebut.

6. Nyatakan bila rencana pengobatan tersebut adalah upaya yang


masih eksperimental
7. Bagaimana dan kapan kondisi pasien dan akibat sampingannya
akan dimonitor atau dinilai kembali
8. Nama dokter yang bertanggung jawab secara keseluruhan untuk
pengobatan tersebut
9. Bila melibatkan dokter yang sedang mengikuti pelatihan atau
pendidikan, maka sebaiknya dijelaskan peranannya didalam
rangkaian tindakan yang akan dilakukan
10. Mengingatkan kembali bahwa pasien dapat mengubah
pendapatnya setiap waktu
11. Mengingatkan bahwa pasien berhak memperoleh pendapat
kedua dari dokter lain
12. Bila memungkinkan, juga diberitahu tentang perincian biaya

CARA MEMBERIKAN INFORMASI


a. Informasi diberikan dalam konteks nilai, budaya dan latar belakang
mereka.
b. Dapat menggunakan alat bantu, seperti leaflet atau bentuk
publikasi lain
c. Tawarkan kepada pasien untuk membawa keluarga atau teman
dalam diskusi atau membuat rekaman dengan tape recorder
d. Memastikan bahwa informasi yang membuat pasien tertekan agar
diberikan dengan cara yang sensitif dan empati
e. Mengikutsertakan salah satu anggota tim pelayanan kesehatan
dalam diskusi
f. Menjawab semua pertanyaan pasien dengan benar dan jelas
g. Memberikan cukup waktu bagI pasien untuk memahami informasi
yang diberikan.

PERSETUJUAN
Harus didapat setelah pasien mendapat informasi yang adekuat
PERMENKES no. 585 tahun 1989 tentang persetujuan tindakan medik
Yang berhak memberikan persetujuan : pasien yang sudah dewasa (> 21
tahun/ sudah menikah) & dalam keadaan sehat mental
banyak perjanjian tindakan medik, penandatanganan persetujuan sering
tidak dilakukan oleh pasien sendiri, tetapi oleh keluarga pasien
(berkaitan dengan kesangsian terhadap kesiapan mental pasien untuk
menerima penjelasan tindakan operasi dan tindakan medis yang invasif
& keberanian menandatangani surat)
Untuk pasien dibawah umur 21 tahun, dan pasien penderita gangguan
jiwa yang menandatangani adalah orang tua/ wali/ keluarga terdekat/
induk semang
Untuk pasien dalam keadaan tidak sadar/ pingsan & tidak didampingi
keluarga terdekat & secara medik dalam keadaan gawat darurat yang
memerlukan tindakan medis segera tidak diperlukan persetujuan
dari siapapun (pasal 11 bab IV PERMENKES No. 585 Tahun 1989)

SEORANG DIANGGAP KOMPETEN UNTUK MEMBERIKAN


PERSETUJUAN, APABILA:
Mampu memahami informasi yang telah diberikan
kepadanya dengan cara yang jelas, menggunakan
bahasa yang sederhana dan tanpa istilah yang terlalu
teknis.
Mampu mempercayai informasi yang telah diberikan.
Mampu mempertahankan pemahaman informasi
tersebut untuk waktu yang cukup lama dan mampu
menganalisisnya dan menggunakannya untuk membuat
keputusan secara bebas.

ORANG YANG DIANGGAP MEMILIKI TANGGUNG


JAWAB ORANG TUA MELIPUTI:
a. Orang tua si anak, yaitu apabila si anak lahir sebagai anak dari
pasangan suami istri yang sah
b. Ibu si anak, yaitu apabila si anak lahir dari pasangan yang tidak
sah sehingga si anak hanya memiliki hubungan perdata dengan
si ibu.
c. Wali, orang tua angkat atau lembaga pengasuh yang sah
berdasarkan UU No. 23 tahun 2004 tentang Perlindungan Anak
d. Orang yang secara adat/budaya dianggap sebagai wali si anak,
dalam hal tidak terdapat yang memenuhi a, b dan c

BENTUK PERSETUJUAN
1. Persetujuan tertulis
2. Persetujuan lisan

MENURUT KKI PERSETUJUAN TERTULIS DIPERLUKAN


PADA KEADAAN-KEADAAN SEBAGAI BERIKUT:
1. Bila tindakan terapetik bersifat kompleks atau
menyangkut risiko atau efek samping yang bermakna
2. Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka
terapi
3. Bila tindakan kedokteran tersebut memiliki dampak
yang bermakna bagi kedudukan kepegawaian atau
kehidupan pribadi dan sosial pasien
4. Bila tindakan yang dilakukan adalah bagian dari suatu
penelitian

5 SYARAT PTM (THE MEDICAL DEFENCE UNION DALAM BUKU


MEDICOLEAL ISSUEN IN CLINICAL PRACTICE)
Diberikan secara bebas
Diberikan oleh orang yang sanggup membuat perjanjian
Telah dijelaskan bentuk tindakan yang akan dilakukan sehingga
pasien dapat memahami tindakan itu perlu dilakukan
Mengenai sesuatu hal yang khas
Tindakan itu juga dilakukan pada situasi yang sama
SUATU PERSETUJUAN DIANGGAP SAH APABILA:
a. Pasien telah diberi penjelasan / informasi
b. Pasien atau yang sah mewakilinya dalam keadaan cakap
(kompeten) untuk memberikan keputusan / persetujuan
c. Persetujuan harus diberikan secara sukarela

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 290/MENKES/PER/III/2008
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang
diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah
mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan
terhadap pasien.

2.

3.

4.
5.

6.

Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung,
anak-anak kandung, saudara-saudara kandung atau
pengampunya.
Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang selanjutnya
disebut tindakan kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa
preventif, diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan
oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien.
Tindakan invasif adalah suatu tindakan medis yang langsung dapat
mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh pasien.
Tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi adalah
tindakan medis yang berdasarkan tingkat probabilitas tertentu,
dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan.
Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi
dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau
kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui
oleh pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

7.

Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut
peraturan perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak
terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak
mengalami kemunduran perkembangan (retardasi) mental dan tidak
mengalami penyakit mental sehingga mampu membuat keputusan
secara bebas.
BAB II
PERSETUJUAN DAN PENJELASAN

1.
2.
3.

Pasal 2
Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus
mendapat persetujuan.
Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara
tertulis maupun lisan.
Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah
pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan
kedokteran dilakukan.

1.

2.

3.

4.

5.

Pasal 3
Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus
memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang
berhak memberikan persetujuan.
Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dengan
persetujuan lisan.
Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat
dalam bentuk pernyataan yang tertuang dalam formulir khusus
yang dibuat untuk itu.
Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan
dalam bentuk ucapan setuju atau bentuk gerakan menganggukkan
kepala yang dapat diartikan sebagai ucapan setuju.
Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dianggap meragukan, maka dapat dimintakan
persetujuan tertulis.

1.
2.

3.

Pasal 4
Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau
mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran.
Keputusan untuk melakukan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diputuskan oleh dokter atau dokter gigi dan dicatat di dalam
rekam medik.
Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera
mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat.

Pasal 5
Persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh
yang memberi persetujuan sebelum dimulainya tindakan.
Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dilakukan secara tertulis oleh yang memberi persetujuan.
Segala akibat yang timbul dari pembatalan persetujuan tindakan kedokteran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) menjadi tanggung jawab yang
membatalkan persetujuan.

Pasal 6
Pemberian persetujuan tindakan kedokteran tidak menghapuskan
tanggung gugat hukum dalam hal terbukti adanya kelalaian dalam
melakukan tindakan kedokteran yang mengakibatkan kerugian pada
pasien.
Bagian Kedua
Penjelasan

Pasal 7
1. Penjelasan tentang tindakan kedokteran harus diberikan langsung
kepada pasien dan/atau keluarga terdekat, baik diminta maupun
tidak diminta.
2. Dalam hal pasien adalah anak-anak atau orang yang tidak sadar,
penjelasan diberikan kepada keluarganya atau yang mengantar.

3.
a)
b)
c)
d)
e)
f)

Penjelasan tentang tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) sekurang-kurangnya mencakup:
Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran;
Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan;
Altematif tindakan lain, dan risikonya;
Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Perkiraan pembiayaan.

Pasal 8
1. Penjelasan tentang diagnosis dan keadaan kesehatan pasien dapat meliputi :
a) Temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis hingga saat tersebut;
b) Diagnosis penyakit, atau dalam hal belum dapat ditegakkan, maka
sekurangkurangnya diagnosis kerja dan diagnosis banding;
c) Indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan dilakukannya tindakan
kedokteran;
d) Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan tindakan.

2. Penjelasan tentang tindakan kedokteran yang dilakukan meliputi :


a) Tujuan tindakan kedokteran yang dapat berupa tujuan preventif,
diagnostik, terapeutik, ataupun rehabilitatif.
b) Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan dialami pasien
selama dan sesudah tindakan, serta efek samping atau
ketidaknyamanan yang mungkin terjadi.
c) Alternatif tindakan lain berikut kelebihan dan kekurangannya
dibandingkan dengan tindakan yang direncanakan.
d) Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-masing
alternatif tindakan.
e) Perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi
keadaan darurat akibat risiko dan komplikasi tersebut atau
keadaan tak terduga lainnya.

3.

a)
b)

c)

4.
a)
b)
c)

Penjelasan tentang risiko dan komplikasi tindakan kedokteran


adalah semua risiko dan komplikasi yang dapat terjadi mengikuti
tindakan kedokteran yang dilakukan, kecuali:
risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan umum
risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau yang
dampaknya sangat ringan
risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya
(unforeseeable)
Penjelasan tentang prognosis meliputi:
Prognosis tentang hidup-matinya (ad vitam);
Prognosis tentang fungsinya (ad functionam);
Prognosis tentang kesembuhan (ad sanationam).

Pasal 9
1. Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus diberikan
secara lengkap dengan bahasa yang mudah dimengerti atau cara
lain yang bertujuan untuk mempermudah pemahaman.
2. Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dan
didokumentasikan dalam berkas rekam medis oleh dokter atau
dokter gigi yang memberikan penjelasan dengan mencantumkan
tanggal, waktu, nama, dan tanda tangan pemberi penjelasan dan
penerima penjelasan.
3. Dalam hal dokter atau dokter gigi menilai bahwa penjelasan
tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau
pasien menolak diberikan penjelasan, maka dokter atau dokter gigi
dapat memberikan penjelasan tersebut kepada keluarga terdekat
dengan didampingi oleh seorang tenaga kesehatan lain sebagai
saksi.

1.

2.

3.
4.

1.

2.

Pasal 10
Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 diberikan oleh dokter atau
dokter gigi yang merawat pasien atau salah satu dokter atau dokter gigi dari
tim dokter yang merawatnya.
Dalam hal dokter atau dokter gigi yang merawatnya berhalangan untuk
memberikan penjelasan secara langsung, maka pemberian penjelasan harus
didelegasikan kepada dokter atau dokter gigi lain yang kompeten.
Tenaga kesehatan tertentu dapat membantu memberikan penjelasan sesuai
dengan kewenangannya.
(4) Tenaga kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah
tenaga kesehatan yang ikut memberikan pelayanan kesehatan secara
langsung kepada pasien.
Pasal 11
Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran,
dokter yang akan melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan.
Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan dasar daripada persetujuan.

Pasal 12
1. Perluasan tindakan kedokteran yang tidak terdapat
indikasi sebelumnya, hanya dapat dilakukan untuk
menyelamatkan jiwa pasien.
2. Setelah perluasan tindakan kedokteran sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan, dokter atau
dokter gigi harus memberikan penjelasan kepada
pasien atau keluarga terdekat.

BAB III
YANG BERHAK MEMBERIKAN PERSETUJUAN
Pasal 13
1. Persetujuan diberikan oleh pasien yang
kompeten atau keluarga terdekat.
2. Penilaian terhadap kompetensi pasien
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh dokter pada saat diperlukan
persetujuan.

BAB IV
KETENTUAN PADA SITUASI KHUSUS
Pasal 14
Tindakan penghentian/penundaan bantuan hidup
(withdrawing/withholding life support) pada seorang pasien
harus mendapat persetujuan keluarga terdekat pasien.
Persetujuan penghentian/penundaan bantuan hidup oleh
keluarga terdekat pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan setelah keluarga mendapat penjelasan dari tim
dokter yang bersangkutan.
Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
diberikan secara tertulis.

Pasal 15
Dalam hal tindakan kedokteran harus
dilaksanakan sesuai dengan program
pemerintah dimana tindakan medik tersebut
untuk kepentingan masyarakat banyak, maka
persetujuan tindakan kedokteran tidak
diperlukan.

BAB V
PENOLAKAN TINDAKAN KEDOKTERAN

1.

2.
3.

4.

Pasal 16
Penolakan tindakan kedokteran dapat dilakukan oleh pasien
dan/atau keluarga terdekatnya setelah menerima penjelasan
tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan.
Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dilakukan secara tertulis.
Akibat penolakan tindakan kedokteran sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) menjadi tanggung jawab pasien.
Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak memutuskan hubungan dokter dan pasien.

BAB VI
TANGGUNG JAWAB
Pasal 17
1. Pelaksanaan tindakan kedokteran yang telah mendapat
persetujuan menjadi tanggung jawab dokter atau dokter gigi
yang melakukan tindakan kedokteran.
2. Sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab atas
pelaksanaan persetujuan tindakan kedokteran.

BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
1.

2.

1.

2.

Pasal 18
Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan pengawasan dengan melibatkan
organisasi profesi terkait sesuai tugas dan fungsi masing-masing.
Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan
untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
Pasal 19
Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, Menteri, Kepala Dinas
Kesehatan Propinsi, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat
mengambil tindakan administratif sesuai dengan kewenangannya masingmasing
Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
teguran lisan, teguran tertulis sampai dengan pencabutan Surat Ijin Praktik

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, maka Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 585/MENKES/PER/IX/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medik dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 21
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang rnengetahuinya, rnemerintahkan pengundangan
Peraturan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.

Rahasia Kedokteran
Pasal 48
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan
praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia
kedokteran.
(2) Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk
kepentingan kesehatan pasien,nmemenuhi permintaan
aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan
hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan
ketentuan perundangundangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran
diatur dengan Peraturan Menteri.

Hubungan dokter dengan pasien


Hubungan kebutuhan pasien butuh pertolongan
medis,dokter butuh pasien sebagai subyek profesinya
Hubungan kepercayaan pasien menyerahkan diri
kepada dokter karena percaya pada integritas dan
kemampuannya. Pasien percaya dokter akan
merahasiakan segala sesuatu tentang dirinya. Dokter
percaya pasien akan jujur dan beritikad baik terhadap
dirinya.
Hubungan keprofesian interaksi dan kerjasama antara
seorang profesional medis dengan penerim jasa
profesional itu.
Hubungan hukum antara 1 subyek hukum dengan
subyek hukum lain

ETIKA BERKOMUNIKASI
Dalam hubungan dokter-pasien, komunikasi memiliki peranan
penting atau awal dan bagian dari proses pengobatan
Berbagai tindakan dokter yang tidak memuaskan pasien,
menyebabkan pasien menuntut dokter karena dugaan
malpraktik itu semua karena adanya masalah dalam
berkomunikasi dokter-pasien
Suatu etika berkomunikasi adalah keramahan yang wajar &
tidak dibuat-buat
Komunilkasi yang baik merupakan salah satu cara untuk
tercapainya pelayanan kedokteran yang efektif

Etika komunikasi yang seharusnya


dilakukan meliputi :
Mendengarkan keluhan, menggali informasi,
menghargai apa yang disampaikan pasien
Menjawab atau memberikan informasi yang
diharapkan oleh pasien tentang segala sesuatu
mengenai penyakitnya dan rencana
pengobatan yang akan dilakukan

BEBERAPA GOLONGAN PASIEN YANG BAIK SECARA


ETIKA ATAU HUKUM DIKECUALIKAN DARI HAK ATAS
PEMBERIAN INFORMASI
Pasien yang apabila diberi informasi medis
kepadanya akan merugikan kondisi medisnya
Pasien sendiri yang menolak untuk diberi informasi
Pasien yang akan mengalami pengobatan plasebo
dalam rangka suatu sugestif therapy
Pasien yang menderita gangguan psikiatri
Pasien yang belum cukup umur
Pasien yang datang dalam keadaan tidak sadar dan
butuh pertolongan segera

Etika Honorarium Dokter

Pedoman
Honorarium dokter disesuaikan dengan kemampuan pasien,
dan disesuaikan dengan apa yang telah dokter berikan kepada
pasien itu sendiri.
Honorarium di luar dari yang biasa dilakukan terhadap pasien
yang lain, hendaknya dikomunikasikan terlebih dahulu dengan
pasien tersebut, sekaligus memberikan penjelasan dengan

bijaksana sebelum pemeriksaan atau tindakan dilakukan.

Segala sesuatu mengenai uang jasa tidak mutlak sifatnya


para dokter harus mengikuti perasaan perikemanusiaan.
Imbalan jasa hendaknya tidak diminta dari teman sejawat dan
keluarga yang menjadi tanggung jawab teman sejawat
tersebut.

Seorang dokter tentu saja dapat membebaskan imbalan jasa


kepada siapapun yang dikehendakinya.
KODEKI Pasal 2 : Setiap dokter harus senantiasa berupaya
melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi
tertinggi.

Breaking Bad News

Merupakan informasi atau berita yg secara langsung


menimbulkan efek serius bagi seseorang.
Misalnya : ancaman kesehatan psikis dan somatik,
ancaman hidup tidak bahagia

KEBERHASILAN PENYAMPAIAN
INFORMASI YG DIPENGARUHI OLEH :
Keterampilan berkomunikasi
Profesionalisme seorang dokter
Pengetahuan dan kemampuan analisis
Ahlak atau budi pekerti
Kecerdasan emosi
Kecerdasan spiritual

Protokol

S SETTING UP interview
P assessing the patients PERCEPTION
I obtaining patients INVITATION
K giving KNOWLEDGE and information to the
patient
E adressing the patients EMOTIONS with
emphatic responses
S STRATEGY AND SUMMARY

MALPRAKTIK
Praktik kedokteran yang salah atau tidak sesuai dengan
standar profesi atau standar prosedur operasional.

MALPRAKTEK MEDIK
Kelalaian seorang dokter untuk
mempergunakan tingkat keterampilan dan
ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan
dalam mengobati pasien atau orang yang
terluka menurut ukuran di lingkungan yang
sama.

Malpractice

Medical
malpractice

Profesi lain

Ethical
malpractice

Yuridical
malpractice

Criminal
malpractice

Civil
malpractice

Administrative
malpractice

CRIMINAL MALPRACTICE
Terjadi bila seorang dokter menangani suatu
kasus telah melanggar hukum dan
menyebabkan dia dituntut oleh negara.
Pada Criminal Malpractice, tanggung
jawabnya bersifat individual dan personal.

CIVIL MALPRACTICE
Civil Malpractice adalah tipe malpractice dimana
dokter karena pengobatannya dapat mengakibatkan
pasien meninggal atau luka tetapi dalam waktu yang
sama tidak melanggar hukum pidana.
Sementara negara tidak dapat menuntut secara
pidana, tetapi pasien atau keluarganya dapat
menggugat dokter secara perdata untuk
mendapatkan uang sebagai ganti rugi. Pada Civil
Malpractice tanggung gugat dapat bersifat
individual atau korporasi.

ADMINISTRATIVE MALPRACTICE
Di dalam UU RI No. 29 Tahun 2004 dan didalam
Permenkes RI No. 1419/Menkes/Per/X/2005. Dijelaskan
bahwa seorang dokter yang praktik harus punya Sertifikat
Kompetensi, Surat Tanda Registrasi, dan Surat Ijin Praktik
kalau seorang dokter tidak mempunyainya selain dokter
mendapat sanksi pidana, sanksi perdata juga sanksi
administratif.

KELALAIAN
Sikap kurang hati-hati, yaitu tidak melakukan
apa yang seseorang dengan sikap hati-hati
melakukannya dengan wajar, atau sebaliknya
melakukan apa yang seseorang dengan sikap
hati-hati tidak akan melakukannya dalam
situasi tersebut
Diartikan pula dengan melakukan tindakan
kedokteran dibawah standar pelayanan medik

Syarat Kelalaian (4D)


DUTY (Duty of care)
KEWAJIBAN PROFESI
KEWAJIBAN AKIBAT KONTRAK DG PASIEN

DERELICTION / BREACH OF DUTY


PELANGGARAN KEWAJIBAN TERSEBUT

DAMAGES
CEDERA, MATI ATAU KERUGIAN

DIRECT CAUSALSHIP
HUBUNGAN SEBAB-AKIBAT

MALPRAKTEK
INTENTIONAL (secara sadar)
PROFESSIONAL MISCONDUCTS

NEGLIGENCE
MALFEASANCE, MISFEASANCE, NONFEASANCE

LACK OF SKILL
DI BAWAH STANDAR KOMPETENSI
DI LUAR KOMPETENSI

Intentional
Penahanan pasien
Buka rahasia kedokteran tanpa hak
Aborsi illegal
Euthanasia
Keterangan palsu
Praktek tanpa ijin/tanpa kompetensi
Sengaja tidak mematuhi standar

LACK OF SKILL
Kompentensi kurang atau diluar kompetensi /
kewenangan
Sering menjadi penyebab eror
Sering dikaitkan dengan kompetensi institusi /
sarana
Kadang dapat dibenarkan pada situasi kondisi
lokal tertentu

ASPEK HUKUM
Perumusan malpraktek / kelalaian medik yang tercantum pada
UU No. 6 tahun 1963 pasal 11 b:
Dengan tidak mengurangi ketentuan ketentuan di dalam
KUHP dan perundang - undangan lain, maka terhadap
tenaga kesehatan dapat dilakukan tindakan administratif
dalam hal:
a) melalaikan kewajiban (tidak melakukan sesuatu yang
seharusnya dilakukan)
b) melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh
diperbuat oleh seorang tenaga kesehatan, baik
mengingat sumpah jabatanya, maupun mengingat
sumpah sebagai tenaga kesehatanya (melakukan
sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan)

Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan,


jika kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera
kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya
Ini berdasarkan prinsip De minimis noncurat lex , yang
berarti hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap
sepele
Tetapi jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi,
mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang lain, maka ini
diklasifikasikan sebagai kelalaian berat (culpa lata), serius dan
kriminil
Tolak ukur culpa lata :
1. Bertentangan dengan hukum
2. Akibatnya dapat dibayangkan
3. Akibatnya dapat dihindarkan
4. Perbuatannya dapat dipersalahkan

Malpraktek Medik Murni


Sebenarnya tidak banyak dijumpai
Contoh: dokter melakukan pembedahan
dengan niat membunuh pasienya atau dokter
sengaja melakukan pembedahan tanpa ada
indikasi medis yang sebenarnya tidak perlu
dilakukan, hanya untuk mengeruk
keuntungan.

Dokter dikatakan melakukan malpraktek jika :


1. Dokter kurang menguasai iptek kedokteran yang
sudah berlaku umum dikalangan profesi
kedokteran
2. Memberikan pelayanan kedokteran dibawah
standar profesi (tidak lege artis)
3. Melakukan kelalaian yang berat atau
memberikan pelayanan dengan tidak hati-hati
4. Melakukan tindakan medik yang bertentangtan
dengan hukum

TUNTUTAN
Penggugat harus dapat membuktikan adanya 4
unsur berikut :
1. Adanya suatu kewajiban bagi dokter terhadap
pasien
2. Dokter telah melanggar standar pelayanan medik
yang lazim dipergunakan
3. Penggugat telah menderita kerugian yang dapat
dimintakan ganti ruginya
4. Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh
tindakan dibawah standar

Terkadang penggugat tidak perlu


membuktikan adanya kelalaian yang tergugat.
Dalam hukum terdapat kaedah yang berbunyi
Res Ipsa Loquitur yang berarti faktanya
telah berbicara
Misalnya : kain kassa yang tertinggal di rongga
perut pasien, sehingga menimbulkan
komplikasi pasca bedah

Sanksi Hukum Pidana


Pasal 267 KUHP (surat keterangan palsu)
1. Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat
keterangan palsu tentang ada atau tidaknya penyakit ,
kelemahan atau cacat, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun.
2. Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk
memasukkan seorang kedalam rumah sakit gila atau
menahannya disitu , dijatuhkan pidana paling lama delapan
tahun enam bulan.
3. Di ancam dengan pidana yang sama ,barangsiapa dengan
sengaja memakai surat keterangan palsu itu seolah-olah
isinya sesuai dengan kebenaran.

Pasal 268 KUHP


1. Barang siapa membuat secara palsu atau memalsu
surat keterangan dokter tentang ada atau tidaknya
penyakit, kelemahan atau cacat , dengan maksud
untuk menyesatkan penguasa umum atau
penanggung (verzekeraar), diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun.
2. Diancam dengan pidana yang sama , barangsiapa
dengan maksud yang sama memakai surat
keterangan yang tidak benar atau yang dipalsu,
seolah-olah surat itu benar dan tidak dipalsu

PASAL 359 KUHP


Barangsiapa karena kelalainnya menyebabkan matinya orang
lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun
atau pidana kurungan paling lama satu tahun
PASAL 360 KUHP
1. Barangsiapa karena kelalainnya menyebabkan orang lain
menderita luka berat,diancam dengan pidana penjara paling
lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun
2. Barangsiapa karena kelalaiannya menyebabkan orang lain luka
sedemikian rupa sehingga menderita sakit untuk sementara
waktu atau tidak dapat menjalankan jabatan atau
perkejaannya selama waktu tertenu diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan
enam bulan atau denda paling tinggi empat ribu lima ratus
rupiah

Sanksi Hukum Perdata


Pasal 1338 KUH Perdata ( wanprestasi )
1. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
2. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain
dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena
alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan
cukup untuk itu.
3. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad
baik

Pasal 1365 KUH Perdata


Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa
kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang
karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut.
Pasal 1366 KUH Perdata( Kelalaian )
Setiap orang bertanggung jawab tidak saja atas
kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi
juga atas kerugian yang disebabkan karena kelalainnnya
atau kurang hati hatinya

Pasal 1370 KUH Perdata


Dalam hal pembunuhan (menyebabkan matinya orang lain )
dengan sengaja atau kurang hatihatinya seseorang, maka
suami dan istri yang ditinggalkan, anak atau korban orang tua
yang biasanya mendapat nafkah dari pekerjaan korban
mempunyai hak untuk menuntut suatu ganti rugi, yang harus
dinilai menurut kedudukanya dan kekayaan kedua belah pihak
serta menurut keadaan
PASAL 55 UU NO. 23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN
1. Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau
kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan
2. Ganti rugi sebagaimana diatur dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku

Penanganan Malpraktek
Dalam etik sebenarnya tidak ada batas-batas yang jelas, antara
boleh atau tidak, oleh karena itu kadang kala sulit memberikan
sanksi-sanksinya
Di negara-negara maju terdapat Dewan Medis (Medical
Council) yang bertugas melakukan pembinaan etik profesi dan
menanggulangi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan
terhadap etik kedokteran
Di Indonesia terdapat :
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) masalah
etika murni
Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Etik Kedokteran
(P3EK) masalah yang tidak murni etika

ALUR PENANGANAN KASUS-KASUS


MALPRAKTEK

MKEK
cabang

P3EK propinsi

P3EK
pusat

POLISI

P3EK propinsi

P3EK
pusat

MKEK
cabang

KOMPETENSI DOKTER

KEPUTUSAN KONSIL KEDOKTERAN


INDONESIA
NOMOR 21A/KKI/KEP/IX/2006
TENTANG
PENGESAHAN STANDAR KOMPETENSI
DOKTER

Pengertian Standar Kompetensi


Dokter
Menurut SK Mendiknas No. 045/U/2002
Kompetensi adalah 'seperangkat tindakan cerdas dan
penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang
sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh
masyarakat dalam melaksanakan tugas- tugas di
bidang pekerjaan tertentu'.

Elemen-elemen kompetensi

Landasan kepribadian
Penguasaan ilmu dan keterampilan
Kemampuan berkarya
Sikap dan perilaku dalam berkarya menurut tingkat
keahlian berdasarkan ilmu dan keterampilan yang
dikuasai
Pemahaman kaidah berkehidupan masyarakat sesuai
dengan keahlian dalam berkarya.

Epstein and Hundert (2002) memberikan definisi :


Professional competence is the habitual and
judicious use of communication, knowledge,
technical skills, clinical reasoning, emotions, values,
and reflection in daily practice to improve the health
of the individual patient and community.

Carraccio, et.al. (2002) :


Competency is a complex set of
behaviorsbehaviours built on the components
of knowledge, skills, attitude and competence
as personal ability.

Kemampuan seorang profesi dokter


mengerjakan tugas atau pekerjaan profesinya
mengorganisasikan tugasnya agar pekerjaan tersebut dapat
dilaksanakan
Segera tanggap dan tahu apa yang harus dilakukan bilamana
terjadi sesuatu yang berbeda dengan rencana semula
Menggunakan kemampuan yang dimiliki untuk memecahkan
masalah di bidang profesinya
Melaksanakan tugas dengan kondisi berbeda

Manfaat Standar Kompetensi Dokter

Bagi institusi pendidikan kedokteran


Bagi Pengguna
Bagi orang tua murid dan penyandang dana
Bagi mahasiswa
Bagi Departemen Pendidikan Nasional dan Badan Akreditasi
Nasional
Bagi Kolegium Dokter Indonesia
Bagi Kolegium-Kolegium Spesialis
Program Adaptasi bagi Lulusan Luar Negeri

Institusi pendidikan kedokteran


kerangka acuan utama bagi institusi
pendidikan kedokteran dalam
mengembangkan kurikulumnya

Pengguna
kerangka acuan utama bagi Departemen Kesehatan
maupun Dinas Kesehatan Propinsi ataupun
Kabupaten dalam pengembangan sumber daya
manusia kesehatan, dalam hal ini dokter
dapat memberikan pelayanan kesehatan yang baik.

Orang tua murid dan penyandang


dana
dapat mengetahui secara jelas kompetensi
yang akan dikuasai oleh mahasiswa. Hal ini
sebagai bentuk akuntabilitas publik

Mahasiswa
mengarahkan proses belajarnya

Departemen Pendidikan Nasional dan


Badan Akreditasi Nasional
kriteria pada akreditasi program studi pendidikan
dokter.

Bagi Kolegium Dokter Indonesia


dijadikan acuan dalam menyelenggarakan
program pengembangan profesi secara
berkelanjutan

Bagi Kolegium-Kolegium Spesialis


dijadikan acuan dalam merumuskan
kompetensi dokter spesialis yang merupakan
kelanjutan dari pendidikan dokter.

Program Adaptasi bagi Lulusan Luar


Negeri
digunakan sebagai acuan untuk menilai
kompetensi dokter lulusan luar negeri.

KOMPETENSI DOKTER PRAKTIK


UMUM
Kompetensi dokter layanan kedokteran primer termuat dalam dokumen
Konsil Kedokteran Indonesia ( KKI ) tahun 2006 berjudul Standar
Kompetensi Dokter, yang menjabarkannya dalam 7 area kompetensi,
yaitu:
1. Area Komunikasi Efektif.
Mampu menggali dan bertukar informasi secara verbal dan non verbal
dengan pasien semua usia,anggota keluarga,masyarakat,kolega dan
profesi lain.
2. Area Ketrampilan Klinis.
Melakukan prosedur klinis dalam menghadapi masalah kedokteran sesuai
dengan kebutuhan pasien dan kewenangannya.

3. Area Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran.


Mengidentifikasi,menjelaskan dan merancang penyelesaian
masalah kesehatan secara ilmiah menurut ilmu kedokterankesehatan mutakhir untuk mendapat hasil yang optimum.
4. Area Pengelolaan Masalah Kesehatan.
Mengelola masalah kesehatan individu,keluarga maupun
masyarakat secara
komprehensif,holistik,bersinambung,koordinatif dan
kolaboratif dalam konteks pelayanan kesehatan tingkat
primer.

5. Area Pengelolaan Informasi.


Mengakses,mengelola,menilai secara kritis kesahihan dan
kemamputerapan informasi untuk menjelaskan dan menyelesaikan
masalah, atau mengambil keputusan dalam kaitan dengan pelayanan
kesehatan ditingkat primer.
6. Area Mawas Diri dan Pengembangan Diri.
Melakukan praktik kedokteran dengan penuh kesadaran atas kemampuan
dan keterbatasannya mengatasi masalah emosional, personal, kesehatan,
dan kesejahteraan yang dapat mempengaruhi kemampuan profesinya,
belajar sepanjang hayat,merencanakan, menerapkan dan memantau
perkembangan profesi secara sinambung.

7. Area Etika, Moral, Medikolegal dan Profesionalisme


serta Keselamatan Pasien.
Berperilaku profesional dalam praktik kedokteran
serta mendukung kebijakan kesehatan, bermoral
dan beretika serta memahami isu etik maupun
aspek medikolegal dalam praktik kedokteran,
menerapkan program keselamatan pasien.

STANDAR KOMPETENSI DOKTER


1. Komunikasi efektif
2. Keterampilan Klinis
3. Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran
4. Pengelolaan Masalah Kesehatan
5. Pengelolaan Informasi
6. Mawas Diri dan Pengembangan Diri
7. Etika, Moral, Medikolegal dan Profesionalisme serta
Keselamatan Pasien

STANDAR KOMPETENSI DOKTER


Area Komunikasi Efektif
Berkomunikasi dengan pasien serta anggota
keluarganya
Berkomunikasi dengan sejawat
Berkomunikasi dengan masyarakat
Berkomunikasi dengan profesi lain

STANDAR KOMPETENSI DOKTER


Area Keterampilan Klinis
Memperoleh dan mencatat informasi yang
akurat serta penting tentang pasien dan
keluarganya
Melakukan prosedur klinik dan laboratorium
Melakukan prosedur kedaruratan klinis

STANDAR KOMPETENSI DOKTER


Area Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran
Menerapkan konsep-konsep dan prinsipprinsip ilmu biomedik, klinik, perilaku, dan
ilmu kesehatan masyarakat sesuai dengan
pelayanan kesehatan tingkat primer
Merangkum dari interpretasi anamnesis,
pemeriksaan fisik, uji laboratorium dan
prosedur yang sesuai
Menentukan efektivitas suatu tindakan

STANDAR KOMPETENSI DOKTER


Area Pengelolaan Masalah Kesehatan
Mengelola penyakit, keadaan sakit dan masalah pasien
sebagai individu yang utuh, bagian dari keluarga dan
masyarakat
Melakukan Pencegahan Penyakit dan Keadaan Sakit
Melaksanakan pendidikan kesehatan dalam rangka
promosi kesehatan dan pencegahan penyakit
Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk
meningkatkan derajat kesehatan
Mengelola sumber daya manusia serta sarana dan
prasarana secara efektif dan efisien dalam pelayanan
kesehatan primer dengan pendekatan kedokteran
keluarga

STANDAR KOMPETENSI DOKTER


Area Pengelolaan Informasi
Menggunakan teknologi informasi dan komunikasi
untuk membantu penegakan diagnosis, pemberian
terapi, tindakan pencegahan dan promosi
kesehatan, serta penjagaan, dan pemantauan status
kesehatan pasien
Memahami manfaat dan keterbatasan teknologi
informasi
Memanfaatkan informasi kesehatan

STANDAR KOMPETENSI DOKTER


Area Mawas Diri dan Pengembangan Diri
Menerapkan mawas diri
Mempraktikkan belajar sepanjang hayat
Mengembangkan pengetahuan baru

STANDAR KOMPETENSI DOKTER


Area Etika, Moral, Medikolegal dan Profesionalisme serta
Keselamatan Pasien
Memiliki Sikap profesional
Berperilaku profesional dalam bekerja sama
Sebagai anggota Tim Pelayanan Kesehatan yang
profesional
Melakukan praktik kedokteran dalam masyarakat
multikultural di Indonesia
Memenuhi aspek medikolegal dalam praktik kedokteran
Menerapkan keselamatan pasien dalam praktik
kedokteran

UNDANG-UNDANG RI NO. 36
TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN

Bab I Ketentuan Umum


Bab II Maksud dan Tujuan
Bab III Hak dan Kewajiban
Bab IV Tanggung Jawab Pemerintah
Bab V Sumber daya Bidang Kesehatan
Bab VI Upaya Kesehatan
Bab VII Kesehatan ibu, bayi, anak, remaja, Lanjut
Usia dan Penyandang Cacat
Bab VIII Gizi
Bab IX Kesehatan Jiwa
Bab XXII Penutup
Bab X Penyakit Menular dan tidak menular
Bab XI Kesehatan lingkungan
Bab XII Kesehatan Kerja

Bab XIII Pengelolaan Kesehatan


Bab XIV Informasi Kesehatan
Bab XV Pembiayaan Kesehatan
Bab XVI Peran serta Masyarakat
Bab XVII Badan Pertimbangan Kesehatan
Bab XVIII Pembinaan dan Pengawasan
Bab XIX Penyidikan
Bab XX Ketentuan Pidana
Bab XXI Ketentuan peralihan

HAK DAN KEWAJIBAN


BAGIAN KESATU
HAK
Pasal 4
Setiap orang berhak atas kesehatan.
Pasal 5
(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh
akses atas sumber daya di bidang kesehatan.
(2) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan
kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.
(3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab
menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi
dirinya.

Pasal 6
Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan
yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan.
Pasal 7
Setiap orang berhak untuk mendapatkan
informasi dan edukasi tentang kesehatan yang
seimbang dan bertanggung jawab.
Pasal 8
Setiap orang berhak memperoleh informasi
tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan
dan pengobatan yang telah maupun yang akan
diterimanya dari tenaga kesehatan.

BAGIAN KEDUA
KEWAJIBAN
Pasal 9
1. Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan,
mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya
2. Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pelaksanaannya meliputi upaya kesehatan
perseorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan
pembangunan berwawasan kesehatan.

Pasal 10
Setiap orang berkewajiban menghormati hak orang lain
dalam upaya memperoleh lingkungan yang sehat, baik
fisik, biologi, maupun sosial.

Pasal 11
Setiap orang berkewajiban berperilaku hidup sehat
untuk mewujudkan, mempertahankan, dan memajukan
kesehatan yang setinggi-tingginya.
Pasal 12
Setiap orang berkewajiban menjaga dan meningkatkan
derajat kesehatan bagi orang lain yang menjadi
tanggung jawabnya.
Pasal 13
1. Setiap orang berkewajiban turut serta dalam program
jaminan kesehatan sosial
2. Program jaminan kesehatan sosial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)diatur sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan

SUMBER DAYA DI BIDANG KESEHATAN


Pasal 22
1. Tenaga kesehatan harus memiliki kualifikasi minimum.
2. Ketentuan mengenai kualifikasi minimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 23
1. Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan
pelayanan kesehatan.
2. Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan
bidang keahlian yang dimiliki.
3. Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga
kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah.

4. Selama memberikan pelayanan kesehatan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dilarang mengutamakan kepentingan
yang bernilai materi.
5. Ketentuan mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 24
1. Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus
memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna
pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur
operasional.
2. Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur oleh organisasi profesi.
3. Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan,
standar pelayanan, dan standar prosedur operasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri.

Pasal 25
1. Pengadaan dan peningkatan mutu tenaga kesehatan
diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
dan/atau masyarakat melalui pendidikan dan/atau pelatihan.
2. Penyelenggaraan pendidikan dan/atau pelatihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab Pemerintah
dan pemerintah daerah.
3. Ketentuan mengenai penyelengaraan pendidikan dan/atau
pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
1. Pemerintah mengatur penempatan tenaga kesehatan untuk
pemerataan pelayanan kesehatan.
2. Pemerintah daerah dapat mengadakan dan mendayagunakan
tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan daerahnya.

4. Pengadaan dan pendayagunaan tenaga kesehatan sebagaimana


dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan:
4. jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat;
5. jumlah sarana pelayanan kesehatan; dan
6. jumlah tenaga kesehatan sesuai dengan beban kerja
pelayanan kesehatan yang ada.
5. Penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan tetap memperhatikan hak tenaga
kesehatan dan hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan yang merata.
6. Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan tenaga
kesehatan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 27
1. Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan
pelindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan
profesinya.
2. Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban
mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan yang dimiliki.
3. Ketentuan mengenai hak dan kewajiban tenaga kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Pasal 28
1. Untuk kepentingan hukum, tenaga kesehatan wajib
melakukan pemeriksaan kesehatan atas permintaan penegak
hukum dengan biaya ditanggung oleh negara.
2. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan
pada kompetensi dan kewenangan sesuai dengan bidang
keilmuan yang dimiliki.
Pasal 29
Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian
dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus
diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.

UPAYA KESEHATAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 46
Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya
bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan yang
terpadu dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan
perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat.
Pasal 47
Upaya kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan
dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh,
dan berkesinambungan.

Pasal 48
1. Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 47 dilaksanakan melalui kegiatan:
a) pelayanan kesehatan;
b) pelayanan kesehatan tradisional;
c) peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit;
d) penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan;
e) kesehatan reproduksi;
f) keluarga berencana;
g) kesehatan sekolah;
h) pelayanan kesehatan pada bencana;
i) pelayanan darah;
j) kesehatan gigi dan mulut;

k) penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan


pendengaran; kesehatan matra;
l) pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat
kesehatan;
m) pengamanan makanan dan minuman;
n) pengamanan zat adiktif; dan/atau
o) bedah mayat.
2. Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) didukung oleh sumber daya kesehatan.
Pasal 49
1. Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat bertanggung
jawab atas penyelenggaraan upaya kesehatan.
2. Penyelenggaraan upaya kesehatan harus memperhatikan fungsi
sosial, nilai, dan norma agama, sosial budaya, moral, dan etika
profesi.

Pasal 50
1. Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab
meningkatkan dan mengembangkan upaya kesehatan.
2. Upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sekurang-kurangnya memenuhi kebutuhan kesehatan dasar
masyarakat.
3. Peningkatan dan pengembangan upaya kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan
pengkajian dan penelitian.
4. Ketentuan mengenai peningkatan dan pengembangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui
kerja sama antar-Pemerintah dan antarlintas sektor.

Pasal 51
1. Upaya kesehatan diselenggarakan untuk mewujudkan
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi
individu atau masyarakat.
2. Upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) didasarkan pada standar pelayanan minimal
kesehatan.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan
minimal kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

PELAYANAN KESEHATAN
PARAGRAF KESATU
PEMBERIAN PELAYANAN
Pasal 52
1. Pelayanan kesehatan terdiri atas:
pelayanan kesehatan perseorangan; dan
pelayanan kesehatan masyarakat.
2. Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi kegiatan dengan pendekatan promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

Pasal 53
1. Pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk
menyembuhkan penyakit dan memulihkan
kesehatan perseorangan dan keluarga.
2. Pelayanan kesehatan masyarakat ditujukan untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan serta
mencegah penyakit suatu kelompok dan
masyarakat.
3. Pelaksanaan pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus mendahulukan
pertolongan keselamatan nyawa pasien dibanding
kepentingan lainnya.

Pasal 54
1. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan
dilaksanakan secara bertanggung jawab,
aman, bermutu, serta merata dan
nondiskriminatif.
2. Pemerintah dan pemerintah daerah
bertanggung jawab atas penyelenggaraan
pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
3. Pengawasan terhadap penyelenggaraan
pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat.

Pasal 55
1. Pemerintah wajib menetapkan standar mutu
pelayanan kesehatan.
2. Standar mutu pelayanan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

PARAGRAF II
PERLINDUNGAN PASIEN
Pasal 56
(1) Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh
tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah
menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut
secara lengkap.
(2) Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak berlaku pada:
a) Penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular
ke dalam masyarakat yang lebih luas;
b) Keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau
c) Gangguan mental berat.
(3) Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 57
(1) Setiap orang berhak atas rahasia kondisi
kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan
kepada penyelenggara pelayanan kesehatan.
(2) Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi
kesehatan pribadi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal:
a.
b.
c.
d.
e.

Perintah undang-undang;
Perintah pengadilan;
Izin yang bersangkutan;
Kepentingan masyarakat; atau
Kepentingan orang tersebut.

Pasal 58
(1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap
seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau
penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian
akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan
kesehatan yang diterimanya.
(2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang
melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau
pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan
darurat.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 63
1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan
diselenggarakan untuk mengembalikan status kesehatan,
mengembalikan fungsi tubuh akibat penyakit dan/atau
akibat cacat, atau menghilangkan cacat.
2) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan
dilakukan dengan pengendalian, pengobatan, dan/atau
perawatan.
3) Pengendalian, pengobatan, dan/atau perawatan dapat
dilakukan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu
keperawatan atau cara lain yang dapat
dipertanggungjawabkan kemanfaatan dan keamanannya.

4) Pelaksanaan pengobatan dan/atau perawatan


berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu
keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu.
5) Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan
pengobatan dan/atau perawatan atau berdasarkan
cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan.

Pasal 64
1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan
kesehatan dapat dilakukan melalui transplantasi
organ dan/atau jaringan tubuh, implan obat
dan/atau alat kesehatan, bedah plastik dan
rekonstruksi, serta penggunaan sel punca.
2) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang
untuk dikomersialkan.
3) Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang
diperjualbelikan dengan dalih apapun.

Pasal 65
1) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh hanya
dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan
dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
2) Pengambilan organ dan/atau jaringan tubuh dari
seorang donor harus memperhatikan kesehatan
pendonor yang bersangkutan dan mendapat
persetujuan pendonor dan/atau ahli waris atau
keluarganya.
3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara
penyelenggaraan transplantasi organ dan/atau
jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 66
Transplantasi sel, baik yang berasal dari manusia maupun dari
hewan, hanya dapat dilakukan apabila telah terbukti
keamanan dan kemanfaatannya.
Pasal 67
1) Pengambilan dan pengiriman spesimen atau bagian organ
tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan serta dilakukan di
fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengambilan
dan pengiriman spesimen atau bagian organ tubuh
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 68
1) Pemasangan implan obat dan/atau alat
kesehatan ke dalam tubuh manusia hanya dapat
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan serta
dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan
tertentu.
2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara
penyelenggaraan pemasangan implan obat
dan/atau alat kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.

PENYIDIKAN
Pasal 189
1. Selain penyidik polisi negara Republik Indonesia,
kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu di
lingkungan pemerintahan yang
menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan
juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana untuk melakukan penyidikan tindak
pidana di bidang kesehatan.

2. Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


berwenang:
a) melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan
serta keterangan tentang tindak pidana di bidang
kesehatan;
b) melakukan pemeriksaan terhadap orang yang
diduga melakukan tindak pidana di bidang
kesehatan;
c) meminta keterangan dan bahan bukti dari orang
atau badan hukum sehubungan dengan tindak
pidana di bidang kesehatan;
d) melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau
dokumen lain tentang tindak pidana di bidang
kesehatan;

e) melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan


atau barang bukti dalam perkara tindak pidana di
bidang kesehatan
f) meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan
tugas penyidikan tindak pidana di bidang
kesehatan;
g) menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat
cukup bukti yang membuktikan adanya tindak
pidana di bidang kesehatan.
3. Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan oleh penyidik sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

KETENTUAN PIDANA
Pasal 190
1. Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan
yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan
kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan
pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan
denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan
fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 191
Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan
kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) sehingga
mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau kematian
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan
denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 192
Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau
jaringan tubuh dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).

Pasal 193
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan bedah plastik dan rekonstruksi
untuk tujuan mengubah identitas seseorang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 69 diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 194
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 195
Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan darah dengan dalih
apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 Ayat (3) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 196
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan
sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi
standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan,
dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat
(3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 197
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan
sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin
edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta
rupiah).

Pasal 198
Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk
melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
108 dipidana dengan pidana denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 199
1. Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau
memasukkan rokok ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dengan tidak mencantumkan peringatan kesehatan
berbentuk gambar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114
dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan dendan paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
2. Setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa rokok
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana denda paling
banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Pasal 200
Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian
air susu ibu eksklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat
(2) dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 201
1. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190
ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal
199, dan Pasal 200 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara
dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan
terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3
(tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal
190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196 , Pasal 197, Pasal 198,
Pasal 199, dan Pasal 200.

2.
a)
b)

Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1),


korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
pencabutan izin usaha; dan/atau
pencabutan status badan hukum.

UU NOMOR 44 TAHUN 2009


TENTANG RUMAH SAKIT

UU NOMOR 44 TAHUN 2009 TENTANG RUMAH


SAKIT
Pasal 13
(1) Tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran di Rumah Sakit
wajib memiliki Surat Izin Praktik sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
(2) Tenaga kesehatan tertentu yang bekerja di Rumah Sakit wajib
memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(3) Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit harus
bekerja sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan Rumah
Sakit, standar prosedur operasional yang berlaku, etika profesi,
menghormati hak pasien dan mengutamakan keselamatan pasien.
(4) Ketentuan mengenai tenaga medis dan tenaga kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 29
(1) Setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban :
memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi,
dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan
standar pelayanan Rumah Sakit;
memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan
kewajiban pasien;
menghormati dan melindungi hak-hak pasien;

(2) Pelanggaran atas kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) dikenakan sanksi admisnistratif berupa:
a. teguran;
b. teguran tertulis; atau
c. denda dan pencabutan izin Rumah Sakit.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban Rumah Sakit


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri.

Pasal 32
Setiap pasien mempunyai hak:
memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa
diskriminasi;
memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan
standar profesi dan standar prosedur operasional;
memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien
terhindar dari kerugian fisik dan materi;
mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang
didapatkan;
menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah
Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan
standar baik secara perdata ataupun pidana; dan
mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan
standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Pasal 46
Rumah Sakit bertanggung jawab secara
hukum terhadap semua kerugian yang
ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan di Rumah Sakit.

Aspek medikolegal
Aspek medikolegal hubungan antara dokter-pasien ada dua
hal yang perlu mendapat perhatian yaitu:
1. Komunikasi antara dokter dengan pasien
2. Persetujuan tindakan kedokteran. yang sering mengundang
timbulnya masalah antara dokter dan pasien.

Prosedur mediko-legal
Prosedur mediko-legal adalah tata-cara atau prosedur
penatalaksanaan dan berbagaiaspek yang berkaitan
pelayanan kedokteranuntuk kepentingan hukum untuk
kepentingan hukum.
Secara garis besar prosedur mediko-legal mengacu
kepada peraturan perundangundangan yang berlaku di
Indonesia, dan pada beberapa bidang juga mengacu
kepada sumpah dokter dan etika kedokteran

Lingkup prosedur medikolegal


pengadaan visum et repertum,
tentang pemeriksaan kedokteran terhadap tersangka.
pemberian keterangan ahli pada masa sebelum
persidangan dan Pemberian keterangan ahli di
persidangan dan pemberian keterangan ahli di dalam
persidangan
kaitan visum et repertum dengan rahasia kedokteran
tentang penerbitan Surat Keterangan Kematian dan
surat keterangan medik
tentang fitness / kompetensi pasien untuk menghadapi
pemeriksaan penyidik

Individu vs publik
Publik diwakili penyidik,
penuntut umum
Pembuktian : P.U
Penengah : hakim,
sistem juri
UU: KUHAP,KUHP,dll
Kebenaran : materiel
Sanksi : mati, SH,
penjara, sita , denda

PERDATA

PIDANA

PIDANA vs PERDATA

Individu vs individu
Dapat diwakili pengacara
Pembuktian : penggugat
Penengah : Hakim
Kebenaran : formil
UU: KuhPer,KUHD,DLL
Sanksi: ganti rugi,
rehabilitasi

Medikolegal

Kriteria Pidana :
Melakukan penipuan terhadap pasien ( pasal 378 KUHP )
Pembuatan surat keterangan palsu ( pasal 263 dan 267 KUHP )
Kesengajaan membiarkan penderita tidak tertolong ( pasal 349 KUHP )
Tidak memberikan pertolongan pada orang yang berada dalam bahaya ( pasal 304
KUHP )
Euthanasia ( pasal 344 KUHP )
Melakukan pengguguran atau abortus provokatus ( pasal 346-349 KUHP )
Pangeniayaan ( pasal 351 KUHP ) dan luka berat ( pasal 90 KUHP )
Kealpaan sehingga mengakibatkan luka luka berat pada diri orang lain ( pasal
359 -361 KUHP )
Pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran ( pasal 322 KUHP )
Penyerangan seksual ( pasal 284 294 KUHP )
Pelanggaran kesopanan ( pasal 290 ayat 1, pasal 294 ayat 1, pasal 285 dan 286
KUHP )
Memberikan atau menjual obat palsu ( pasal 386 KUHP )

Kriteria perdata:
Pasal 1365 KUHPdt : penimbul ganti rugi atas diri orang
lainpelaku harus bayar ganti rugi
Pasal 1366 KUHPdt:selain penimbul atau kesengajaan, juga akibat
kelalaian atau kurang berhati-hati.
Pasal 1367 KUHPdt: majikan ikut bertanggung jawab atas
perbuatan orang dibawah pengawasannya
Pasal 1338 KUHPdt : wan prestasi ganti rugi
Pasal 58 UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan : ganti rugi
Pasal 66 UU No.29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran : ganti
rugi
Doktrin perbuatan melawan hukum seperti tindakan tanpa
informed consent, salah orang, produk liability

PELANGGARAN ETIK KEDOKTERAN

PELANGGARAN ETIK KEDOKTERAN


Hal-hal dibawah ini juga termasuk melanggar etika, dan tidak selayaknya
dilakukan oleh dokter:
Menjual nama.
Dengan memasang papan praktek disuatu tempat , termasuk
disuatu rumah sakit, padahal dokter yang bersangkutan jarang
atau bahkan tidak pernah datang ketempat atau rumah sakit
tersebut, sedangkan yang menjalankan praktek sehari-harinya
adalah dokter lain bahkan dokter yang tidak mempunyai keahlian
yang sama dengan dokter yang namanya tertera pada papan
praktek.
Mengeksploitasi dokter lain.
Misalnya dokter yang dalam keadaan dibawah perintah seperti
residen, bawahan dalam kesatuan, dimana pembagian imbalan
jasa tidak adil.

PELANGGARAN ETIK KEDOKTERAN


Sebuah contoh pelanggaran etik, dapat dicermati dari sebuah pengaduan
seorang kerabat pasien yang menulis surat kepada Organisasi IDI, yang
disertai dengan bukti-bukti yang cukup valid.
Pelanggaran dibidang etik kedokteran yang serius sering disebut
sebagai Serious Professional Misconduct
Umumnya tingkah laku dokter yang melanggar etika kedokteran yang
dapat digolongkan dalam Serious Professional Misconduct, dapat
dibedakan dalam 4 kelompok yaitu:
Akibat kelalaian atau ketidak pedulian dokter yang menyangkut tanggung jawabnya
terhadap pasien dalam melakukan pengobatan.
Dokter menyalahgunakan kewenangan atau kepandaian
Sikap tindak dokter yang mendiskreditkan reputasi profesi medik.
Dokter yang mengiklankan diri, mempengaruhi pasien atau merendahkan kepandaian
dokter lain.
Pelanggaran profesi lainnya

PELANGGARAN ETIK KEDOKTERAN


Dinegara seperti Inggris, tingkah laku dokter yang
dianggap melanggar etik ini diperiksa oleh badan yang
disebut sebagai GMC (General Medical Council).
Keputusannya, diumumkan lengkap berikut data pribadi (nama,
spesialisasi, masalahnya, bersalah atau tidaknya, sanksi yang
dijatuhkan dan segala sesuatu yang berkenaan dengan sanksi
tersebut).

GMC di Inggris, berfungsi sebagai Badan Peradilan Etik


dan Disiplin, yang di Indonesia mirip dengan Konsil
Kedokteran dengan Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia, yang dibentuk sesuai dengan
Amanat Undang-Undang No. 29/2004 tentang Praktik
Kedokteran.

PELANGGARAN ETIK KEDOKTERAN

Beberapa perbuatan yang sering dilakukan oleh dokter dan termasuk


pelanggaran etik, antara lain:
Menentukan tarip yang tidak wajar dan tidak melihat kemampuan
pasien, termasuk disini ialah Menarik imbalan jasa dari Sejawat dokter.
Memberi resep kepada pasien berdasar sponsor atau semacamnya dari
perusahaan farmasi, baik langsung maupun melalui representatifnya.
Melakukan tindakan medik yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasien
ataupun tidak perlu, termasuk untuk diagnostik maupun terapeutik.
Menganjurkan atau menerima pasien datang berulang-ulang tanpa
indikasi yang jelas.
Merujuk pasien ke Dokter Ahli tertentu atau Klinik/Rumah Sakit tertentu
karena mendapat imbalan jasa dari tempat merujuk.
Langsung mengambil alih pasien tanpa permintaan atau persetujuan
sejawatnya.

PELANGGARAN ETIK KEDOKTERAN


Memuji diri sendiri dihadapan pasien.
Menjelekkan atau mencela sejawat yang lain didepan pasien,
termasuk memberikan second opinion tanpa memperhatikan
kesejawatan.
Menceritakan dan membuka rahasia keadaan penyakit pasien,
walaupun sudah meninggal sekalipun, kepada orang lain yang tidak
berhak, termasuk kepada sejawat yang tidak menangani pasien
tersebut, tanpa persetujuan pasien.
Berusaha menyingkirkan sejawat dengan berbagai cara maupun
intimidasi karena khawatir akan mengurangi jumlah pasien yang
berobat kepadanya.
Mengabaikan kesehatan sendiri misalnya dengan sehari menerima
pasien diluar batas kewajaran dan melakukan sejumlah operasi yang
menyita seluruh waktu dan tenaga sepanjang hari.

PELANGGARAN ETIK KEDOKTERAN


Pelanggaran etik murni:
Menarik imbalan yang tidak wajar.
Mengambil alih pasien tanpa persetujuan sejawat.
Memuji diri sendiri dihadapan pasien.
Bekerja diluar batas kewajaran.
Pelanggaran etika yang sekaligus pelanggaran hukum (pelanggaran
etiko legal):
Pelayanan dokter dibawah standar.
Menerbitkan surat keterangan dokter yang tidak sesuai.
Membuka rahasia jabatan.
Pelecehan seksual terhadap pasien.
Melakukan abortus provokatus atau pengguguran kandungan.

Perbuatan melanggar hukum


Suatu kewajiban yg ditentukan oleh UU &
diatur di Negara kita dlm KUH Perdata:
Pasal 1365
Setiap perbuatan melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian kepada
orang lain, mewajibkan orang yg krn kesalahannya menyebabkan kerugian
itu, untuk mengganti kerugian tersebut.

Pasal 1366
Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan
oleh tindakannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena
kelalaian atau kurang hati-hati.

Pasal 1367
Setiap orang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan
oleh tindakannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan oleh
tindakan orang-orang yang di bawah pengawasannya.

Anda mungkin juga menyukai