Pemicu 2 Sheila Etika
Pemicu 2 Sheila Etika
Sheila Jessica
405100047
INFORMED CONSENT
Informed Consent
Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29
th 2004 Pasal 45 serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran
KKI tahun 2008, Informed Consent merupakan persetujuan
tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga
terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap
mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap
pasien tersebut
Menurut Lampiran SKB IDI No. 319/P/BA./88 dan Permenkes no
585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis
Pasal 4 ayat 2 menyebutkan dalam memberikan informasi kepada
pasien / keluarganya, kehadiran seorang perawat / paramedik
lainnya sebagai saksi adalah penting.
Bentuk
Implied consent (tersirat/ dianggap telah
diberikan)
Keadaan normal
Keadaan darurat
Expressed consent (dinyatakan)
Lisan
Tulisan
INFORMASI
Permenkes no. 585 tahun 1989 tentang PTM dokter harus
menyampaikan informasi/ penjelasan kepada pasien/keluarga
diminta/ tidak diminta
PERSETUJUAN
Harus didapat setelah pasien mendapat informasi yang adekuat
PERMENKES no. 585 tahun 1989 tentang persetujuan tindakan medik
Yang berhak memberikan persetujuan : pasien yang sudah dewasa (> 21
tahun/ sudah menikah) & dalam keadaan sehat mental
banyak perjanjian tindakan medik, penandatanganan persetujuan sering
tidak dilakukan oleh pasien sendiri, tetapi oleh keluarga pasien
(berkaitan dengan kesangsian terhadap kesiapan mental pasien untuk
menerima penjelasan tindakan operasi dan tindakan medis yang invasif
& keberanian menandatangani surat)
Untuk pasien dibawah umur 21 tahun, dan pasien penderita gangguan
jiwa yang menandatangani adalah orang tua/ wali/ keluarga terdekat/
induk semang
Untuk pasien dalam keadaan tidak sadar/ pingsan & tidak didampingi
keluarga terdekat & secara medik dalam keadaan gawat darurat yang
memerlukan tindakan medis segera tidak diperlukan persetujuan
dari siapapun (pasal 11 bab IV PERMENKES No. 585 Tahun 1989)
BENTUK PERSETUJUAN
1. Persetujuan tertulis
2. Persetujuan lisan
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang
diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah
mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan
terhadap pasien.
2.
3.
4.
5.
6.
Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung,
anak-anak kandung, saudara-saudara kandung atau
pengampunya.
Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang selanjutnya
disebut tindakan kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa
preventif, diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan
oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien.
Tindakan invasif adalah suatu tindakan medis yang langsung dapat
mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh pasien.
Tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi adalah
tindakan medis yang berdasarkan tingkat probabilitas tertentu,
dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan.
Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi
dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau
kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui
oleh pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
7.
Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut
peraturan perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak
terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak
mengalami kemunduran perkembangan (retardasi) mental dan tidak
mengalami penyakit mental sehingga mampu membuat keputusan
secara bebas.
BAB II
PERSETUJUAN DAN PENJELASAN
1.
2.
3.
Pasal 2
Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus
mendapat persetujuan.
Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara
tertulis maupun lisan.
Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah
pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan
kedokteran dilakukan.
1.
2.
3.
4.
5.
Pasal 3
Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus
memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang
berhak memberikan persetujuan.
Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dengan
persetujuan lisan.
Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat
dalam bentuk pernyataan yang tertuang dalam formulir khusus
yang dibuat untuk itu.
Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan
dalam bentuk ucapan setuju atau bentuk gerakan menganggukkan
kepala yang dapat diartikan sebagai ucapan setuju.
Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dianggap meragukan, maka dapat dimintakan
persetujuan tertulis.
1.
2.
3.
Pasal 4
Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau
mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran.
Keputusan untuk melakukan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diputuskan oleh dokter atau dokter gigi dan dicatat di dalam
rekam medik.
Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera
mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat.
Pasal 5
Persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh
yang memberi persetujuan sebelum dimulainya tindakan.
Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dilakukan secara tertulis oleh yang memberi persetujuan.
Segala akibat yang timbul dari pembatalan persetujuan tindakan kedokteran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) menjadi tanggung jawab yang
membatalkan persetujuan.
Pasal 6
Pemberian persetujuan tindakan kedokteran tidak menghapuskan
tanggung gugat hukum dalam hal terbukti adanya kelalaian dalam
melakukan tindakan kedokteran yang mengakibatkan kerugian pada
pasien.
Bagian Kedua
Penjelasan
Pasal 7
1. Penjelasan tentang tindakan kedokteran harus diberikan langsung
kepada pasien dan/atau keluarga terdekat, baik diminta maupun
tidak diminta.
2. Dalam hal pasien adalah anak-anak atau orang yang tidak sadar,
penjelasan diberikan kepada keluarganya atau yang mengantar.
3.
a)
b)
c)
d)
e)
f)
Pasal 8
1. Penjelasan tentang diagnosis dan keadaan kesehatan pasien dapat meliputi :
a) Temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis hingga saat tersebut;
b) Diagnosis penyakit, atau dalam hal belum dapat ditegakkan, maka
sekurangkurangnya diagnosis kerja dan diagnosis banding;
c) Indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan dilakukannya tindakan
kedokteran;
d) Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan tindakan.
3.
a)
b)
c)
4.
a)
b)
c)
Pasal 9
1. Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus diberikan
secara lengkap dengan bahasa yang mudah dimengerti atau cara
lain yang bertujuan untuk mempermudah pemahaman.
2. Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dan
didokumentasikan dalam berkas rekam medis oleh dokter atau
dokter gigi yang memberikan penjelasan dengan mencantumkan
tanggal, waktu, nama, dan tanda tangan pemberi penjelasan dan
penerima penjelasan.
3. Dalam hal dokter atau dokter gigi menilai bahwa penjelasan
tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau
pasien menolak diberikan penjelasan, maka dokter atau dokter gigi
dapat memberikan penjelasan tersebut kepada keluarga terdekat
dengan didampingi oleh seorang tenaga kesehatan lain sebagai
saksi.
1.
2.
3.
4.
1.
2.
Pasal 10
Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 diberikan oleh dokter atau
dokter gigi yang merawat pasien atau salah satu dokter atau dokter gigi dari
tim dokter yang merawatnya.
Dalam hal dokter atau dokter gigi yang merawatnya berhalangan untuk
memberikan penjelasan secara langsung, maka pemberian penjelasan harus
didelegasikan kepada dokter atau dokter gigi lain yang kompeten.
Tenaga kesehatan tertentu dapat membantu memberikan penjelasan sesuai
dengan kewenangannya.
(4) Tenaga kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah
tenaga kesehatan yang ikut memberikan pelayanan kesehatan secara
langsung kepada pasien.
Pasal 11
Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran,
dokter yang akan melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan.
Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan dasar daripada persetujuan.
Pasal 12
1. Perluasan tindakan kedokteran yang tidak terdapat
indikasi sebelumnya, hanya dapat dilakukan untuk
menyelamatkan jiwa pasien.
2. Setelah perluasan tindakan kedokteran sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan, dokter atau
dokter gigi harus memberikan penjelasan kepada
pasien atau keluarga terdekat.
BAB III
YANG BERHAK MEMBERIKAN PERSETUJUAN
Pasal 13
1. Persetujuan diberikan oleh pasien yang
kompeten atau keluarga terdekat.
2. Penilaian terhadap kompetensi pasien
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh dokter pada saat diperlukan
persetujuan.
BAB IV
KETENTUAN PADA SITUASI KHUSUS
Pasal 14
Tindakan penghentian/penundaan bantuan hidup
(withdrawing/withholding life support) pada seorang pasien
harus mendapat persetujuan keluarga terdekat pasien.
Persetujuan penghentian/penundaan bantuan hidup oleh
keluarga terdekat pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan setelah keluarga mendapat penjelasan dari tim
dokter yang bersangkutan.
Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
diberikan secara tertulis.
Pasal 15
Dalam hal tindakan kedokteran harus
dilaksanakan sesuai dengan program
pemerintah dimana tindakan medik tersebut
untuk kepentingan masyarakat banyak, maka
persetujuan tindakan kedokteran tidak
diperlukan.
BAB V
PENOLAKAN TINDAKAN KEDOKTERAN
1.
2.
3.
4.
Pasal 16
Penolakan tindakan kedokteran dapat dilakukan oleh pasien
dan/atau keluarga terdekatnya setelah menerima penjelasan
tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan.
Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dilakukan secara tertulis.
Akibat penolakan tindakan kedokteran sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) menjadi tanggung jawab pasien.
Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak memutuskan hubungan dokter dan pasien.
BAB VI
TANGGUNG JAWAB
Pasal 17
1. Pelaksanaan tindakan kedokteran yang telah mendapat
persetujuan menjadi tanggung jawab dokter atau dokter gigi
yang melakukan tindakan kedokteran.
2. Sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab atas
pelaksanaan persetujuan tindakan kedokteran.
BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
1.
2.
1.
2.
Pasal 18
Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan pengawasan dengan melibatkan
organisasi profesi terkait sesuai tugas dan fungsi masing-masing.
Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan
untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
Pasal 19
Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, Menteri, Kepala Dinas
Kesehatan Propinsi, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat
mengambil tindakan administratif sesuai dengan kewenangannya masingmasing
Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
teguran lisan, teguran tertulis sampai dengan pencabutan Surat Ijin Praktik
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, maka Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 585/MENKES/PER/IX/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medik dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 21
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang rnengetahuinya, rnemerintahkan pengundangan
Peraturan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
Rahasia Kedokteran
Pasal 48
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan
praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia
kedokteran.
(2) Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk
kepentingan kesehatan pasien,nmemenuhi permintaan
aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan
hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan
ketentuan perundangundangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran
diatur dengan Peraturan Menteri.
ETIKA BERKOMUNIKASI
Dalam hubungan dokter-pasien, komunikasi memiliki peranan
penting atau awal dan bagian dari proses pengobatan
Berbagai tindakan dokter yang tidak memuaskan pasien,
menyebabkan pasien menuntut dokter karena dugaan
malpraktik itu semua karena adanya masalah dalam
berkomunikasi dokter-pasien
Suatu etika berkomunikasi adalah keramahan yang wajar &
tidak dibuat-buat
Komunilkasi yang baik merupakan salah satu cara untuk
tercapainya pelayanan kedokteran yang efektif
Pedoman
Honorarium dokter disesuaikan dengan kemampuan pasien,
dan disesuaikan dengan apa yang telah dokter berikan kepada
pasien itu sendiri.
Honorarium di luar dari yang biasa dilakukan terhadap pasien
yang lain, hendaknya dikomunikasikan terlebih dahulu dengan
pasien tersebut, sekaligus memberikan penjelasan dengan
KEBERHASILAN PENYAMPAIAN
INFORMASI YG DIPENGARUHI OLEH :
Keterampilan berkomunikasi
Profesionalisme seorang dokter
Pengetahuan dan kemampuan analisis
Ahlak atau budi pekerti
Kecerdasan emosi
Kecerdasan spiritual
Protokol
S SETTING UP interview
P assessing the patients PERCEPTION
I obtaining patients INVITATION
K giving KNOWLEDGE and information to the
patient
E adressing the patients EMOTIONS with
emphatic responses
S STRATEGY AND SUMMARY
MALPRAKTIK
Praktik kedokteran yang salah atau tidak sesuai dengan
standar profesi atau standar prosedur operasional.
MALPRAKTEK MEDIK
Kelalaian seorang dokter untuk
mempergunakan tingkat keterampilan dan
ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan
dalam mengobati pasien atau orang yang
terluka menurut ukuran di lingkungan yang
sama.
Malpractice
Medical
malpractice
Profesi lain
Ethical
malpractice
Yuridical
malpractice
Criminal
malpractice
Civil
malpractice
Administrative
malpractice
CRIMINAL MALPRACTICE
Terjadi bila seorang dokter menangani suatu
kasus telah melanggar hukum dan
menyebabkan dia dituntut oleh negara.
Pada Criminal Malpractice, tanggung
jawabnya bersifat individual dan personal.
CIVIL MALPRACTICE
Civil Malpractice adalah tipe malpractice dimana
dokter karena pengobatannya dapat mengakibatkan
pasien meninggal atau luka tetapi dalam waktu yang
sama tidak melanggar hukum pidana.
Sementara negara tidak dapat menuntut secara
pidana, tetapi pasien atau keluarganya dapat
menggugat dokter secara perdata untuk
mendapatkan uang sebagai ganti rugi. Pada Civil
Malpractice tanggung gugat dapat bersifat
individual atau korporasi.
ADMINISTRATIVE MALPRACTICE
Di dalam UU RI No. 29 Tahun 2004 dan didalam
Permenkes RI No. 1419/Menkes/Per/X/2005. Dijelaskan
bahwa seorang dokter yang praktik harus punya Sertifikat
Kompetensi, Surat Tanda Registrasi, dan Surat Ijin Praktik
kalau seorang dokter tidak mempunyainya selain dokter
mendapat sanksi pidana, sanksi perdata juga sanksi
administratif.
KELALAIAN
Sikap kurang hati-hati, yaitu tidak melakukan
apa yang seseorang dengan sikap hati-hati
melakukannya dengan wajar, atau sebaliknya
melakukan apa yang seseorang dengan sikap
hati-hati tidak akan melakukannya dalam
situasi tersebut
Diartikan pula dengan melakukan tindakan
kedokteran dibawah standar pelayanan medik
DAMAGES
CEDERA, MATI ATAU KERUGIAN
DIRECT CAUSALSHIP
HUBUNGAN SEBAB-AKIBAT
MALPRAKTEK
INTENTIONAL (secara sadar)
PROFESSIONAL MISCONDUCTS
NEGLIGENCE
MALFEASANCE, MISFEASANCE, NONFEASANCE
LACK OF SKILL
DI BAWAH STANDAR KOMPETENSI
DI LUAR KOMPETENSI
Intentional
Penahanan pasien
Buka rahasia kedokteran tanpa hak
Aborsi illegal
Euthanasia
Keterangan palsu
Praktek tanpa ijin/tanpa kompetensi
Sengaja tidak mematuhi standar
LACK OF SKILL
Kompentensi kurang atau diluar kompetensi /
kewenangan
Sering menjadi penyebab eror
Sering dikaitkan dengan kompetensi institusi /
sarana
Kadang dapat dibenarkan pada situasi kondisi
lokal tertentu
ASPEK HUKUM
Perumusan malpraktek / kelalaian medik yang tercantum pada
UU No. 6 tahun 1963 pasal 11 b:
Dengan tidak mengurangi ketentuan ketentuan di dalam
KUHP dan perundang - undangan lain, maka terhadap
tenaga kesehatan dapat dilakukan tindakan administratif
dalam hal:
a) melalaikan kewajiban (tidak melakukan sesuatu yang
seharusnya dilakukan)
b) melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh
diperbuat oleh seorang tenaga kesehatan, baik
mengingat sumpah jabatanya, maupun mengingat
sumpah sebagai tenaga kesehatanya (melakukan
sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan)
TUNTUTAN
Penggugat harus dapat membuktikan adanya 4
unsur berikut :
1. Adanya suatu kewajiban bagi dokter terhadap
pasien
2. Dokter telah melanggar standar pelayanan medik
yang lazim dipergunakan
3. Penggugat telah menderita kerugian yang dapat
dimintakan ganti ruginya
4. Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh
tindakan dibawah standar
Penanganan Malpraktek
Dalam etik sebenarnya tidak ada batas-batas yang jelas, antara
boleh atau tidak, oleh karena itu kadang kala sulit memberikan
sanksi-sanksinya
Di negara-negara maju terdapat Dewan Medis (Medical
Council) yang bertugas melakukan pembinaan etik profesi dan
menanggulangi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan
terhadap etik kedokteran
Di Indonesia terdapat :
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) masalah
etika murni
Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Etik Kedokteran
(P3EK) masalah yang tidak murni etika
MKEK
cabang
P3EK propinsi
P3EK
pusat
POLISI
P3EK propinsi
P3EK
pusat
MKEK
cabang
KOMPETENSI DOKTER
Elemen-elemen kompetensi
Landasan kepribadian
Penguasaan ilmu dan keterampilan
Kemampuan berkarya
Sikap dan perilaku dalam berkarya menurut tingkat
keahlian berdasarkan ilmu dan keterampilan yang
dikuasai
Pemahaman kaidah berkehidupan masyarakat sesuai
dengan keahlian dalam berkarya.
Pengguna
kerangka acuan utama bagi Departemen Kesehatan
maupun Dinas Kesehatan Propinsi ataupun
Kabupaten dalam pengembangan sumber daya
manusia kesehatan, dalam hal ini dokter
dapat memberikan pelayanan kesehatan yang baik.
Mahasiswa
mengarahkan proses belajarnya
UNDANG-UNDANG RI NO. 36
TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN
Pasal 6
Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan
yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan.
Pasal 7
Setiap orang berhak untuk mendapatkan
informasi dan edukasi tentang kesehatan yang
seimbang dan bertanggung jawab.
Pasal 8
Setiap orang berhak memperoleh informasi
tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan
dan pengobatan yang telah maupun yang akan
diterimanya dari tenaga kesehatan.
BAGIAN KEDUA
KEWAJIBAN
Pasal 9
1. Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan,
mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya
2. Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pelaksanaannya meliputi upaya kesehatan
perseorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan
pembangunan berwawasan kesehatan.
Pasal 10
Setiap orang berkewajiban menghormati hak orang lain
dalam upaya memperoleh lingkungan yang sehat, baik
fisik, biologi, maupun sosial.
Pasal 11
Setiap orang berkewajiban berperilaku hidup sehat
untuk mewujudkan, mempertahankan, dan memajukan
kesehatan yang setinggi-tingginya.
Pasal 12
Setiap orang berkewajiban menjaga dan meningkatkan
derajat kesehatan bagi orang lain yang menjadi
tanggung jawabnya.
Pasal 13
1. Setiap orang berkewajiban turut serta dalam program
jaminan kesehatan sosial
2. Program jaminan kesehatan sosial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)diatur sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
Pasal 25
1. Pengadaan dan peningkatan mutu tenaga kesehatan
diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
dan/atau masyarakat melalui pendidikan dan/atau pelatihan.
2. Penyelenggaraan pendidikan dan/atau pelatihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab Pemerintah
dan pemerintah daerah.
3. Ketentuan mengenai penyelengaraan pendidikan dan/atau
pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
1. Pemerintah mengatur penempatan tenaga kesehatan untuk
pemerataan pelayanan kesehatan.
2. Pemerintah daerah dapat mengadakan dan mendayagunakan
tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan daerahnya.
Pasal 27
1. Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan
pelindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan
profesinya.
2. Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban
mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan yang dimiliki.
3. Ketentuan mengenai hak dan kewajiban tenaga kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 28
1. Untuk kepentingan hukum, tenaga kesehatan wajib
melakukan pemeriksaan kesehatan atas permintaan penegak
hukum dengan biaya ditanggung oleh negara.
2. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan
pada kompetensi dan kewenangan sesuai dengan bidang
keilmuan yang dimiliki.
Pasal 29
Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian
dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus
diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.
UPAYA KESEHATAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 46
Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya
bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan yang
terpadu dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan
perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat.
Pasal 47
Upaya kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan
dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh,
dan berkesinambungan.
Pasal 48
1. Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 47 dilaksanakan melalui kegiatan:
a) pelayanan kesehatan;
b) pelayanan kesehatan tradisional;
c) peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit;
d) penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan;
e) kesehatan reproduksi;
f) keluarga berencana;
g) kesehatan sekolah;
h) pelayanan kesehatan pada bencana;
i) pelayanan darah;
j) kesehatan gigi dan mulut;
Pasal 50
1. Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab
meningkatkan dan mengembangkan upaya kesehatan.
2. Upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sekurang-kurangnya memenuhi kebutuhan kesehatan dasar
masyarakat.
3. Peningkatan dan pengembangan upaya kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan
pengkajian dan penelitian.
4. Ketentuan mengenai peningkatan dan pengembangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui
kerja sama antar-Pemerintah dan antarlintas sektor.
Pasal 51
1. Upaya kesehatan diselenggarakan untuk mewujudkan
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi
individu atau masyarakat.
2. Upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) didasarkan pada standar pelayanan minimal
kesehatan.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan
minimal kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
PELAYANAN KESEHATAN
PARAGRAF KESATU
PEMBERIAN PELAYANAN
Pasal 52
1. Pelayanan kesehatan terdiri atas:
pelayanan kesehatan perseorangan; dan
pelayanan kesehatan masyarakat.
2. Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi kegiatan dengan pendekatan promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Pasal 53
1. Pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk
menyembuhkan penyakit dan memulihkan
kesehatan perseorangan dan keluarga.
2. Pelayanan kesehatan masyarakat ditujukan untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan serta
mencegah penyakit suatu kelompok dan
masyarakat.
3. Pelaksanaan pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus mendahulukan
pertolongan keselamatan nyawa pasien dibanding
kepentingan lainnya.
Pasal 54
1. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan
dilaksanakan secara bertanggung jawab,
aman, bermutu, serta merata dan
nondiskriminatif.
2. Pemerintah dan pemerintah daerah
bertanggung jawab atas penyelenggaraan
pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
3. Pengawasan terhadap penyelenggaraan
pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat.
Pasal 55
1. Pemerintah wajib menetapkan standar mutu
pelayanan kesehatan.
2. Standar mutu pelayanan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
PARAGRAF II
PERLINDUNGAN PASIEN
Pasal 56
(1) Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh
tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah
menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut
secara lengkap.
(2) Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak berlaku pada:
a) Penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular
ke dalam masyarakat yang lebih luas;
b) Keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau
c) Gangguan mental berat.
(3) Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 57
(1) Setiap orang berhak atas rahasia kondisi
kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan
kepada penyelenggara pelayanan kesehatan.
(2) Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi
kesehatan pribadi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal:
a.
b.
c.
d.
e.
Perintah undang-undang;
Perintah pengadilan;
Izin yang bersangkutan;
Kepentingan masyarakat; atau
Kepentingan orang tersebut.
Pasal 58
(1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap
seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau
penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian
akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan
kesehatan yang diterimanya.
(2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang
melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau
pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan
darurat.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 63
1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan
diselenggarakan untuk mengembalikan status kesehatan,
mengembalikan fungsi tubuh akibat penyakit dan/atau
akibat cacat, atau menghilangkan cacat.
2) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan
dilakukan dengan pengendalian, pengobatan, dan/atau
perawatan.
3) Pengendalian, pengobatan, dan/atau perawatan dapat
dilakukan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu
keperawatan atau cara lain yang dapat
dipertanggungjawabkan kemanfaatan dan keamanannya.
Pasal 64
1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan
kesehatan dapat dilakukan melalui transplantasi
organ dan/atau jaringan tubuh, implan obat
dan/atau alat kesehatan, bedah plastik dan
rekonstruksi, serta penggunaan sel punca.
2) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang
untuk dikomersialkan.
3) Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang
diperjualbelikan dengan dalih apapun.
Pasal 65
1) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh hanya
dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan
dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
2) Pengambilan organ dan/atau jaringan tubuh dari
seorang donor harus memperhatikan kesehatan
pendonor yang bersangkutan dan mendapat
persetujuan pendonor dan/atau ahli waris atau
keluarganya.
3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara
penyelenggaraan transplantasi organ dan/atau
jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 66
Transplantasi sel, baik yang berasal dari manusia maupun dari
hewan, hanya dapat dilakukan apabila telah terbukti
keamanan dan kemanfaatannya.
Pasal 67
1) Pengambilan dan pengiriman spesimen atau bagian organ
tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan serta dilakukan di
fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengambilan
dan pengiriman spesimen atau bagian organ tubuh
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 68
1) Pemasangan implan obat dan/atau alat
kesehatan ke dalam tubuh manusia hanya dapat
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan serta
dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan
tertentu.
2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara
penyelenggaraan pemasangan implan obat
dan/atau alat kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
PENYIDIKAN
Pasal 189
1. Selain penyidik polisi negara Republik Indonesia,
kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu di
lingkungan pemerintahan yang
menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan
juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana untuk melakukan penyidikan tindak
pidana di bidang kesehatan.
KETENTUAN PIDANA
Pasal 190
1. Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan
yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan
kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan
pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan
denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan
fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 191
Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan
kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) sehingga
mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau kematian
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan
denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 192
Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau
jaringan tubuh dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
Pasal 193
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan bedah plastik dan rekonstruksi
untuk tujuan mengubah identitas seseorang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 69 diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 194
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 195
Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan darah dengan dalih
apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 Ayat (3) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 196
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan
sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi
standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan,
dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat
(3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 197
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan
sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin
edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta
rupiah).
Pasal 198
Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk
melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
108 dipidana dengan pidana denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 199
1. Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau
memasukkan rokok ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dengan tidak mencantumkan peringatan kesehatan
berbentuk gambar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114
dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan dendan paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
2. Setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa rokok
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana denda paling
banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 200
Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian
air susu ibu eksklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat
(2) dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 201
1. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190
ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal
199, dan Pasal 200 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara
dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan
terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3
(tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal
190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196 , Pasal 197, Pasal 198,
Pasal 199, dan Pasal 200.
2.
a)
b)
Pasal 29
(1) Setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban :
memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi,
dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan
standar pelayanan Rumah Sakit;
memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan
kewajiban pasien;
menghormati dan melindungi hak-hak pasien;
Pasal 32
Setiap pasien mempunyai hak:
memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa
diskriminasi;
memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan
standar profesi dan standar prosedur operasional;
memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien
terhindar dari kerugian fisik dan materi;
mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang
didapatkan;
menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah
Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan
standar baik secara perdata ataupun pidana; dan
mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan
standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Pasal 46
Rumah Sakit bertanggung jawab secara
hukum terhadap semua kerugian yang
ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan di Rumah Sakit.
Aspek medikolegal
Aspek medikolegal hubungan antara dokter-pasien ada dua
hal yang perlu mendapat perhatian yaitu:
1. Komunikasi antara dokter dengan pasien
2. Persetujuan tindakan kedokteran. yang sering mengundang
timbulnya masalah antara dokter dan pasien.
Prosedur mediko-legal
Prosedur mediko-legal adalah tata-cara atau prosedur
penatalaksanaan dan berbagaiaspek yang berkaitan
pelayanan kedokteranuntuk kepentingan hukum untuk
kepentingan hukum.
Secara garis besar prosedur mediko-legal mengacu
kepada peraturan perundangundangan yang berlaku di
Indonesia, dan pada beberapa bidang juga mengacu
kepada sumpah dokter dan etika kedokteran
Individu vs publik
Publik diwakili penyidik,
penuntut umum
Pembuktian : P.U
Penengah : hakim,
sistem juri
UU: KUHAP,KUHP,dll
Kebenaran : materiel
Sanksi : mati, SH,
penjara, sita , denda
PERDATA
PIDANA
PIDANA vs PERDATA
Individu vs individu
Dapat diwakili pengacara
Pembuktian : penggugat
Penengah : Hakim
Kebenaran : formil
UU: KuhPer,KUHD,DLL
Sanksi: ganti rugi,
rehabilitasi
Medikolegal
Kriteria Pidana :
Melakukan penipuan terhadap pasien ( pasal 378 KUHP )
Pembuatan surat keterangan palsu ( pasal 263 dan 267 KUHP )
Kesengajaan membiarkan penderita tidak tertolong ( pasal 349 KUHP )
Tidak memberikan pertolongan pada orang yang berada dalam bahaya ( pasal 304
KUHP )
Euthanasia ( pasal 344 KUHP )
Melakukan pengguguran atau abortus provokatus ( pasal 346-349 KUHP )
Pangeniayaan ( pasal 351 KUHP ) dan luka berat ( pasal 90 KUHP )
Kealpaan sehingga mengakibatkan luka luka berat pada diri orang lain ( pasal
359 -361 KUHP )
Pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran ( pasal 322 KUHP )
Penyerangan seksual ( pasal 284 294 KUHP )
Pelanggaran kesopanan ( pasal 290 ayat 1, pasal 294 ayat 1, pasal 285 dan 286
KUHP )
Memberikan atau menjual obat palsu ( pasal 386 KUHP )
Kriteria perdata:
Pasal 1365 KUHPdt : penimbul ganti rugi atas diri orang
lainpelaku harus bayar ganti rugi
Pasal 1366 KUHPdt:selain penimbul atau kesengajaan, juga akibat
kelalaian atau kurang berhati-hati.
Pasal 1367 KUHPdt: majikan ikut bertanggung jawab atas
perbuatan orang dibawah pengawasannya
Pasal 1338 KUHPdt : wan prestasi ganti rugi
Pasal 58 UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan : ganti rugi
Pasal 66 UU No.29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran : ganti
rugi
Doktrin perbuatan melawan hukum seperti tindakan tanpa
informed consent, salah orang, produk liability
Pasal 1366
Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan
oleh tindakannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena
kelalaian atau kurang hati-hati.
Pasal 1367
Setiap orang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan
oleh tindakannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan oleh
tindakan orang-orang yang di bawah pengawasannya.