Anda di halaman 1dari 15

Pendahuluan

BAB 1

PENDAHULUAN
1. Rumusan Masalah1

etelah reformasi politik dimulai sejak 21 Mei 1998 bersamaan


dengan kejatuhan rezim Soeharto, ada upaya-upaya meliberalisasi
pendidikan di Indonesia. Tapi karena cara-cara kerja dari tangantangan yang tidak kelihatan itu sangat halus, maka kecenderungan
liberalisasi pendidikan itu tidak mudah terbaca oleh masyarakat umum.
Tahu-tahu masyarakat berada dalam satu perangkap yang membuat
dirinya tidak dapat mengakses pendidikan, baik dari pendidikan dasar
sampai pendidikan tinggi. Perguruan Tinggi Negeri (PTN), seperti
Universitas Gadjah Mada (UGM) yang pada tahun 1982 dapat diakses
oleh anak orang miskin karena hanya membayar Rp.18.000,- per
semester untuk jurusan sosial dan Rp. 24.000,- untuk jurusan eksakta
(US$1 = Rp. 900), sekarang tidak dapat diakses lagi oleh orang seperti

Materi dalam rumusan masalah ini pernah dibawakan di beberapa forum diskusi
bertema menolak liberalisasi pendidikan, di antaranya adalah diskusi dengan
para mahasiswa dan aktivis di: Lampung, Jakarta, Bandung, Yogyakarta,
Surabaya, dan Makasar.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Tirani Kapital dalam Pendidikan

kami dalam kondisi 1982. Hal itu karena salah satu hambatan utamanya
adalah biaya pendidikan yang terlalu tinggi dan tidak terjangkau oleh
masyarakat golongan menengah ke bawah. Kasus yang sama terjadi di
Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut
Pertanian Bogor (IPB), Universitas Airlangga (UNAIR), dan Universitas
Sumatera Utara (USU) yang sudah diprivatisasi atau diswastanisasi
dalam bentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Masyarakat tidak
tahu kronologisnya, tiba-tiba mereka hanya merasakan bahwa uang
sekolah dan kuliah menjadi amat sangat mahal sekali (perlu tekanan
dengan bahasa hiperbola), dan tidak terjangkau bagi golongan menengah
ke bawah.
Gerakan ke arah liberalisasi pendidikan itu tidak mudah terbaca
oleh publik karena menumpang gerakan demokratisasi yang sedang
diusung oleh para aktivis pro-demokrasi, sehingga kesannya selalu baik.
Bahwa berkurangnya campur tangan pemerintah dalam pendidikan itu
akan menumbuhkan otonomi, demokrasi, dan kemandirian lembagalembaga pendidikan. Tapi implikasi negatif dari berkurangnya campur
tangan pemerintah tersebut tidak pernah disebutkan kepada publik,
yang diperkenalkan kepada publik hanya sisi baiknya saja. Padahal
bagaimanapun semua itu terdapat campur tangan kapital yang memiliki
kepentingan liberalisasi di banyak bidang, misalnya Proyek
Pengembangan Relevansi dan Efisiensi Pendidikan Tinggi, yang salah
satu dari indikator utamanya adalah lolosnya Rancangan UndangUndang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) paling lambat tahun
2010. Dalam proyek tersebut Bank Dunia menekankan bahwa
perguruan tinggi yang secara efektif otonom antara lain harus dapat
mengelola keuangan secara independen, mengatur sumber daya manusia
secara mandiri, dan mampu menggalang cukup dana.2
2

Lihat Dokumen Bank Dunia, Project Appraisal Document on a Proposed


Loan in the Amount of US$50.00 million and a Proposed Credit of SDR

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Pendahuluan

Pada tingkat perguruan tinggi, awal liberalisasi pendidikan itu


dimulai dengan privatisasi3 empat PTN terkemuka, yaitu UI, UGM,
ITB, dan IPB menjadi PT BHMN (Perguruan Tinggi Badan Hukum
Milik Negara) pada tahun 2000. Pembentukan BHMN ini diterima
oleh para senat guru besar atau kalangan akademisi di PTN masingmasing karena dibungkus dengan istilah otonomi kampus. Semua tidak
menyadari (atau memang betul-betul tidak tahu meskipun bergelar

19.85 million (US $50.00 million equivalent) to the Republic of Indonesia


for a Managing Higher Education for Relevance and Efficiency Project (IBRD
Loan No 4789-IND & IDA Loan No 4077-IND; Laporan No: 3 1644-ID), Human
Development Sector Unit, East Asia and Pacific Region, April 2005, http://
dikti.go.id/index.php?option=com_docman&task=cat_view&Itemid=57&gid=
64&orderby=dmdate_published, diakses tanggal 30 Desember 2008.
3
Pemerintah selalu menolak istilah privatisasi yang kami kembangkan, misalnya
yang sering dikemukakan oleh Dirjen Pendidikan Tinggi (1998-2007), Dr.
Sumantri Satryo Brojonegoro (Kompas, 26 Oktober 2004, Dirjen Dikti:BHMN
Tak Berarti Privatisasi). Namun demikian, seperti yang akan kami ulas di babbab selanjutnya di buku ini, fakta di lapangan menujukan bahwa Badan Hukum
Milik Negara (BHMN) secara nyata menjalankan praktek privatisasi dan
liberalisasi pendidikan. Privatisasi adalah istilah yang kami kembangkan sendiri
dengan mengacu pada pengertian dalam bidang perekonomian, yaitu
menyerahkan pengelolaan (pendidikan) kepada pihak swasta, bukan
pemerintah sebagai pelaku utamanya. Privatisasi juga dipahami sebagai proses
gradual untuk mentransformasikan metode pengelolaan Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) dan kekayaan publik lainnya agar dapat secara sehat
berkompetisi dengan sektor swasta. Lihat Baswir, Revrisond, Strategi
Penyehatan BUMN, dalam Baswir, Revrisond, Dilema Kapitalisme
Perkoncoan,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999; Untuk pembahasan khusus
mengenai privatisasi di bidang pendidikan, lihat Darmaningtyas, Stop
Privatisasi PTN, Kompas, 2 Agustus 2003, dan Dari BHMN ke RUU BHP
dalam Jurnal Ilmu Sosial Transformatif Wacana, edisi 19 Tahun VI, Desember
2005, hlm 149-168. Sedangkan liberalisasi di sini dalam pengertian penyerahan
pelayanan pendidikan pada mekanisme pasar.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Tirani Kapital dalam Pendidikan

profesor dan doktor) bahwa yang diotonomikan hanya sebatas pada


pencarian dana dan pengelolaan keuangan saja, sedangkan otonomi
kampus secara keseluruhan tidak diberikan. Terbukti, dalam hal
pemilihan pimpinan (Rektor) di PTN-PTN yang di-BHMN-kan itu
Menteri Pendidikan Nasional memegang 35% suara sendiri. Ini jumlah
suara yang sangat signifikan karena sangat menentukan seseorang dapat
terpilih atau tidak sebagai calon rektor, mengingat anggota Majelis Wali
Amanat (MWA) lainnya hanya memiliki satu suara saja.
Sikap kritis dan terbuka terhadap tindakan privatisasi itu
dikemukakan oleh hanya sedikit mahasiswa yang peduli pada nasib
bangsanya. Tapi mahasiswa yang menolak secara tegas kenaikan biaya
pendidikan sebagai bagian dari privatisasi PTN selalu dilakukan oleh
hanya sedikit mahasiswa dan tidak punya daya dobrak untuk
membatalkan kenaikan biaya pendidikan. Sedangkan penolakan secara
terbuka dari kalangan dosen, dilakukan oleh sejumlah dosen muda di
UGM melalui polemik di media lokal (Harian Kedaulatan Rakyat)
yang kemudian dibukukan dengan judul Macdonalisasi Pendidikan
Tinggi dan diterbitkan oleh Center for Critical Social Studies dan
Penerbit Kanisius pada 2002. Penolakan yang dilakukan oleh
mahasiswa itu, karena mereka merasakan dampak langsung dari
privatisasi, bahwa uang SPP tiba-tiba naik cukup signifikan. Kami
berikan tekanan pada hanya sedikit mahasiswa karena sebagian besar
lainnya yang tidak merasakan kesulitan membayar biaya kuliah, tidak
peduli dengan privatisasi. Sebaliknya mereka justru menikmatinya
karena keinginan untuk dapat kuliah di UI, UGM, IPB, dan ITB dapat
terpenuhi berkat dukungan kemampuan ekonomi mereka. Sebelumnya
mereka tidak dapat masuk ke sana, karena tidak lolos tes, meskipun
secara ekonomis mampu.
Jadi privatisasi beberapa PTN dalam bentuk BHMN tersebut
membawa perubahan persepsi masyarakat terhadap keberadaan PTNPTN yang bersangkutan. Sebelum ada privatisasi, masyarakat akan

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Pendahuluan

memberikan apresiasi pada mereka yang diterima di UI, UGM, ITB,


dan IPB sebagai orang pintar/cerdas, tapi pasca privatisasi, masyarakat
akan memberikan apresiasi atas dasar kemampuan ekonomi orang tua
sang mahasiswa. Sederhananya, sebelum diprivatisasi dalam bentuk
BHMN, orang akan berkomentar wah hebat ya!, tapi sekarang akan
berkomentar berapa bayarnya?, ketika mendengar seorang lulusan
SMA diterima di UI, UGM, ITB, IPB, dan PTN-PTN lain yang
diprivatisasi. Apresiasi yang diungkapkan secara spontan oleh
masyarakat itu menunjukkan bahwa memang telah terjadi pergeseran
pola penerimaan mahasiswa baru di beberapa PTN terkemuka yang
di-BHMN-kan yang dipengaruhi oleh besaran uang yang harus
dibayarkan oleh si calon mahasiswa. Pergeseran persepsi itu secara
perlahan juga membentuk watak baru bagi PT BHMN yang
bersangkutan, yaitu watak bisnis.
Perubahan persepsi tersebut tidak bersifat individual, melainkan
kolektif. Sebagai contoh, hal itu terlihat dari hasil jajak pendapat
Kompas edisi DIY mengenai persepsi masyarakat Jogja dan sekitarnya
terhadap keberadaan UGM. UGM yang dulu sangat dikenal sebagai
kampus ndeso atau kerakyatan, ternyata sudah mengalami pergeseran.
Hanya 47,03% saja dari 489 responden yang menjawab bahwa UGM
masih layak disebut sebagai universitas yang berpihak pada rakyat,
dan 74,85% menilai bahwa biaya pendidikan di UGM saat ini mahal.
Perubahan itu dirasakan mulai tahun akademik 2003/2004, ketika
diberlakukan Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik.4
Mengapa perubahan status dari PTN ke PT BHMN itu
menjadikan BHMN mahal? Hal itu tidak lepas dari dorongan ke arah
otonomi dan kemandirian BHMN. Menurut Satryo Soemantri
Brodjonegoro (Dirjen Pendidikan Tinggi 1998-2007), dalam

Baskara, Bima, Kompas edisi DIY, 16 Mei 2005.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Tirani Kapital dalam Pendidikan

wawancaranya dengan Koran Tempo mengatakan bahwa, BHMN


adalah status yang dalam hal ini perguruan tinggi bisa mengelola diri
sendiri secara mandiri. Mereka mempunyai kewenangan untuk membuat
keputusan dan mengambil kebijakan sendiri. Mereka hanya mengawasi
rambu-rambu yang berlaku, sedangkan pembiayaan tetap oleh
pemerintah, sebagian lagi mereka bisa mencari sendiri. Targetnya adalah
efisiensi pengelolaan perguruan tinggi negeri. Efisien di sini dalam segi
sumber daya manusia, fasilitas, cara kerja yang efektif dan akhirnya
peningkatan mutu. Kalau dia punya kewenangan, maka dia dapat
berbuat banyak untuk meningkatkan mutu.5
Konsekuensi dari privatisasi itu adalah subsidi untuk PT BHMN
berkurang atau tetap, tapi perguruan tinggi (PT) yang bersangkutan
diminta untuk meningkatkan kualitas dan pelayanannya kepada
mahasiswa. Akibatnya, mau tidak mau pimpinan PT yang bersangkutan
memobilisasi pencarian dana dari banyak sumber, dan salah satunya
yang paling mudah adalah dari mahasiswa. Maka sejak muncul
kebijakan BHMN, SPP di semua PTN terkemuka itu terus naik secara
signifikan setiap tahunnya (rata-rata di atas 25%) dan dikembangkanlah
teknik-teknik penerimaan mahasiswa baru yang melegitimasi pungutan
besar. Di UI misalnya, ada PPMM (Program Prestasi Minat Mandiri),
di UGM ada Ujian Masuk (UM), di IPB ada MUD (Mahasiswa Utusan
Daerah) dan MUA (Mahasiswa Utusan Alumni), sedangkan di ITB
ada PMBP (Penelusuran Minat, Bakat, dan Potensi). PPMM, UM,
PMBP, MUD, atau MUA itu semua adalah saringan calon mahasiswa
baru yang lebih banyak didasarkan pada besaran uang yang sanggup
dibayarkan oleh si calon mahasiswa. Semuanya itu di luar SPMB yang
merupakan saringan calon mahasiswa yang dilakukan secara reguler
bersama-sama PTN lain di seluruh Indonesia, tapi kuotanya hanya
semakin mengecil.
5

Koran Tempo, 6 Juni 2003.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Pendahuluan

Kecenderungan negara melepas tanggung jawab untuk membiayai


pendidikan tinggi itu telah berdampak makin sulitnya orang miskin untuk
mengakses pendidikan tinggi karena tidak mampu membayar uang
masuk maupun uang semesteran yang amat dan makin mahal. PT BHMN
akhirnya hanya menampung orang-orang kaya saja. Jumlah golongan
miskin di PTN semakin mengecil, sebaliknya jumlah golongan terkaya
makin membesar. Padahal, negara Indonesia adalah negara yang sedang
berkembang dan memerlukan orang-orang pintar dari seluruh pelosok
tanah air serta dari seluruh lapisan masyarakat (kaya miskin). Orangorang (kaya miskin) dari seluruh penjuru tanah air mestinya difasilitasi
agar dapat kuliah di PTN-PTN terkemuka sehingga mereka dapat
berkembang dan memajukan daerah masing-masing. Adalah menjadi
tugas negara untuk memfasilitasi warganya agar dapat bersekolah tinggi
di PTN-PTN terkemuka dengan biaya terjangkau. Bukan membuat
regulasi yang menyebabkan layanan pendidikan tinggi bermutu justru
semakin tidak terjangkau oleh segenap lapisan masyarakat di seluruh
penjuru tanah air.
Kita harus katakan secara jujur bahwa dalam hal akses
pendidikan, Rezim Orde Baru justru lebih peduli, karena Rezim Orde
Baru sudah membuat perencanaan agar angka partisipasi pendidikan
tinggi (orang berusia 19 24 tahun kuliah) pada tahun 2010 (dua tahun
lagi) mencapai 25%. Banyak orang seperti kami beruntung dapat kuliah
di PTN terkemuka karena biaya pendidikannya murah. Banyak pejabat
negara sekarang ini juga dapat kuliah di UI, UGM, IPB, ITB, dan PT
BHMN lainnya karena biaya kuliahnya terjangkau pada saat itu.
Seandainya kami lulus SMA di atas tahun 2000 dengan kondisi ekonomi
kami pada saat itu, jelas kami tidak dapat kuliah di UGM, UI, ITB,
atau IPB.
Oleh karena PTN-PTN terkemuka itu tidak dapat diakses oleh
orang miskin, maka PTN-PTN tersebut sebetulnya hanya mereproduksi
kelas elit yang eksklusif di satu pihak dan mereproduksi kemiskinan di

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Tirani Kapital dalam Pendidikan

pihak lain, serta melahirkan kesenjangan yang makin lebar antara si


kaya yang dapat kuliah di PT-PT ber-BHMN dengan si miskin yang
tidak dapat mengakses pendidikan sama sekali. Si kaya akan semakin
kaya karena setelah lulus kuliah akan memperoleh posisi yang mapan
dengan gaji dan fasilitas mapan pula, sedangkan si miskin akan semakin
miskin karena tidak mampu bersekolah, maka akhirnya tidak mampu
mengakses sumber daya ekonomi yang dapat meningkatkan taraf
hidupnya. Padahal, pendidikan harusnya memperpendek jurang ketidakadilan antara yang kaya dan yang miskin, sehingga sistem pendidikan
itu tidak menciptakan disintegrasi sosial maupun disintegrasi bangsa.
***
Pada tingkat SD-SMTA, kecenderungan liberalisasi itu ditandai
dengan pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang
implementasinya di lapangan ditandai dengan pembentukan Komite
Sekolah di mana peranan yang ditonjolkan adalah pada fungsi pencarian
dana untuk mengganti genteng yang bocor atau tembok yang rusak,
seperti yang diperlihatkan dalam iklan sosialisasi di televisi saat
menjelang pembentukan Komite Sekolah tahun 2002. Padahal, bila
meniru negara-negara lain yang telah menjalankan MBS, maka
tekanannya adalah pada demokratisasi praksis pendidikan dan sama
sekali tidak berkaitan dengan penggalian sumber-sumber pendanaan.
Di Amerika Serikat, Australia, atau Selandia Baru yang kita tiru MBSnya, peran Komite Sekolah adalah untuk mendorong terjadinya
demokratisasi penyelenggaraan pendidikan di tingkat sekolah, seperti
misalnya pemilihan kepala sekolah, penentuan seragam sekolah,
kurikulum, buku pelajaran, dan tata tertib di sekolah. Pada tingkat
provinsi maupun kabupaten/kota, untuk menciptakan demokratisasi
sistem pendidikan itu dibentuklah Dewan Pendidikan tingkat provinsi
maupun kabupaten/kota.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Pendahuluan

Di Indonesia, dikembangkan MBS, dan setiap kali pembicaraan


mengenai anggaran/dana selalu diminta melibatkan Komite Sekolah,
tapi kurikulum, buku pelajaran, seragam sekolah, sistem evaluasi, serta
peraturan-peraturan lainnya tetap dari pusat. Sedangkan pengangkatan
jabatan kepala sekolah otoritas (sewenang-wenang) bupati/walikota.
Jadi ada inkonsistensi di dalam pelaksanaan MBS. Hal yang menyangkut
hak dan otoritas selalu diklaim milik Pemerintah/Pemda, tapi setiap hal
yang menyangkut kewajiban, tugas Komite Sekolah.
Realitas di lapangann menunjukan bahwa Komite Sekolah lebih
banyak dijadikan tameng bagi Pemerintah/Pemda untuk menghadapi
tuntutan masyarakat terhadap perbaikan layanan pendidikan. Setiap
ada tuntutan perbaikan pendidikan dan menyangkut besaran pungutan
dana, Pemerintah/Pemda dengan mudah mengatakan bahwa Lho,
sekarang kan sudah ada Komite Sekolah, jadi dibicarakan bersama
mereka dong!. Atau kalau ada protes terhadap besarnya pungutan
selalu dimentahkan dengan mengatakan: Itu sudah disetujui oleh Komite
Sekolah. Tapi ketika ada tuntutan untuk melaksanakan Surat Keputusan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 162 tahun 2003 tentang
masa jabatan kepala sekolah hanya empat tahun dan dapat
diperpanjang maksimal dua tahun, bupati/walikota akan dengan tangkas
menyatakan bahwa pengangkatan kepala sekolah menjadi wewenang
bupati/walikota.
Keberadaan PT BHMN itu selama ini baru didasarkan pada
Peraturan Pemerintah (PP No. 152 155 Tahun 2000. Tapi lahirnya
UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU SPN) yang
dalam Pasal 53 UU SPN mengamanatkan pembentukan badan hukum,
maka hal itu dapat dipakai sebagai payung hukumnya. Pasal 53 UU
SPN itu menyatakan:
1. Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang
didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan
hukum pendidikan.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

10

Tirani Kapital dalam Pendidikan

2. Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat


(1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada
peserta didik.
3. Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara
mandiri untuk memajukan pendidikan.
4. Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan
undang-undang tersendiri.
Sedangkan pasal 54 UU SPN yang mengatur mengenai partisipasi
masyarakat menyatakan:
1. Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta
perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi,
pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam
penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan
pendidikan.
2. Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana,
dan pengguna hasil pendidikan
3. Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Bunyi pasal 53 di atas telah menjadi dasar bagi Pemerintah untuk
menyusun RUU BHP untuk menjadi Undang-undang secepatnya.
Sedangkan bunyi pasal 54 tersebut telah menjadi dasar bagi pembuatan
PP No. 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, serta RPP PPP
(Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Pendidikan).
Substansi yang menonjol dari RUU/UU BHP adalah pengelolaan
pendidikan oleh suatu badan hukum pendidikan (BHP) atau dengan
kata lain diprivatisasi, karena negara tidak lagi bertanggung jawab
sepenuhnya pada pendanaan pendidikan. Sedangkan substansi PP

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Pendahuluan

11

Pendanaan adalah menyangkut bagi beban antara masyarakat,


Pemerintah Daerah, dan Pemerintah dalam hal pendanaan pendidikan.
Demikian pula RPP PPP, posisinya akan memperkuat keberadaan UU
BHP, karena sejumlah pasal di dalamnya mengacu pada RUU BHP,
yang kemudian disahkan menjadi UU BHP. Ketiga produk hukum
tersebut dapat menjadi pelindung yang aman bagi negara untuk menolak
tuntutan masyarakat atas perbaikan pelayanan pendidikan karena
dengan mudah Pemerintah dapat mengatakan bukankah UU dan PP
sendiri mengatakan, dana pendidikan menjadi tanggung jawab bersama
antara Pemerintah, Pemda, dan masyarakat? Jawaban Pemerintah
tersebut secara legal sangat kuat sehingga masyarakat dibuat menjadi
tidak berkutik.
Atas dasar argumentasi semacam itulah maka UU BHP, PP
tentang Pendanaan, dan RPP PPP merupakan satu paket kebijakan
pendidikan yang harus ditolak mentah-mentah, tanpa tawar- menawar
(perbaikan pasal-pasal), karena ketiganya jelas-jelas berlawanan dengan
Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa salah satu tugas negara
adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan merupakan salah
satu alat untuk mencerdaskan bangsa. Penolakan terhadap RUU/UU
BHP dan (rancangan) peraturan lain yang liberalistik bukan didasarkan
pada persoalan teknis (bunyi rumusan pasal-pasal), tapi pada persoalan
filosofis, ideologis, dan budaya bahwa ruh RUU/UU BHP dan peraturan
lain yang amat liberalistik itu berlawanan dengan Pancasila dan UUD
1945. Siapa pun presiden maupun pimpinan pemerintahannya yang
mengesahkan RUU BHP menjadi UU dan peraturan lain yang liberalistik
itu berarti melanggar Pancasila dan UUD 1945.
Mengingat penulis tahu dan menyadari bahaya dari RUU/UU
BHP, PP tentang Pendanaan Pendidikan, serta RPP PPP terhadap
kehidupan berbangsa dan bernegara di masa mendatang, maka perlu
menuliskannya dalam bentuk buku sebagai alat untuk melakukan
pendidikan publik. Publik patut diberi tahu bahwa ketiga peraturan

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

12

Tirani Kapital dalam Pendidikan

tersebut akan sangat merugikan mereka sebagai warga negara, terutama


dalam menuntut hak-hak mereka atas pelayanan pendidikan yang baik.
Dengan mengetahui bahaya dari liberalisasi pendidikan tersebut,
diharapkan mereka akan ramai-ramai menolaknya, sebelum undangundang atau peraturan tersebut diimplementasikan. Penolakan dapat
dilakukan melakukan berbagai cara, seperti misalnya pembangkangan
sipil dengan tidak mau melaksanakan aturan tersebut, judicial review
ke Mahkamah Konstitusi untuk melakukan uji formil maupun materi
terkait dengan Pasal 31 UUD 1945 yang telah diamandemen, maupun
terus menolak sampai peraturan perundangan tersebut dicabut secara
resmi.
2. Tujuan Penulisan
Konsisten dengan uraian dalam perumusan masalah di atas, maka
buku ini sengaja ditulis dengan maksud dan tujuan untuk:
1. Bahan kampanye anti privatisasi dan liberalisasi pendidikan
yang digulirkan oleh pemerintah melalui UU BHP, PP
Pendanaan Pendidikan, PP PPP, maupun Perpres No. 76
dan 77 Tahun 2007.
2. Sebagai media untuk melakukan pendidikan publik agar
masyarakat paham akan hak-haknya sebagai warga Negara
untuk memperoleh layanan pendidikan gratis, dan sekaligus
menghindarkan mereka dari korban kebijakan pemerintah
yang keliru dalam bidang pendidikan. Masyarakat berhak
tahu bahwa beberapa kebijakan pemerintah dalam bidang
pendidikan itu akan merugikan masyarakat sendiri, terutama
golongan menengah ke bawah yang tidak dapat memperoleh
akses pendidikan dasar hingga tinggi.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Pendahuluan

13

3. Sebagai bentuk pernyataan sikap yang jelas dan tegas atas


penolakan penulis terhadap keberadaan RUU BHP, RPP
PPP, dan PP PP yang akan menyengsarakan bangsa Indonesia
di masa-masa mendatang dan melanggar konstitusi negara.
Sebagai intelektual jalanan (kalau boleh mengidentifikasikan
diri demikian), penulis punya tanggung jawab moral untuk
mengingatkannya dan perlu menyatakan sikapnya secara
tegas agar di masa depan tidak disalahkan oleh anak cucu di
negeri ini, sebagai orang yang tidak berbuat apa-apa untuk
melawan privatisasi dan liberalisasi pendidikan.
3. Sasaran dan Sistematika Penulisan
Sasaran penulisan buku ini adalah pembuat kebijakan pendidikan
(eksekutif maupun legislatif) agar mau mendengar aspirasi warga,
akademisi agar tidak mandul, guru dan mahasiswa agar berani dan kritis,
aktivis agar tidak partisan, ibu rumah tangga agar tidak terlena oleh
tayangan sinetron yang tidak bermutu, maupun warga pada umumnya
agar cerdas. Diharapkan setelah membaca buku ini pembuat kebijakan
menjadi cerdas dan bijak, akademisi menjadi kritis dan punya sikap,
guru menjadi pemberani dan tidak pengecut, mahasiswa dan aktivis
menjadi murni gerakannya, serta para ibu-ibu agar lebih peduli
memperjuangkan akses pendidikan dan kesehatan untuk anak-anaknya
daripada menonton sinetron yang membuat dirinya terbuai dalam mimpimimpi kosong dan manipulatif. Buku ini ingin menunjukkan bahwa
ternyata apa yang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR dengan
menyusun RUU BHP itu justru akan menghalangi hak warga untuk
memperoleh akses pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar hingga
Perguruan Tinggi.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

14

Tirani Kapital dalam Pendidikan

Adapun sistematika penulisan buku ini adalah sebagai berikut.


Pada Bab I Pendahuluan, memberikan gambaran singkat mengenai
permasalahan yang ditulis sekaligus juga penjelasan mengenai tujuan
penulisan buku ini. Bab II, membahas kerangka teoritik yang
melatarbelakangi terjadinya privatisasi dalam sektor pendidikan, bahwa
privatisasi dalam sektor pendidikan tidak berdiri sendiri, tapi merupakan
salah satu paket program neoliberal untuk memprivatisasi seluruh sektor
kehidupan masyarakat, terutama yang dapat dikapitalisasikan.
Pada Bab III diketengahkan konsep dan perubahan RUU BHP
maupun RPP PPP dan sinopsis dari PP No. 48 tahun 2008 tentang
Pendanaan Pendidikan, guna memberikan gambaran yang lebih jelas
mengenai isi dari RUU BHP hingga disahkan menjadi UU pada tanggal
17 Desember 2008, RPP PPP, dan PP PP, mengingat tidak setiap
pembaca mengikuti perkembangan percaturan kebijakan pendidikan
nasional, tapi mereka perlu tahu karena mereka akan terkena dampak
pelaksanaan aturan tersebut.
Pada Bab IV ini penulis mencoba melihat praktek privatisasi di
beberapa PT BHMN maupun di sekolah-sekolah dari SD-SMTA,
terlebih pada SMA-SMA Negeri yang mendapat label Sekolah Bertaraf
Internasional (SBI). Pengalaman dari lapangan ini penting untuk
diketengahkan guna memberikan perpsektif kepada pembaca bahwa
opini dalam buku ini yang menolak privatisasi pendidikan bukan hanya
didasarkan prejudice (prasangka) atau apriori saja, tapi didasarkan
pada pengalaman nyata di lapangan yang dapat dibuktikan sendiri
oleh pembaca bahwa praktek privatisasi pendidikan, baik dalam
bentuk BHMN maupun lainnya ternyata sangat buruk. Dengan
bercermin di lapangan itu, maka sebetulnya kita tidak perlu debat kusir
untuk membantah/menerimanya. Fakta di lapangan lah yang berbicara,
bukan argumentasi kita yang ngotot (memaksakan diri), kecuali bagi
mereka yang memang tidak mau membuka mata hatinya untuk melihat
realitas yang terjadi di masyarakat pascaprivatisasi pendidikan tinggi.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Pendahuluan

15

Bagian analisis dari buku ini dipaparkan pada Bab V, yang melihat
sisi gelap dari kebijakan privatisasi dan liberalisasi pendidikan, sekaligus
juga menunjukkan posisi penulis dalam menghadapi privatisasi
pendidikan melalui lahirnya UU BHP maupun aturan-aturan pendukung
lainnya, mengingat UU BHP bukan berdiri sendiri, tapi satu paket dengan
PP No.48 Tahun 2008, RPP PPP, serta Perpres No.76 dan 77 Tahun
2007 yang menempatkan pendidikan sebagai sektor yang terbuka bagi
modal asing.
Sedangkan pada Bab VI dibahas mengenai strategi perlawanan
terhadap privatisasi dan liberalisasi pendidikan yang digulirkan oleh
Pemerintah RI melalui berbagai kebijakan yang liberalistik. Bab VI ini
juga menawarkan rekomendasi aksi yang dapat dilakukan oleh
masyarakat dalam menghadapi gelombang privatisasi dan liberalisasi
pendidikan, termasuk strategi menolak UU BHP.
.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Anda mungkin juga menyukai