Kejang Demam 1 PDF
Kejang Demam 1 PDF
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
2.1.1.
Definisi
Kejang demam berdasarkan definisi dari The International League
2.1.2.
Faktor Risiko
Beberapa faktor yang berperan menyebabkan kejang demam antara lain
adalah demam, demam setelah imunisasi DPT dan morbili, efek toksin dari
mikroorganisme, respon alergik atau keadaan imun yang abnormal akibat infeksi,
perubahan keseimbangan caira dan elektrolit (Dewanto dkk,2009) .
Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah (1) riwayat kejang
demam dalam keluarga; (2) usia kurang dari 18 bulan; (3) temperatur tubuh saat
kejang. Makin rendah temperatur saat kejang makin sering berulang; dan (4)
lamanya demam. Adapun faktor risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari adalah
(1) adanya gangguan perkembangan neurologis; (2) kejang demam kompleks; (3)
riwayat epilepsi dalam keluarga; dan (4) lamanya demam (IDAI,2009)
2.1.3.
Etiologi
Semua jenis infeksi yang bersumber di luar susunan saraf pusat yang
2.1.4.
Klasifikasi
Umumnya kejang demam dibagi menjadi 2 golongan. Kriteria untuk
penggolongan tersebut dikemukakan oleh berbagai pakar. Dalam hal ini terdapat
perbedaan kecil dalam penggolongan tersebut, menyangkut jenis kejang,
tingginya demam, usia penderita, lamanya kejang berlangsung, gambaran
rekaman otak, dan lainnya (Lumbantobing, 2004).
Studi epidemiologi membagi kejang demam menjadi 3 bagian yaitu:
kejang demam sederhana, kejang demam kompleks, dan kejang demam berulang
( Baumann, 2001). Kejang demam kompleks ialah kejang demam yang lebih
lama dari 15 menit, fokal atau multiple (lebih dari 1 kali kejang per episode
demam). Kejang demam sederhana ialah kejang demam yang bukan kompleks.
Kejang demam berulang adalah kejang demam yang timbul pada lebih dari satu
episode demam. Epilepsi ialah kejang tanpa demam yang terjadi lebih dari satu
kali (Soetomenggolo, 2000).
2.1.5.
Patofisiologi
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1C akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada
seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh,
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu
tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron
dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium
melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik.
Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke
seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang
disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang
kejang yang berbeda dan tergantung tinggi rendahnya ambang kejang seeorang
anak menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang
kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38C sedangkan pada anak
dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40C atau lebih.
Dari kenyataan inilah dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam
lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam
penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang.
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak
berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang
berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang
akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh
metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak
teratur dan suhu tubuh makin meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya
menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian di atas adalah
faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya
kejang lama.
Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan
hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang
mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah mesial lobus
temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat
menjadi matang di kemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang
spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan
anatomis di otak hingga terjadi epilepsi (Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 2002).
2.1.6.
Manifestasi Klinis
Umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang
klonik atau tonik klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah
kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah
beberapa detik atau menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit
neurologis. Kejang demam diikuti hemiparesis sementara (Hemeparesis Tood)
yang berlangsung beberapa jam sampai hari. Kejang unilateral yang lama dapat
diikuti oleh hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama
lebih sering terjadi pada kejang demam yang pertama. Kejang berulang dalam 24
jam ditemukan pada 16% paisen (Soetomenggolo, 2000).
Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan biasanya
berkembang bila suhu tubuh (dalam) mencapai 39C atau lebih. Kejang khas yang
menyeluruh, tonik-klonik beberapa detik sampai 10 menit, diikuti dengan periode
mengantuk singkat pasca-kejang. Kejang demam yang menetap lebih lama dari 15
menit menunjukkan penyebab organik seperti proses infeksi atau toksik yang
memerlukan pengamatan menyeluruh (Nelson, 2000).
2.1.7.
Diagnosa
Beberapa hal dapat mengarahkan untuk dapat menentukan diagnosis
- Kepala anak sering terlempar keatas, mata mendelik, tungkai dan lengan mulai
kaku, bagian tubuh anak menjadi berguncang. Gejala kejang tergantung pada jenis
kejang.
- Kulit pucat dan mungkin menjadi biru.
- Serangan terjadi beberapa menit setelah anak itu sadar (Dewanto dkk,2009).
3. Pemeriksaan fisik dan laboratorium
Pada kejang demam sederhana, tidak dijumpai kelainan fisik neurologi
maupun laboratorium. Pada kejang demam kompleks, dijumpai kelainan fisik
neurologi berupa hemiplegi. Pada pemeriksaan EEG didapatkan gelombang
abnormal berupa gelombang-gelombang lambat fokal bervoltase tinggi, kenaikan
aktivitas delta, relatif dengan gelombang tajam. Perlambatan aktivitas EEG
kurang mempunyai nilai prognostik, walaupun penderita kejang demam kompleks
lebih sering menunjukkan gambaran EEG abnormal. EEG juga tidak dapat
digunakan untuk menduga kemungkinan terjadinya epilepsi di kemudian hari
(Soetomenggolo, 2000).
2.1.8.
Diagnosa Banding
Infeksi susunan saraf pusat dapat disingkirkan dengan pemeriksaan klinis
2.1.9.
Penatalaksanaan
Pada tatalaksana kejang demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan, yaitu:
1.
semua pakaian yang ketat dibuka, dan pasien dimiringkan kepalanya apabila
muntah untuk mencegah aspirasi. Jalan napas harus bebas agar oksigenasi
terjamin. Pengisapan lendir dilakukan secra teratur, diberikan oksiegen, kalau
perlu dilakukan intubasi. Awasi keadaan vital sperti kesadaran, suhu, tekanan
darah, pernapasan, dan fungsi jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan
kompres air dingin dan pemberian antipiretik. Diazepam adalah pilihan utama
dengan pemberian secara intravena atau intrarektal (Soetomenggolo, 2000).
2.
menyingkirkan
3. Pengobatan Profilaksis
Kambuhnya kejang demam perlu dicegah, kerena serangan kejang
merupakan pengalaman yang menakutkan dan mencemaskan bagi keluarga. Bila
kejang demam berlangsung lama dan mengakibatkan kerusakan otak yang
menetap (cacat).
Ada 3 upaya yang dapat dilakukan:
-
Profilaksis intermitten
Antikonvulsan hanya diberikan pada waktu pasien demam dengan
ketentuan orangtua pasien atau pengasuh mengetahui dengan cepat adanya demam
pada pasien. Obat yang diberikan harus cepat diabsorpsi dan cepat masuk ke otak.
2.2.1.
Konsep Perilaku
Perilaku dari pandangan biologis adalah merupakan suatu kegiatan atau
2.2.2.
mengenai hal sesuatu. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi
setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Penginderaan melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia
diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain
yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior)
(Notoatmodjo, 2003).
Hasil
penelitian
Rogers
(1974)
dalam
Notoatmodjo
(2003),
5. Sintesis (Synthesis)
6. Evaluasi (Evaluation)
2.2.3.
terhadap suatu stimulus atau objek. Adapula yang melihat sikap sebagai kesiapan
saraf sebelum memberikan respon (Notoatmodjo, 2003).
Newcomb, salah seorang ahli psikologis sosial, mengatakan bahwa sikap
itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan
pelaksana motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas,
akan tetapi adalah merupakan predisposisi tindakan atau perilaku (Notoatmodjo,
2003).
Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2003) menjelaskan bahwa sikap itu
mempunyai 3 komponen pokok, yakni:
a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek.
b. Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek.
c. Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave).
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai
tingkatan dimana saling berunut, yaitu: (Notoatmodjo, 2003)
1. Menerima (Receiving)
Menerima, diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (objek).
2. Merespon (Responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan
tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
3. Menghargai (Valuing)
Persepsi (perception)
Mengenal dan memiliki berbagai objek sehubungan dengan
Misalnya, seorang ibu dapat memilih makanan yang bergizi tinggi bagi
anak balitanya.
Mekanisme (mechanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar
Adaptasi (adaptation)