Anda di halaman 1dari 13

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Tinjauan Tentang Kejang Demam

2.1.1.

Definisi
Kejang demam berdasarkan definisi dari The International League

Againts Epilepsy (Commision on Epidemiology and Prognosis, 1993) adalah


kejang yang disebabkan kenaikan suhu tubuh lebih dari 38,4oC tanpa adanya
infeksi susunan saraf pusat atau gangguan elektrolit akut pada anak berusia di atas
1 bulan tanpa riwayat kejang sebelumnya (IDAI, 2009).

2.1.2.

Faktor Risiko
Beberapa faktor yang berperan menyebabkan kejang demam antara lain

adalah demam, demam setelah imunisasi DPT dan morbili, efek toksin dari
mikroorganisme, respon alergik atau keadaan imun yang abnormal akibat infeksi,
perubahan keseimbangan caira dan elektrolit (Dewanto dkk,2009) .
Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah (1) riwayat kejang
demam dalam keluarga; (2) usia kurang dari 18 bulan; (3) temperatur tubuh saat
kejang. Makin rendah temperatur saat kejang makin sering berulang; dan (4)
lamanya demam. Adapun faktor risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari adalah
(1) adanya gangguan perkembangan neurologis; (2) kejang demam kompleks; (3)
riwayat epilepsi dalam keluarga; dan (4) lamanya demam (IDAI,2009)
2.1.3.

Etiologi
Semua jenis infeksi yang bersumber di luar susunan saraf pusat yang

menimbulkan demam dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling


sering menimbulkan kejang demam adalah infeksi saluran pernafasan atas, otitis
media akut, pneumonia, gastroenteritis akut, bronchitis, dan infeksi saluran kemih
( Soetomenggolo,2000).

Universitas Sumatera Utara

2.1.4.

Klasifikasi
Umumnya kejang demam dibagi menjadi 2 golongan. Kriteria untuk

penggolongan tersebut dikemukakan oleh berbagai pakar. Dalam hal ini terdapat
perbedaan kecil dalam penggolongan tersebut, menyangkut jenis kejang,
tingginya demam, usia penderita, lamanya kejang berlangsung, gambaran
rekaman otak, dan lainnya (Lumbantobing, 2004).
Studi epidemiologi membagi kejang demam menjadi 3 bagian yaitu:
kejang demam sederhana, kejang demam kompleks, dan kejang demam berulang
( Baumann, 2001). Kejang demam kompleks ialah kejang demam yang lebih
lama dari 15 menit, fokal atau multiple (lebih dari 1 kali kejang per episode
demam). Kejang demam sederhana ialah kejang demam yang bukan kompleks.
Kejang demam berulang adalah kejang demam yang timbul pada lebih dari satu
episode demam. Epilepsi ialah kejang tanpa demam yang terjadi lebih dari satu
kali (Soetomenggolo, 2000).

2.1.5.

Patofisiologi
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1C akan mengakibatkan kenaikan

metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada
seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh,
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu
tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron
dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium
melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik.
Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke
seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang
disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang
kejang yang berbeda dan tergantung tinggi rendahnya ambang kejang seeorang
anak menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang
kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38C sedangkan pada anak

Universitas Sumatera Utara

dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40C atau lebih.
Dari kenyataan inilah dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam
lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam
penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang.
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak
berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang
berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang
akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh
metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak
teratur dan suhu tubuh makin meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya
menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian di atas adalah
faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya
kejang lama.
Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan
hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang
mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah mesial lobus
temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat
menjadi matang di kemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang
spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan
anatomis di otak hingga terjadi epilepsi (Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 2002).

2.1.6.

Manifestasi Klinis
Umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang

klonik atau tonik klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah
kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah
beberapa detik atau menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit
neurologis. Kejang demam diikuti hemiparesis sementara (Hemeparesis Tood)
yang berlangsung beberapa jam sampai hari. Kejang unilateral yang lama dapat
diikuti oleh hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama

Universitas Sumatera Utara

lebih sering terjadi pada kejang demam yang pertama. Kejang berulang dalam 24
jam ditemukan pada 16% paisen (Soetomenggolo, 2000).
Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan biasanya
berkembang bila suhu tubuh (dalam) mencapai 39C atau lebih. Kejang khas yang
menyeluruh, tonik-klonik beberapa detik sampai 10 menit, diikuti dengan periode
mengantuk singkat pasca-kejang. Kejang demam yang menetap lebih lama dari 15
menit menunjukkan penyebab organik seperti proses infeksi atau toksik yang
memerlukan pengamatan menyeluruh (Nelson, 2000).

2.1.7.

Diagnosa
Beberapa hal dapat mengarahkan untuk dapat menentukan diagnosis

kejang demam antara lain:


1. Anamnesis, dibutuhkan beberapa informasi yang dapat mendukung diagnosis
ke arah kejang demam, seperti:
- Menentukan adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang, suhu sebelum
dan saat kejang, frekuensi, interval pasca kejang, penyebab demam diluar susunan
saraf pusat.
- Beberapa hal yang dapat meningkatkan risiko kejang demam, seperti genetik,
menderita penyakit tertentu yang disertai demam tinggi, serangan kejang pertama
disertai suhu dibawah 39 C.
- Beberapa faktor yang memengaruhi terjadinya kejang demam berulang adalah
usia< 15 bulan saat kejang demam pertama, riwayat kejang demam dalam
keluarga, kejang segera setelah demam atau saat suhu sudah relatif normal,
riwayat demam yang sering, kejang demam pertama berupa kejang demam
akomlpeks (Dewanto dkk,2009).
2. Gambaran Klinis, yang dapat dijumpai pada pasien kejang demam adalah:
- Suhu tubuh mencapai 39C.
- Anak sering kehilangan kesadaran saat kejang.

Universitas Sumatera Utara

- Kepala anak sering terlempar keatas, mata mendelik, tungkai dan lengan mulai
kaku, bagian tubuh anak menjadi berguncang. Gejala kejang tergantung pada jenis
kejang.
- Kulit pucat dan mungkin menjadi biru.
- Serangan terjadi beberapa menit setelah anak itu sadar (Dewanto dkk,2009).
3. Pemeriksaan fisik dan laboratorium
Pada kejang demam sederhana, tidak dijumpai kelainan fisik neurologi
maupun laboratorium. Pada kejang demam kompleks, dijumpai kelainan fisik
neurologi berupa hemiplegi. Pada pemeriksaan EEG didapatkan gelombang
abnormal berupa gelombang-gelombang lambat fokal bervoltase tinggi, kenaikan
aktivitas delta, relatif dengan gelombang tajam. Perlambatan aktivitas EEG
kurang mempunyai nilai prognostik, walaupun penderita kejang demam kompleks
lebih sering menunjukkan gambaran EEG abnormal. EEG juga tidak dapat
digunakan untuk menduga kemungkinan terjadinya epilepsi di kemudian hari
(Soetomenggolo, 2000).

2.1.8.

Diagnosa Banding
Infeksi susunan saraf pusat dapat disingkirkan dengan pemeriksaan klinis

dan cairan serebrospinal. Kejang demam yang berlangsung lama kadang-kadang


diikuti hemiperesis sehingga sukar dibedakan dengan kejang karena proses
intrakranial. Sinkop juga dapat diprovokasi oleh demam, dan sukar dibedakan
dengan kejang demam. Anak dengan kejang demam tinggi dapat mengalami
delirium, menggigil, pucat, dan sianosis sehingga menyerupai kejang demam
(Soetomenggolo, 2000).

2.1.9.

Penatalaksanaan
Pada tatalaksana kejang demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan, yaitu:

1.

Pengobatan fase akut


Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu pasien sedang kejang

semua pakaian yang ketat dibuka, dan pasien dimiringkan kepalanya apabila

Universitas Sumatera Utara

muntah untuk mencegah aspirasi. Jalan napas harus bebas agar oksigenasi
terjamin. Pengisapan lendir dilakukan secra teratur, diberikan oksiegen, kalau
perlu dilakukan intubasi. Awasi keadaan vital sperti kesadaran, suhu, tekanan
darah, pernapasan, dan fungsi jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan
kompres air dingin dan pemberian antipiretik. Diazepam adalah pilihan utama
dengan pemberian secara intravena atau intrarektal (Soetomenggolo, 2000).
2.

Mencari dan Mengobati Penyebab


Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk

menyingkirkan

kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama.


Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada
kasus yang dicurigai meningitis atau apabila kejang demam berlangsung lama.
Pada bayi kecil sering mengalami meningitis tidak jelas, sehingga pungsi lumbal
harus dilakukan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan, dan dianjurkan pada
pasien berumur kurang dari 18 bulan. Pemeriksaan laboratorium lain perlu
dilakukan utuk mencari penyebab (Soetomenggolo, 2000).

3. Pengobatan Profilaksis
Kambuhnya kejang demam perlu dicegah, kerena serangan kejang
merupakan pengalaman yang menakutkan dan mencemaskan bagi keluarga. Bila
kejang demam berlangsung lama dan mengakibatkan kerusakan otak yang
menetap (cacat).
Ada 3 upaya yang dapat dilakukan:
-

Profilaksis intermitten, pada waktu demam.

Profilaksis terus-menerus, dengan obat antikonvulsan tiap hari

Mengatasi segera bila terjadi kejang.

Profilaksis intermitten
Antikonvulsan hanya diberikan pada waktu pasien demam dengan
ketentuan orangtua pasien atau pengasuh mengetahui dengan cepat adanya demam
pada pasien. Obat yang diberikan harus cepat diabsorpsi dan cepat masuk ke otak.

Universitas Sumatera Utara

Diazepam intermittent memberikan hasil lebih baik kerena penyerapannya lebih


cepat. Dapat digunakan diazepam intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg untuk
pasien dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk pasien dengan
berat badan lebih dari 10 kg, setiap pasien menunjukkan suhu 38,5C atau lebih.
Diazepam dapat pula diberikan sacara oral dengan dosis 0,5 mg/kg BB/ hari
dibagi dalam 3 dosis pada waktu pasien demam. Efek samping diazepam adalah
ataksia, mengantuk, dan hipotonia (Soetomenggolo, 2000).

Profilaksis terus- menerus dengan antikonvulasan tiap hari


Pemberian fenobarbital 4-5 mg/kg BB/hari dengan kadar darah sebesar 16
mgug/ml dalam darh menunjukkan hasil yang bermakna untuk mencegah
berulanggnya kejang demam. Obat lain yang dapat digunakan untuk profilaksis
kejang demam adalah asam valproat yang sama atau bahkan lebih baik
dibandingkan efek fenobarbital tetapi kadang-kadang menunjukkan efek samping
hepatotoksik. Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg BB/hari. Profilaksis terus
menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat yang dapat
menyebabkan kerusakan otak tetapi tidak dapat mencegah terjandinya epilepsi di
kemudian hari (Soetomenggolo, 2000).
Consensus Statement di Amerika Serikat mengemukakan kriteria yang
dapat dipakai untuk pemberian terapi rumat. Profilaksis tiap hari dapat diberi pada
keadaan berikut:
1. Bila terdapat kelainan perkembangan neurologi (misalnya cerebral palsy,
retardasi mental, mikrosefali).
2. Bila kejang demam berlangsung lama dari 15 menit, bersifat fokal, atau
diikuti kelainan neurologis sepintas atau menetap.
3. Terdapat riwayat kejang-tanpa-demam yang bersifat genetik pada orang
tua atau saudara kandung.
Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang , hindarilah rasa
panik dan lakukanlah langkah-langkah pertolongan sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

1. Telungkupkan dan palingkan wajah ke samping


2. Ganjal perut dengan bantal agar tidak tersedak
3. Lepaskan seluruh pakaian dan basahi tubuhnya dengan air dingin.
Langkah ini diperlukan untuk membantu menurunkan suhu badanya.
4. Bila anak balita muntah, bersihkan mulutnya dengan jari.
5. Walupun anak telah pulih kondisinya, sebaiknya tetap dibawa ke dokter
agar dapat ditangani lebih lanjut (Widjaja, 2001).
2.2.

Tinjauan Tentang Perilaku

2.2.1.

Konsep Perilaku
Perilaku dari pandangan biologis adalah merupakan suatu kegiatan atau

aktifitas organisme yang bersangkutan. Jadi pada hakikatnya perilaku manusia


adalah suatu aktifitas daripada manusia itu sendiri, yang mempunyai bentangan
yang luas, mencakup berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian, dan lain
sebagainya. Bahkan kegiatan internal (internal activity) seperti berpikir, persepsi
dan emosi juga merupakan perilaku manusia. Atau dapat juga dikatakan bahwa
perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut, baik dapat diamati
secara langsung atau tidak langsung (Notoatmodjo, 2003).
Perilaku dan gejala perilaku yang tampak pada kegiatan organisme
tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik (keturunan) dan lingkungan. Secara
umum dapat dikatakan bahwa faktor genetik dan lingkungan ini merupakan
penentu dari perilaku makhluk hidup, termasuk perilaku manusia (Notoatmodjo,
2003).
Saparinah Sadli (1982) dalam Notoatmodjo (2003) menggambarkan
hubungan individu dengan lingkungan sosial yang saling mempengaruhi, yakni:

Perilaku kesehatan individu, sikap dan kebiasaan individu yang erat


kaitannya dengan lingkungan.

Lingkungan keluarga, kebiasaan-kebiasaan tiap anggota keluarga


mengenai kesehatan.

Universitas Sumatera Utara

Lingkungan terbatas, tradisi, adat istiadat dan kepercayaan masyarakat


sehubungan dengan kesehatan.

Lingkungan umum, kebijakan-kebijakan pemerintah di bidang


kesehatan, undang-undang kesehatan, program-program kesehatan,
dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003).
Kosa dan Robertson menyatakan bahwa perilaku kesehatan individu

cenderung dipengaruhi oleh kepercayaan orang yang bersangkutan terhadap


kondisi kesehatan yang diinginkan, dan kurang mendasarkan pada pengetahuan
biologi. Memang kenyataannya demikian, setiap individu mempunyai cara yang
berbeda didalam mengambil tindakan penyembuhan atau pencegahan, meskipun
gangguan kesehatannya sama ( Notoatmodjo, 2003).
Perilaku manusia itu sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup
yang sangat luas. Benyamin Bloom (1908) seorang ahli psikologi pendidikan
membagi perilaku itu ke dalam 3 domain (ranah/kawasan), meskipun kawasankawasan tersebut tidak mempunyai batasan yang jelas dan tegas. Pembagian
kawasan ini dilakukan untuk kepentingan tujuan pendidikan. Bahwa dalam suatu
tujuan pendidikan adalah mengembangkan atau meningkatkan ketiga domain
perilaku tersebut, yang terdiri dari : a) ranah kognitif (cognitif domain), b) ranah
afektif (affective domain), dan c) ranah psikomotor (psychomotor domain)
(Notoatmodjo, 2003).
Dalam kepentingan selanjutnya oleh para ahli pendidikan, dan untuk
kepentingan pengukuran hasil pendidikan, ketiga domain ini diukur dari :
(Notoatmodjo, 2003)
a. Pengetahuan peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan
(knowledge)
b. Sikap atau tanggapan peserta didik terhadap materi pendidikan yang
diberikan (attitude)
c. Praktek atau tindakan yang dilakukan oleh peserta didik sehubungan
dengan materi pendidikan yang diberikan (practice).

Universitas Sumatera Utara

2.2.2.

Perilaku dalam Bentuk Pengetahuan


Perilaku dalam bentuk pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui

mengenai hal sesuatu. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi
setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Penginderaan melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia
diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain
yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior)
(Notoatmodjo, 2003).
Hasil

penelitian

Rogers

(1974)

dalam

Notoatmodjo

(2003),

mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku


baru), didalam diri orang tersebut menjadi proses yang berurutan yakni:
a. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti
mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).
b. Interest, dimana orang merasa tertarik terhadap stimulus atau objek
tersebut. Di sini sikap subjek sudah mulai timbul.
c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus
tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik
lagi.
d. Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan
apa yang dikehendaki oleh stimulus.
e. Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6
tingkat, yakni: (Notoatmodjo, 2003)
1. Tahu (Know)
2. Memahami (Comprehension)
3. Aplikasi (Application)
4. Analisis (Analysis)

Universitas Sumatera Utara

5. Sintesis (Synthesis)
6. Evaluasi (Evaluation)
2.2.3.

Perilaku dalam Bentuk Sikap


Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang

terhadap suatu stimulus atau objek. Adapula yang melihat sikap sebagai kesiapan
saraf sebelum memberikan respon (Notoatmodjo, 2003).
Newcomb, salah seorang ahli psikologis sosial, mengatakan bahwa sikap
itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan
pelaksana motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas,
akan tetapi adalah merupakan predisposisi tindakan atau perilaku (Notoatmodjo,
2003).
Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2003) menjelaskan bahwa sikap itu
mempunyai 3 komponen pokok, yakni:
a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek.
b. Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek.
c. Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave).
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai
tingkatan dimana saling berunut, yaitu: (Notoatmodjo, 2003)
1. Menerima (Receiving)
Menerima, diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (objek).
2. Merespon (Responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan
tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
3. Menghargai (Valuing)

Universitas Sumatera Utara

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan


orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat
tiga.
4. Bertanggung jawab (Responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan
segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi.
Sikap yang sudah positif terhadap suatu objek, tidak selalu terwujud dalam
tindakan nyata, hal ini disebabkan oleh: (Notoatmodjo, 2003)
a. Sikap, untuk terwujud didalam suatu tindakan bergantung pada situasi
pada saat itu.
b. Sikap akan diikuti atau tidak pada suatu tindakan mengacu pula pada
banyak atau sedikitnya pengalaman seseorang.
Pengukuran terhadap sikap ini dapat dilakukan secara langsung atau tidak
langsung. Secara langsung dapat dinyatakan bagaimana pendapat atau pernyataan
responden terhadap suatu objek dan secara tidak langsung dapat dilakukan dengan
pernyataan-pernyataan yang bersifat hipotesis, kemudian dikenakan pendapat
responden ( Notoatmodjo, 2003).
2.2.4. Perilaku dalam Bentuk Tindakan
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt
behavior). Untuk terwujudnya sikap untuk menjadi suatu perbuatan nyata
diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain
adalah fasilitas. Disamping faktor fasilitas, juga diperlukan faktor pendukung
(support) dari pihak lain, misalnya orang tua, mertua, suami atau istri
(Notoatmodjo, 2003).
Tingkat-tingkat praktek: (Notoatmodjo, 2003)

Persepsi (perception)
Mengenal dan memiliki berbagai objek sehubungan dengan

tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama.

Universitas Sumatera Utara

Misalnya, seorang ibu dapat memilih makanan yang bergizi tinggi bagi
anak balitanya.

Respon terpimpin (guided respon)


Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai

dengan contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat dua. Misalnya,


seorang ibu dapat memasak sayur dengan benar, mulai dari cara mencuci
dan memotong-motongnya, lama memasak, menutup pancinya, dan
sebagainya.

Mekanisme (mechanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar

secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia


sudah mencapai praktek tingkat tiga. Misalnya, seorang ibu yang sudah
mengimunisasikan bayinya pada umur-umur tertentu, tanpa menunggu
perintah atau ajakan orang lain.

Adaptasi (adaptation)

Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang


dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi
kebenaran tindakan tersebut. Misalnya, seorang ibu dapat memilih dan memasak
makanan yang bergizi tinggi berdasarkan bahan-bahan yang murah dan sederhana.
Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan
wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari,
atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung,
yakni dengan mengobsevasi tindakan atau kegiatan responden.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai