Disusun oleh :
Ardiyani Erna S
2601121130503
Nurul Fitrializa R
2601121130517
2601121130518
Rizqi Permata H
2601121130528
Siska Oktaviani
2601121130536
Risa Nurfatihani
2601121130542
FAKULTAS FARMASI
PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2014
BAB I
PENDAHULUAN
dan
Jika ginjal dibagi dari atas ke bawah, dua daerah utama yang
dapat divisualisasikan adalah bagian terluar merupakan korteks dan
bagian dalam
Batas luar pelvis dibagi menjadi kantong terbuka disebut calyces utama
yang memanjang ke bawah dan dibagi menjadi calyces kecil, yang
mengumpulkan urin dari tubulus setiap papilla. Dinding calyces, pelvis,
dan ureter mengandung unsur kontraktil yang mendorong urine menuju
kandung kemih, di mana urin disimpan sampai dikosongkan oleh
kantung kemih.
2. Renal Suplai Darah
Aliran darah ke dua ginjal biasanya sekitar 22% dari cardiac
output, atau 1100 ml / menit. Arteri ginjal memasuki ginjal melalui
hilus dan kemudian cabang progresif untuk membentuk arteri
interlobar, arteri arkuata, arteri interlobular (juga disebut radialarteri)
dan arteriol aferen, yang mengarah pada kapiler glomerulus, di mana
sejumlah besar cairan dan zat terlarut (kecuali protein plasma) akan
disaring kemulai pembentukan urin. Ujung kapiler glomerulus distal
masing-masing bergabung untuk membentuk arteri eferen, yang
mengarah ke kapiler kedua jaringan, kapiler peritubular, yang
mengelilingi tubulus ginjal. Sirkulasi ginjal unik karena memiliki dua
kapiler tidur, kapiler glomerulus dan peritubular, yang disusun secara
seri dan dipisahkan oleh arteriol eferen, yang membantu mengatur
hidrostatik tekanan di kedua set kapiler. Hidrostatik tinggi tekanan
kapiler glomerulus (sekitar 60 mm Hg) menyebabkan filtrasi cairan
yang cepat, sedangkan tekanan hidrostatik jauh lebih rendah di kapiler
peritubular (sekitar 13 mm Hg) yang memungkinkan reabsorpsi cairan
yang cepat. Dengan menyesuaikan perlawanan dari aferen yang dan
arteriol eferen, ginjal dapat mengatur tekanan hidrostatik baik di
glomerulus dan kapiler peritubular, sehingga mengubah tingkat filtrasi
glomerulus, tubular reabsorpsi, atau keduanya dalam menanggapi
tuntutan homeostatis tubuh. Kapiler peritubular kosong ke dalam
pembuluh sistem vena, yang berjalan sejajar dengan pembuluh arteri
dan membentuk vena interlobular, vena arkuata, interlobar vena, dan
vena renalis, yang meninggalkan ginjal di samping arteri ginjal dan
ureter.
pelvis ginjal.
telah
komplikasi,
penanganan
kardiovaskular,
dan
jika
antara
adalah
serum/plasma
yang melakukan
hipoalbumin.
Target
yang
Klirens
Kreatinin
(mL/menit)
Normal
80-120
20-50
10-20
<10
keratin
tidak
dari
prekursornya
konstan
pada
(arginin,glisin
penderita
dan
malnutrisi,
di
tubuli
proksimal
(sekitar
10-15%)
sehingga
Chiou
Brater
a. Clcr pria:
[293 - (2,03 x usia)] x [1,035 - 0,01685 (Scr1 + Scr2)] + 49 (Scr1 + Scr2)
(Scr1 + Scr2) t hari
Scr1 + Scr2
b. Clcr wanita = Clcr pria x 0,86
10
11
6. Ethiologi
Penyebab gagal ginjal yang utama disebabkan oleh diabetes,
penyakit glomerular dan polikistik, hipertensi, sedangkan penyebab
gagal ginjal yang lainnya adalah karena penyakit genetic seperti
kelainan kekebalan, cacat lahir dan sebab-sebab lainnya (Sazli, et al,
2013).
12
BAB II
PEMBAHASAN
13
berbagai
idiosinkratik
mekanisme,
maupun
melalui
baik
melalui
toksisitas
reaksi
seluler
hipersensitivitas
langsung.
Dengan
pengecualian pada gagal ginjal akut yang disebabkan oleh AINS dan ACE
inhibitor, toksisitasnya sering kali dapat dicegah setelah diketahui adanya
insufisiensi ginjal, penurunan aliran darah efektif ke ginjal akibat adanya
deplesi volume, gagal jantung atau penyakit liver. Pada pasien dengan
hipertensi atau gagal jantung sangat sensitif terhadap kombinasi ACE
inhibitor dan AINS, terlebih bila penggunaannya juga bersamaan dengan
diuretik (Dipiro, et all, 2008).
14
Nefropati Obstruktif
Obstuksi intratubular:
Asiklovir
Sulfadiazin
Indinavir
Foskarnet
Metotreksat
Obstruksi ekstrarenal:
Antidepresan trisiklik
Indinavir
Nefrolitiasis:
Triamteren
Indinavir
Penyakit Tubulointerstisial
Nefritis interstisial akut:
Penisilin
Siprofloksasin
AINS
Omeprazol
Furosemid
Nefritis interstisial kronis:
Siklosporin
Lithium
Nekrosis papilari:
Kombinasi fenasetin, aspirin dan
kafein
Vaskulitis ginjal, trombosis,
dan
kolesterol emboli, Vaskulitis dan
Trombosis:
Hidralazin
Propiltiourasil
Allopurinol
Penisilamine
Gemsitabin
Mitomisin C
Metamfetami
Kolesterol emboli:
Warfarin
Agen trombolitik
Gagal ginjal semu:
Kortikosteroid
Trimetoprim
Simetidin
15
Tidak Berubah
Digoksin
Kodein
Labetalol
Simetidin
Siprofloksasin
Sulfametoksazol
Trimetoprim
Meningkat
Bufuralol
D-propoksifen
Dihidrokodein
Eritromisin
Oksprenolol
Propanolol
Takrolimus
Tolamolol
16
N
0,20
0,21
0,08
0,57
0,64
0,11
0,20
0,60
0,14
Meningkat
GGK
Obat
0,29
Kloksasilin
0,28
Minoksidil
0,18
Moxalaktam
1,09
Naproksen
1,40
Sefazolin
0,18
Sefonisid
0,29
Sefoksitin
0,80
Sefuroksim
0,24
Trimetoprim
Vankomisin
N
0,14
2,60
9,10
0,12
0,13
0,11
0,16
0,20
1,36
0,64
GGK
0,26
4,90
21,4a
0,17
0,16
0,14
0,26
0,26
1,83
0,85
Berkurang
Obat
N
Digoksin
7,30
Kloramfenikol 0,87
Etambutol
3,70
Metisilin
0,45
Pindolol
2,10
17
GGK
4,10
0,60
1,60
0,30
1,10
Keterangan: Vb: volume darah; vt: volume jaringan; fu: farksi obat
bebas dalam darah; fu,t: fraksi obat bebas dalam jaringan
Volume distribusi beberapa obat menjadi lebih kecil pada gagal
ginjal kronik dan diperkirakan hal ini disebabkan karena adanya
peningkatan fraksi obat bebas yang berada di jaringan. Dalam hal ini
digoksin dan pindolol, ternyata ada hubungan antara penurunan Vss dan
klirens kreatinin (CLcr), dan untuk digoksin, hubungan tersebut
dinyatakan dengan persamaan berikut:
jantung,
barbiturate,
klofibrat,
salisilat
berkurang.
18
Normal
92
94
97
88
93-96
88
93
Flukloksasilin
94
Kaptopril
30
Klofibrat
97
Kloksasilin
95
Metolazon
95
Moksalaktam
52
Naproksen
99,8
Salisilat
87
97
Sefazolin
85
Sefoksitin
73
Sulfametoksazol
66
Warfarin
99
Desipramin
Diazepam
Karbamazepin
Kinidin
Kloramfenikol
Klorpromazin
Klorazepat
Morfin
Prazosin
Propoksifen
Triamteren
Trimetoprim
d-Tubokurarin
Verapamil
90
98
82
85-97
51
98
98
35
93
76
81
67
44
89
(Hakim, 2011)
3. Metabolisme Obat
Pada keadaan normal ginjal melaksanakan berbagai fungsi
metabolisme, termasuk aktivasi vitamin D3, glukoneogenesis, dan
metabolisme senyawa endogen seperti insulin, steroid, dan xenobiotic.
Gangguan fungsi ginjal terlihat dalam penurunan pembentukan aktivasi
19
vitamin D3 dan penurunan metabolisme insulin. Hal ini biasa terjadi pada
pasien dengan diabetes dan gagal ginjal kronis yang harus
untuk
sedangkan
CYP1A2,
CYP2C19,
dan
CYP2D6
tidak
terpengaruh. Data ini didukung oleh uji klinis terbaru dalam stadium akhir
penyakit ginjal pada pasien yang menerima hemodialisis, di mana aktivitas
CYP3A pada hati dilaporkan akan dikurangi sebanyak 28% dari nilai
yang diamati pada usia-kontrol, koreksi parsial tercatat setelah prosedur
hemodialisis (Dipiro, et all, 2008).
Hasil penelitian belakangan ini membuktikan bahwa ternyata pada
gagal ginjal kronis (end stage renal disease, ESRD) terjadi juga perubahan
kapasitas metabolism di hati, dan organ eliminasi selain ginjal. Mekanisme
kausalnya sangat kompleks, sebab merupakan komposit dari berbagai
perubahan fisiologis dan biokimiawi yang diakibatkan oleh gagal ginjal.
Jadi pada keadaan ini bukan hanya obat-obat yang sebagian besar
tereliminasi oleh ginjal saja yang terpengaruh, namun obat-obat yang
sebagian besar temetabolisme juga mengalami perubahan klirens.
Sedangkan untuk obat yang dimetabolisme sepenuhnya oleh hati dalam
bentuk metabolit inaktif, tidak ada dosis penyesuaian diperlukan pada
pasien dengan gagal ginjal. Metabolisme fase II atau reaksi konjugasi pada
gagal ginjal, antara
normal atau
20
Comstock, 2006).
Asiklovir
Aztreonam
Bufuralol
Enkainid
Eritromisis
Guanadrel
Imipenem
Isoniazid
Bumetanid
Fenitoin
Sefotaksim
Sefsulodin
Silastatin
Simetidin
Siprofloksasin
Verapamil
Zidovudin
penyesuaian dosis obat tidak cukup dengan mengukur serum kreatinin atau
klirens kreatinin seperti yang berlaku saat ini, sebab klirens kreatinin
hanya mengukur fungsi ginjal saja. Penurunan metabolisme di hati bukan
hanya terjadi pada gagal ginjal kronis, tetapi juga gagal ginjal akut. Oleh
sebab itu, karena dua organ utama eliminasi mengalami ganguan fungsi,
maka klirens renal dan hepatik hendaknya digunakan sebagai patokan
dalam pendosisan. Jika pasien tidak harus dihemodialisis, maka solusi
paling tepat untuk penyesuaian dosis ialah melakukan TDM dulu, sehingga
diketahui dengan pasti nilai klirens obat pada pasien (Hakim, 2011)..
21
4. Ekskresi
Ekskresi obat melalui ginjal dipengaruhi oleh sifat-sifat fisikokimia obat, ikatan dengan protein plasma dan faal ginjal. Nefron
merupakan unit utama fungsi ginjal, terdiri atas glomerulus, tubulus
proksimalis, ansa Henle, tubulus distalis dan duktus kolektikus.
Glomerulus menyaring darah dan filtrat mengalir ke tubulus. Hampir
semua air dari filtrat direabsorpsi, dan hanya 12 ml/menit saja yang
menjadi urin. Sementara itu terjadi pula sekresi dan reabsorpsi di
sepanjang tubuli proksimalis dan distalis. Jumlah obat yang diekskresi ke
dalam urin merupakan hasil filtrasi, sekresi dan reabsorpsi. Filtrasi dan
sekresi memperbesar jumlah obat, sedangkan reabsorpsi mengurangi
(Suryawati, 1985). Dengan kata lain :
pada
menyebabkan
pasien
dengan
kasus
gagal
ginjal,
sehingga
mereka harus dikurangi pada gagal ginjal. Contoh obat yang dieliminasi di
ginjal, seperti:
a. Nitrofurantoin
b. Penicillins
c. Cephalosporins
d. Aminoglicosides
e. Diuretics
f. Tetracyclines
g. Sulfonamides
h. ACE inhibitors
i. Digoxin
j. Ethambutol
k. Atenolol
l. Disopyramide
22
Hanya obat terikat dengan berat molekul kurang dari 60.000 Dalton
yang dapat disaring oleh nefron. Pada gagal ginjal, massa nefron menurun,
menyebabkan penurunan filtrasi di glomerulus. Sebagai contoh, ampisilin,
aminoglikosida, dan digoxin diekskresikan terutama oleh glomerulus.
Ampisilin memiliki resiko yang besar terhadap penurunan filtrasi
glomerular, yang diiringi oleh peningkatan ekskresi empedu. Karena itu
penurunan dosis diperlukan hanya jika GFR kurang dari 20 mL per menit.
Akumulasi metabolit toksik pada gagal ginjal menyebabkan peningkatan
reaksi obat yang merugikan, misalnya akumulasi metabolit toksik
meperidine
menyebabkan
kejang,
bahwa
penyebab
nitrofurantoin
23
Analgesik
Nefropati analgesik dapat dihindari dengan menggunakan
analgesik tunggal, bukan campuran lebih dari 1 analgesik , terutama
dalam kombinasi dengan caffeine atau kodein.
3. Obat Jantung
a. ACE inhibitor dan receptor angiotensin blocker (ARB)
Obat ini pada disfungsi ginjal membutuhkan penurunan dosis.
Fungsi ginjal harus diperiksa 3 sampai 4 hari setelah memulai
24
25
c. Tetrasiklin
Obat ini sangat meningkatkan BUN di RF sehingga memperburuk
ginjal yang disfungsi . Oleh karena itu penggunaan obat ini harus
dihindari di RF , kecuali doksisiklin dan minocycline.
d. Obat Antituberkulosis
Streptomisin dan etambutol harus dihindari sedapat mungkin .
menyebabkan Toksisitas vestibular, oleh karena itu jika
diperlukan, dilakukan pengurangan dosis, diberikan 2 atau 3 kali
seminggu untuk 2 bulan pertama, dan dilakukan pemantauan
kadar plasma. Etambutol menyebabkan neuritis optik jika dosis
yang digunakan berlebihan atau fungsi ginjal terganggu . Oleh
karena itu dosis harus dikurangi dan tidak diberikan dalam jangka
waktu yang lama.
7. Amfoterisin B
Obat ini nefrotoksik. Obat ini digunakan pada penderita gagal ginjal
hanya sebagai alternatif dan tingkat plasma dan fungsi ginjal harus
dipantau secara ketat.
8. Obat Antivirus
Acyclovir dan gansiklovir dieliminasi oleh ginjal, sehingga dosis
harus dikurangi, karena akumulasi menyebabkan toksisitas SSP
hingga ketidaksadaran.
9. Lithium dan Antidepresan
Lithium harus dihindari atau dilakukan penurunan dosis dengan
pemantauan hati-hati kadar plasma.
C. Prinsip penyesuaian dosis
Penyesuaian dosis berupa penurunan terhadap total dosis pemeliharaan
sering kali diperlukan. Jika dosis obat yang diberikan terlalu rendah maka
terapi penyembuhan yang diperlukan tidak tercapai. Dosis yang terlalu rendah
ini dapat menjadi masalah karena menyebabkan tidak efektifnya terapi
sehingga pasien tidak sembuh atau bahkan memperburuk kondisi kesehatan.
Begitu pula pemberian dosis yang terlalu tinggi dibanding dengan dosis
terapinya, hal ini akan berbahaya karena dapat terjadi peningkatan resiko efek
26
toksik dan bisa membahayakan kondisi pasien. Hal ini akan lebih
mengkhawatirkan jika pengobatan menggunakan obat-obat yang memiliki
kisaran teraupeutik sempit, sementara pasien mengalami gangguan fisiologis
yang berat, terutama yang berkaitan dengan ADME. Daftar obat dengan
rentang teraupeutik sempit memerlukan monitoring kadar dan individualisasi
dosis. Penyesuaian dosis pada gagal ginjal diperlukan jika :
1. Eliminasi obat oleh ginjal lebih dari 33%
2. Metabolitnya aktif
3. Laju filtrasi glomerulus (LFG/GFR) kurang dari 50 mL/menit, untuk
kebanyakan antibiotik, jika LFG kurang dari 20%
4.
(Setiawati, 2012)
Untuk pasien penderita gagal ginjal dengan nilai Clcr kurang dari 10
ml/menit harus dilakukan penyesuaian dosis.
1.
27
yang tidak
lazim
sehingga dapat
meningkatkan
sempit,
contohnya
digitalis,
antiaritmia,
antidepresi,
antikonvulsi.
c.
28
(Setiawati, 2012).
E. Obat yang butuh penyesuaian dosis
Perhatian khusus pada penggunaan obat oleh pasien dengan insufisiensi ginjal
NSAID
Menurunkan
respon
diuretik
dan
meningkatkan
insufisiensi
ginjal
dan
memperpanjang
hipoglikemia
Metformin
Insulin
hipoglikemik
karena
penurunan
klirens
kreatinin.
Aminoglycosides
Vancomycin
Cimetidine
Triamterene
Trimethoprim
29
Penyesuaian Dosis
Penyesuaian Dosis
Cloxacillin, clindamycin,
metronidazole, makrolida
Antihipertensi
Antihipertensi
Obat Kardio
Obat Kardio
Digoxin, sotalol
Amiodarone, nitrate
Diuretik
Narkotik
Psikotropik
Narkotik
Pengobatan Hipoglikemia
Codeine, meperidine
Repaglinide, rosiglitazone
Psikotropik
Lain-lain
30
STUDI KASUS
I.
Data Pasien
Nama
BB : 67 kg
TB : 170 cm
Keluhan
Riwayat penyakit
II.
: Hipertensi 3 tahun
Normal
TD
100-120/70-80 mmHg
160/100 mmHg
Nadi
80-100 kali/menit
95 kali/menit
RR
20 kali/menit
24 kali/menit
Suhu
370C
380C
HB
13,0 g/dL
HCT
37-47%
37%
SGOT
5-34 U/L
35 U/L
SGPT
11-60 U/L
21 U/L
Creatinin
0,6-1,1 mg/dL
1,8 mg/dL
3,5-5 mmol/L
4,5 mmol/L
Na
135-145 mmol/L
135 mmol/L
Ca
8,1-10,4 mmol/L
0,72 mmol/L
GFR
III.
Diagnosis
IV.
Terapi
43 ml/menit/1,73m
Non Farmakologi:
a. Istirahat
b. Diet makanan lunak
c. Diet rendah garam dan protein
31
Farmakologi
V.
Terapi
Dosis
Rute
IVFD NaCl
20 tts/menit
Inf
Lisinopril
10 mg/hari
PO
Gentamisin
3 mg/kg perhari
terbagi setiap 8
jam sekali
67 mg 3x sehari
IV
Pembahasan Kasus
Gagal ginjal kronik
Berdasarkan riwayat penyakit, data klinik dan data laboratorium
pasien, pasien mengalami hipertensi stage II (NIH, 2003). Kondisi ini
dapat terjadi karena pasien sudah mengalami hipertensi selama 3 tahun
dan pasien tidak berobat teratur sehingga tekanan darahnya tidak
terkontrol. Tekanan darah tinggi yang terjadi dalam waktu yang lama dan
tidak diterapi dengan benar, maka dapat menimbulkan neuropati dan
nefropati. Ketika pasien mengalami hipertensi, maka akan terjadi
vasokonstriksi pembuluh darah, sehingga aliran darah ke ginjal akan
terganggu,
menyebabkan
sel
ginjal
mengalami
kerusakan,yang
32
ACE-I atau ARB. Pada kasus ini, pasien diterapi dengan Nopril (lisinopril)
yang merupakan obat golongan ACE-I (Dipiro, et al, 2008).
Pasien mengalami demam, mual, muntah, nyeri, sering terbangun
untuk buang air kecil namun sedikit-sedikit. Jika dihubungkan keluhan
pasien dengan pemberian terapi yang diresepkan oleh dokter, selain
menderita gagal ginjal kronis stage III, pasien juga mengalami ISK
(infeksi saluran kemih), yang memiliki gejala sakit kepala, mual, muntah,
demam, rasa tidak enak, atau nyeri di pinggang, kencingdengan air
kemihsedikit-sedikit(Tessy,2001).Pemberian
antibiotik
gentamisin,
K% uremia
K% normal
t normal
a = 2,0 % jam
30,0 % jam
2,3 jam
b = 0,28 % jam
33
Clcr =
= 45,36 ml/menit
c. Menghitung K% uremia
K%uremia
= a+b.Clcr
= 2,0 % jam + 0,28 % jam x 45,36 ml/menit
= 2,0 % jam + 0,127 % jam
= 2,127 % jam
34
>30 mL/minute
10 mg/day
Clcr
10-30 mL/minute
5 mg/day
(Lacy, 2009)
35
DAFTAR PUSTAKA
pharmacokinetics
and
pharmacodynamics
principles
of
36
37