-------------------------------------------------------------------------------------------------------
A. Pendahuluan
Di Indonesia, penanaman modal di bidang perkebunan telah berlangsung sejak
zaman kolonial, terutama oleh pengusaha Belanda yang kelebihan modal dan tidak
dapat ditanam di negeri Belanda karena keterbatasan lahan (tanah), dengan tujuan
untuk menghasilkan tanaman-tanaman ekspor yang bernilai tinggi dan laku keras di
pasaran dunia pada waktu itu, seperti karet, kelapa sawit, tebu, tembakau, dll.
Keberhasilan pengusaha Belanda menanamkan modalnya di Indonesia menandai
kemenangan kaum liberal Eropa (khususnya di negeri Belanda) yang berhasil
memaksa pemerintah (yang cenderung bersifat konservatif) untuk memberikan akses
usaha dan perdagangan komoditas perkebunan di Indonesia yang pada waktu itu
menjadi monopoli negara.
Tuntutan kaum liberal dipenuhi pemerintah kolonial melalui pengundangan
Agrarische Wet melalui Stb. 1870 No.55 (selanjutnya disebut AW) yang terdiri dari 5
ayat, sebagai tambahan terhadap Pasal 62 Regerings Reglement tahun 1854 yang
pada mulanya hanya terdiri dari 3 ayat sehingga menjadi 8 ayat. Perubahan struktur
pemerintahan di negeri Belanda yang menempatkan pemerintahan di daerah jajahan
(Indonesia) sebagai pemerintahan seberang lautan dengan kewenangan mengeluarkan
peraturan perundang-undangan yang disebut Indische Staatsregeling (selanjutnya
disingkat IS) mengakibatkan pasal 62 RR berubah menjadi Pasal 51 IS.
Berdasarkan ayat 4 AW, pemerintah kolonial Belanda dapat memberikan tanah
dengan Hak Erfacht untuk waktu tidak lebih dari 75 tahun bagi pengusaha
perkebunan. Pada Pasal 720 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya
disebut KUHPdt) hak erpacht dirumuskan sebagai : Hak kebendaan untuk
menikmati sepenuhnya akan kegunaan suatu barang tak bergerak milik orang lain,
1
karena selain jangka waktunya lama (75 tahun), sehingga memenuhi syarat untuk
menanam dan memperoleh hasil dari tanaman ekspor yang umumnya merupakan
tanaman keras/tahunan, juga memerlukan modal besar yang dapat diperoleh dengan
pinjaman bank dengan menggunakan hak erfacht sebagai jaminan (Hipotik).
Pemberian tanah dengan hak Erfacht untuk perkebunan tidak menjadi persoalan
bagi pemerintah kolonial, karena negara adalah pemilik (eigenaar) hak atas tanah
sebagaimana dinyatakan pada pasal 1 Koninklijk Besluit (yang lebih dikenal dengan
Pernyataan Pemilikan/Domein Verklaring hak atas tanah oleh negara) dari Stb.1870
No.118 (yang lebih dikenal dengan Agrarisch Besluit, dan selanjutnya disingkat AB),
yang dirumuskan: Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan Pasal 2 dan 3
Agrarisch Wet, tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah yang pihak lain tidak
dapat membuktikan sebagai eigendomnya (sebagaimana yang diatur dalam pasal 570
KUHPdt, kursif penulis) , adalah domein (milik) Negara. Pernyataan demikian
diperlukan agar negara mempunyai landasan formal untuk dapat memberikan hak
atas tanah yang tingkatannya lebih rendah (misalnya, hak erfacht bagi pengusaha
perkebunan khususnya ), maupun hak-hak atas tanah lainnya dan tidak melanggar
azas nemo plus iuris yang terdapat dalam sistem hukum Eropa Kontinental (Civil
Law System).
Walaupun secara teoritis, asas pembuktian terbalik dan sistem hukum barat yang
menjadi dasar pembuktian yang diatur pada pasal 1 AB tidak akan pernah dapat
menjadi sarana pembuktian penguasaan/pemilikan tanah atas dasar hukum adat
sebagai eigendom, sehingga secara formal dan material pemerintah kolonial
mempunyai kewenangan dan keleluasaan penuh untuk dapat memanfaatkan tanah
manapun di Indonesia untuk keperluannya, namun pemerintah kolonial masih
2
menaruh penghormatan terhadap tanah-tanah baik yang berupa tanah komunal (Hak
Ulayat/Beschikkingrect), maupun hak milik adat (hak atas tanah adat yang bersifat
individual).
Berdasarkan ketentuan AW, maka Gubernur Jendral Hindia Belanda:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Dapat menjual tanah yang tidak luas untuk perluasan desa, kota, dan usaha
kerajinan;
Menyewakan tanah menurut ketentuan ordonansi, namun tidak boleh
menyewakan tanah-tanah kepunyaan orang-orang pribumi yang diperoleh atas
dasar pembukaan hutan, tempat penggembalaan umum, atau tanah lain yang
merupakan kepunyaan desa;
Berdasarkan ordonansi dapat memberikan hak erfacht untuk waktu tidak lebih
75 tahun;
Dalam pemberian tanah tidak boleh melanggar hak-hak rakyat pribumi
Tidak boleh mengambil tanah-tanah kepunyaan rakyat, baik atas dasar
pembukaan hutan, tempat penggembalaan, tanah kepunyaan desa , kecuali atas
dasar Pasal 133 atau untuk keperluan penanaman tanaman yang
diselenggarakan atas perintah penguasa menurut peraturan-peraturan, semuanya
dengan pemberian ganti kerugian yang layak;
Dapat memberikan hak agrarisch eigendom bagi tanah adat atas permohonan
pemiliknya, dan sekaligus membebaninya dengan berbagai pembatasan,
kewajiban kepada desa dan negara serta kewenangan untuk menjual kepada non
pribuni;
Mengatur persewaan atau serah pakai tanah dari orang-orang pribumi kepada
non-pribumi dengan ordonansi.
Berdasarkan ketentuan di atas, jelas bahwa dalam kaitannya dengan pengadaan
2.
Individualis, Liberalis dan Meterialis yang lebih menekankan pada cara berfikir
3
formal sehingga negara harus dapat menempatkan dirinya sebagai pemilik tanah
tertinggi (Staat Domein) dan menempatkan tanah jelas-jelas sebagai komoditas
perdagangan sebagai salah satu faktor produksi selain buruh, modal dan teknologi
yang interaksinya diserahkan pada mekanisme pasar bebas sepenuhnya, namun
dalam pemberian tanah untuk keperluan investasi masih menghormati dan
melindungi keberadaan
kolonial terhadap hak masyarakat hukum adat adalah, ketika pemerintah kolonial
memerlukan tanah ulayat dari masyarakat hukum adat Marga yang telah
dimanfaatkan masyarakat setempat sejak zaman kerajaan Sriwijaya, maka pemerintah
kolonial menggantinya dengan tanah yang lain. Bahkan, proses pengantian tanah
ulayat tersebut dituangkan dalam surat (sebagai bukti formal) yang oleh masyarakat
setempat disebut dengan Proses Verbal.
Hingga terjadinya sengketa dengan PT. Musi Hutan Persada, tanah penggantian
dari pemerintah kolonial Belanda yang hingga saat ini dikenal dengan sebutan Hutan
Larangan dan Rimbo Sekampung tetap dipelihara dan dimanfaatkan oleh warga
Benakat. Rimbo Sekampung dimanfaatkan masyarakat untuk mengambil bahan
bangunan membuat rumah, sedangkan Hutan Larangan dimanfaatkan untuk
mengambil berbagai ramuan obat tradisional. Namun ternyata, pada sengketa antara
warga eks marga Benakat dan PT. Musi Hutan Persada, bukti tertulis berupa Proses
Verbal yang menjadi dasar formal pemilikan warga Benakat atas Hutan Larangan
dan Rimbo Sekampung tersebut tidak diakui oleh Kepala Kantor Wilayah Kehutanan
Sumatera Selatan. Alasan yang dikemukan adalah, bahwa berdasarkan UU No.5/67
tidak dikenal adanya hak ulayat yang berupa hutan marga (Hutan Larangan dan
Rimbo Sekampung) , yang ada adalah hutan milik dan hutan produksi, sedangkan
Hutang Larangan dan Rimbo Sekampung termasuk dalam kawasan hutan produksi.
Juga dinyatakan, bahwa pengakuan adanya hak ulayat yang berupa tanah marga
(Hutan Larangan dan Rimbo Sekampung) berdasarkan UU No.5/60 tidak bersifat
mutlak, oleh karena itu masyarakat tidak berhak menghalangi pemberian tanah oleh
pemerintah kepada PT. Musi Hutan Persada yang akan dipergunakan untuk
pelaksanaan program Hutan Tanaman Industri (HTI)1. Fenomena demikian sering
1
. Munawaroh Hasibuan, Studi Terhadap Sengketa Penguasaan Hutan Rimbo Sekampung dan
Hutan Perladangan Adat antara PT.Musi Hutan Persada dengan Warga Benakat Muara Enim,
UUPA juga menciptakan lembaga Hak Guna Usaha (selanjutnya disebut HGU)
yang diatur pada pasal 28 sampai pasal 40 UUPA sebagai pengganti hak Erfacht.
HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara
guna perusahaan pertanian (termasuk di dalamnya perkebunan, kursif penulis),
perikanan, dan peternakan dengan jangka waktu hak paling lama 25 tahun dan dapat
diperpanjang sampai 25 sampai 35 tahun, serta dapat menjadi jaminan utang dengan
dibebani hak tanggungan (Vide pasal 25 ayat 1, jo 29, jis pasal 33 UUPA).
Penggantian hak Erfacht dengan Hak Guna Usaha oleh UUPA, secara substansial
tidak banyak berpengaruh terhadap kebutuhan pengusaha (investor) di bidang
perkebunan, karena baik jangka waktu maupun sifatnya sebagai hak yang dapat
dijaminkan untuk memperoleh kredit tidak berubah, hanya saja jika pada zaman
kolonial hak atas tanah tidak dilekati dengan fungsi sosial, maka menurut UUPA
semua hak atas tanah (termasuk HGU) mempunyai fungsi sosial (Vide Pasal 6
UUPA), serta sebagai sarana/alat dan modal dasar dalam mewujudkan sebesar-besar
kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam
masyarakat dan Negara Hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
Dengan demikian, setelah Indonesia merdeka, terlebih setelah diundangkannya
UUPA, maka setiap kegiatan ekonomi yang memanfaatkan tanah (termasuk untuk
investasi di bidang perkebunan) seharusnya tunduk pada asas-asas hukum ekonomi;
memperhatikan fungsi sosial dan kedudukan tanah sebagai sarana/alat dan modal
dasar dalam mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan,
kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara Hukum Indonesia
yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
Negara/pemerintah sebagai subjek yang memiliki kewenangan tertinggi
berkewajiban secara aktif dan arif untuk campur tangan, baik melalui pembentukan
aturan hukum, kebijaksanaan, maupun pengimplementasiannya, agar tercipta
keseimbangan kepentingan antar pelaku ekonomi; pertanggung jawaban dan
keterbukaan, serta pengawasan publik yang effektif. Kondisi demikan menjadi tugas
negara/pemerintah untuk menciptakannya, karena menurut Hukum Agraria/Hukum
Tanah Indonesia, tanah bukanlah komoditas perdagangan akan tetapi merupakan
asset yang diamanatkan kepada negara/pemerintah sebagai organisasi kekuasaan
6
. Achmad Romson, Sertifikasi Hak-Hak Atas Tanah Masyarakat Sekitar PT.TEL, Proposal
Pemberdayaan Masyarakat Sekitar, Unit Penelitian Fakultas Hukum UNSRI, 1999, hal 5-6.
2.
Pada setiap sengketa yang terjadi maka pihak yang terlibat dalam sengketa
terdiri dari pemerintah (100%), militer (59%), dan kelompok-kelompok
masyarakat (41%);
3.
Sedangkan, fihak yang menjadi lawan sengketa adalah pemerintah (15 %),
Militer (0 %), Perusahaan Negara (26 %), dan Perusahaan Swasta (59 %). 4
Yang menarik dari data yang dikemukakan KKPA adalah, bahwa ternyata negara
selalu terkait baik sebagai pihak yang terlibat dalam sengketa, maupun menjadi lawan
sengketa. Sedangkan perusahaan perkebunan hanya berkedudukan sebagai lawan
sengketa. Hal ini menunjukkan betapa besarnya kepentingan negara dalam sengketa
tanah di bidang perkebunan, sampai negara harus terlibat pada setiap sengketa tanah.
Kondisi demikian juga menunjukkan, bahwa permasalahan tanah bukanlah masalah
hukum perdata semata, tetapi juga menyangkut pelaksanaan pemerintahan (tata usaha
negara), terutama yang berkaitan dengan aturan hukum (peraturan perundangundangan),5 maupun kebijaksanaan6 yang diambil pemerintah dalam rangka
melaksanakan politik pertanahan di bidang perkebunan berdasarkan hak menguasai
negara.
Walaupun terjadi berbagai sengketa dan konflik pertanahan, namun investasi di
bidang perkebunan cenderung terus meningkat, sebagai akibat dari globalisasi
perdagangan dunia, yang menuntut adanya keterbukaan negara-negara dunia untuk
membuka pangsa pasarnya bidang perdagangan barang maupun jasa, serta investasi.
. Anu Louleda dan R.Yando Zakaria, Berebut Tanah : Sebuah Pengantar, dalam Anu Louleda
dan R.Yando Zakaria Ed. Berebut Tanah : Beberapa Kajian Berpersfektif Kampus dan Kampung,
Insist Press, Yogjakarta, 2002, hal: 24-29.
5
. Dalam tulisan ini digunakan istilah aturan hukum, untuk menunjuk secara lebih tepat bagi
ketentuan hukum yang dari segi bentuknya adalah tertulis, dari segi substansi serta sifatnya adalah
keluar atau mengikat umum, yang didalamnya mengandung norma-norma hukum yang selama ini
lebih dikenal dengan istilah Peraturan Perundang-undangan. Tidak digunakannya istilah
peraturan perundang-undangdalam tulisan ini dikarenakan istilah peraturan perundang-undangan yang
bermakna umum, meliputi semua peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan peraturanperaturan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Penggunaan istilah peraturan perundang-undangan
akan menjadi kendala bagi penelitian ini yang pada tahap analisis akan melakukan klassifikasi
terhadap Peraturan Perundang-undangan bagi ketentuan hukum yang dari segi bentuknya adalah
tertulis, dari segi substansi serta sifatnya adalah keluar atau mengikat umum yang selanjutnya disebut
aturan hukum, dengan istilah Kebijaksanaan. Lihat: Febrian, Hirarki Aturan Hukum Di Indonesia,
Disertasi pada Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2004, hal 50-85.
6
. Peraturan Perundang-undangan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara,
sebagai konsekwensi dari peranannya sebagai lembaga negara dan pemerintah dalam menghadapi
situasi konkrit, yang dikenal dengan istilah Kebijaksanaan (Beleidsregel, atau Policy) yang tidak
mempunyai sifat mengatur, namun hanya ditujukan pada badan atau pejabat tata usaha itu sendiri, dan
tidak mengikat umum dan didasarkan pada Fries Ermessen. Lihat: Ibid hal:131-136.
Terlepas dari sikap pro dan kontra terhadap globalisasi, liberalisasi perdagangan
yang berlanjut pada penanaman modal, dan lapangan kerja ke sistem perdagangan
internasional yang diupayakan GATT, maka dengan terbentuknya World Trade
Organization (WTO), Indonesia harus menghadapi dan menerimanya, terlepas dari
masih terjadinya perdebatan, apakah negara-negara di dunia akan mampu
melaksanakannya atau bersaing satu sama lain secara fair, karena di antara negaranegara di dunia terdapat perbedaan kemampuan ekonomi, sumber daya manusia,
sumber daya alam, dll.
Peningkatan investasi di bidang perkebunan antara lain nampak dari data-data
antara lain, dalam satu setengah tahun perjalananan Pelita VI yang lalu, di Sumatera
Selatan penananaman modal disektor perkebunan mencapai Rp.4,447 Triliun, dengan
41 Perusahaan PMDN, dan 9 PMA serta menyerap 82.410 tenaga kerja7. Lebih
lanjut, Sensus Perkebunan Besar tahun 1993 di Indonesia menunjukkan, terdapat 1.206
(709 perusahaan swasta, 388 BUMN, 48 Perusahaan Asing, 21 Perusahaan Patungan,
dan 40 BUMD) perkebunan besar yang menguasai 3,8 juta hektar tanah perkebunan.
Dengan demikian, jika diambil luas rata-rata, maka setiap perusahaan perkebunan
setidaknya menguasai 3.096,986 hektar tanah perkebunan. Sementara hasil Sensus
Pertanian Tahun 1993 yang dilakukan terhadap 19.713.806 rumah tangga tani hanya
menguasai 2.099.420,53 ha tanah. Bahkan untuk lahan pangan menurut sensus tersebut
rata-rata keluarga petani hanya menguasai 0,86 hektar tanah. Di Sumetera Selatan,
struktur penguasaan tanah dalam kaitannya dengan kegiatan investasi sektor
kehutanan, perkebunan, pertambangan dibandingkan dengan perkebunan rakyat dapat
dilihat
Jumlah Perusahaan
19 Perusahaan
66 Perusahaah
(57 PMDN , 9 PMA)
3 Perusahaan
Luas (Ha)
1.916.050.
1.409.092.
1.045.044,94.
500.000.
penguasaan tanah untuk perkebunan besar telah melebihi luas tanah perkebunan
rakyat (hanya selisih 47,06 ha).
Keterbatasan ketersediaan tanah pada satu sisi, sedangkan luas tanah yang dikuasai
oleh perkebunan cenderung terus akan meningkat seiring dengan peningkatan investasi
di bidang perkebunan akan semakin meningkatkan ketimpangan penguasaan dan
pemilikan tanah; terbatasnya akses petani untuk dapat memanfaatkan tanah, serta
termarjinalnya petani dari pemilik tanah menjadi buruh perkebunan, dapat menjadi
pemicu terjadinya sengketa dan konflik pertanahan yang berkelanjutan.
Sehubungan dengan kondisi di atas, maka dibutuhkan penanganan yang
sungguh-sungguh dan berkesinambungan dalam melakukan pemerataan penguasaan
dan pemilikan tanah, khususnya di bidang perkebunan. Ketidakmerataan penguasaan
dan pemilikan tanah merupakan faktor yang sangat rentan untuk menimbulkan
berbagai konflik baik yang bersifat terbuka maupun tertutup. Hal ini dapat difahami,
karena sebagai negara yang sebagian besar penduduknya berpencaharian di sektor
pertanian dan perkebunan (negara agraris), maka tanah mempunyai kedudukan yang
sangat vital, yaitu sebagai faktor produksi yang terpenting. Bahkan di Indonesia,
hubungan antara manusia dan tanah yang demikian erat dan emosionalnya tersebut
dalam hukum adat dikonsepsikan sebagai hubungan yang bersifat Magis Religius.
Selain itu, persediaan tanah yang relatif terbatas, sedangkan keperluan terhadap
tanah untuk berbagai kegiatan baik pertanian, industri, perumahan, dan sarana umum
akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan kegiatan
pembangunan juga mengakibatkan tanah mempunyai Multiple Value, berupa: 1. Nilai
produksi; 2. Lokasi ; 3.Lingkungan; 4. Sosial; 5. Politik; 6.Ekonomi, dan; 7. Nilai
hukum, sehingga penguasaan dan pemilikan tanah menjadi hal yang demikian vital
dan strategi.9
Kecenderungan terus meningkatnya konflik pertanahan di bidang perkebunan
dapat dimengerti, apabila dihubungkan aspek Multiple Value dan rasio penguasaan
8
. Munarman, Ibid.
. I Gede AB Wiranata, Reorientasi Terhadap Tanah Sebagai Objek Investasi, Usulan Penelitian
Untuk Disertasi, PDIH Undip, Semarang, 2004, hal 2.
10
dan pemilikan tanah yang timpang sebagaimana diuraikan di atas. Atas dasar pola
pikir demikian, maka sengketa pertanahan selain dapat difahami, juga menjadi
sesuatu yang paradoks apabila dihubungkan dengan prinsip-prinsip pengaturan tanah
yang diatur dalam UUPA yang menempatkan tanah sebagai asset yang harus diatur
penggunaan dan pemanfaatannya oleh negara/pemerintah untuk mencapai sebesarbesar kemakmuran rakyat; mempuyai fungsi sosial, serta dapat memenuhi keperluan
rakyat Indonesia menurut perkembangan zaman, karena ternyata pada era globalisasi
ini terdapat indikasi yang kuat, bahwa rakyat (terutama rakyat tani di bidang
perkebunan) malah menjadi pihak yang sering menjadi korban atau dikorbankan bagi
globalisasi perdagangan dunia.
Berbagai sengketa tanah yang terjadi yang mengiringi derasnya pengadaan tanah
untuk berbagai investasi, terutama di bidang perkebunan merupakan sesuatu paradoks
dengan kebutuhan adanya investasi baik asing maupun domestik (Foreign and
Domestic Investment). Mengingat kemampuan dana pemerintah yang terbatas untuk
dapat melakukan pembangunan, maka investasi baik yang berbentuk Foreign
Investmen maupun Domestic Investment seharusnya mendapatkan dukungan oleh
semua pihak, tanpa harus mengorbankan hak-hak/kepentingan rakyat, terutama
masyarakat sekitar proyek dimana investasi tersebut ditanamkan yang menimbulkan
berbagai sengketa yang berkepanjangan
Pada pengadaan tanah untuk keperluan investasi, seharusnya pemerintah dapat
memainkan perannya dengan arif dan aktif untuk memberikan perlindungan pada
rakyat, maupun pengusaha yang melakukan investasi, karena pada dasarnya setiap
kebijaksanaan pemerintah untuk memanfaatkan tanah harus didasarkan pada asas
Optimalisasi Pemanfaatan Hak-Hak Atas Tanah, bahwa hak atas tanah harus dapat
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya baik dari segi jumlah orang yang dapat
memiliki hak, maupun dari segi manfaat/hasil yang dapat diambil dari tanah tersebut
(komoditas). Dengan kata lain, Secara teoritis, seharusnya peningkatan investasi
tersebut berdampak positip bagi kesejahteraan rakyat
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka kajian terhadap pengaruh investasi
sebagai bagian dari globalisasi perdagangan yang mampu memetakan pengaruh
proses investasi terhadap aturan hukum dan kebijaksanaan pengadaan tanah dan
11
2.
3.
C. Pembahasan
1. Asas-asas Hukum Ekonomi,Penanaman Modal, dan Pemanfatan Tanah untuk
Kegiatan Penanaman di Bidang Perkebunan
Investasi di bidang perkebunan merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang
seharusnya didasari asas-asas hukum ekonomi, yaitu:
1. Asas keseimbangan;
2. Asas Pengawasan Publik, dan;
3. Asas Campur tangan negara.
Asas keseimbangan menuntut adanya keseimbangan antara: kepentingan umum
dengan kepentingan privat; produsen dan konsumen; pengusaha dan tenaga kerja;
serta kepentingan berbagai pihak yang terlibat dalam perjanjian. Asas pengawasan
publik menuntut adanya kejujuran dari pelaku ekonomi dan pengawasan masyarakat,
terutama untuk kegiatan ekonomi yang menyangkut hajat hidup orang banyak,
perusahaan terbuka, perusahaan dengan jumlah modal tertentu, dan sebagainya. Asas
campur tangan negara menuntut agar negara berperan secara aktif dan arif untuk
12
10
15.
11
. Sri Redjeki Hartono, Pentingnya Pengaturan Yang Baik Di Bidang Hukum Bisnis Khusus
Investasi, hal 3.
12
. A.Chayanov,Peasant Farm Organization dalam A.V. Chayanov on The Theory of Peasant
Economy,disunting oleh D.Thomas, B.Kerblay dan R.Smith, Homewood Illinois, American
Economic Assosiation, hal 262.
13
. Noer Fauzi menggunakan istilah Usaha Tani Kontrak/Contract Farming untuk menyebut
bentuk-bentuk khas organisasi produksi yang mengkaitkan secara vertikal satuan-satuan usaha rakyat
dengan perusahaan agro industri yang bermodal raksasa yang umumnya mendapat dukungan resmi
pemerintah, seperti dalam bentuk Perusahaan Inti Rakyat (PIR), atau Inti Plasma. Sedangkan Ben
White menyebutnya dengan istilah Pertanian Contract. Lihat, Noer Fauzi, Penghancuran
Populime dan Pembangunan Kapitalisme: Dinamika Politik Agraria Indonesia Pasca Kolonial,
dalam Dianto Bachriadi, Erfan Riyadi, et all (ed), Perubahan Politik, Sengketa dan Agenda
Pembaharuan Agraria di Indonesia: REFORMASI AGRARIA, Kerjasama Konsorsium Pembaharuan
Agraria dengan Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta , 1997, hal:112113. Lihat juga, Ben White, Inti dan Plasma: Pertanian Kontrak dan Pelaksanaan Kekuasaan di
Dataran Tinggi Jawa Barat, dalam Tania Murrai Li, alih bahasa oleh Sumitro dan SN.Kartikasari,
Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2002, hal :
323. Dalam tulisan ini penulis menggunakan istilah Kontrak Pertanian (berdasarkan hukum DM
dalam kaedah Bahasa Indonesia) untuk menunjuk bentuk perjanjian tertulis antara pengusaha
perkebunan (investor) dengan petani yang memuat hak dan kewajiban antara kedua belah pihak dalam
kegiatan ekonomi di bidang perkebunan dengan pola PIR, maupun pola-pola lain, seperti PIR
Nebeng yang dipraktekkan misalnya oleh PT.Minanga Ogan di Kabupaten Ogan Komering Ulu
Propinsi Sumatera Selatan. Lihat Makmoen Sulaiman Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pembangunan,
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional BKS PTN Wilayah Barat Bidang Ilmu Hukum di
Universitas Sriwijaya 15-16 Mei 2001, Palembang, hal 20.
14
. Sri Redjeki Hartono, op.cit., hal 73.
14
pemerintah/negara,
maka
hukum ekonomi
. Ibid, hal 4.
15
Nilai Keadilan
Feed Back
Asas
Keseimbangan
Feed Back
Asas
Pengawasan Publik
Asas
Keterbukaan &
Tanggung Jawab
CAMPUR TANGAN
NEGARA
Asas-Asas
Hukum Privat
Asas-Asas
Hukum Publik
Peraturan
Perundang-undangan
Hukum Ekonomi
Asas-Asas
Hukum
Ekonomi
KEGIATAN EKONOMI
KEMAKMURAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
Sebagai bagian dari kegiatan ekonomi atau bisnis, maka kegiatan usaha di bidang
perkebunan dengan luasan usaha antara 25 hektar atau lebih harus memakai investasi
modal yang layak (relatif besar) dan teknik perusahaan yang baik (manajemen dan
16
16
swasta
f.
menentukan apa yang seyogyanya dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan atau
harus dilakukan, serta menentukan bagaimana caranya melaksanakan kepatuhan pada
20
2.
3.
4.
5.
Tanah harus dipandang sebagai alat atau faktor produksi untuk kemakmuran
bersama, bukan untuk kepentingan orang perorangan yang pada akhirnya dapat
mendorong terjadinya akumulasi penguasaan tanah pada segelintir kelompok
masyarakat.
Tanah adalah milik rakyat Indonesia.
Negara yang merupakan penjelmaan rakyat hanya mempunyai hak mengatur
penggunaannya agar dapat mengejar kemakmuran bersama.
Tanah tidak boleh menjadi komoditi yang dapat diperjual belikan untuk
mencari keuntungan semata.
Untuk mengatur, diperlukan kekuasaan negara dalam menentukan alokasi
pengunaan tanah, dalam hal ini tidak boleh ada pertentangan antara masyarakat
dan negara karena negara merupakan alat dari masyarakat untuk menciptakan
kesejahteraan bersama. 19
Prinsip-prinsip yang dikemukakan Bung Hatta diimplementasikan dalam rumusan
Pasal 33 ayat 3 UUD 1945: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya di kuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat yang selanjutnya menjadi dasar perumusan Pasal 2 ayat 1 UUPA yang
menempatkan negara sebagai pemegang Hak Untuk Menguasai pada tingkatan
tertinggi atas Bumi, Air, Ruang Angkasa, dan Kekayaan Alam yang terkandung di
dalamnya (HMN). Pengertian dikuasai bukan berarti dimiliki, namun diberi
kewenangan tertinggi dalam mengatur penggunaannya.
17
38.
18
21
21
Tanah
bagian Berpendapat
Penjelasan Umum I
Pengertian rakyat menunjuk pada manusia sebagai subjek hukum alami (Natuurlijke
Persoon)23, bukan badan hukum, apalagi pemerintah atau negara. Berdasarkan alur
fikir demikian, maka petanilah (rakyat tani) yang harus memperoleh perhatian utama
dalam pelaksanaan politik agraria baik oleh pemerintah pusat maupun daerah, karena
kesejahteraan rakyat tani yang sebesar-besarnyalah yang menjadi tujuan utama
UUPA.
20
22
Untuk mencapai tujuan yang diamanatkan UUPA, maka diperlukan politik atau
strategi agraria untuk mencapainya. Berdasarkan 3 (tiga) ciri idealnya, yaitu: a.
Penguasaan Tanah; b. Tenaga Kerja, dan; c. Tanggung jawab dalam pengambilan
keputusan mengenai produksi, akumulasi modal, dan investasi, maka
Politik
. Gunawan Wiradi, dalam Noer Fauzi, Penghancuran Populisme dan Pembangunan Kapitalisme:
Dinamika Politik Abraria Pasca Kolonial, dalam Dianto Bachriadi, Erfan Faryadi,et all (Ed),
Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia : Reformasi Agraria,
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1997, hal 67-68.
23
Natuurlijke Persoon), tanggung jawab dalam aspek akumulasi modal dan investasi.25
Dengan demikian, maka politik pertanahan di bidang perkebunan sebagai bagian dari
politik pertanahan yang diatur dalam UUPA seharusnya juga menganut strategi/
politik agraria Populis atau Neo Populis.
Berdasarkan tujuan politik agraria populis atau neo-populis yang diamanatkan
UUPA yang tujuan utamanya adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka
secara ideal yang harus dilakukan pemerintah/negara adalah membuka akses seluasluasnya pada rakyat untuk dapat memiliki dan memanfaatkan tanah perkebunan
(HGU), dalam rangka mencapai kesejahteraannya. Untuk itu,
negara/pemerintah
25
. Firman Muntaqo, Menyikapi Era Globalisasi di Bidang Agraria, Majalah Simbur Cahaya,
Nomor 09 Tahun IV, Januari 1999, hal 85.
24
Bahkan Sritua Arief, salah seorang ekonom penganut aliran strukturalis dan
faham ekonomi kerakyatan Indonesia yang digagas oleh Bung Hatta menyatakan:
Dialektika hubungan ekonomi, baik intern maupun ekstern dalam lingkungan
perkebunan besar, secara fundamental tidak mengalami perubahan sejak zaman
kolonial Belanda sampai sekarang. Perubahan aktor dari Belanda ke pribumi
tidak berhasil mengubah karakter hubungan ekonomi antar aktor, terutama antara
aktor kuat dan aktor lemah. 26
Sritua Arief mengemukakan contoh:
Perkebunan besar di Sumatera sebagai suatu unit ekonomi nasional dimana
pemilikannya berada ditangan negara, ternyata telah tidak tampil sebagai
promotor restrukturisasi manfaat ekonomi nasional, dalam bentuk
1. Menimbulkan dampak pemerataan dalam proses pertumbuhan ekonomi, dan;
2. Menimbulkan dampak sosial berupa peningkatan kualitas hidup dan solidaritas
masyarakat sekitar.27
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik pengertian bahwa, UUPA sebagai aturan
hukum yang diharapkan mampu menjadi dasar bagi pengaturan tanah, termasuk tanah
perkebunan, pada tataran implementasinya ternyata belum mampu secara memadai
berfungsi sebagai alat/instrumen untuk merealisasikan mandat yang diembannya di
bidang perkebunan. Hal ini didasarkan pada kenyataan, antara lain:
1. Tidak terciptanya pemerataan penguasaan dan pemilikan tanah perkebunan
(Landreform, dalam bentuk Land Distribution);
2. Terjadinya peningkatan kuantitas maupun kualitas sengketa pertanahan di bidang
perkebunan antar warga masyarakat; masyarakat dengan perusahaan; sampai
kepada masyarakat dengan negara dan/atau perusahaan di berbagai daerah dengan
berbagai dimensinya;
3.
Akses rakyat untuk memperoleh HGU dalam skala kecil antara 5 s/d 25 ha, tidak
terlaksana, bahkan dalam kenyataannya HGU yang diberikan hanya 2 ha
persertifikat;
4.
Terjadinya persaingan yang tidak sehat dan nyaris tanpa adanya perlindungan
bagi rakyat yang berkedudukan sebagai golongan ekonomi lemah sebagaimana yang
dimanatkan UUPA (Vide Pasal 11 Ayat 1 dan 2 UUPA).
5.
Timbulkan tuntutan masyarakat pada pemerintah untuk melakukan adanya
reformasi agraria yang pada akhirnya direalisasikan dalam TAP MPR No.IX/2001
Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam serta Kepres
No34/2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan.
Kondisi di atas semakin diperparah oleh globalisasi perdagangan dunia yang
memungkinkan dengan mudahnya modal asing masuk di sektor perkebunan yang
26
. Sritua Arief, Ekonomi Kerakyatan Indonesia, Mengenang Bung Hatta, Bapak Ekonomi
Kerakyatan Indonesia, Universitas Muhammadiyah Yogjakarta Press, Yogjakarta, 2002, Hal 28.
27
. Ibid, hal 29.
25
dengan cepat meningkatkan jumlah perusahaan asing, maupun patungan yang bergerak
di bidang perkebunan dengan penguasaan/pemilikan tanah yang demikian luas dan
terus berusaha memperluas perkebunannya yang dapat mengakibatkan ternegasinya
akses rakyat/petani perkebunan atau bahkan memarginalkan petani menjadi petani
bertanah yang kemudian beralih pekerjaan menjadi buruh tani yang secara ekonomis
sangat bergantung pada perusahaan perkebunan.
Sehubungan dengan uraian di atas, pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa sampai
terjadi penguasaan tanah yang demikian luas oleh perusaan perkebunan, dan mengapa
keberadaan usaha perkebunan cenderung melemahkan petani dan cenderung
memarjinalkan petani dari pemilik tanah menjadi buruh perkebunan ?. Persoalan
demikian akan dapat dijawab secara memadai apabila dapat dipetakan konjungtur
politik yang mempengaruhi pemerintah dalam melaksanakan politik agraria yang
diamanatkan oleh UUPA, serta praktek pengadaan tanah dalam rangka investasi melalui
mekanisme Kontrak Pertanian di bidang perkebunan.
3. Pengaruh Konjungtur Politik Terhadap Politik Pertanahan di Bidang
Perkebunan dalam Kaitannya dengan Penanaman Modal
Pemerintah Orde Lama dengan Demokrasi Terpimpin jatuh dengan mewariskan
keterpurukan kondisi ekonomi, serta ketidakstabilan politik dan keamanan. Oleh karena
itu, dapat difahami jika Orde Baru menjadikan pembangunan ekonomi dan stabilitas
sebagai sasaran strategis pembangunan. Orde Baru berpendapat bahwa tidak mungkin
dapat dicapai pertumbuhan ekonomi tanpa adanya: 1. Stabilitas politik dan keamanan, 2.
Akumulasi modal, dan; 3.Dukungan dari kekuatan soisial politik.
Secara politis, Orde Baru tidak akan mendapat dukungan apabila melaksanakan
politik agraria populis atau neo-populis yang diamanatkan UUPA, karena :
1.
2.
Secara politis, Orde Baru tampil sebagai rejim yang berkuasa berkat dukungan
Militer (terutama Angkatan Darat), Agamawan, Pengusaha, Birokrat, dan Petani
Pemilik tanah yang luas (tuan tanah) di pedesaan yang menentang dilaksanakannya
Landreform.
26
2.
Setelah mendapat berbagai kecaman, PMDN 15/75 dan PMDN 2/76 dicabut
melalui Keppres 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Namun demikian, walaupun pola
pengadaan tanah untuk kepentingan investasi dengan memanfaatkan kewenangan
negara di bidang pertanahan telah dihapuskan melalui Kepres 55/93, namun
pengambilan tanah rakyat untuk kepentingan investasi tetap berlangsung. Hal ini
disebabkan selain karena UUPA tidak secara mengatur kedudukan tanah-tanah
individu, maupun tanah masyarakat yang umumnya tunduk pada hukum adat, juga
karena UUPA tidak secara tegas dan jelas menentukan bagaimana mekanisme serta
lembaga yang berfungsi menjembatani pengalihan dari tanah adat menjadi tanah yang
tunduk pada UUPA. Bahkan, bila dikaji lebih mendalam ternyata, dengan dasar HMN
yang tidak jelas tafsir dan batasannya, pemerintah, atau rejim yang berkuasa
cenderung melakukan pembatasan terhadap tanah-tanah masyarakat yang lebih
banyak dimiliki/dikuasai berdasarkan hukum adat.
Pengakuan terhadap tanah adat ataupun tanah masyarakat hukum adat semakin
pudar/tidak menentu, dan cenderung semakin ternegasi dengan diundangkannya UU
No.5 Tahun tentang Pemerintahan Desa. Walaupun UU No.5/79 tidak menghapuskan
masyarakat hukum adat (dalam artian sosiologis), namun penghapusan terhadap
kelembagaan masyarakat hukum adat, seperti marga Sumatera Selatan, Nagari di
Sumatera Barat, dan lain-lain yang selama ini telah menyatu dengan masyarakat
dengan hukum adat sebagai satu kekuasaan yang otonom, dan menggantikannya
dengan pemerintahan desa menurut Prof. Dr. Satjipto Rahardjo,SH., telah
mengakibatkan
terbabat
habisnya
kekuasaan-kekuasaan
otonom
(kesatuan
masyarakat beserta hukum adatnya, kursif penulis)28 yang selama ini menjadi
sandaran keberadaan haknya atas tanah.
Ketidakpastian keberadaan hak-hak atas tanah adat lebih diperparah oleh pola
pikir aparat pertanahan yang sangat terpengaruh oleh sistem hukum perdata barat
(Civil Law System) yang menekankan pada alat bukti formal (surat/akta) untuk
membuktikan adanya suatu hak atas tanah, walaupun sebenarnya UUPA yang
menempatkan Hukum Adat sebagai sumber utamanya membuka kemungkinan
28
28
pembuktian pemilikan hak atas tanah berdasarkan hukum adat, atau cara-cara lainnya,
karena UUPA pada dasarnya tidak menganut pembuktian positif, tetapi pembuktian
negatif.
Masyarakat menilai kebijaksanaan pemerintah untuk melemahkan akses rakyat ,
terutama rakyat tani merupakan upaya memfasilitasi investor dalam pengadaan tanah
bagi penanaman modal. Hal ini terlihat dari kebijaksanaan pemerintah Orde Baru di
bidang pertanahan, berupa:
1. Penempatan landreform tidak lagi sebagai strategi pembangunan, akan tetapi hanya
sebagai masalah teknis belaka/rutin birokrasi. Masalah tanah oleh Orde Baru tidak
ditempatkan sebagai dasar pembangunan, namun sebagai strategi peraturan
perundang-undangan yang ditujukan untuk mempermudah kalangan swasta/pemilik
modal dalam memperoleh tanah, bahkan bila perlu dengan mengorbankan tanahtanah rakyat.
2. Penghapusan legitimasi partisipasi organisasi petani dalam program landreform,
dengan mencabut pertaturan yang lama dan menggantikannya dengan yang baru.
Hal ini dilakukan dengan melakukan penghapusan pengadilan landreform, dan
pembentukan HKTI sebagai organisasi tani bentukan pemerintah;
3. Penerapan kebijakan massa mengambang (Floating Mass) dengan tujuan
memotong hubungan petani/pedesaan dengan partai politik, sehingga petani tidak
memiliki kemampuan mempengaruhi kebijakan pemerintah, apalagi memiliki posisi
tawar.
4. Menghilangkan dinamika proses politik di pedesaan, dengan mengundangkan UU
No.5/79 dengan tujuan melakukan kontrol birokratis terhadap kekuatan yang ada
pada masyarakat pedesaan.
5. Pelibatan unsur militer dan polisi dalam dinamika pembangunan desa, atas dasar dwi
fungsi ABRI.
6. Memanfaatkan Hak Menguasai Negara yang tidak jelas tafsir dan batasnya sebagai
dasar pengadaan tanah bagi keperluan perusahaan, pemerintah, maupun
pembangunan lainnya.29
Fenomena yang menggambarkan upaya sistematis pemerintah untuk mengubah
politik agraria populis/neo populis dengan politik agraria kapitalis, tanpa melakukan
perubahan terhadap UUPA guna kepentingan investasi dan mempermudah eksploitasi
sunber-sumber agraria (termasuk tanah untuk program pembangunan agro industri di
bidang perkebunan) dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
cepat, walaupun dengan mengorbankan asas pemerataan dan hak atas tanah-tanah
rakyat yang disertai otoritarianisme negara merupakan gambaran konjungtur politik
pada waktu pada masa Orde Baru yang hingga saat ini masih akibatnya masih
berlanjut. Menanggapi fenomena demikian, Prof.Dr Satjipto Rahardjo,SH. dengan
29
29
bahasa yang Sosiologis menyatakan bahwa, hukum dapat meleleh ditangan para
pelaksana hukum.30 Dalam kasus di atas, maka politik Agraria Populis/Neo Populis
meleleh di tangan Rejim Orde Baru.
4. Kontrak Pertanian dalam Kegiatan Investasi di Bidang Perkebunan
Prof.Dr. Sri Redjeki Hartono,SH., mengingatkan, bahwa Jika masalah investasi
asing (tentunya termasuk investasi dalam negeri, kursif penulis) tidak diatur secara
seksama dan konprehensif akan menimbulkan dampak negatif seperti:
1.
2.
30
. Firman Muntaqo, Catatan Kuliah Teori Hukum I pada PDIH Universitas Diponegoro, Semarang,
Tidak dipublikasikan, Juli 2005.
31
. Sri Redjeki Hartono, Pentingnya Pengaturan yang Baik di Bidang Hukum Bisnis, Khususnya
Investasi, op,cit., hal: 8.
30
Kegaduhan sosial,
Kegaduhan politik. 32
4.
5.
Sinyalemen Prof. Dr. Sri Redjeki Hartono,SH., dan Bagir Manan tersebut
merupakan suatu kenyataan dalam kegiatan investasi di bidang perkebunan, karena
rancunya ketentuan hukum yang berakibat mudahnya melakukan penyelundupan
hukum bagi kepentingan dan keuntungan investor maupun berbagai pihak yang
memanfaatkan situasi lemahnya hukum, birokrasi yang tidak baik dan cenderung
korup, proses peradilan yang tidak baik, serta tidak dimanfaatkannya kekuatan lokal
sehingga menimbulkan kesenjangan sosial. Kelemahan-kelemahan yang merugikan
petani dan negara tersebut nampak mulai dari proses awal investasi, pengadaan tanah,
pembentukan kontrak pertanian, sampai pada implementasi kontrak pertanian yang
merupakan bagian dari program agro industri yang dilaksanakan oleh pemerintah
Orde Baru.
a. Kelemahan pada Proses Awal Penanaman Modal di Bidang Perkebunan.
Program agro industri adalah program yang diperkenalkan dan direkomendasikan
oleh World Bank, IMF (International Monetary Fund), ADB (Asian Development
Bank), dan CDC (Commonwealt Development Corporatioan) pada tahun 1970 untuk
mengantisipasi menurunnya penerimaan devisa dari minyak, dengan pengembangan
sektor pertanian khususnya perkebunan melalui proyek pengembangan perkebunan
rakyat melalui Nucleus Estate and Smallholder Scheme (NES) yang kemudian lebih
dikenal sistem Perusahaan Inti Rakyat (PIR), dan dikenal juga dengan sistem usaha
tani kontrak/contract farming atau Inti-Plasma.
Perusahaan Inti-Plasma adalah cara pengorganisasian produksi pertanian yang
dilakukan dengan menempatkan petani-petani kecil atau plasma dalam bingkai
kontrak suatu perusahaan besar sebagai inti untuk menghasilkan hasil pertanian yang
telah ditentukan. Perusahaan inti membeli hasil pertanian/perkebunan menyediakan
bimbingan teknis, kredit, dll, untuk menjamin ketersediaan produksi dan pemasaran.
Sistem inti-plasma pada dasarnya diciptakan oleh pemilik modal asing raksasa
internasional yang lebih dikenal dengan perusahaan trans-nasional (Transnational
32
31
32
4.
. Ner Fauzi, Anatomi Politik Agraria Orde Baru, dalam Noer Fauzi, Peny, Tanah dan
Pembangunan, hal: 156.
33
tanah masyarakat hukum adat/Tanah Ulayat adalah tanah negara, karena setelah
Indonesia merdeka Hak Ulayat masyarakat hukum adat telah diangkat pada tingkat
yang lebih tinggi pada level negara, sehingga penggunaan dan pemanfaatannya
berada pada tangan negara dan tidak lagi pada kesatuan masyarakat hukum adat,
kecuali keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat tersebut dapat dibuktikan
keberadaannya, sebagaimana yang diatur pada Pasal 3 UUPA dan Permenag/Kepala
BPN No.5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat. Dengan kata lain, hak masyarakat atas tanah milik adat
yang sifatnya individual atau komunal harus dibuktikan dulu, kalau tidak dapat
dibuktikan, maka tanah tersebut adalah tanah negara. Hal demikian tidak berbeda
dengan kewajiban pembuktian terbalik yang dianut oleh pemerintah kolonial yang
diatur dalam pasal 1 AB yang lebih dikenal dengan pernyataan pemilikan tanah oleh
negara/Domein Verklaring.
Apabila individu dapat membuktikan hak pemilikannya atas tanah yang dikuasai
berdasarkan hukum adat, tetap saja tidak dapat menolak untuk dilakukannya
pembebasan tanah, sebab tanah adat tetap tunduk pada lingkup HMN. Menurut
penjelasan UUPA, masyarakat hukum adat boleh/tidak dapat menghalang-halangi
digunakannya tanah hak ulayat untuk pembukaan perkebunan, dan masyarakat hanya
berhak atas Recognitie yang berfungsi untuk memutuskan hubungan hukum antara
masyarakat/individu dengan hak atas tanah ulayatnya.
Kesatuan masyarakat hukum adat pada dasarnya hanya memiliki hak untuk
mengelola sebagian dari hak HMN apabila ada pendelegasian dari negara/pemerintah
sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional menurut
ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah (Vide Pasal 2 ayat 4 UUPA). Selanjutnya
masih dalam Penjelasan UUPA secara tegas dinyatakan, bahwa kepentingan sesuatu
masyarakat hukum harus tunduk kepada kepentingan nasional dan negara yang lebih
luas dan hak ulayatpun yang masih ada pelaksanaannya harus sesuai dengan
kepentingan yang lebih luas (Vide Penjelasan Umum II UUPA).
Alur pikir sebagaimana diuraikan pada paragraf-paragraf di atas senada dengan
pernyataan dari Soedikno Mertokusumo bahwa, sejak Indonesia merdeka sebagai
suatu bangsa, maka suku-suku bangsa tidak lagi memiliki hak kepunyaan atas tanah
34
ulayatnya, karena tanah ulayatnya tersebut telah menjadi tanah ulayat bangsa, dengan
kata lain telah melebur menjadi hak (ulayat) bangsa atau hak bangsa36. Jika telah
demikian penafsirannya, maka HMN tidak lagi ada bedanya dengan Hak Milik dalam
pengertian Staatsdomein, sebagaimana yang diatur pada pasal 1 AB yang mengatur
tentang Domein Verklaring . Dan juga perlu diketahui, hingga saat ini belum ada
satupun kesatuan masyarakat hukum adat yang menerima pelimpahan wewenang dari
pemerintah pusat untuk melaksanakan sebagian dari HMN, walaupun pelimpahan
wewenang tersebut telah lebih dioperasionalisasikan melalui Permenag/Kepala BPN
No.5/1999.
Dengan demikian, jelas bahwa UUPA terlalu berpihak pada kepentingan
negara/pemerintah yang diwakili pemerintah pusat sebagai pemegang kekuasaan
sentral di bidang agraria/pertanahan (Vide Penjelasan pasal 2 UUPA). Secara
sosiologis, maka jelas nampak terjadinya penegasian terhadap hukum rakyat/hukum
adat
oleh
hukum
negara
(UUPA),
karena
ternyata
implementasi
HMN
mengakibatkan:
1. Terjadinya penghisapan kewenangan masyarakat hukum adat untuk mengatur tanah
yang ada dilingkungan hak ulayatnya yang secara sosiologis ditujukan untuk
menjamin tersedianya kebutuhan hidupan anggota masyarakat hukum adat dalam
rangka mengejar kesejahteraan oleh Hak Menguasai Negara yang menjadi
kewenangan pemerintah pusat;
2. Ternegasinya akses anggota masyarakat hukum adat yang selama ini dijamin oleh
hukum adat yang walaupun tradisional dan sederhana namun telah mampu
menjamin akses anggota masyarakat untuk secara leluasa mengakses dan
memanfaatkan bagian tanah ulayat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya;
3. Hancurnya tatanan hukum tanah adat yang selama ini telah terbukti menjadi
sandaran masyarakat hukum adat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Ketiga hal tersebut mengakibatkan terjadinya perlawanan terhadap implementasi
Hak Menguasai Negara yang mencuat dalam bentuk berbagai sengketa pertanahan
antara pemerintah/negara dengan masyarakat. Perlawanan masyarakat terhadap
pemerintah/ negara tersebut semakin meningkat manakala pemanfaatan tanah inividu
yang dibebaskan, maupun tanah ex Hak Ulayat yang difasilitasi pemerintah tersebut
selain dilakukan dengan cara-cara yang secara sosiologis tidak dapat diterima, juga
36
35
UUPA merupakan
salah
satu
upaya
untuk
melakukan
pembangunan hukum modern dalam suasana the new modern state, dengan sedapat
mungkin menggunakan sumber-sumber hukum asli Indonesia. Namun, dalam proses
pembentukannya, ternyata tidak didasarkan pada pemahaman yang mendalam
secara sosiologis kondisi hukum asli Indonesia yang bersifat Bhinneka Tunggal Ika,
dan tersebar secara otonom yang lebih sesuai dengan sistem pengaturan yang
bersifat desentralisasi.
Dalam pembentukan UUPA, pembentuk UU terjebak pada sistem hukum modern
yang dianut oleh negara-negara Civil Law System yang menganut sistem kodifikasi
atau unifikasi serta pola pengelolaan kekuasaan negara/pemerintah yang bersifat
sentralistis. Prof.Sutandyo Wignjosoebroto,MPA, menyatakan bahwa, Hukum
nasional pada hakikatnya adalah hukum yang kesahihan pembentukannya dan
pelaksanaanya bersumber dari kekuasaan dan kewibawaan negara. Namun tatkala
kehidupan berkembang ke dalam skala-skala yang lebih luas, dan lingkaran-lingkaran
kehidupan komunitas lokal (Old Societies) ke lingkaran-lingkaran yang lebih besar
yang bersifat translokal pada tatanan kehidupan berbangsa yang diorganisasi sebagai
suatu komunitas politik yang disebut negara bangsa yang modern (New Nation State),
maka kebutuhan akan suatu sistem hukum yang satu (alias positif) amatlah terasa,...
dan ini mengakibatkan negara condong untuk melakukan kodifikasi dan
36
37
40
38
4.
5.
39
terjadi petani yang telah menyerahkan tanahnya tidak mendapat bagian kebun.
Sehingga di Jawa Barat untuk dapat menjadi peserta PIR, maka petani harus
punya 3 D, yaitu: Duit; Deukeut (punya koneksi), dan Deuheus (Suka berkunjung
kepada pejabat atau orang penting dalam masyarakat) 42.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik pengertian bahwa pada dasarnya
investasi di bidang perkebunan dengan praktek pertanian kontraknya telah
menimbulkan akibat yang bertentangan dengan amanat UUPA, karena:
1. Strategi yang diterapkan adalah strategi agraria kapitalistis, yang ditandai
dengan penguasaan terhadap petani sebagai tenaga kerja, pemasaran, hasil
produksi; dan tanah;
2. Segala keputusan mengenai produksi, akumulasi , dan investasi ada pada
perusahaan inti. Tidak di tangan petani plasma
3. Kegiatan usaha perkebunan dilakuakan dengan hak monopoli perusahaan inti.
Ke tiga hal tersebut sangat bertentangan dengan politik agraria populis/neo populis
yang hendak melakukan pemerataan pemilikan tanah, faktor produksi, kebebasan
manajemen dan investasi, serta akumulasi modal pada petani. Dengan demikian,
pelaksanaan investasi di bidang perkebunan juga bertentangan dengan asas keadilan,
keseimbangan, pertanggungjawaban dan keterbukaan, serta pengawasan publik.
Bahkan terkesan campur tangan pemerintah secara effektif telah dimanfaatkan oleh
investor untuk mengeruk keuntungan dengan cara yang bertentangan dengan yang
diamanatkan oleh UUPA dengan politik agraria populisnya.
5. Dekonstruksi Hukum Sebagai Sarana Pengaturan Kembali Hukum Pertanahan
di Bidang Perkebunan
Pada dasarnya saat ini secara normatif, akses untuk memanfaatkan tanah
masyarakat berada di bawah dominasi negara melalui Hak Menguasai Negara yang
dalam prakteknya sama dengan hak memiliki tanah oleh negara. Hal ini dikarenakan,
selain tidak ada batasan yang jelas mengenai HMN, oleh UUPA, juga karena HMN
yang bersifat sentralistis.
42
. Ben White, Inti dan Plasma: Pertanian Kontrak dan Pelaksanaan Kekuasaan di Dataran
Tinggi Jawa Barat, dalam Tania Murrai Li, alih bahasa oleh Sumitro dan SN.Kartikasari, Proses
Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2002, hal : 314
40
dalam
melaksanakan
kewenangannya.
Tujuan
UUPA memberikan
kewenangan yang besar pada negara melalui HMN dengan harapan dapat dicapai
sebesar-besar kesejahteraan rakyat, ternyata tidak demikian kenyataannya yang
terjadi. Hal ini secara sosiologis dapat difahami, karena negara/ pemerintah sebagai
salah satu lembaga yang berinteraksi dalam sisten sosial yang lebih besar sangat
dipengaruhi oleh faktor lain yang ada dalam masyarakat sebagai sistem sosial yang
besar, terutama oleh ideologi dari rejim yang berkuasa, sehingga negara dapat
mempunyai keinginan dan tujuannya sendiri yang pada prakteknya dapat
menyimpang atau bahkan bertentangan dengan yang diamanatkan oleh UUPA.
Sehubungan dengan hal di atas, maka dekonstruksi hukum terhadap Hukum
Pertanahan merupakan salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk mengembalikan
akses masyarakat untuk dapat memanfaatkan tanah dalam memenuhi kehidupan dan
mencapai kesejahteraannya.
Urgensi dilakukannya dekonstruksi hukum pertanahan yang dilakukan dalam
bentuk memangkas cabang-cabang praktek hukum yang kurang menguntungkan serta
dilanjutkan dengan melakukan rekonstruksi, didasarkan beberapa alasan logis antara
lain:
1.
2.
. Balkin, dalam Wajah Hukum Era Reformasi, Kumpulan Karya Ilmiah Menyambut 70 Tahun
Prof.Dr.Satjipto Rahardjo,SH, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal 80.
44
. Sutandyo Wigjosoebroto Hukum, Paradidma, Metode, dan Dinamika Masalahnya, 2002, hal
555.
42
2.
Jelas terdapat faktor lain yang sangat mempengaruhi aturan hukum dan
kebijaksanaan dalam pelaksanaan politik pertanahan di bidang perkebunan, yaitu
a.
45
46
43
b.
c.
3.
Daftar Bacaan
Arief, Sritua, Ekonomi Kerakyatan Indonesia, Mengenang Bung Hatta, Bapak
Ekonomi Kerakyatan Indonesia, Universitas Muhammadiyah Yogjakarta Press,
Yogjakarta, 2002.
-----,dalam Noer Fauzi, Penghancuran Populisme dan Pembangunan Kapitalisme:
Dinamika Politik Abraria Pasca Kolonial, dalam Dianto Bachriadi, Erfan
Faryadi,et all (Ed), Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria
di Indonesia : Reformasi Agraria, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, Jakarta, 1997.
44
47