Anda di halaman 1dari 47

PERMASALAHAN HUKUM

PENANAMAN MODAL DI BIDANG PERKEBUNAN DI ERA


GLOBALISASI

(Studi Pengaruh Penanaman Modal Terhadap Penerapan AzasAzas Hukum


Ekonomi
dan Pertanahan pada Kontrak Pertanian di Bidang Perkebunan)

-------------------------------------------------------------------------------------------------------

LEGAL INVESTMENT PROBLEMS ON PLANTATION SECTOR IN GLOBALIZATION ERA

(Investment Influences Study to Economic and Land Law Principles Implementation


On Plantation Contract)

A. Pendahuluan
Di Indonesia, penanaman modal di bidang perkebunan telah berlangsung sejak
zaman kolonial, terutama oleh pengusaha Belanda yang kelebihan modal dan tidak
dapat ditanam di negeri Belanda karena keterbatasan lahan (tanah), dengan tujuan
untuk menghasilkan tanaman-tanaman ekspor yang bernilai tinggi dan laku keras di
pasaran dunia pada waktu itu, seperti karet, kelapa sawit, tebu, tembakau, dll.
Keberhasilan pengusaha Belanda menanamkan modalnya di Indonesia menandai
kemenangan kaum liberal Eropa (khususnya di negeri Belanda) yang berhasil
memaksa pemerintah (yang cenderung bersifat konservatif) untuk memberikan akses
usaha dan perdagangan komoditas perkebunan di Indonesia yang pada waktu itu
menjadi monopoli negara.
Tuntutan kaum liberal dipenuhi pemerintah kolonial melalui pengundangan
Agrarische Wet melalui Stb. 1870 No.55 (selanjutnya disebut AW) yang terdiri dari 5
ayat, sebagai tambahan terhadap Pasal 62 Regerings Reglement tahun 1854 yang
pada mulanya hanya terdiri dari 3 ayat sehingga menjadi 8 ayat. Perubahan struktur
pemerintahan di negeri Belanda yang menempatkan pemerintahan di daerah jajahan
(Indonesia) sebagai pemerintahan seberang lautan dengan kewenangan mengeluarkan
peraturan perundang-undangan yang disebut Indische Staatsregeling (selanjutnya
disingkat IS) mengakibatkan pasal 62 RR berubah menjadi Pasal 51 IS.
Berdasarkan ayat 4 AW, pemerintah kolonial Belanda dapat memberikan tanah
dengan Hak Erfacht untuk waktu tidak lebih dari 75 tahun bagi pengusaha
perkebunan. Pada Pasal 720 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya
disebut KUHPdt) hak erpacht dirumuskan sebagai : Hak kebendaan untuk
menikmati sepenuhnya akan kegunaan suatu barang tak bergerak milik orang lain,
1

dengan membayar upeti tahunan kepada si pemilik sebagai pengakuan akan


kemilikannya, baik berupa uang, baik berupa hasil atau pendapatan. Selanjutnya
pasal 724 KUH Pdt, menentukan bahwa, pemilik hak Erfacht berhak menyerahkan
usahanya pada orang lain, membebaninya dengan hipotik dan membebani tanah
usahanya dengan pengabdian untuk waktu selama usahanya. Figur hak erfacht yang
demikian dapat memenuhi kebutuhan pengusaha Belanda untuk melakukan usahanya
dalam

memproduksi komoditi ekspor yang dihasilkan melalui usaha perkebunan,

karena selain jangka waktunya lama (75 tahun), sehingga memenuhi syarat untuk
menanam dan memperoleh hasil dari tanaman ekspor yang umumnya merupakan
tanaman keras/tahunan, juga memerlukan modal besar yang dapat diperoleh dengan
pinjaman bank dengan menggunakan hak erfacht sebagai jaminan (Hipotik).
Pemberian tanah dengan hak Erfacht untuk perkebunan tidak menjadi persoalan
bagi pemerintah kolonial, karena negara adalah pemilik (eigenaar) hak atas tanah
sebagaimana dinyatakan pada pasal 1 Koninklijk Besluit (yang lebih dikenal dengan
Pernyataan Pemilikan/Domein Verklaring hak atas tanah oleh negara) dari Stb.1870
No.118 (yang lebih dikenal dengan Agrarisch Besluit, dan selanjutnya disingkat AB),
yang dirumuskan: Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan Pasal 2 dan 3
Agrarisch Wet, tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah yang pihak lain tidak
dapat membuktikan sebagai eigendomnya (sebagaimana yang diatur dalam pasal 570
KUHPdt, kursif penulis) , adalah domein (milik) Negara. Pernyataan demikian
diperlukan agar negara mempunyai landasan formal untuk dapat memberikan hak
atas tanah yang tingkatannya lebih rendah (misalnya, hak erfacht bagi pengusaha
perkebunan khususnya ), maupun hak-hak atas tanah lainnya dan tidak melanggar
azas nemo plus iuris yang terdapat dalam sistem hukum Eropa Kontinental (Civil
Law System).
Walaupun secara teoritis, asas pembuktian terbalik dan sistem hukum barat yang
menjadi dasar pembuktian yang diatur pada pasal 1 AB tidak akan pernah dapat
menjadi sarana pembuktian penguasaan/pemilikan tanah atas dasar hukum adat
sebagai eigendom, sehingga secara formal dan material pemerintah kolonial
mempunyai kewenangan dan keleluasaan penuh untuk dapat memanfaatkan tanah
manapun di Indonesia untuk keperluannya, namun pemerintah kolonial masih
2

menaruh penghormatan terhadap tanah-tanah baik yang berupa tanah komunal (Hak
Ulayat/Beschikkingrect), maupun hak milik adat (hak atas tanah adat yang bersifat
individual).
Berdasarkan ketentuan AW, maka Gubernur Jendral Hindia Belanda:
1.
2.

3.
4.
5.

6.

7.

Dapat menjual tanah yang tidak luas untuk perluasan desa, kota, dan usaha
kerajinan;
Menyewakan tanah menurut ketentuan ordonansi, namun tidak boleh
menyewakan tanah-tanah kepunyaan orang-orang pribumi yang diperoleh atas
dasar pembukaan hutan, tempat penggembalaan umum, atau tanah lain yang
merupakan kepunyaan desa;
Berdasarkan ordonansi dapat memberikan hak erfacht untuk waktu tidak lebih
75 tahun;
Dalam pemberian tanah tidak boleh melanggar hak-hak rakyat pribumi
Tidak boleh mengambil tanah-tanah kepunyaan rakyat, baik atas dasar
pembukaan hutan, tempat penggembalaan, tanah kepunyaan desa , kecuali atas
dasar Pasal 133 atau untuk keperluan penanaman tanaman yang
diselenggarakan atas perintah penguasa menurut peraturan-peraturan, semuanya
dengan pemberian ganti kerugian yang layak;
Dapat memberikan hak agrarisch eigendom bagi tanah adat atas permohonan
pemiliknya, dan sekaligus membebaninya dengan berbagai pembatasan,
kewajiban kepada desa dan negara serta kewenangan untuk menjual kepada non
pribuni;
Mengatur persewaan atau serah pakai tanah dari orang-orang pribumi kepada
non-pribumi dengan ordonansi.
Berdasarkan ketentuan di atas, jelas bahwa dalam kaitannya dengan pengadaan

tanah untuk kepentingan investasi pemerintah kolonial bersikap:


1.

Memberikan penghormatan minimum terhadap tanah-tanah bumi putra, baik


berupa hak komunal (Beschikkingsrecht), maupun hak milik adat (hak individual
berdasarkan hukum adat), walaupun hanya diakui sebagai hak pakai atas tanah
yang bersifat turun temurun (Vide Pasal 7 AW).

2.

Memberikan perlindungan terhadap tanah-tanah adat, karena walaupun


pengambilan tanah-tanah pribumi dimungkinkan, namun harus dilakukan hanya
demi kepentingan umum atas dasar pasal 133 IS, atau penanaman tanaman
tertentu atas perintah penguasa menurut peraturan-peraturan yang berlaku, dan
dengan syarat pemberian ganti rugi yang layak.
Dengan demikian, walaupun pemerintahan kolonial dilaksanakan atas dasar faham

Individualis, Liberalis dan Meterialis yang lebih menekankan pada cara berfikir
3

formal sehingga negara harus dapat menempatkan dirinya sebagai pemilik tanah
tertinggi (Staat Domein) dan menempatkan tanah jelas-jelas sebagai komoditas
perdagangan sebagai salah satu faktor produksi selain buruh, modal dan teknologi
yang interaksinya diserahkan pada mekanisme pasar bebas sepenuhnya, namun
dalam pemberian tanah untuk keperluan investasi masih menghormati dan
melindungi keberadaan

tanah adat. Sebagai contoh penghormatan pemerintah

kolonial terhadap hak masyarakat hukum adat adalah, ketika pemerintah kolonial
memerlukan tanah ulayat dari masyarakat hukum adat Marga yang telah
dimanfaatkan masyarakat setempat sejak zaman kerajaan Sriwijaya, maka pemerintah
kolonial menggantinya dengan tanah yang lain. Bahkan, proses pengantian tanah
ulayat tersebut dituangkan dalam surat (sebagai bukti formal) yang oleh masyarakat
setempat disebut dengan Proses Verbal.
Hingga terjadinya sengketa dengan PT. Musi Hutan Persada, tanah penggantian
dari pemerintah kolonial Belanda yang hingga saat ini dikenal dengan sebutan Hutan
Larangan dan Rimbo Sekampung tetap dipelihara dan dimanfaatkan oleh warga
Benakat. Rimbo Sekampung dimanfaatkan masyarakat untuk mengambil bahan
bangunan membuat rumah, sedangkan Hutan Larangan dimanfaatkan untuk
mengambil berbagai ramuan obat tradisional. Namun ternyata, pada sengketa antara
warga eks marga Benakat dan PT. Musi Hutan Persada, bukti tertulis berupa Proses
Verbal yang menjadi dasar formal pemilikan warga Benakat atas Hutan Larangan
dan Rimbo Sekampung tersebut tidak diakui oleh Kepala Kantor Wilayah Kehutanan
Sumatera Selatan. Alasan yang dikemukan adalah, bahwa berdasarkan UU No.5/67
tidak dikenal adanya hak ulayat yang berupa hutan marga (Hutan Larangan dan
Rimbo Sekampung) , yang ada adalah hutan milik dan hutan produksi, sedangkan
Hutang Larangan dan Rimbo Sekampung termasuk dalam kawasan hutan produksi.
Juga dinyatakan, bahwa pengakuan adanya hak ulayat yang berupa tanah marga
(Hutan Larangan dan Rimbo Sekampung) berdasarkan UU No.5/60 tidak bersifat
mutlak, oleh karena itu masyarakat tidak berhak menghalangi pemberian tanah oleh
pemerintah kepada PT. Musi Hutan Persada yang akan dipergunakan untuk
pelaksanaan program Hutan Tanaman Industri (HTI)1. Fenomena demikian sering
1

. Munawaroh Hasibuan, Studi Terhadap Sengketa Penguasaan Hutan Rimbo Sekampung dan
Hutan Perladangan Adat antara PT.Musi Hutan Persada dengan Warga Benakat Muara Enim,

diibaratkan oleh Prof. Dr. Satjipto Rahardjo,SH., dengan istilah Kesombongan


hukum nasional/hukum negara terhadap hukum adat atau hukum yang hidup di
masyarakat (the living law). Pada kesempatan lain beliau sering mengibaratkan
pengaturan hubungan antara hukum nasional dengan hukum adat dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia (misalnya dalam UUPA) dengan istilah
Memasukkan kambing (hukum adat) ke dalam kandang macan (hukum
negara/hukum nasional/hukum modern), sebagai akibat tindakan pada ahli hukum
yang (merumuskan berbagai peraturan perundang-undangan, kursif penulis) terlalu
normatif, tanpa kesadaran anthropologis dan sosiologis yang cukup.2
Setelah Indonesia merdeka, dengan pertimbangan bahwa hukum agraria yang
ada sebagian disusun berdasarkan sendi-sendi pemerintah jajahan,... sehingga
bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara,...bersifat dualisme,...tidak
menjamin kepastian hukum, maka diundangkan UU No.5 Tahun 1960 (UUPA) yang
diharapkan memberi kemungkinan agraria dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat, baik perorangan maupun gotong royong, maka ketentuanketentuan kolonial yang memuat asas pemilikan tanah oleh negara, seperti AW,
Domein Verklaring, dan Buku II KUHPdt dan berbagai peraturan pelaksanaanya
dinyatakan dicabut, dan sebagai gantinya diciptakan lembaga Hak Menguasai Negara
(selanjutnya disebut HMN), atas dasar penafsiran pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang
memberikan kewenangan pada negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat
pada tingkatan tertinggi menguasai bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya (agraia) untuk digunakan dan dimanfaatkan bagi usaha
mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan,
dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara Hukum Indonesia yang merdeka,
berdaulat, adil dan makmur.
Atas dasar HMN (walaupun bukan sebagai pemilik/eigenaar) negara berwenang
memberikan macam-macam hak atas permukaan bumi sebagaimana yang diatur
dalam UUPA kepada orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang
lain, maupun badan-badan hukum (Vide pasal 4 UUPA).
Skripsi, Fakultas Hukum UNSRI, Palembang, 2000, hal 63.
2
. Sajipto Rahardjo, Hukum Adat Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (Perspektif
Sosiologi Hukum), Makalah disampaikan pada Lokakarya Hukum Adat diselenggarakan oleh
Mahkakamh Konstitusi 4-6 Juni 2005, Jakarta, hal 5.

UUPA juga menciptakan lembaga Hak Guna Usaha (selanjutnya disebut HGU)
yang diatur pada pasal 28 sampai pasal 40 UUPA sebagai pengganti hak Erfacht.
HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara
guna perusahaan pertanian (termasuk di dalamnya perkebunan, kursif penulis),
perikanan, dan peternakan dengan jangka waktu hak paling lama 25 tahun dan dapat
diperpanjang sampai 25 sampai 35 tahun, serta dapat menjadi jaminan utang dengan
dibebani hak tanggungan (Vide pasal 25 ayat 1, jo 29, jis pasal 33 UUPA).
Penggantian hak Erfacht dengan Hak Guna Usaha oleh UUPA, secara substansial
tidak banyak berpengaruh terhadap kebutuhan pengusaha (investor) di bidang
perkebunan, karena baik jangka waktu maupun sifatnya sebagai hak yang dapat
dijaminkan untuk memperoleh kredit tidak berubah, hanya saja jika pada zaman
kolonial hak atas tanah tidak dilekati dengan fungsi sosial, maka menurut UUPA
semua hak atas tanah (termasuk HGU) mempunyai fungsi sosial (Vide Pasal 6
UUPA), serta sebagai sarana/alat dan modal dasar dalam mewujudkan sebesar-besar
kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam
masyarakat dan Negara Hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
Dengan demikian, setelah Indonesia merdeka, terlebih setelah diundangkannya
UUPA, maka setiap kegiatan ekonomi yang memanfaatkan tanah (termasuk untuk
investasi di bidang perkebunan) seharusnya tunduk pada asas-asas hukum ekonomi;
memperhatikan fungsi sosial dan kedudukan tanah sebagai sarana/alat dan modal
dasar dalam mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan,
kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara Hukum Indonesia
yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
Negara/pemerintah sebagai subjek yang memiliki kewenangan tertinggi
berkewajiban secara aktif dan arif untuk campur tangan, baik melalui pembentukan
aturan hukum, kebijaksanaan, maupun pengimplementasiannya, agar tercipta
keseimbangan kepentingan antar pelaku ekonomi; pertanggung jawaban dan
keterbukaan, serta pengawasan publik yang effektif. Kondisi demikan menjadi tugas
negara/pemerintah untuk menciptakannya, karena menurut Hukum Agraria/Hukum
Tanah Indonesia, tanah bukanlah komoditas perdagangan akan tetapi merupakan
asset yang diamanatkan kepada negara/pemerintah sebagai organisasi kekuasaan
6

untuk digunakan dan dimenfaatkan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran


rakyat.
Walaupun Hukum Agraria Administratif/Hukum Tanah Administratif Kolonial
dan Hukum Tanah Perdata Barat telah dicabut dan diganti dengan hukum agraria
nasional/UUPA, dan hak atas tanah yang dikuasai berdasarkan hukum adat, baik
yang bersifat komunal/hak ulayat/hak-hak masyarakat hukum adat (Vide pasal 3
UUPA), maupun individual/hak-hak adat (Vide pasal II Ketentuan Konversi juncto
Pasal 22 UUPA) diakui secara formal oleh UUPA, namun ternyata pengambilan tanah
masyarakat hukum adat, maupun tanah adat milik individu, terutama yang berkaitan
dengan pengadaan tanah bagi investasi di bidang perkebunan yang terjadi di berbagai
daerah tetap berlangsung. Sebagai contoh,

pada Tahun 1994 LBH Palembang

mencatat terdapat 12 kasus sengketa tanah di Sumatera Selatan. Tahun 1995


meningkat menjadi 18 kasus (peningkatan 50 %) yang dikuti dengan peningkatan
persebarannya (dari 10 kabupaten di Sumatera Selatan, 8 kabupaten mempunyai
kasus tanah), bahkan setelah reformasi, terjadi peningkatan kasus tanah yang luar
biasa dramatis. Sepanjang tahun 1998-1999 saja Sriwijaya Post mencatat adanya 113
kasus pertanahan di Sumatera Selatan yang sebagian besar berkaitan dengan usaha
pengadaan tanah untuk perkebunan, dengan persoalan sekitar: 1. Status tanah yang
tidak jelas; 2. pemilikan tanah secara adat versus HTI; 3. Pembebasan tanah rakyat
secara paksa (khususnya untuk investasi di bidang perkebunan); 4. Berakhirnya sewa
tanah dengan perusahaan; 5. Kebakaran hutan dan kebun milik rakyat setempat; 6.
Masalah ganti rugi; 7. Penyalahgunaan wewenang pejabat; 8. Prioritas masyarakat
untuk dipekerjakan pada perusahaan sebagai imbalan pelepasan hak atas tanah.3
Kondisi yang terjadi di tingkat nasional, ternyata tidak berbeda dengan di
Sumatera Selatan. KKPA mencatat, sejak tahun 1970 sampai tahun 2001 terjadi 1.753
konflik Agraria, 344 kasus diantaranya adalah konflik pertanahan di bidang
perkebunan. Hal yang menarik dari konfigurasi konflik pertanahan di bidang
perkebunan adalah:
1.

Konflik yang terjadi menyebar hampir di keseluruhan provinsi di Indonesia,


kecuali DKI Jakarta;
3

. Achmad Romson, Sertifikasi Hak-Hak Atas Tanah Masyarakat Sekitar PT.TEL, Proposal
Pemberdayaan Masyarakat Sekitar, Unit Penelitian Fakultas Hukum UNSRI, 1999, hal 5-6.

2.

Pada setiap sengketa yang terjadi maka pihak yang terlibat dalam sengketa
terdiri dari pemerintah (100%), militer (59%), dan kelompok-kelompok
masyarakat (41%);
3.
Sedangkan, fihak yang menjadi lawan sengketa adalah pemerintah (15 %),
Militer (0 %), Perusahaan Negara (26 %), dan Perusahaan Swasta (59 %). 4
Yang menarik dari data yang dikemukakan KKPA adalah, bahwa ternyata negara
selalu terkait baik sebagai pihak yang terlibat dalam sengketa, maupun menjadi lawan
sengketa. Sedangkan perusahaan perkebunan hanya berkedudukan sebagai lawan
sengketa. Hal ini menunjukkan betapa besarnya kepentingan negara dalam sengketa
tanah di bidang perkebunan, sampai negara harus terlibat pada setiap sengketa tanah.
Kondisi demikian juga menunjukkan, bahwa permasalahan tanah bukanlah masalah
hukum perdata semata, tetapi juga menyangkut pelaksanaan pemerintahan (tata usaha
negara), terutama yang berkaitan dengan aturan hukum (peraturan perundangundangan),5 maupun kebijaksanaan6 yang diambil pemerintah dalam rangka
melaksanakan politik pertanahan di bidang perkebunan berdasarkan hak menguasai
negara.
Walaupun terjadi berbagai sengketa dan konflik pertanahan, namun investasi di
bidang perkebunan cenderung terus meningkat, sebagai akibat dari globalisasi
perdagangan dunia, yang menuntut adanya keterbukaan negara-negara dunia untuk
membuka pangsa pasarnya bidang perdagangan barang maupun jasa, serta investasi.

. Anu Louleda dan R.Yando Zakaria, Berebut Tanah : Sebuah Pengantar, dalam Anu Louleda
dan R.Yando Zakaria Ed. Berebut Tanah : Beberapa Kajian Berpersfektif Kampus dan Kampung,
Insist Press, Yogjakarta, 2002, hal: 24-29.
5
. Dalam tulisan ini digunakan istilah aturan hukum, untuk menunjuk secara lebih tepat bagi
ketentuan hukum yang dari segi bentuknya adalah tertulis, dari segi substansi serta sifatnya adalah
keluar atau mengikat umum, yang didalamnya mengandung norma-norma hukum yang selama ini
lebih dikenal dengan istilah Peraturan Perundang-undangan. Tidak digunakannya istilah
peraturan perundang-undangdalam tulisan ini dikarenakan istilah peraturan perundang-undangan yang
bermakna umum, meliputi semua peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan peraturanperaturan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Penggunaan istilah peraturan perundang-undangan
akan menjadi kendala bagi penelitian ini yang pada tahap analisis akan melakukan klassifikasi
terhadap Peraturan Perundang-undangan bagi ketentuan hukum yang dari segi bentuknya adalah
tertulis, dari segi substansi serta sifatnya adalah keluar atau mengikat umum yang selanjutnya disebut
aturan hukum, dengan istilah Kebijaksanaan. Lihat: Febrian, Hirarki Aturan Hukum Di Indonesia,
Disertasi pada Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2004, hal 50-85.
6
. Peraturan Perundang-undangan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara,
sebagai konsekwensi dari peranannya sebagai lembaga negara dan pemerintah dalam menghadapi
situasi konkrit, yang dikenal dengan istilah Kebijaksanaan (Beleidsregel, atau Policy) yang tidak
mempunyai sifat mengatur, namun hanya ditujukan pada badan atau pejabat tata usaha itu sendiri, dan
tidak mengikat umum dan didasarkan pada Fries Ermessen. Lihat: Ibid hal:131-136.

Terlepas dari sikap pro dan kontra terhadap globalisasi, liberalisasi perdagangan
yang berlanjut pada penanaman modal, dan lapangan kerja ke sistem perdagangan
internasional yang diupayakan GATT, maka dengan terbentuknya World Trade
Organization (WTO), Indonesia harus menghadapi dan menerimanya, terlepas dari
masih terjadinya perdebatan, apakah negara-negara di dunia akan mampu
melaksanakannya atau bersaing satu sama lain secara fair, karena di antara negaranegara di dunia terdapat perbedaan kemampuan ekonomi, sumber daya manusia,
sumber daya alam, dll.
Peningkatan investasi di bidang perkebunan antara lain nampak dari data-data
antara lain, dalam satu setengah tahun perjalananan Pelita VI yang lalu, di Sumatera
Selatan penananaman modal disektor perkebunan mencapai Rp.4,447 Triliun, dengan
41 Perusahaan PMDN, dan 9 PMA serta menyerap 82.410 tenaga kerja7. Lebih
lanjut, Sensus Perkebunan Besar tahun 1993 di Indonesia menunjukkan, terdapat 1.206
(709 perusahaan swasta, 388 BUMN, 48 Perusahaan Asing, 21 Perusahaan Patungan,
dan 40 BUMD) perkebunan besar yang menguasai 3,8 juta hektar tanah perkebunan.
Dengan demikian, jika diambil luas rata-rata, maka setiap perusahaan perkebunan
setidaknya menguasai 3.096,986 hektar tanah perkebunan. Sementara hasil Sensus
Pertanian Tahun 1993 yang dilakukan terhadap 19.713.806 rumah tangga tani hanya
menguasai 2.099.420,53 ha tanah. Bahkan untuk lahan pangan menurut sensus tersebut
rata-rata keluarga petani hanya menguasai 0,86 hektar tanah. Di Sumetera Selatan,
struktur penguasaan tanah dalam kaitannya dengan kegiatan investasi sektor
kehutanan, perkebunan, pertambangan dibandingkan dengan perkebunan rakyat dapat
dilihat

pada ragaan tentang Stuktur Penguasaan Tanah di Sumatera selatan

sebagaimana yang tertera pada tabel berikut ini:


Struktur Penguasaan Tanah di Sumatera Selatan
No.
Sektor
1. Kehutanan (HPH)
2. Agro Industri/
Perkebunan Besar
3. Perkebunan Rakyat
4. Pertambangan

Jumlah Perusahaan
19 Perusahaan
66 Perusahaah
(57 PMDN , 9 PMA)
3 Perusahaan

Luas (Ha)
1.916.050.
1.409.092.
1.045.044,94.
500.000.

. Munarman, Munarman, Refleksi Kasus-Kasus Pertanahan di Sumatera Selatan, dalam Dianto


Bachriadi, Erfan Faryadi,et all (Ed), Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di
Indonesia : Reformasi Agraria, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta,
1997. hal 344.

Sumber : Munarman, Data diolah oleh LBH Palembang.8


Berdasarkan struktur

penguasaan tanah perkebunan di atas, jelas bahwa

penguasaan tanah untuk perkebunan besar telah melebihi luas tanah perkebunan
rakyat (hanya selisih 47,06 ha).
Keterbatasan ketersediaan tanah pada satu sisi, sedangkan luas tanah yang dikuasai
oleh perkebunan cenderung terus akan meningkat seiring dengan peningkatan investasi
di bidang perkebunan akan semakin meningkatkan ketimpangan penguasaan dan
pemilikan tanah; terbatasnya akses petani untuk dapat memanfaatkan tanah, serta
termarjinalnya petani dari pemilik tanah menjadi buruh perkebunan, dapat menjadi
pemicu terjadinya sengketa dan konflik pertanahan yang berkelanjutan.
Sehubungan dengan kondisi di atas, maka dibutuhkan penanganan yang
sungguh-sungguh dan berkesinambungan dalam melakukan pemerataan penguasaan
dan pemilikan tanah, khususnya di bidang perkebunan. Ketidakmerataan penguasaan
dan pemilikan tanah merupakan faktor yang sangat rentan untuk menimbulkan
berbagai konflik baik yang bersifat terbuka maupun tertutup. Hal ini dapat difahami,
karena sebagai negara yang sebagian besar penduduknya berpencaharian di sektor
pertanian dan perkebunan (negara agraris), maka tanah mempunyai kedudukan yang
sangat vital, yaitu sebagai faktor produksi yang terpenting. Bahkan di Indonesia,
hubungan antara manusia dan tanah yang demikian erat dan emosionalnya tersebut
dalam hukum adat dikonsepsikan sebagai hubungan yang bersifat Magis Religius.
Selain itu, persediaan tanah yang relatif terbatas, sedangkan keperluan terhadap
tanah untuk berbagai kegiatan baik pertanian, industri, perumahan, dan sarana umum
akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan kegiatan
pembangunan juga mengakibatkan tanah mempunyai Multiple Value, berupa: 1. Nilai
produksi; 2. Lokasi ; 3.Lingkungan; 4. Sosial; 5. Politik; 6.Ekonomi, dan; 7. Nilai
hukum, sehingga penguasaan dan pemilikan tanah menjadi hal yang demikian vital
dan strategi.9
Kecenderungan terus meningkatnya konflik pertanahan di bidang perkebunan
dapat dimengerti, apabila dihubungkan aspek Multiple Value dan rasio penguasaan
8

. Munarman, Ibid.

. I Gede AB Wiranata, Reorientasi Terhadap Tanah Sebagai Objek Investasi, Usulan Penelitian
Untuk Disertasi, PDIH Undip, Semarang, 2004, hal 2.

10

dan pemilikan tanah yang timpang sebagaimana diuraikan di atas. Atas dasar pola
pikir demikian, maka sengketa pertanahan selain dapat difahami, juga menjadi
sesuatu yang paradoks apabila dihubungkan dengan prinsip-prinsip pengaturan tanah
yang diatur dalam UUPA yang menempatkan tanah sebagai asset yang harus diatur
penggunaan dan pemanfaatannya oleh negara/pemerintah untuk mencapai sebesarbesar kemakmuran rakyat; mempuyai fungsi sosial, serta dapat memenuhi keperluan
rakyat Indonesia menurut perkembangan zaman, karena ternyata pada era globalisasi
ini terdapat indikasi yang kuat, bahwa rakyat (terutama rakyat tani di bidang
perkebunan) malah menjadi pihak yang sering menjadi korban atau dikorbankan bagi
globalisasi perdagangan dunia.
Berbagai sengketa tanah yang terjadi yang mengiringi derasnya pengadaan tanah
untuk berbagai investasi, terutama di bidang perkebunan merupakan sesuatu paradoks
dengan kebutuhan adanya investasi baik asing maupun domestik (Foreign and
Domestic Investment). Mengingat kemampuan dana pemerintah yang terbatas untuk
dapat melakukan pembangunan, maka investasi baik yang berbentuk Foreign
Investmen maupun Domestic Investment seharusnya mendapatkan dukungan oleh
semua pihak, tanpa harus mengorbankan hak-hak/kepentingan rakyat, terutama
masyarakat sekitar proyek dimana investasi tersebut ditanamkan yang menimbulkan
berbagai sengketa yang berkepanjangan
Pada pengadaan tanah untuk keperluan investasi, seharusnya pemerintah dapat
memainkan perannya dengan arif dan aktif untuk memberikan perlindungan pada
rakyat, maupun pengusaha yang melakukan investasi, karena pada dasarnya setiap
kebijaksanaan pemerintah untuk memanfaatkan tanah harus didasarkan pada asas
Optimalisasi Pemanfaatan Hak-Hak Atas Tanah, bahwa hak atas tanah harus dapat
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya baik dari segi jumlah orang yang dapat
memiliki hak, maupun dari segi manfaat/hasil yang dapat diambil dari tanah tersebut
(komoditas). Dengan kata lain, Secara teoritis, seharusnya peningkatan investasi
tersebut berdampak positip bagi kesejahteraan rakyat
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka kajian terhadap pengaruh investasi
sebagai bagian dari globalisasi perdagangan yang mampu memetakan pengaruh
proses investasi terhadap aturan hukum dan kebijaksanaan pengadaan tanah dan
11

kontrak pertanian di bidang perkebunan yang menimbulkan sengketa dan konflik di


berbagai daerah menarik dan mendesak untuk dilakukan.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian pada bagian Pendahuluan, maka permasalahan yang akan
dikaji meliputi:
1.

Bagaimana implementasi asas-asas hukum ekonomi dalam kegiatan investasi


di bidang perkebunan yang memanfaatkan tanah atas dasar kontrak pertanian ?

2.

Faktor-faktor apa sajakah yang berpengaruh terhadap implementasi asas-asas


hukum ekonomi dalam kegiatan investasi di bidang perkebunan yang
memanfaatkan tanah atas dasar kontrak pertanian ?

3.

Upaya bagaimanakah yang dapat dilakukan untuk lebih mengefektifkan


implementasi asas-asas hukum ekonomi dalam kegiatan investasi di bidang
perkebunan yang memanfaatkan tanah atas dasar kontrak pertanian agar tercipta
keadilan bagi semua pihak ?

C. Pembahasan
1. Asas-asas Hukum Ekonomi,Penanaman Modal, dan Pemanfatan Tanah untuk
Kegiatan Penanaman di Bidang Perkebunan
Investasi di bidang perkebunan merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang
seharusnya didasari asas-asas hukum ekonomi, yaitu:
1. Asas keseimbangan;
2. Asas Pengawasan Publik, dan;
3. Asas Campur tangan negara.
Asas keseimbangan menuntut adanya keseimbangan antara: kepentingan umum
dengan kepentingan privat; produsen dan konsumen; pengusaha dan tenaga kerja;
serta kepentingan berbagai pihak yang terlibat dalam perjanjian. Asas pengawasan
publik menuntut adanya kejujuran dari pelaku ekonomi dan pengawasan masyarakat,
terutama untuk kegiatan ekonomi yang menyangkut hajat hidup orang banyak,
perusahaan terbuka, perusahaan dengan jumlah modal tertentu, dan sebagainya. Asas
campur tangan negara menuntut agar negara berperan secara aktif dan arif untuk
12

menjaga batas-batas keseimbangan kepentingan semua pihak yang terlibat dalam


kegiatan ekonomi.10 Dalam tulisan lainnnya, Prof.Dr. Sri Redjeki Hartono,SH.,
menambahkan satu asas lagi yaitu, asas Asas keterbukaan dan tanggung jawab.11
Berbagai kasus yang terjadi dalam kaitannya dengan pengadaan tanah untuk
kegiatan investasi di bidang perkebunan menunjukkan bahwa, ketiga asas hukum
ekonomi tersebut belum dapat direalisaikan sebagaimana mestinya. Juga terdapat
indikasi yang kuat bahwa, di satu sisi pemerintah lebih memfasilitasi pengusaha
perkebunan, dan disisi lain menegasikan akses rakyat terhadap tanah dengan
memanfatkan HMN yang tidak jelas rumusan dan tafsirnya. Sikap pemerintah yang
demikian pada akhirnya mengakibatkan terjadinya proses marginalisasi petani yang
semula berkedudukan sebagai pemilik tanah menjadi buruh tani perkebunan yang
tidak memiliki tanah yang secara ekonomis sangat bergantung pada perusahaan
perkebunan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kondisi demikian senada dengan
pernyatan Chayanov bahwa: cara baru dimana kapitalisme memasuki bidang
pertanian adalah,...mengubah petani menjadi angkatan kerja yang bekerja dengan
sarana produksi orang lain.12 Kapitalisme masuk ke sektor pertanian dengan cara
mempengaruhi birokrasi pemerintah yang sangat membutuhkan investasi agar
menerapkan model-model kerjasama yang telah didesain oleh investor sebagai syarat

10

. Sri Redjeki Hartono,Kapita Selekta Hukum Ekonomi, Mandar Maju,Bandung,2000, hal:13-

15.
11

. Sri Redjeki Hartono, Pentingnya Pengaturan Yang Baik Di Bidang Hukum Bisnis Khusus
Investasi, hal 3.
12
. A.Chayanov,Peasant Farm Organization dalam A.V. Chayanov on The Theory of Peasant
Economy,disunting oleh D.Thomas, B.Kerblay dan R.Smith, Homewood Illinois, American
Economic Assosiation, hal 262.

13

untuk melakukan investasi, serta menerapkan pertanian kontrak13 yang cenderung


melemahkan kedudukan petani.
Pemerintah memainkan peranan vital dan strategis untuk mencegah timbulnya
berbagai kerugian, serta timbulnya sengketa dan konflik pertanahan di bidang
perkebunan yang berkepanjangan dalam proses pengadaan tanah bagi investasi di
bidang perkebunan sebagaimana yang terjadi selama ini, melalui pembuatan aturan
hukum dan kebijakan yang baik berdasarkan asas keseimbangan antar kepentingan;
pengawasan publik; pertanggung jawaban dan keterbukaan, dan campur tangan
negara/pemerintah, karena pengadaan tanah merupakan bagian dari kegiatan
administrasi negara/administrasi pemerintahan yang harus dilaksanakan dengan
konsekwen dan konsisten atas dasar politik agraria populis/neo populis sebagaimana
yang diamanatkan UUPA dalam rangka mewujudkan sebesar-besar kemakmuran
rakyat.
Hukum ekonomi dapat diartikan sebagai perangkat hukum (undang-undang atau
peraturan lain) yang mengatur berbagai kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh
pelaku ekonomi, baik nasional maupun internasional14. Dengan demikian, hukum
ekonomi mengandung unsur-unsur sbb:
1. Berupa perangkat hukum;
2. Mengatur kegiatan ekonomi oleh pelaku ekonomi;
13

. Noer Fauzi menggunakan istilah Usaha Tani Kontrak/Contract Farming untuk menyebut
bentuk-bentuk khas organisasi produksi yang mengkaitkan secara vertikal satuan-satuan usaha rakyat
dengan perusahaan agro industri yang bermodal raksasa yang umumnya mendapat dukungan resmi
pemerintah, seperti dalam bentuk Perusahaan Inti Rakyat (PIR), atau Inti Plasma. Sedangkan Ben
White menyebutnya dengan istilah Pertanian Contract. Lihat, Noer Fauzi, Penghancuran
Populime dan Pembangunan Kapitalisme: Dinamika Politik Agraria Indonesia Pasca Kolonial,
dalam Dianto Bachriadi, Erfan Riyadi, et all (ed), Perubahan Politik, Sengketa dan Agenda
Pembaharuan Agraria di Indonesia: REFORMASI AGRARIA, Kerjasama Konsorsium Pembaharuan
Agraria dengan Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta , 1997, hal:112113. Lihat juga, Ben White, Inti dan Plasma: Pertanian Kontrak dan Pelaksanaan Kekuasaan di
Dataran Tinggi Jawa Barat, dalam Tania Murrai Li, alih bahasa oleh Sumitro dan SN.Kartikasari,
Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2002, hal :
323. Dalam tulisan ini penulis menggunakan istilah Kontrak Pertanian (berdasarkan hukum DM
dalam kaedah Bahasa Indonesia) untuk menunjuk bentuk perjanjian tertulis antara pengusaha
perkebunan (investor) dengan petani yang memuat hak dan kewajiban antara kedua belah pihak dalam
kegiatan ekonomi di bidang perkebunan dengan pola PIR, maupun pola-pola lain, seperti PIR
Nebeng yang dipraktekkan misalnya oleh PT.Minanga Ogan di Kabupaten Ogan Komering Ulu
Propinsi Sumatera Selatan. Lihat Makmoen Sulaiman Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pembangunan,
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional BKS PTN Wilayah Barat Bidang Ilmu Hukum di
Universitas Sriwijaya 15-16 Mei 2001, Palembang, hal 20.
14
. Sri Redjeki Hartono, op.cit., hal 73.

14

3. Kegiatan ekonomi yang dilakukan berada dalam lingkup wilayah nasional


maupun internasional.
Hukum, dalam pengertian hukum ekonomi mengandung makna yang luas,
meliputi nilai-nilai hukum, asas-asas hukum, aturan hukum baik berupa undangundang maupun peraturan hukum lainnya, yang bersifat tertulis maupun tidak tertulis.
Dilihat dari pembedaan hukum secara klasik, maka hukum ekonomi mengandung
unsur hukum publik maupun hukum privat. Sedangkan, kegiatan ekonomi pada
hakekatnya adalah kegiatan menjalankan perusahaan, yaitu kegiatan yang harus
dilakukan secara terus menerus, terang-terangan, dan bertujuan untuk memperoleh
keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, yang dilakukan oleh pelaku-pelaku
ekonomi, baik secara perorangan, atau beberapa orang secara bersama-sama, baik
yang mempunyai kedudukan sebagai badan hukum (publik, maupun privat), maupun
bukan badan hukum, bahkan oleh gabungan antara para pelaku ekonomi tersebut. 15
Sebagai kegiatan yang dilakukan bersifat terus menerus dan harus dapat
dipertanggung jawabkan, maka siapapun yang menjalankan perusahaan wajib
menjalankan pembukuan, yaitu melakukan dan memelihara pencatatan tertentu dari
kegiatan ekonominya.
Secara makro kegiatan ekonomi dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi pelaku
ekonomi, dan sisi pandang negara/pemerintah. Bagi pelaku ekonomi, maka hukum
ekonomi semata-mata dipandang sebagai faktor yang berfungsi sebagai pengaman
kegiatan ekonominya dalam rangka mencapai tujuan ekonominya berupa keuntungan.
Bagi

pemerintah/negara,

maka

hukum ekonomi

berfungsi untuk menjaga

keseimbangan kepentingan antara berbagai pelaku ekonomi, maupun kepentingan


lain yang lebih luas, sebagai bagian upaya pemerintah untuk mewujudkan
kesejahteraan rakyatnya. Fungsi hukum ekonomi yang demikian, mengharuskan
negara menciptakan berbagai pranata hukum dan peraturan yang didalamnya harus
memuat nilai-nilai keadilan, karena nilai keadilan merupakan suatu Conditio sine
quanon untuk dapat mencapai kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Nilai keadilan merupakan jantung hukum ekonomi yang dijabarkan pada asas-asas
pokok hukum ekonomi merupakan landasan bagi negara/pemerintah bagi
15

. Ibid, hal 4.

15

pembentukan aturan hukum maupun kebijaksanaan di bidang hukum ekonomi yang


diharapkan akan mampu mengakomodir berbagai kepentingan ekonomi. Hubungan
antara hukum ekonomi dengan kegiatan ekonomi atas dasar demokrasi ekonomi di
Indonesia dapat di deskripsikan sebagai yang terlihat pada ragaan 16berikut:
PANCASILA
DEMOKRASI EKONOMI
Pasal 33 UUD 1945

Nilai Keadilan

Feed Back

Asas
Keseimbangan

Feed Back

Asas
Pengawasan Publik

Asas
Keterbukaan &
Tanggung Jawab

CAMPUR TANGAN
NEGARA

Asas-Asas
Hukum Privat

Peraturan Perundangundangan Hukum


Privat
Asas-Asas
Hukum
Ekonomi

Asas-Asas
Hukum Publik

Peraturan Perundangundangan Hukum


Publik

Peraturan
Perundang-undangan
Hukum Ekonomi

Asas-Asas
Hukum
Ekonomi

KEGIATAN EKONOMI
KEMAKMURAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

BAGI SELURUH BANGSA INDONESIA

Sebagai bagian dari kegiatan ekonomi atau bisnis, maka kegiatan usaha di bidang
perkebunan dengan luasan usaha antara 25 hektar atau lebih harus memakai investasi
modal yang layak (relatif besar) dan teknik perusahaan yang baik (manajemen dan
16

. Ragaan diadopsi dan divisualisasi dengan penyesuaian dan penyempurnaan terhadap


pendapat Prof. Dr. Sri Redjeki Hartono, SH., yang mengemukakan 4 (empat) asas utama dalam
Hukum Ekonomi, yaitu: Asas Keseimbangan Kepentingan; Asas Pertanggung Jawaban dan
Keterbukaan; Asas Pengawasan Publik, dan: Asas Campur Tangan Negara. Lihat,Sri Redjeki
Hartono,Kapita Selekta Hukum Ekonomi, Mandar Maju,Bandung,2000, hal:13-15. Lihat juga: Sri
Redjeki Hartono, Pentingnya Pengaturan Yang Baik Di Bidang Hukum Bisnis Khusus Investasi,
Jurnal: Spektrum Hukum, April 2005, Program Magister Ilmu Hukum Universitas 17 Agustus 1945,
Semarang, hal 3.

16

teknologi) sesuai dengan perkembangan zaman agar pemakaian dan penggunaan


tanah dapat dilakukan secara efficient (Vide pasal 28 ayat 2 UUPA dan
Penjelasannya). Bahkan, berdasarkan Pasal 28, pemilik tanah yang mengusahakan
tanah dengan HGU dengan luas antara 5 sampai 25 hektar juga dapat dicabut haknya
apabila tanahnya tidak diusahakan dengan baik.
Berdasarkan rumusan Pasal 28 UUPA dan Penjelasannya dapat difahami, bahwa
sebagai hak yang khusus diciptakan untuk perusahaan pertanian, perikanan, atau
peternakan, maka pemilik HGU harus memiliki modal yang layak, dan
mengusahakan tanahnya dengan manejemen dan teknologi yang baik, karena tujuan
utama dari diciptakannya HGU sebagaimana yang dinyatakan pada Penjelasan Umum
UUPA, selain untuk menggantikan hak

erfacht, ternnyata ditujukan untuk

penambahan hasil pangan (pertanian, perikanan, atau peternakan), dan pemindahan


penduduk, atau kepentingan yang lebih luas. Oleh karena itu menurut penjelasan
lebih lanjut UUPA menyatakan, tidak dapat dibenarkan masyarakat berdasarkan hak
ulayatnya menghalang-halangi dibukanya tanah untuk diberikan dengan HGU.
Besarnya modal yang diperlukan untuk melakukan kegiatan usaha di bidang
perkebunan menyebabkan sebagian besar usaha perkebunan hanya dapat dilakukan
oleh perusahaan perkebunan, baik perusahaan negara (BUMN/BUMD),

swasta

nasional (Penanaman Modal dalam Negeri/PMDN/Domestic Investmen), swasta asing


(Penanaman Modal Asing/PMA/Foregn Investment), maupun dalam bentuk penanam
modal campuran yang lebih dikenal dengan usaha patungan (Joint Venture
Investment) antara PMDN dan PMA.
Guna mengatur dan mengelola pelaksanaan penanaman modal Indonesia, yang
senantiasa mengalami perkembangan, maka pemerintah telah menerbitkan berbagai
aturan hukum di bidang penanaman modal, antara lain sbb:
1.
2.
3.
4.
5.

UU No. 3 tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing


UU No.1 tahun 1967 tentang PMA
UU No.1 tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas
UU No.8 tahun 1995 tentang pasar Modal
UU No.10 tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No.7 tahun 1992 tentang
Perbankan.
6. UU No. 5 tahun 1999 tentang larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat.
7. UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
17

8. UU No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia.


9. UU No.24 tahun 1999 tentang lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.
10. UU No.30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa.
11. UU No.16 tahun 2002 tentang Yayasan.
12. Keppres No.26 tahun 1980 tentang Pembentukan BKPM;
13. PP No.17 tahun 1986 tentang kewenangan Pengaturan, Pembinaan dan
Pengembangan Industri;
14. PP No.22 tahun 1986 jo PP No.14 tahun 1990 tentang Kawasan Berikat (Bonded
zone)
15. PP No.24 Tahun 1986 jo. PP No.9 Tahun 1993 tentang Jangka Waktu Izin
Perusahaan PMA;
16. PP No.l7 tahun 1995 tentang Perubahan Tarif Bea metrai.
17. PP no.12 tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (PESERO)
18. PP No.13 tahun 1998 tentang Perusahaan Umum (PERUM).
19. PP No.24 tahun 1998 tentang Informasi Keuangan Tahunan Perusahaan.
20. PP No.26 tahun 1998 tentang Pemakaian Nama Perseroan Terbatas.
21. PP No.27 tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan, dan Pengambialihan PT.
22. PP No.15 tahun 1999 tentang Bentuk-bentuk Tagihan tertentu yang dapat
dikopensasikan sebagai setoran saham.
23. PP No.17 tahun 2000 tentang Permohonan Pernyataan Pailit untuk Kepentingan
Umum
24. Kepres No.16 tahun 1987 tentang Penyederhanaan Pemberian Izin Usaha Industri;
25. PP No. 24 tahun 1987 tentang PMA di bidang Ekspor;
26. Kepres No.33 tahun 1987 tentang Penyederhanaan Pemberian Izin Usaha Industri;
27. Kepres No.53 tahun 1987 tentang Kantor Perwakilan Perusahaan Asing;
28. Keppres No.15 tahun 1987 tentang Daftar skala Prioritas Bidang Usaha
Penanaman Modal;Keppres No.21 tahun 1989 tentang Daftar Bidang Usaha Yang
Tertutup Bagi PMA;
29. Keppres No.21 Tahun 1989 tentang kedudukan, Tugas, Fungsi dan susunan
BKPM;
30. Keppres No.22 tahun 1992 tentang tata Cara Penanaman Modal;
31.Paket Kebijakan Deregulasi Bulan Juli tahun 1992:
a.
Keppres No.24 tahun 1992 tentang Pemanfaatan Tanah HGU dan
HGB untuk Usaha patungan dalam Rangka PMA.
b.
Peraturan menteri Dalam Negeri No.5 Tahun 1992;
c.
Peraturan Kepala Badan Pertanahan nasional No.3 Tahun 1992;
32.Paket Kebijaksanaan Pemerintah tanggal 23 Oktober 1993:
a.
Kepres No.97 Tahun 1993 tentang tata Cara Penanaman Modal;
b.
Keppres No.49 Tahun 1993 tentang Tata Cara Penanaman Modal;
c.
Keputusan Menteri Negara Pengerak Dana Investasi/Ketua BKPM
No.15/SK/1993 tentang Tata Cara Permohonan PMDN dan PMA;
d.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No.7 Tahun 1993 tentang Izin
mendirikan Bangunan dan Izin UUH bagi Perusahaan Industri;
e.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.2 tahun 1993
tentang tata Cara Memperoleh Izin Lokasi dan Hak atas Tanah Bagi
Perusahaan dalam Rangka Penanaman Modal;
18

f.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.66/PRT/1993 tentang


Persyaratan Teknis Penyelenggaraan Bangunan Industri dalam rangka
Penanaman Modal;
g.
Keputusan Menteri Negara Pengerak Dana Investasi/Ketua BKPM
No.15/SK/1993 tentang Tata cara Permohonan PMDN dan PMA;
h.
PP No.50 tahun 1993 tentang Persyaratan Pemilikan Saham dalam
Perusahaan PMA;
i.
PP No.51tahun 1994 tentang AMDAL;
33.PP No.20 tahun 1994 tentang pemilikan Saham dalam rangka PMA;
34.SK. Maninves/Ketua BKPM tentang Pemilikan Saham dalam Rangka PMA
35.PP No.13 tahun 1995 tentang Izin usaha Industri;
36. Keppres No.75 Tahun 1995 tentang Penggunaan tenaga Kerja Warga negara
Asing Pendatang;
37.Keppres No.96 tahun 2000 tentang Kantor Perwakilan Perusahaan Asing.
38.Keppres No.96 tahun 2000 tentang Bidang usaha yang tertutup dan Bidang usaha
yang Terbuka dengan persyaratan tertentu bagi Penanam Modal.
39.SK. Maninves/Ketua BKPM No.21/SK/1996 tentang tata cara Permohonan
Penanaman Modal yang diberikan dalam Rangka PMDN dan PMA.
40.SK. Maninves/Ketua BKPM No.22/SK/1996 tentang Pemantauan dan Evaluasi,
Pembinaan. Dan Pengawasan terhadap Pelaksanaan PMA dan PMDN.
41.SK. Menteri Kehakiman No.02-PR.08.01/1996 Tentang tata Cara Pegajuan
Permohonan dan Pemberian Persetujuan Akta Perubahan Anggaran Dasar
Perseroan Terbatas.
42.Keputusan menteri Keuangan RI No.297/KMK.01/1997 tanggal 4 Juli 1997, junto
Surat Keputusan Menteri Keuangan RO No.545/KMK.01/ 1997 tanggal 3
Nopember 1997.
43.SK. Menteri Keuangan RI No.546/KMK.01/1997 tanggal 3 Nopember 1997.
44.Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.12/MPP/KEP/ 1998
tentang Penyelenggaraan Wajib Daftar Perusahaan.
45.Keputusan menteri Perindustrian dan Perdagangan No.289/MPP/KEP/ 10/2001
tentang Ketentuan Standar Pemberian Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP).
Berbagai peraturan perundang-undangan di atas telah mampu untuk memicu
penanaman modal di bidang perkebunan, baik berupa PMA, PMDN maupun usaha
patungan. Namun, ternyata peningkatan investasi di bidang perkebunan tersebut
diiringi dengan peningkatan sengketa tanah, baik dengan skala propvinsi maupun
nasional sebagaimana diuraikan pada Pendahuluan. Sehubungan dengan hal tersebut,
timbul pertanyaan, mengapa terdapat kecenderungan yang signifikan bahwa pada
pengadaan tanah untuk investasi di bidang perkebunan akan diiringi dengan
terjadinya sengketa tanah ?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka harus
diketahui terlebih dahulu gambaran mengenai politik agraria/pertanahan dalam
kaitannya dengan pengadaan tanah bagi penanaman modal di bidang perkebunan,
19

serta situasi (konjungtur politik) yang mempengaruhi pelaksanaan politik agraria


pada waktu itu.
2.

Politik Agraria Dalam Kaitannya dengan Pengadaan Tanah Bagi


Penanaman Modal di Bidang Perkebunan
Dalam UUPA dan Penjelasannya hukum (UUPA) difungsikan sebagai

sarana/alat/instrumen rekayasa sosial sebagaimana yang dikemukakan oleh Roscoe


Pound dengan Law as tool for social engineering. Hal ini antara lain tergambar
dari:
1. Penjelasan Umum I dari tujuan diundangkannya UUPA adalah:
a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan
merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi
negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil
dan makmur;
b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan
dalam hukum pertanahan;
c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hakhak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
2. Bagian Berpendapat huruf b. Dari UU No.5/60 yang dirumuskan:
bahwa hukum agraria nasional harus memberi kemungkinan akan tercapainya
fungsi bumi, air dan ruang angkasa, sebagai yang dimaksud di atas dan harus
sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia serta memenuhi pula keperluannya
menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria.
3. Penjelasan Umum I angka 1 UUPA yang dirumuskan:
Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan
merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi
negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan
makmur.
Sebagai alat rekayasa sosial yang diharapkan akan membawa kemakmuran dan
keadilan,..., maka UUPA merupakan aturan hukum yang di dalamnya mengandung
nilai-nilai, asas-asas, kaedah-kaedah, dan ketentuan hukum yang yang bersifat umum
dan normatif. Umum karena berlaku pada setiap orang,

dan normatif karena

menentukan apa yang seyogyanya dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan atau
harus dilakukan, serta menentukan bagaimana caranya melaksanakan kepatuhan pada

20

kaedah-kaedah yang terkandung di dalamnya. 17 Dengan demikian, hukum berperan


menstrukturkan seluruh proses (pembangunan) sehingga kepastian dan ketertiban
terjamin.18 UUPA merupakan sumber aturan-aturan hukum tanah dalam kaitannya
dengan pembangunan perkebunan.
Berkaitan dengan fungsi UUPA sebagai alat rekayasa sosial dalam upaya
mencapai tujuan nasional, masyarakat adil dan makmur, Bung Hatta sebagai Bapak
Ekonomi Kerakyatan dan desainer Pasal 33 UUD 45 yang menjadi dasar
pembangunan agraria termasuk pembanguan hukum pertanahan di bidang
perkebunan mengemukakan 5 (lima) prinsip dasar hubungan antara subjek-subjek
hukum di bidang pertanahan, yaitu:
1.

2.
3.
4.
5.

Tanah harus dipandang sebagai alat atau faktor produksi untuk kemakmuran
bersama, bukan untuk kepentingan orang perorangan yang pada akhirnya dapat
mendorong terjadinya akumulasi penguasaan tanah pada segelintir kelompok
masyarakat.
Tanah adalah milik rakyat Indonesia.
Negara yang merupakan penjelmaan rakyat hanya mempunyai hak mengatur
penggunaannya agar dapat mengejar kemakmuran bersama.
Tanah tidak boleh menjadi komoditi yang dapat diperjual belikan untuk
mencari keuntungan semata.
Untuk mengatur, diperlukan kekuasaan negara dalam menentukan alokasi
pengunaan tanah, dalam hal ini tidak boleh ada pertentangan antara masyarakat
dan negara karena negara merupakan alat dari masyarakat untuk menciptakan
kesejahteraan bersama. 19
Prinsip-prinsip yang dikemukakan Bung Hatta diimplementasikan dalam rumusan

Pasal 33 ayat 3 UUD 1945: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya di kuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat yang selanjutnya menjadi dasar perumusan Pasal 2 ayat 1 UUPA yang
menempatkan negara sebagai pemegang Hak Untuk Menguasai pada tingkatan
tertinggi atas Bumi, Air, Ruang Angkasa, dan Kekayaan Alam yang terkandung di
dalamnya (HMN). Pengertian dikuasai bukan berarti dimiliki, namun diberi
kewenangan tertinggi dalam mengatur penggunaannya.
17

. Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar) , Liberty, Yogyakarta,1988,hal

38.
18

. Ateng Syaifuddin, Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup Dalam Kaitannya


denganWewenang Pemerintah Daerah Dalam Hal Perzinan, Makalah,Penataran Hukum
Lingkungan, Fakultas Hukum UNAIR, Surabaya, 1992, hal 5.
19
. Bung Hatta, dalam Endang Suhendar & Ifdhal Kasim.,ed.Tanah Sebagai Komoditas: Kajian
Kritis Kebijakan Pertanahan OrdeBaru, ELSAM,Jakarta,1996, hal 18.

21

Khusus mengenai tanah perkebunan, Bung Hatta menyatakan, bahwa: Tanah


perkebunanpun yang sebenarnya milik rakyat, seharusnya dikuasai oleh rakyat
melalui bentuk koperasi, tidak dikuasai oleh seorang pengusaha perkebunan.20
Boedi Harsono menambahkan, bahwa Tanah bukan komoditas perdagangan,
biarpun dimungkinkan tanah yang dipunyai dijual jika ada keperluan.

21

Tanah

merupakan Asset, dan bukan komoditas perdagangan, walaupun tanah mempunyai


nilai ekonomis.22
Berdasarkan Hak Menguasai Negara, maka negara wajib memimpin, dan
mengatur penggunaan tanah sebagaimana dirumuskan pada

bagian Berpendapat

UUPA huruf d, bahwa: Hukum agraria tersebut (UUPA) (kursif penulis),


mewajibkan negara mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya,
sehingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan Bangsa Indonesia dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran Rakyat, baik secara perorangan, maupun gotong
royong. Dengan demikian, maka secara logika seharusnya tidak terdapat
pertentangan antara negara dengan rakyat, sebagaimana dinyatakan oleh Bung
Hatta, karena negara sebagai organisasi seluruh rakyat fungsinya hanya mengatur,
dan tidak berkedudukan sebagai pemilik.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa tujuan akhir dari diundangkannya UUPA
adalah masyarakat yang adil dan makmur, terutama bagi rakyat tani, sebagaimana
dirumuskan pada

Penjelasan Umum I

dan Tujuan diundangkannnya UUPA.

Pengertian rakyat menunjuk pada manusia sebagai subjek hukum alami (Natuurlijke
Persoon)23, bukan badan hukum, apalagi pemerintah atau negara. Berdasarkan alur
fikir demikian, maka petanilah (rakyat tani) yang harus memperoleh perhatian utama
dalam pelaksanaan politik agraria baik oleh pemerintah pusat maupun daerah, karena
kesejahteraan rakyat tani yang sebesar-besarnyalah yang menjadi tujuan utama
UUPA.
20

. Bung Hatta, Ibid.


. Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Penjelasannya, Jilid I: Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, 1999, hal
286.
22
. Firman Muntaqo, Hak Ulayat (Tanah Marga) dan Pembangunan Perkebunan Dalam Era
Otonomi Daerah (Sebuah Alternatif Penataan Kebijakan Pertanahan Antara Petani, Pemerintah dan
Perusahaan Perkebunan di Sumatera Selatan di Era Otonomi Daerah), Majalah Simbur Cahaya,
Nomor109 Tahun VII, Mei 2002, hal hal 806.
23
. Firman Muntaqo, Ibid, hal .800.
21

22

Untuk mencapai tujuan yang diamanatkan UUPA, maka diperlukan politik atau
strategi agraria untuk mencapainya. Berdasarkan 3 (tiga) ciri idealnya, yaitu: a.
Penguasaan Tanah; b. Tenaga Kerja, dan; c. Tanggung jawab dalam pengambilan
keputusan mengenai produksi, akumulasi modal, dan investasi, maka

Politik

Agraria/Strategi Agraria dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu:


1.

Strategi/politik agraria Kapitalis, yaitu politik agraria yang menempatkan


sarana produksi/tanah dikuasai oleh individu bukan penggarap. Penggarap adalah
pekerja "upahan bebas", dimana penggarap berkedudukan sebagai penjual tenaga
yang dibeli dengan upah oleh pemilik tanah. Tenaga kerja adalah komoditas.
Sedangkan tanggung jawab produksi, akumulasi modal, dan investasi sepenuhnya
menjadi tanggung jawab pemilik/penguasa tanah.
2.
Strategi/politik Agraria Sosialis, dimana tanah dan sarana produksi lainnya
dikuasai oleh organisasi (biasanya negara) atas nama kelompok kerja. Tenaga kerja
memperoleh imbalan dari hasil kerjanya, yang diputuskan oleh organisasi yang
mengatasnamakan organisasi para pekerja (negara). Tanggung jawab produksi,
akumulasi modal, dan investasi terletak di tangan organisasi yang mengatasnamakan
para pekerja (biasanya negara);
3.
Strategi/Politik Agraria Populis atau Neo Populis, menempatkan satuan usaha
adalah keluarga. Karena itu, maka penguasaan tanah dan sarana produksi lainnya
tersebar pada mayoritas keluarga tani. Tenaga kerja, adalah tenaga kerja keluarga.
Dengan demikian, maka produksi secara keseluruhan adalah hasil dari pekerjaan
keluarga tani, walaupun tanggung jawab atas akumulasi modal, biasanya diatur oleh
negara.24
Atas dasar tujuan, mekanisme, dan bentuk usaha, dan penguasaan/pemilikan

tanah , maka serta rumusan-rumusan pasal UUPA maupun penjelasannya, serta


prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh Bung Hatta, maka upaya yang dipilih oleh
bangsa Indonesia dalam memanfaatkan dan menggunakan agraria/tanah bagi sebesarbesar kemakmuran rakyat adalah dengan menganut strategi/politik agraria populis
atau neo-populis.
Politik agraria Populis atau Neo Populis yang diamanatkan dalam UU No.5
Tahun 1960 menempatkan satuan keluarga petani sebagai inti dari penguasaan tanah,
satuan usaha, dan sebagai sumber tenaga kerja, sedangkan negara berkewajiban untuk
melaksanakan pengaturan dan distribusi hak atas tanah pada rakyat (dalam pengertian
24

. Gunawan Wiradi, dalam Noer Fauzi, Penghancuran Populisme dan Pembangunan Kapitalisme:
Dinamika Politik Abraria Pasca Kolonial, dalam Dianto Bachriadi, Erfan Faryadi,et all (Ed),
Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia : Reformasi Agraria,
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1997, hal 67-68.

23

Natuurlijke Persoon), tanggung jawab dalam aspek akumulasi modal dan investasi.25
Dengan demikian, maka politik pertanahan di bidang perkebunan sebagai bagian dari
politik pertanahan yang diatur dalam UUPA seharusnya juga menganut strategi/
politik agraria Populis atau Neo Populis.
Berdasarkan tujuan politik agraria populis atau neo-populis yang diamanatkan
UUPA yang tujuan utamanya adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka
secara ideal yang harus dilakukan pemerintah/negara adalah membuka akses seluasluasnya pada rakyat untuk dapat memiliki dan memanfaatkan tanah perkebunan
(HGU), dalam rangka mencapai kesejahteraannya. Untuk itu,

negara/pemerintah

seharusnya melakukan upaya :


1.

Pemerataan pemilikan dan memfasilitasi berkembangnya HGU Skala Kecil


dengan luas antara 5 (lima) sampai 25 (dua puluh lima) hektar, dengan keluarga
sebagai satuan usaha;
2.
Memfasilitasi petani untuk mengembangkan koperasi pertanian;
3.
Memfasilitasi petani dengan bantuan teknologi pertanian, sistem perkreditan,
pemasaran dan sistem manajemen;
4.
Menempatkan perusahaan perkebunan sebagai perusahaan pengolah hasil
perkebunan/komoditas tanpa perlu memberikan hak atas tanah agar tercipta posisi
tawar yang baik antara petani dan perusahaan, karena pada dasarnya tanah
perkebunan adalah milik rakyat (sebagaimana dinyatakan oleh Bung Hatta).
Implementasi politik agraria Populis atau Neo Populis yang diamanatkan UUPA,
serta enam prinsip yang seharusnya menjadi dasar pengaturan tanah di Indonesia
sebagaimana yang dikemukakan oleh Bung Hatta tersebut saat ini kontras dengan
keadaan senyatanya di bidang perkebunan yang menunjukkan:
1. Pada prakteknya, tanah telah menjadi faktor produksi yang sebagian besar
dikuasai oleh perusahaan-perusahaan perkebunan yang berorientasi memperoleh
keuntungan yang sebesar-besarnya;
2. Hak atas tanah perkebunan sebagian besar dimiliki oleh perusahaan perkebunan
dengan luas yang cenderung tanpa batas (yang sebenarnya bertentangan dengan
larangan pemilikan tanah secara Latifundia) dengan Hak Guna Usaha (HGU);
3. Negara yang seharusnya berkedudukan sebagai badan pengatur malah terlibat
sengketa tanah dengan rakyat, baik sebagai pihak lawan maupun sebagai pihak
yang terlibat;
4. Pada kenyataannya tanah telah menjadi komoditas perdagangan.

25

. Firman Muntaqo, Menyikapi Era Globalisasi di Bidang Agraria, Majalah Simbur Cahaya,
Nomor 09 Tahun IV, Januari 1999, hal 85.

24

Bahkan Sritua Arief, salah seorang ekonom penganut aliran strukturalis dan
faham ekonomi kerakyatan Indonesia yang digagas oleh Bung Hatta menyatakan:
Dialektika hubungan ekonomi, baik intern maupun ekstern dalam lingkungan
perkebunan besar, secara fundamental tidak mengalami perubahan sejak zaman
kolonial Belanda sampai sekarang. Perubahan aktor dari Belanda ke pribumi
tidak berhasil mengubah karakter hubungan ekonomi antar aktor, terutama antara
aktor kuat dan aktor lemah. 26
Sritua Arief mengemukakan contoh:
Perkebunan besar di Sumatera sebagai suatu unit ekonomi nasional dimana
pemilikannya berada ditangan negara, ternyata telah tidak tampil sebagai
promotor restrukturisasi manfaat ekonomi nasional, dalam bentuk
1. Menimbulkan dampak pemerataan dalam proses pertumbuhan ekonomi, dan;
2. Menimbulkan dampak sosial berupa peningkatan kualitas hidup dan solidaritas
masyarakat sekitar.27
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik pengertian bahwa, UUPA sebagai aturan
hukum yang diharapkan mampu menjadi dasar bagi pengaturan tanah, termasuk tanah
perkebunan, pada tataran implementasinya ternyata belum mampu secara memadai
berfungsi sebagai alat/instrumen untuk merealisasikan mandat yang diembannya di
bidang perkebunan. Hal ini didasarkan pada kenyataan, antara lain:
1. Tidak terciptanya pemerataan penguasaan dan pemilikan tanah perkebunan
(Landreform, dalam bentuk Land Distribution);
2. Terjadinya peningkatan kuantitas maupun kualitas sengketa pertanahan di bidang
perkebunan antar warga masyarakat; masyarakat dengan perusahaan; sampai
kepada masyarakat dengan negara dan/atau perusahaan di berbagai daerah dengan
berbagai dimensinya;
3.
Akses rakyat untuk memperoleh HGU dalam skala kecil antara 5 s/d 25 ha, tidak
terlaksana, bahkan dalam kenyataannya HGU yang diberikan hanya 2 ha
persertifikat;
4.
Terjadinya persaingan yang tidak sehat dan nyaris tanpa adanya perlindungan
bagi rakyat yang berkedudukan sebagai golongan ekonomi lemah sebagaimana yang
dimanatkan UUPA (Vide Pasal 11 Ayat 1 dan 2 UUPA).
5.
Timbulkan tuntutan masyarakat pada pemerintah untuk melakukan adanya
reformasi agraria yang pada akhirnya direalisasikan dalam TAP MPR No.IX/2001
Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam serta Kepres
No34/2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan.
Kondisi di atas semakin diperparah oleh globalisasi perdagangan dunia yang
memungkinkan dengan mudahnya modal asing masuk di sektor perkebunan yang
26

. Sritua Arief, Ekonomi Kerakyatan Indonesia, Mengenang Bung Hatta, Bapak Ekonomi
Kerakyatan Indonesia, Universitas Muhammadiyah Yogjakarta Press, Yogjakarta, 2002, Hal 28.
27
. Ibid, hal 29.

25

dengan cepat meningkatkan jumlah perusahaan asing, maupun patungan yang bergerak
di bidang perkebunan dengan penguasaan/pemilikan tanah yang demikian luas dan
terus berusaha memperluas perkebunannya yang dapat mengakibatkan ternegasinya
akses rakyat/petani perkebunan atau bahkan memarginalkan petani menjadi petani
bertanah yang kemudian beralih pekerjaan menjadi buruh tani yang secara ekonomis
sangat bergantung pada perusahaan perkebunan.
Sehubungan dengan uraian di atas, pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa sampai
terjadi penguasaan tanah yang demikian luas oleh perusaan perkebunan, dan mengapa
keberadaan usaha perkebunan cenderung melemahkan petani dan cenderung
memarjinalkan petani dari pemilik tanah menjadi buruh perkebunan ?. Persoalan
demikian akan dapat dijawab secara memadai apabila dapat dipetakan konjungtur
politik yang mempengaruhi pemerintah dalam melaksanakan politik agraria yang
diamanatkan oleh UUPA, serta praktek pengadaan tanah dalam rangka investasi melalui
mekanisme Kontrak Pertanian di bidang perkebunan.
3. Pengaruh Konjungtur Politik Terhadap Politik Pertanahan di Bidang
Perkebunan dalam Kaitannya dengan Penanaman Modal
Pemerintah Orde Lama dengan Demokrasi Terpimpin jatuh dengan mewariskan
keterpurukan kondisi ekonomi, serta ketidakstabilan politik dan keamanan. Oleh karena
itu, dapat difahami jika Orde Baru menjadikan pembangunan ekonomi dan stabilitas
sebagai sasaran strategis pembangunan. Orde Baru berpendapat bahwa tidak mungkin
dapat dicapai pertumbuhan ekonomi tanpa adanya: 1. Stabilitas politik dan keamanan, 2.
Akumulasi modal, dan; 3.Dukungan dari kekuatan soisial politik.
Secara politis, Orde Baru tidak akan mendapat dukungan apabila melaksanakan
politik agraria populis atau neo-populis yang diamanatkan UUPA, karena :
1.

Pada saat itu UUPA dianggap sebagai produk komunisme;

2.

Secara politis, Orde Baru tampil sebagai rejim yang berkuasa berkat dukungan
Militer (terutama Angkatan Darat), Agamawan, Pengusaha, Birokrat, dan Petani
Pemilik tanah yang luas (tuan tanah) di pedesaan yang menentang dilaksanakannya
Landreform.

26

Berdasarkan kondisi di atas, maka terdapat konsensus diantara pendukung Orde


Baru, bahwa perlu adanya stabilitas, rehabilitasi, dan pembangunan ekonomi gaya
kapitalis. Kondisi demikian mengakibatkan Orde Baru menganut paradigma
Pembangunan (Developmentalis) yang didasarkan pada politik ekonomi kapitalis dan
strategi pemerataan berdasarkan teori Trickle Down Effect untuk dapat mencapai
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan cepat.
Di bidang agraria/pertanahan hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan
strategi/politik agraria/pertanahan dari semula yang bersifat populis atau neo-populis
dan demokratis, kepada politik agraria/pertanahan kapitalis dan otoritarian.
Perubahan politik agraria tersebut ditujukan untuk menarik investasi dalam rangka
akumulasi modal untuk membiayai pembangunan, baik melalui penanaman modal
asing maupun penanaman modal dalam negeri. Dalam upaya menarik investasi,
maka pemerintah mengundangkan UU No.1 tahun 1967 tentang PMA, dan UU No. 6
Tahun 1968 tentang PMDN, serta berbagai peraturan pelaksanaanya yang pada
dasarnya memberikan fasilitasi untuk meningkatkan investasi.
Di bidang pertanahan, untuk meningkatkan investasi, pemerintah antara lain
mengeluarkan :
1.

PMDN No.15 Tahun 1975 tentang Tata Cara Pembebasan Tanah;

2.

PMDN No.2 Tahun 1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah


Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta.
Kedua PMDN di atas, walaupun bertujuan untuk mempermudah pengadaan tanah

bagi kegiatan investasi, termasuk di bidang perkebunan, namun secara substansial


bertentangan dengan asas-asas hukun agraria yang diamanatkan UUPA, karena secara
substansial tidak berbeda dengan pencabutan hak atas tanah yang seharusnya hanya
dapat dilakukan atas dasar kekuatan undang-undang; demi kepentingan umum, dan
dilaksanakan dengan Keputusan Presiden, sebagaimana yang diatur dalam UU No.20
Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada di
Atasnya, sedangkan pengadaan tanah untuk investasi adalah bukan demi kepentingan
umum tetapi kepentingan perdata, oleh karena itu harus dilakukan menurut prosedur
hukum perdata, dan tidak dapat menggunakan prosedur pengadaan tanah untuk
kepentingan umum.
27

Setelah mendapat berbagai kecaman, PMDN 15/75 dan PMDN 2/76 dicabut
melalui Keppres 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Namun demikian, walaupun pola
pengadaan tanah untuk kepentingan investasi dengan memanfaatkan kewenangan
negara di bidang pertanahan telah dihapuskan melalui Kepres 55/93, namun
pengambilan tanah rakyat untuk kepentingan investasi tetap berlangsung. Hal ini
disebabkan selain karena UUPA tidak secara mengatur kedudukan tanah-tanah
individu, maupun tanah masyarakat yang umumnya tunduk pada hukum adat, juga
karena UUPA tidak secara tegas dan jelas menentukan bagaimana mekanisme serta
lembaga yang berfungsi menjembatani pengalihan dari tanah adat menjadi tanah yang
tunduk pada UUPA. Bahkan, bila dikaji lebih mendalam ternyata, dengan dasar HMN
yang tidak jelas tafsir dan batasannya, pemerintah, atau rejim yang berkuasa
cenderung melakukan pembatasan terhadap tanah-tanah masyarakat yang lebih
banyak dimiliki/dikuasai berdasarkan hukum adat.
Pengakuan terhadap tanah adat ataupun tanah masyarakat hukum adat semakin
pudar/tidak menentu, dan cenderung semakin ternegasi dengan diundangkannya UU
No.5 Tahun tentang Pemerintahan Desa. Walaupun UU No.5/79 tidak menghapuskan
masyarakat hukum adat (dalam artian sosiologis), namun penghapusan terhadap
kelembagaan masyarakat hukum adat, seperti marga Sumatera Selatan, Nagari di
Sumatera Barat, dan lain-lain yang selama ini telah menyatu dengan masyarakat
dengan hukum adat sebagai satu kekuasaan yang otonom, dan menggantikannya
dengan pemerintahan desa menurut Prof. Dr. Satjipto Rahardjo,SH., telah
mengakibatkan

terbabat

habisnya

kekuasaan-kekuasaan

otonom

(kesatuan

masyarakat beserta hukum adatnya, kursif penulis)28 yang selama ini menjadi
sandaran keberadaan haknya atas tanah.
Ketidakpastian keberadaan hak-hak atas tanah adat lebih diperparah oleh pola
pikir aparat pertanahan yang sangat terpengaruh oleh sistem hukum perdata barat
(Civil Law System) yang menekankan pada alat bukti formal (surat/akta) untuk
membuktikan adanya suatu hak atas tanah, walaupun sebenarnya UUPA yang
menempatkan Hukum Adat sebagai sumber utamanya membuka kemungkinan
28

. Satjipto Raharjo, op.,cit.,hal 4.

28

pembuktian pemilikan hak atas tanah berdasarkan hukum adat, atau cara-cara lainnya,
karena UUPA pada dasarnya tidak menganut pembuktian positif, tetapi pembuktian
negatif.
Masyarakat menilai kebijaksanaan pemerintah untuk melemahkan akses rakyat ,
terutama rakyat tani merupakan upaya memfasilitasi investor dalam pengadaan tanah
bagi penanaman modal. Hal ini terlihat dari kebijaksanaan pemerintah Orde Baru di
bidang pertanahan, berupa:
1. Penempatan landreform tidak lagi sebagai strategi pembangunan, akan tetapi hanya
sebagai masalah teknis belaka/rutin birokrasi. Masalah tanah oleh Orde Baru tidak
ditempatkan sebagai dasar pembangunan, namun sebagai strategi peraturan
perundang-undangan yang ditujukan untuk mempermudah kalangan swasta/pemilik
modal dalam memperoleh tanah, bahkan bila perlu dengan mengorbankan tanahtanah rakyat.
2. Penghapusan legitimasi partisipasi organisasi petani dalam program landreform,
dengan mencabut pertaturan yang lama dan menggantikannya dengan yang baru.
Hal ini dilakukan dengan melakukan penghapusan pengadilan landreform, dan
pembentukan HKTI sebagai organisasi tani bentukan pemerintah;
3. Penerapan kebijakan massa mengambang (Floating Mass) dengan tujuan
memotong hubungan petani/pedesaan dengan partai politik, sehingga petani tidak
memiliki kemampuan mempengaruhi kebijakan pemerintah, apalagi memiliki posisi
tawar.
4. Menghilangkan dinamika proses politik di pedesaan, dengan mengundangkan UU
No.5/79 dengan tujuan melakukan kontrol birokratis terhadap kekuatan yang ada
pada masyarakat pedesaan.
5. Pelibatan unsur militer dan polisi dalam dinamika pembangunan desa, atas dasar dwi
fungsi ABRI.
6. Memanfaatkan Hak Menguasai Negara yang tidak jelas tafsir dan batasnya sebagai
dasar pengadaan tanah bagi keperluan perusahaan, pemerintah, maupun
pembangunan lainnya.29
Fenomena yang menggambarkan upaya sistematis pemerintah untuk mengubah
politik agraria populis/neo populis dengan politik agraria kapitalis, tanpa melakukan
perubahan terhadap UUPA guna kepentingan investasi dan mempermudah eksploitasi
sunber-sumber agraria (termasuk tanah untuk program pembangunan agro industri di
bidang perkebunan) dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
cepat, walaupun dengan mengorbankan asas pemerataan dan hak atas tanah-tanah
rakyat yang disertai otoritarianisme negara merupakan gambaran konjungtur politik
pada waktu pada masa Orde Baru yang hingga saat ini masih akibatnya masih
berlanjut. Menanggapi fenomena demikian, Prof.Dr Satjipto Rahardjo,SH. dengan
29

. Firman Muntaqo, op,cit.,hal 86-87.

29

bahasa yang Sosiologis menyatakan bahwa, hukum dapat meleleh ditangan para
pelaksana hukum.30 Dalam kasus di atas, maka politik Agraria Populis/Neo Populis
meleleh di tangan Rejim Orde Baru.
4. Kontrak Pertanian dalam Kegiatan Investasi di Bidang Perkebunan
Prof.Dr. Sri Redjeki Hartono,SH., mengingatkan, bahwa Jika masalah investasi
asing (tentunya termasuk investasi dalam negeri, kursif penulis) tidak diatur secara
seksama dan konprehensif akan menimbulkan dampak negatif seperti:
1.
2.

Eksploitasi sumber daya secara besar dan melampaui batas kemampuan;


Tidak/kurang memanfaatkan kekuatan lokal sehingga menimbulkan
kesenjangan sosial dan kesenjangan ekonomi;
3.
Penyelundupan hukum untuk berbagai kepentingan. 31
Selain itu, tidak diaturnya dengan baik hukum pertanahan bagi hukum investasi
juga akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Kepala Bidang Penanaman Modal
dari Kamar Dagang dan Industri Kadin, Bambang Sujagad menyatakan
ketidakpastian hukum ini terbukti pada banyaknya kontrak bermasalah yang
dihadapi investor. Contoh yang paling menonjol adalah proses pembelian kebun
kelapa sawit oleh PT.Guthrie Malasyia. Meski pihak PT.Guthrie secara resmi telah
menjadi pemilik areal kelapa sawit itu, pemerintah tidak memberikan kepastian
hukum pada status tanah tersebut. Akibatnya, kini pemilik barulah yang harus
menghadapi tuntutan masyarakat. Kasus semacam ini akan membuat para investor
lari dari Indonesia. Contoh lain, adalah pada kasus PT. TEL, tanah yang telah
dibebaskan, digugat kembali oleh masyarakat, dan PT. TEL terpaksa membayar
kembali untuk kedua kalinya, permasalahan lain dihadapi PT. TEL adalah adanya
tuntutan masyarakat disekitar PT. TEL untuk menjadi buruh di PT. Tanjung Enim
Lestari (TEL). Bagir Manan menyatakan adanya lima sumber utama yang dapat
menimbulkan kepastian hukum di Indonesia, yaitu:
1.
2.
3.

Rancunya peraturan perundang-undangan,


Proses birokrasi,
Proses pradilan yang tidak baik,

30

. Firman Muntaqo, Catatan Kuliah Teori Hukum I pada PDIH Universitas Diponegoro, Semarang,
Tidak dipublikasikan, Juli 2005.
31
. Sri Redjeki Hartono, Pentingnya Pengaturan yang Baik di Bidang Hukum Bisnis, Khususnya
Investasi, op,cit., hal: 8.

30

Kegaduhan sosial,
Kegaduhan politik. 32

4.
5.

Sinyalemen Prof. Dr. Sri Redjeki Hartono,SH., dan Bagir Manan tersebut
merupakan suatu kenyataan dalam kegiatan investasi di bidang perkebunan, karena
rancunya ketentuan hukum yang berakibat mudahnya melakukan penyelundupan
hukum bagi kepentingan dan keuntungan investor maupun berbagai pihak yang
memanfaatkan situasi lemahnya hukum, birokrasi yang tidak baik dan cenderung
korup, proses peradilan yang tidak baik, serta tidak dimanfaatkannya kekuatan lokal
sehingga menimbulkan kesenjangan sosial. Kelemahan-kelemahan yang merugikan
petani dan negara tersebut nampak mulai dari proses awal investasi, pengadaan tanah,
pembentukan kontrak pertanian, sampai pada implementasi kontrak pertanian yang
merupakan bagian dari program agro industri yang dilaksanakan oleh pemerintah
Orde Baru.
a. Kelemahan pada Proses Awal Penanaman Modal di Bidang Perkebunan.
Program agro industri adalah program yang diperkenalkan dan direkomendasikan
oleh World Bank, IMF (International Monetary Fund), ADB (Asian Development
Bank), dan CDC (Commonwealt Development Corporatioan) pada tahun 1970 untuk
mengantisipasi menurunnya penerimaan devisa dari minyak, dengan pengembangan
sektor pertanian khususnya perkebunan melalui proyek pengembangan perkebunan
rakyat melalui Nucleus Estate and Smallholder Scheme (NES) yang kemudian lebih
dikenal sistem Perusahaan Inti Rakyat (PIR), dan dikenal juga dengan sistem usaha
tani kontrak/contract farming atau Inti-Plasma.
Perusahaan Inti-Plasma adalah cara pengorganisasian produksi pertanian yang
dilakukan dengan menempatkan petani-petani kecil atau plasma dalam bingkai
kontrak suatu perusahaan besar sebagai inti untuk menghasilkan hasil pertanian yang
telah ditentukan. Perusahaan inti membeli hasil pertanian/perkebunan menyediakan
bimbingan teknis, kredit, dll, untuk menjamin ketersediaan produksi dan pemasaran.
Sistem inti-plasma pada dasarnya diciptakan oleh pemilik modal asing raksasa
internasional yang lebih dikenal dengan perusahaan trans-nasional (Transnational
32

. Republika, 30 September 2002

31

Corporation/TNC atau Multi National Corporation/MNC) dan diperkenalkan melalui


dan membonceng program lembaga-lembaga keuangan internasional karena beberapa
alasan:
1. Pemilik modal raksasa tidak lagi dapat menanamkan modalnya di negara asalnya
(negara maju), karena kendala: tidak tersedianya lahan; biaya infra struktur yang
tinggi, serta upah buruh yang tinggi.
2. Modal asing raksasa tidak lagi dapat menanamkan modalnya secara langsung ke
negara-negara dunia ke tiga secara seperti pada zaman kolonial.33
Untuk menanamkan modalnya, maka pemodal internasional raksasa dengan
menggunakan (membonceng) lembaga-lembaga keuangan dan pembangunan
internasional yang menperkenalkan dan rekomendasikan Sistem NES/Sistem IntiPlasma/PIR kepada pemerintah Indonesia dan menjadikannya sebagai persyaratan
dalam pemberian bantuan.
Strategi membonceng atau menumpang program pada lembaga-lembaga keuangan
internasional yang dilakukan oleh pemilik modal raksasa internasional untuk
menanamkan modalnya dengan konsep NES terpaksa harus diterima oleh pemerintah
Indonesia karena ketergantungan pemerintah terhadap bantuan lembaga-lembaga
keuangan internasional dalam membiayai pembangunan, walaupun konsep-konsep
pembangunan yang ditawarkan oleh lembaga-lembaga tersebut sebagai syarat
pemberian bantuan keuangan yang seringkali tidak berpihak pada rakyat banyak,
bahkan sering mengorbankan kepentingan rakyat banyak.34, dan merupakan salah satu
bentuk khas penetrasi sistem kapitalis ke dalam sektor pertanian, karena dengan pola
NES/PIR, perusahaan perkebunan memiliki berbagai keuntungan, antara lain:
1. Mengatasi masalah dan menghemat biaya pengadaan tanah, serta menjamin
penguasaan hasil produksi, karena melalui kontrak pertanian semua biaya menjadi
tanggung jawab petani melalui fasilitas kredit yang pengurusannya difasilitasi
oleh perusahaan inti;
2. Perusahaan memperoleh tenaga kerja murah dan bahkan gratis, karena PIR
perkebunan adalah usaha padat karya yang dikerjakan oleh petani dan keluarganya
secara tidak langsung, dengan alasan bahwa petani dikontrak untuk menjual hasil
tanamannya, bukan tenaganya;
3. Perusaahan dapat melakukan pengendalian terhadap petani; sarana produksi,
pengolahan, dan pemasaran;
33
34

. Noer Fauzi, op,cit.,hal 113.


. Ibid, hal 140.

32

4.

Melalui sistem Kontrak Pertanian dengan perusahaan Inti-Plasma dapat


membagi resiko dengan lembaga-lembaga pembangunan dan keuangan, serta
petani.
5. Dalam pengadaan tanah perusahaan dapat memanfaatkan negara/pemerintah
dalam pengadaan tanah.
Dengan demikian, pada proses awal jelas nampak bahwa program NES/PIR yang
pada akhirnya melahirkan Kontrak Pertanian diterima dan diterapkan dengan
suatu keterpaksaan, karena ketergantungan pemerintah terhadap bantuan lembagalembaga keuangan internasional dan pembangunan yang diboncengi pemodal
raksasa internasional (TNC) dalam pembiayaan pembangun, walaupun sebenar
terdapat sasaran tersembunyi dalam program NES/PIR, yaitu:
1.

Perusahaan inti dapat mengalihkan resiko dalam investasi; produksi; fluktuasi


harga pasar komoditas hasil perkebunan pada petani;
2. Pengusaha perkebunan mengalihkan semua soal pengerahan tenaga kerja pada
petani (hal ini merupakan bentuk tersembunyi dari self exploitation);
3. Keputusan pada penentuan mutu ada pada perusahaan inti;
4. Petani diisolasi dari pasar bebas, karena kegiatan pengolahan dan pemasaran
menjadi kekuasaan perusahaan inti.
Kenyataan bahwa program PIR pada dasarnya merupakan program yang
bertentangan dengan amanat UUPA antara lain dari proses pengadaan tanah bagi
perusahaan perkebunan dengan pola PIR. Pada kenyataannya di lapangan, dalam
mensukseskan program agro industri tidak jarang pemerintah turun tangan langsung
membersihkan rintangan-rintangan yang menghalangi mulusnya pembangunan,
dengan perilaku yang birokratis, otoriter, dan korup,35 atas dasar HMN atas tanah.
b. Kelemahan dalam Proses Pengadaan Tanah untuk Penanaman Modal di
Bidang Perkebunan
Dalam melaksanakan Program Agro Industri yang memerlukan tanah yang luas,
pemerintah berdasarkan atas dasar Hak Menguasai Negara dan asas Kepentingan
Umum melakukan berbagai tindakan pengambilalihan tanah yang telah dimanfaatkan
rakyat, namun belum bersertifikat melalui tata cara pembebasan tanah yang diatur
dalam PMDN 15/1975 dan PMDN 2/1976, atau tanah adat (baik yang dikuasai secara
komunal ataupun individual), dengan mengemukakan alasan bahwa: Tanah adat dan
35

. Ner Fauzi, Anatomi Politik Agraria Orde Baru, dalam Noer Fauzi, Peny, Tanah dan
Pembangunan, hal: 156.

33

tanah masyarakat hukum adat/Tanah Ulayat adalah tanah negara, karena setelah
Indonesia merdeka Hak Ulayat masyarakat hukum adat telah diangkat pada tingkat
yang lebih tinggi pada level negara, sehingga penggunaan dan pemanfaatannya
berada pada tangan negara dan tidak lagi pada kesatuan masyarakat hukum adat,
kecuali keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat tersebut dapat dibuktikan
keberadaannya, sebagaimana yang diatur pada Pasal 3 UUPA dan Permenag/Kepala
BPN No.5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat. Dengan kata lain, hak masyarakat atas tanah milik adat
yang sifatnya individual atau komunal harus dibuktikan dulu, kalau tidak dapat
dibuktikan, maka tanah tersebut adalah tanah negara. Hal demikian tidak berbeda
dengan kewajiban pembuktian terbalik yang dianut oleh pemerintah kolonial yang
diatur dalam pasal 1 AB yang lebih dikenal dengan pernyataan pemilikan tanah oleh
negara/Domein Verklaring.
Apabila individu dapat membuktikan hak pemilikannya atas tanah yang dikuasai
berdasarkan hukum adat, tetap saja tidak dapat menolak untuk dilakukannya
pembebasan tanah, sebab tanah adat tetap tunduk pada lingkup HMN. Menurut
penjelasan UUPA, masyarakat hukum adat boleh/tidak dapat menghalang-halangi
digunakannya tanah hak ulayat untuk pembukaan perkebunan, dan masyarakat hanya
berhak atas Recognitie yang berfungsi untuk memutuskan hubungan hukum antara
masyarakat/individu dengan hak atas tanah ulayatnya.
Kesatuan masyarakat hukum adat pada dasarnya hanya memiliki hak untuk
mengelola sebagian dari hak HMN apabila ada pendelegasian dari negara/pemerintah
sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional menurut
ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah (Vide Pasal 2 ayat 4 UUPA). Selanjutnya
masih dalam Penjelasan UUPA secara tegas dinyatakan, bahwa kepentingan sesuatu
masyarakat hukum harus tunduk kepada kepentingan nasional dan negara yang lebih
luas dan hak ulayatpun yang masih ada pelaksanaannya harus sesuai dengan
kepentingan yang lebih luas (Vide Penjelasan Umum II UUPA).
Alur pikir sebagaimana diuraikan pada paragraf-paragraf di atas senada dengan
pernyataan dari Soedikno Mertokusumo bahwa, sejak Indonesia merdeka sebagai
suatu bangsa, maka suku-suku bangsa tidak lagi memiliki hak kepunyaan atas tanah
34

ulayatnya, karena tanah ulayatnya tersebut telah menjadi tanah ulayat bangsa, dengan
kata lain telah melebur menjadi hak (ulayat) bangsa atau hak bangsa36. Jika telah
demikian penafsirannya, maka HMN tidak lagi ada bedanya dengan Hak Milik dalam
pengertian Staatsdomein, sebagaimana yang diatur pada pasal 1 AB yang mengatur
tentang Domein Verklaring . Dan juga perlu diketahui, hingga saat ini belum ada
satupun kesatuan masyarakat hukum adat yang menerima pelimpahan wewenang dari
pemerintah pusat untuk melaksanakan sebagian dari HMN, walaupun pelimpahan
wewenang tersebut telah lebih dioperasionalisasikan melalui Permenag/Kepala BPN
No.5/1999.
Dengan demikian, jelas bahwa UUPA terlalu berpihak pada kepentingan
negara/pemerintah yang diwakili pemerintah pusat sebagai pemegang kekuasaan
sentral di bidang agraria/pertanahan (Vide Penjelasan pasal 2 UUPA). Secara
sosiologis, maka jelas nampak terjadinya penegasian terhadap hukum rakyat/hukum
adat

oleh

hukum

negara

(UUPA),

karena

ternyata

implementasi

HMN

mengakibatkan:
1. Terjadinya penghisapan kewenangan masyarakat hukum adat untuk mengatur tanah
yang ada dilingkungan hak ulayatnya yang secara sosiologis ditujukan untuk
menjamin tersedianya kebutuhan hidupan anggota masyarakat hukum adat dalam
rangka mengejar kesejahteraan oleh Hak Menguasai Negara yang menjadi
kewenangan pemerintah pusat;
2. Ternegasinya akses anggota masyarakat hukum adat yang selama ini dijamin oleh
hukum adat yang walaupun tradisional dan sederhana namun telah mampu
menjamin akses anggota masyarakat untuk secara leluasa mengakses dan
memanfaatkan bagian tanah ulayat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya;
3. Hancurnya tatanan hukum tanah adat yang selama ini telah terbukti menjadi
sandaran masyarakat hukum adat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Ketiga hal tersebut mengakibatkan terjadinya perlawanan terhadap implementasi
Hak Menguasai Negara yang mencuat dalam bentuk berbagai sengketa pertanahan
antara pemerintah/negara dengan masyarakat. Perlawanan masyarakat terhadap
pemerintah/ negara tersebut semakin meningkat manakala pemanfaatan tanah inividu
yang dibebaskan, maupun tanah ex Hak Ulayat yang difasilitasi pemerintah tersebut
selain dilakukan dengan cara-cara yang secara sosiologis tidak dapat diterima, juga
36

. Soedikno Mertokoesumo, dalam Vian K.Burin Masalah-Masalah Sekitar Penguasaan Tanah di


NTT, dalam hal Bachriadi, Erfan Faryadi,et all (Ed), Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda
Pembaruan Agraria di Indonesia : Reformasi Agraria, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, Jakarta, 1997, hal 255.

35

karena pembangunan perkebunan yang dilakukan tidak memberikan manfaat pada


rakyat yang ada disekitarnya.
Secara sosiologis, maka HMN yang memberikan kewenangan yang sedemikian
luas kepada pemerintah pusat telah mengakibatkan terjadinya monopoli kekuasaan
pengaturan hak atas tanah oleh pemerintah pusat cenderung akan membawa negara/
pemerintah menjadi kapitalis dan otoriter. Pada kondisi demikian, maka pengertian
bahwa HMN hanya memberikan kepada negara pada tingkatan tertinggi untuk
mengatur penggunaan dan pemanfaatan tanah tidak ada bedanya dengan
pengertiannya dengan tanah dimiliki oleh negara/pemerintah, mengingat
lemahnya daya tawar rakyat/ masyarakat terhadap negara. Bukankah kekuasaan yang
tidak dapat dikontrol cenderung menimbulkan tindakan korup, dan ini merupakan
suatu kenyataan di Indonesia.
Pengundangan

UUPA merupakan

salah

satu

upaya

untuk

melakukan

pembangunan hukum modern dalam suasana the new modern state, dengan sedapat
mungkin menggunakan sumber-sumber hukum asli Indonesia. Namun, dalam proses
pembentukannya, ternyata tidak didasarkan pada pemahaman yang mendalam
secara sosiologis kondisi hukum asli Indonesia yang bersifat Bhinneka Tunggal Ika,
dan tersebar secara otonom yang lebih sesuai dengan sistem pengaturan yang
bersifat desentralisasi.
Dalam pembentukan UUPA, pembentuk UU terjebak pada sistem hukum modern
yang dianut oleh negara-negara Civil Law System yang menganut sistem kodifikasi
atau unifikasi serta pola pengelolaan kekuasaan negara/pemerintah yang bersifat
sentralistis. Prof.Sutandyo Wignjosoebroto,MPA, menyatakan bahwa, Hukum
nasional pada hakikatnya adalah hukum yang kesahihan pembentukannya dan
pelaksanaanya bersumber dari kekuasaan dan kewibawaan negara. Namun tatkala
kehidupan berkembang ke dalam skala-skala yang lebih luas, dan lingkaran-lingkaran
kehidupan komunitas lokal (Old Societies) ke lingkaran-lingkaran yang lebih besar
yang bersifat translokal pada tatanan kehidupan berbangsa yang diorganisasi sebagai
suatu komunitas politik yang disebut negara bangsa yang modern (New Nation State),
maka kebutuhan akan suatu sistem hukum yang satu (alias positif) amatlah terasa,...
dan ini mengakibatkan negara condong untuk melakukan kodifikasi dan
36

unifikasi,....sebagai nasionalisasi dan negaraisasi yang amat berkesan mengingkari


apapun yang berbau lokal dan tradisional. 37

Namun demikian, lebih lanjut

Prof.Soetandjo menyatakan, namun yang disebut lokal dan tradisional itu


sesungguhnya berumur lebih tua dan lebih mengakar dalam sejarah, daripada apa
yang disebut nasional dan modern. Hukum setempat sekalipun tidak tertulis dan tak
memiliki ciri-cirinya yang positif , adalah sesungguhnya hukum yang lebih memiliki
makna sosial dari hukum yang bersitegak atas wibawa kekuasaan-kekuasaan sentral
pemerintah nasional38. Kondisi demikian mengakibatkan pada negeri-negeri yang
memiliki karakteristik pluralitas dan keragaman yang kultural dalam konteks-konteks
yang lokal dan sub nasional, seperti Indonesia yang berkultural Bhinneka namun
Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara akan selalu menghadapi
masalah pluralisme hukum-hukum lokal yang memanifestasikan kesetiaan-kesetiaan
dan kebutuhan lokal. Sehubungan dengan kondisi demikian, maka kebutuhan
terhadap politik hukum yang mampu mengharmonisasikan berbagai kebutuhan
hukum sesuai kulturnya yang pluralis serta mampu mengakomodasi keperluan
menurut perkembangan zaman (era globalisasi), termasuk dalam kaitannya dengan
pengadan tanah untuk investasi di bidang perkebunan merupakan suatu kenicayaan.
Sehubungan dengan pengundangan UUPA yang diharapkan akan dapat memberikan
kepastian hukum, dan menjadi dasar pembangunan hukum tanah atas dasar hukum
asli Indonesia (hukum tanah adat) sebagai sumber utama, Sudargo Gautama
menyatakan bahwa: Pada akhirnya, UUPA ini tetap saja adapts modern principle
and works with western ideas. In the result therefore , the new statute means that
reception of western law will continue in Indonesia,... The Western principles are
adopted silently,..bay legislators.39
c. Kontrak Pertanian yang Melemahkan Kedudukan Petani
Sebagaimana dikemukakan oleh Prof.Dr.Sri Redjeki Hartono, SH., yang
menyatakan bahwa, salah satu fungsi dari hukum ekonomi bagi pelaku ekonomi
37

. Soetanddya Wigjosoebroto, Problema Globalisasi :Persfektif Sosiologi Hukum, Ekonomi dan


Agama, Muhammadiyah University Pers, Surakarta, 2001 , hal 117.
38
. Ibid, hal 118.
39
. Sudargo Gautama, dalam Noer Fauzi, Bersaksi Untuk Pembaharuan Agraria: Dari Tuntutan
Lokal Hingga Kecenderungan Global, hal 21.

37

adalah bagaimana mengamankan kepentingan dan tujuannya yaitu memperoleh


keuntungan. Namun demikian, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tujuan
untuk memperoleh keuntungan tersebut haruslah dalam konteksnya dengan
kesejahteraan seluruh rakyat. Oleh karena itu, negara/pemerintah yang memegang
amanat untuk mengatur penggunaan dan pemanfaatan tanah (termasuk untuk usaha di
bidang perkebunan) sebagai alat untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat, harus mengupayakan agar terdapat keseimbangan kepentingan berbagai
pelaku ekonomi, dan harus bertindak secara adil dan tidak memihak.
Secara ideal, melalui kontrak pertanian diharapkan tercipta keadaan sebagai
berikut:
1.

Terciptanya petani pekebun perorangan dengan usaha tani terpadu, meliputi


aspek produksi, pengolahan, dan pemasaran;
2.
Tercipta peningkatan taraf hidup petani pekebun;
3.
Tercipta redistribusi faktor-faktor produksi, berupa tanah; modal; dan
manejemen;
4.
Tercipta peningkatan valume dan nilai ekspor komoditas perkebunan;
5.
Tercipta peningkatan produksi baik secara kuantitas, maupun kualitas
komoditas perkebunan;
6.
Terjadi alhi tehnologi;
7.
Mendorong perkembangan wilayah, sarana umum dimana proyek didirikan;
8.
Mendukung program transmigrasi;
9.
Meningkatkan kesempatan kerja dan produktivitas kerja;
10.
Mendukung industri hulu dan hilir;
11.
Membuka wilayah terpencil;
12.
Tercipta pemanfaatan sumber daya alam atas prinsip Suistainable
Development;
13.
Tercipta swasembada pangan;
14.
Membantu pengadaan komoditi tertentu bagi pasaran dalam negeri.40
Namun yang terjadi adalah sebaliknya, ternyata adalah Program agro industri
yang dilakukan dengan memfasilitasi pengusaha perkebunan untuk meningkatkan
produksi untuk keperluan ekspor telah menimbulkan berbagai dampat negatif berupa:
1.
2.
3.

Pengambil alihan tanah produktif petani;


Tercerabutnya rakyat petani dari tanahnya sendiri, dan menjadi buruh tani;
Tidak terjadi transfer teknologi dari perusahaan perkebunan pada petani yang
terbukti dari rendahnya produktifitas lahan yang dikelola oleh plasma;

40

. Dianto Bachriadi, Situasi Perkebunan di Indonesia Kontemporer, dalam dalam Dianto


Bachriadi, Erfan Faryadi,et all (Ed), Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria
di Indonesia : Reformasi Agraria, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,
Jakarta, 1997, hal 141.

38

4.
5.

Monopoli pembelian hasil kebun oleh perusahan;


Proses kredit yang tidak diketahui oleh petani, dan jumlah hutang yang tidak
terbayarkan;
6.
Korupsi hak-hak petani plasma, baik oleh oknum inti, maupun pihak perantara
lainnya, maupun aparat pemerintah.41
Ke enam hal tersebut terjadi, antara lain karena disebabkan oleh hal-hal sebagai
berikut:
a.

Lemahnya daya tawar, dan kekurang hati-hatian dalam menerima


konsep NES yang disodorkan oleh lembaga keuangan internasional dan
pembangunan;

b. Tidak terdapatnya keseimbangan dalam pembentukan perjanjian kontrak pertanian


antara perusahaan dengan petani yang mengakibatkan perusahaan mempunyai hak
memonopoli proses manejemen, pengurusan kredit, pengadaan sarana produksi,
hak membeli hasil produksi, hak memasarkan, dan hak menentukan harga;
c. Keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan lahan/kebun, biaya
produksi, perawatan kebun, pengurusan surat-surat, jasa manejemen, menjadi
tanggung jawab petani, dan dibiayai melalui kredit dari bank. Dengan kata lain
semua resiko dari usaha dialihkan oleh perusahaan inti kepada petani;
d. Tidak jarang petani tidak mengetahui berapa jumlah kreditnya yang harus dibayar,
namun rata-rata antara 15 sampai 20 tahun;
e. Tidak terjadi pengalihan teknologi dari perusahaan ini kepada petani plasma;
f. Organisasi petani yang dibentuk tidak lepas dari strategi korporasi-negara yang
sifatnya melemahkan kepentingan petani, walaupun biaya operasionalnya menjadi
beban petani;
g. Dalam menangani berbagai sengketa pemerintah lebih cenderung membela
kepentingan perusahaan, dan tidak jarang menggunakan aparat untuk menekan
petani;
h. Tidak jarang dalam penentuan petani plasma, terdapat KKN, sehingga bagianbagian tanah kebun yang subur diberikan kepada para pejabat, atau orang-orang
yang sesungguhnya tidak berhak, bahkan banyak diantaranya dimiliki oleh petani
berdasi yang mengupah orang lain untuk menggarap kebunnya. Disisi lain sering
41

. Noer Fauzi, op,cit.,116.

39

terjadi petani yang telah menyerahkan tanahnya tidak mendapat bagian kebun.
Sehingga di Jawa Barat untuk dapat menjadi peserta PIR, maka petani harus
punya 3 D, yaitu: Duit; Deukeut (punya koneksi), dan Deuheus (Suka berkunjung
kepada pejabat atau orang penting dalam masyarakat) 42.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik pengertian bahwa pada dasarnya
investasi di bidang perkebunan dengan praktek pertanian kontraknya telah
menimbulkan akibat yang bertentangan dengan amanat UUPA, karena:
1. Strategi yang diterapkan adalah strategi agraria kapitalistis, yang ditandai
dengan penguasaan terhadap petani sebagai tenaga kerja, pemasaran, hasil
produksi; dan tanah;
2. Segala keputusan mengenai produksi, akumulasi , dan investasi ada pada
perusahaan inti. Tidak di tangan petani plasma
3. Kegiatan usaha perkebunan dilakuakan dengan hak monopoli perusahaan inti.
Ke tiga hal tersebut sangat bertentangan dengan politik agraria populis/neo populis
yang hendak melakukan pemerataan pemilikan tanah, faktor produksi, kebebasan
manajemen dan investasi, serta akumulasi modal pada petani. Dengan demikian,
pelaksanaan investasi di bidang perkebunan juga bertentangan dengan asas keadilan,
keseimbangan, pertanggungjawaban dan keterbukaan, serta pengawasan publik.
Bahkan terkesan campur tangan pemerintah secara effektif telah dimanfaatkan oleh
investor untuk mengeruk keuntungan dengan cara yang bertentangan dengan yang
diamanatkan oleh UUPA dengan politik agraria populisnya.
5. Dekonstruksi Hukum Sebagai Sarana Pengaturan Kembali Hukum Pertanahan
di Bidang Perkebunan
Pada dasarnya saat ini secara normatif, akses untuk memanfaatkan tanah
masyarakat berada di bawah dominasi negara melalui Hak Menguasai Negara yang
dalam prakteknya sama dengan hak memiliki tanah oleh negara. Hal ini dikarenakan,
selain tidak ada batasan yang jelas mengenai HMN, oleh UUPA, juga karena HMN
yang bersifat sentralistis.
42

. Ben White, Inti dan Plasma: Pertanian Kontrak dan Pelaksanaan Kekuasaan di Dataran
Tinggi Jawa Barat, dalam Tania Murrai Li, alih bahasa oleh Sumitro dan SN.Kartikasari, Proses
Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2002, hal : 314

40

Akibat dari monopoli dan sentralisasi kekuasaan untuk mengatur penggunaan


dan pemanfaatan tanah pada pemerintah pusat, maka negara menjadi kapitalis dan
otoriter

dalam

melaksanakan

kewenangannya.

Tujuan

UUPA memberikan

kewenangan yang besar pada negara melalui HMN dengan harapan dapat dicapai
sebesar-besar kesejahteraan rakyat, ternyata tidak demikian kenyataannya yang
terjadi. Hal ini secara sosiologis dapat difahami, karena negara/ pemerintah sebagai
salah satu lembaga yang berinteraksi dalam sisten sosial yang lebih besar sangat
dipengaruhi oleh faktor lain yang ada dalam masyarakat sebagai sistem sosial yang
besar, terutama oleh ideologi dari rejim yang berkuasa, sehingga negara dapat
mempunyai keinginan dan tujuannya sendiri yang pada prakteknya dapat
menyimpang atau bahkan bertentangan dengan yang diamanatkan oleh UUPA.
Sehubungan dengan hal di atas, maka dekonstruksi hukum terhadap Hukum
Pertanahan merupakan salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk mengembalikan
akses masyarakat untuk dapat memanfaatkan tanah dalam memenuhi kehidupan dan
mencapai kesejahteraannya.
Urgensi dilakukannya dekonstruksi hukum pertanahan yang dilakukan dalam
bentuk memangkas cabang-cabang praktek hukum yang kurang menguntungkan serta
dilanjutkan dengan melakukan rekonstruksi, didasarkan beberapa alasan logis antara
lain:
1.
2.

Negara dengan HMN telah mendominasi dan menegasikan hak-hak rakyat/


masyarakat yang seharusnya difasilitasi oleh negara dalam rangka mencapai
sebesar-besar kemakmuran rakyat;
Dalam UUPA walaupun secara ideal terdapat perlindungan bagi rakyat dalam
memperoleh akses untuk memanfaatkan tanah, namun dalam kenyataan
pelaksanaanya hak rakyat tersebut tidak diutamakan (tidak) tampil dimuka,
karena negara mempunyai tujuannya sendiri.
Sebagai bagian dari dekonstruksi, maka harus dilakukan The Riversal of

Hierachi (pembalikan hirarki), dengan menempatkan masyarakat/rakyat sebagai


fihak yang mempunyai hak untuk mengatur penggunaan dan pemanfaatan tanah lebih
besar dibandingkan negara/pemerintah, maupun perusahaan perkebunan. Hal ini
dapat dilakukan dengan melakukan desentralisasi kekuasaan di bidang pertanahan,
atau dengan menyerahkan pengaturan penggunaan dan pemanfaatan tanah kepada
satuan-satuan masyarakat hukum adat, atau daerah swatantra. Sebagaimana yang
41

dinyatakan oleh Balkin43 bahwa, dalam dekonstruksi norma hukum memposisikan 2


(dua) nilai kepentingan yang nyatanya yang satu didahulukan dari yang lain, sedang
yang lain disusulkan, oleh sebab itu tidak ditampilkan. Dalan hal ini yang harus
ditampilkan adalah kewenangan masyarakat hukum adat atau daerah swatantra, atas
dasar asas desentralisasi.
Untuk merealisasikan dekonstruksi, maka hak dan kepentingan negara dan
masyarakat harus dikonstruksi ulang sebagai 2 (dua) entitas yang independen,
dibawah payung persatuan, dan Bhinneka Tunggal Ika yang harus dimaknakan
bahwa sekalipun kita ini satu tidaklah boleh dilupakan bahwa sesungguhnya kita
secara hakiki memang bhinna: berbeda-beda dalam suatu kemajemukan. Lagi pula
bukankah berbeda-beda itu bukanlah suatu dosa, melainkan Rahmat Tuhan Yang
Maha Esa. Pengakuan adanya pluralitas dan kesediaan untuk menghormati
kemajemukan itulah justru yang akan menjamin persatuan dalam suatu rentang waktu
yang lebih panjang.44 Oleh karena itu, harmonisasi hukum adalah suatu keniscayaan
yang seharusnya terus diupayakan dalam pembentukan dan pelaksanaan politik
hukum pertanahan sebagai bagian dari politik hukum agraria di bidang perkebunan.
Dekontruksi terhadap hukum pertanahan urgen dilakukan juga atas dasar
pertimbangan bahwa, pada dasarnya struktur kekuasaan dalam masyarakat itu
merupakan bangunan hirarchi yang amat kaku dan tak gampang responsif pada
tuntutan publik. Oleh karena itu suatu gerakan harus dilancarkan untuk membuat
struktur tersebut berubah lebih responsif, demokratis, peka pada permasalahan
manusia, dan kemudian daripada itu lalu bersedia untuk dimintai pertanggung
jawaban.
Untuk itu perlu dikembangkan gerakan berupa aktifitas tranformatif secara
berencana berdasarkan hak-hak individu yang dilindungi oleh hukum untuk
melakukan destabilisasi dari waktu ke waktu. Hak untuk melakukan destabilisasi
yang bertujuan untuk menggugah tersebut merupakan implementasi untuk melakukan
rekonstruksi yang positip yang dilindungi dan didasarkan hak imunitas. Dengan
kondisi demikian, maka hak untuk melakukan destabilisasi tersebut tetap dalam
43

. Balkin, dalam Wajah Hukum Era Reformasi, Kumpulan Karya Ilmiah Menyambut 70 Tahun
Prof.Dr.Satjipto Rahardjo,SH, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal 80.
44
. Sutandyo Wigjosoebroto Hukum, Paradidma, Metode, dan Dinamika Masalahnya, 2002, hal
555.

42

rangka gerakan dekonstruktif-konstruktif yang mencabar struktur kaku dari hirarchi


yang tengah bertahan.45
Prof.Sutandyo Wignjosoebroto menyatakan bahwa, di Indonesia seruan untuk
melakukan reformasi amat kuat dan terlalu sering dikemukakan, namun hasil
akhirnya tetap tak terlihat. Hal ini disebabkan apa yang dikerjakan dalam upaya
pembaharuan hanya berlangsung pada tataran norma perundang-undangan yang
positif berlaku. Pembaharuan yang dilakukan tidak pernah menukik ke upaya untuk
mendekonstruksi dan merekonstruksi seluruh sistem hukum nasional (aturan hukum
dan kebijaksanaan) berdasarkan paradigma-paradigma baru yang nonpositivis dan
nondoktrinal yang harus diawali dengan gerakan sosial politik guna melakukan
konstruksi-dekonstruksi.46 Dengan demikian , maka dekonstruksi hukum pertanahan
di bidang perkebunan maupun hukum agraria hanya dapat berhasil apabila didukung
oleh adanya gerakan sosial politik.
F. Penutup
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut:
1.

Asas-asas hukum ekonomi dan asas-asas hukum pertanahan yang mengatur


kegiatan investasi di bidang perkebunan belum dilaksanakan, dan belum mampu
menjadi alat/instrumen untuk mencapai tujuan dari politik agraria populis
sebagaimana diamanatkan UUPA, bahkan dalam kenyataannya memberi peluang
bagi dilaksanakannya politik agraria kapitalis, sebagaimana dilakukan pemerintah
Orde Baru yang dengan dalih untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang cepat
dan tinggi, dengan mengorbankan asas pemerataan pemilikan/penguasaan tanah
bagi rakyat tani yang seharusnya dilaksanakan melalui program redistribusi tanah
(landreform).

2.

Jelas terdapat faktor lain yang sangat mempengaruhi aturan hukum dan
kebijaksanaan dalam pelaksanaan politik pertanahan di bidang perkebunan, yaitu
a.

Konjungtur politik, sebagaimana yang dilakukan oleh rejim Orde Baru


yang mempraktekkan politik agraria kapitalis, untuk memperoleh dukungan
politik dari berbagai kekuatan sosial, politik dan ekonomi, maupun militer;

45
46

. Huberto Mangabeira Unger, dalam Ibid, hal 81.


. Sutandyo Wigjosoebroto, Op Cit, 245.

43

b.

Ketergantungan pemerintah pada investasi baik domestik maupun


asing dalm pembiayaan pembangunan;

c.

Tidak jelasnya rumusan beberapa pasal dalam UUPA, yang


mengakibatkan negara/pemerintah cenderung tidak dapat dikontrol dalam
mengatur penggunaan dan pemanfaatan tanah, khususnya di bidang
perkebunan. Pasal-pasal tersebut antara lain yang mengatur tentang:
1). Pembatasan/pengertian Hak Menguasai Negara;
2). Hubungan HMN dengan HakUlayat;
3). Desentralisasi kewenangan di bidang agraria, terutama yang mengatur
tentang kewenangan agraria masyarakat hukum adat;
4). Pembatasan tentang pengertian pencabutan hak atas tanah atas dasar
kepentingan umum;
5). Jaminan akses bagi rakyat, khususnya petani di bidang perkebunan untuk
dapat mengakses dan memiliki hak atas tanah;
6). Kedudukan badan hukum dalam kaitannya dengan kegiatan investasi di
bidang perkebunan;
7). Kebijakan makro pemanfaatan tanah untuk kegiatan perkebunan, dll.

3.

Reformasi Agraria/ pertanahan termasuk hak-hak atas tanah di bidang


perkebunan merupakan suatu keniscayaan. Reformasi tersebut dilakukan dengan
melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi yang menukik pada seluruh sistem
hukum agraria/ pertahanan nasional berdasarkan paradigma-paradigma baru yang
nonpositivis dan nondoktrinal yang harus diawali dengan gerakan sosial politik
dengan basis pluralisme hukum Indonesia.

Daftar Bacaan
Arief, Sritua, Ekonomi Kerakyatan Indonesia, Mengenang Bung Hatta, Bapak
Ekonomi Kerakyatan Indonesia, Universitas Muhammadiyah Yogjakarta Press,
Yogjakarta, 2002.
-----,dalam Noer Fauzi, Penghancuran Populisme dan Pembangunan Kapitalisme:
Dinamika Politik Abraria Pasca Kolonial, dalam Dianto Bachriadi, Erfan
Faryadi,et all (Ed), Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria
di Indonesia : Reformasi Agraria, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, Jakarta, 1997.

44

Bachriadi, Dianto, Situasi Perkebunan di Indonesia Kontemporer, dalam dalam


Dianto Bachriadi, Erfan Faryadi,et all (Ed), Perubahan Politik, Sengketa, dan
Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia : Reformasi Agraria, Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1997.
Balkin, dalam Wajah Hukum Era Reformasi, Kumpulan Karya Ilmiah Menyambut
70 Tahun Prof.Dr.Satjipto Rahardjo,SH, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,2000.
Fauzi, Noer, Penghancuran Populisme dan Pembangunan Kapitalisme: Dinamika
Politik Abraria Pasca Kolonial, dalam Dianto Bachriadi, Erfan Faryadi,et all
(Ed), Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di
Indonesia : Reformasi Agraria, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, Jakarta, 1997.
------, Anatomi Politik Agraria Orde Baru, dalam Noer Fauzi,ed.,Tanah dan
Pembangunan, Sinar Harapan, Jakarta, 1999.
Hasibuan, Munawaroh, Studi Terhadap Sengketa Penguasaan Hutan Rimbo
Sekampung dan Hutan Perladangan Adat antara PT.Musi Hutan Persada dengan
Warga Benakat Muara Enim, Skripsi, Fakultas Hukum UNSRI, Palembang,
2000.
Hartono,
Sri
Redjeki,Kapita
Selekta
Hukum
Ekonomi,
Mandar
Maju,Bandung,2000.
---- Pentingnya Pengaturan Yang Baik Di Bidang Hukum Bisnis Khusus
Investasi,Jurnal Hukum Spektrum, April 2005, Program Magiter Ilmu Hukum
Universitas 17 Agustus 1945, Semarang, 2005.
Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi dan Penjelasannya, Jilid I: Hukum Tanah Nasional,
Djambatan, Jakarta, 1999
Hatta, Mohamad, dalam Endang Suhendar & Ifdhal Kasim.,ed.Tanah Sebagai
Komoditas:
Kajian
Kritis
Kebijakan
Pertanahan
OrdeBaru,
ELSAM,Jakarta,1996.
K.Burin, Vian Masalah-Masalah Sekitar Penguasaan Tanah di NTT, dalam hal
Bachriadi, Erfan Faryadi,et all (Ed), Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda
Pembaruan Agraria di Indonesia : Reformasi Agraria, Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1997
Louleda, Anu dan R.Yando Zakaria, Berebut Tanah : Sebuah Pengantar, dalam
Anu Louleda dan R.Yando Zakaria Ed. Berebut Tanah : Beberapa Kajian
Berpersfektif Kampus dan Kampung, Insist Press, Yogjakarta, 2002
Lubis, M. Solly, Serba Serbi Politik dan Hukum, Mandar Maju, Bandung,1989.
Mertokusumo, Soedikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar) ,
Liberty,
Yogyakarta,1988
Munarman, Munarman, Refleksi Kasus-Kasus Pertanahan di Sumatera Selatan,
dalam Dianto Bachriadi, Erfan Faryadi,et all (Ed), Perubahan Politik, Sengketa,
dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia : Reformasi Agraria, Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1997.
Muntaqo, Firman, Menyikapi Era Globalisasi di Bidang Agraria, Majalah Simbur
Cahaya No.09.Tahun IV, Januari 1999, Palembang, Unit Penelitian FH UNSRI.
-----, Catatan Kuliah Teori Hukum I pada PDIH Universitas Diponegoro, Semarang,
Tidak dipublikasikan.
45

-----,Hak Ulayat (Tanah Marga) dan Pembangunan Perkebunan Dalam Era


Otonomi Daerah (Sebuah Alternatif Penataan Kebijakan Pertanahan Antara
Petani, Pemerintah dan Perusahaan Perkebunan di Sumatera Selatan di Era
Otonomi Daerah), Majalah Simbur Cahaya, Nomor109 Tahun VII, Mei
2002.
Muslimin Amrah, Sejarah Ringkas Perkembangan Pemerintah Marga/Kampung
Menjadi Pemerintahan Desa/Kelurahan dalam Propinsi Sumatera Selatan,
Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Selatan, 1986
Rahardjo Satjipto, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, Alumni, Bandung,
1980
Romson, Achmad, Sertifikasi Hak-Hak Atas Tanah Masyarakat Sekitar PT.TEL,
Proposal Pemberdayaan Masyarakat Sekitar, Unit Penelitian Fakultas Hukum
UNSRI, 1999.
Silalahi, Oberlin , Beberapa Aspek Kebijaksanaan Negara. Liberty, Yogyakarta,
Tanpa Tahun.
Soemitro Roni Hanitijo., dalam Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono,
Problema Globalisasi :Persfektif Sosiologi Hukum, Ekonomi dan Agama,
Muhammadiyah University Pers, Surakarta, 2001.
Sulaiman, Makmoen, Eksistensi Hak Ulayat Dalam Pemnagunan, Makalah
Seminar pada Seminar Nasioanl BKS PTS se Wilayah Barat Bidang Ilmu
Hukum di Universitas Sriwijaya 15-16 Mei 2001, Palembang, 20012.
Syaifuddin, Ateng Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup Dalam Kaitannya
denganWewenang
Pemerintah
Daerah
Dalam
Hal
Perzinan,
Makalah,Penataran Hukum Lingkungan, Fakultas Hukum
UNAIR,
Surabaya, 1992.
Vollenhoven Cornelis Van, Een Adat Wetboekje voor heel Indonersie, 1952, dalam
Dirman, Perundang-Undangan Agraria di Seluruh Indonesia, 1952, dalam
Maria R Ruwiastuti, Hak-Hak Masyarakat Adat Dalam Politik Hukum
Agraria, dalam Dianto Bachriadi, Erfan Faryadi, et all, Perubahan Politik,
Sengketa, dan Agenda Pembaharuan Agraria di Indonesia: Reformasi
Agraria, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta,
1997.
White, Ben, Inti dan Plasma: Pertanian Kontrak dan Pelaksanaan Kekuasaan di
Dataran Tinggi Jawa Barat, dalam Tania Murrai Li, alih bahasa oleh
Sumitro dan SN.Kartikasari, Proses Transformasi Daerah Pedalaman di
Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2002.
Wiradi,Gunawan, dalam Noer Fauzi, Penghancuran Populisme dan Pembangunan
Kapitalisme: Dinamika Politik Abraria Pasca Kolonial, dalam Dianto
Bachriadi, Erfan Faryadi,et all (Ed), Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda
Pembaruan Agraria di Indonesia : Reformasi Agraria, Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1997.
Wignjosoebroto, Soetandyo, Hukum, Paradigma, Metode, dan Dinamika
Masalahnya, Elsam, Jakarta, 2002.
------, Problema Globalisasi :Persfektif Sosiologi Hukum, Ekonomi dan Agama,
Muhammadiyah University Pers, Surakarta, 2001.
Wiranata,I Gede AB, Reorientasi Terhadap Tanah Sebagai Objek Investasi,
Usulan Penelitian Untuk Disertasi, PDIH Undip, Semarang, 2004
46

47

Anda mungkin juga menyukai