Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Osteoporosis merupakan penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan
densitas massa tulang dan perubahan mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi
rapuh dan mudah patah. Osteoporosis dapat dijumpai tersebar di seluruh dunia dan
sampai saat ini masih merupakan masalah dalam kesehatan masyarakat terutama di
negara berkembang. Masyarakat atau populasi osteoporosis yang rentan terhadap fraktur
adalah populasi lanjut usia yang terdapat pada kelompok di atas usia 85 tahun, terutama
terdapat pada kelompok lansia tanpa suatu tindakan pencegahan terhadap osteoporosis.
Proses terjadinya osteoporosis sudah di mulai sejak usia 40 tahun dan pada wanita
proses ini akan semakin cepat pada masa menopause.
Sekitar 80% persen penderita penyakit osteoporosis adalah wanita, termasuk
wanita muda yang mengalami penghentian siklus menstruasi (amenorrhea). Hilangnya
hormon estrogen setelah menopause meningkatkan risiko terkena osteoporosis. Tidak
dapat dipungkiri penyakit osteoporosis pada wanita ini dipengaruhi oleh hormon
estrogen. Meskipun penyakit osteoporosis lebih banyak menyerang wanita, pria tetap
memiliki risiko terkena penyakit osteoporosis. Sama seperti pada wanita, penyakit
osteoporosis pada pria juga dipengaruhi estrogen. Bedanya, laki-laki tidak mengalami
menopause, sehingga osteoporosis datang lebih lambat.
Jumlah usia lanjut di Indonesia diperkirakan akan naik 414 persen dalam kurun
waktu 1990-2025, sedangkan perempuan menopause yang tahun 2000 diperhitungkan
15,5 juta akan naik menjadi 24 juta pada tahun 2015. Dapat dibayangkan betapa besar
jumlah penduduk yang dapat terancam penyakit osteoporosis.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan
densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang
menjadi rapuh dan mudah patah.1
B. Etiologi
Ada beberapa faktor risiko Osteoporosis :
a. Faktor risiko yang tidak dapat diubah

1) Usia
Lebih sering terjadi pada lansia
2) Jenis kelamin
Tiga kali lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria. Perbedaan ini
mungkin disebabkan oleh faktor hormonal dan rangka tulang yang lebih
kecil
3) Ras
Kulit putih mempunyai resiko lebih tinggi
4) Riwayat keluarga / keturunan
Sejarah keluarga juga mempengaruhi penyakit ini. Pada keluarga yang
mempunyai riwayat osteoporosis, anak-anak yang dilahirkannya cenderung
mempunyai penyakit yang sama
5) Bentuk tubuh
Adanya kerangka tubuh yang lemah dan skoliosis vertebra menyebabkan
penyakit ini. Keadaan ini terutama terjadi pada wanita antara usia 50-60
tahun dengan densitas tulang yang rendah dan di atas usia 70 tahun dengan
BMI( body mass index) [ BB dibagi kuadrat TB] yang rendah.
6) Tidak pernah melahirkan
2

b. Faktor risiko yang dapat diubah


1) Merokok dan alcohol
Nikotin dalam rokok menyebabkan melemahnya daya serat sel terhadap
kalsium dari darah ke tulang. Oleh karena itu, proses pembentukan tulang
oleh osteoblas menjadi melemah. Dampak konsumsi alkohol pada
osteoporosis berhubungan dengan jumlah alkohol yang dikonsumsi.
Konsumsi alkohol yang berlebihan akan menyebabkan melemahnya daya
serat sel terhadap kalsium dari darah ke tulang
2) Defisiensi vitamin dan gizi
Antara lain protein, kandungan garam pada makanan, perokok berat,
peminum alkohol dan kopi yang berat.
3) Gaya hidup
Aktifitas fisik yang kurang dan imobilisasi dengan penurunan penyangga
berat badan merupakan stimulus penting bagi resorpsi tulang. Beban fisik
yang terintegrasi merupakan penentu dari puncak massa tulang.
4) Menopause dini
Menopause yang terjadi pada usia 46 tahun) dan hormonal, yaitu kadar
esterogen plasma yang kurang/menurun. Dengan menurunnya kadar
esterogen, resorpsi tulang menjadi lebih cepat sehingga akan terjadi
penurunan massa tulang yang banyak. Bila tidak segera diintervensi, akan
cepat terjadi osteoporosis. Penggunaan obat-obatan.

C. Jenis-jenis Osteoporosis
Osteoporosis dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Osteoporosis Primer ( involusional )
Yaitu osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya, dibagi menjadi dua
kelompok yakni : osteoporosis tipe I dan tipe II
a. Osteoporosis tipe I disebut juga osteoporosis pasca menopause, disebabkan
oleh defisiensi estrogen akibat menopause.
b. Osteoporosis tipe II disebut juga osteoporosis senilis, disebabkan oleh
gangguan absorpi kalsium di usus sehingga menyebabkan hiperparatiroidisme
sekunder yang mengakibatkan timbulnya osteoporosis
2. Osteoporosis Sekunder
Yaitu osteoporosis yang diketahui sebabnya, dapat disebabkan oleh penyakitpenyakit

tulang

erosif

(misalnya

mieloma

multiple,

hipertiroidisme,

hiperparatiroidisme) dan akibat obat-obatan yang toksik untuk tulang (misalnya


glukokortikoid). Jenis ini ditemukan pada kurang lebih 2-3 juta klien.
3. Osteoporosis Idiopatik
Idiopatik adalah osteoporosis yang tidak di ketahui penyebabnya dan di temukan
pada : usia kanak-kanak juvenile ; Usia remaja (adolesen) ; Pria usia
pertengahan.1
D. Patogenesis
Peran estrogen pada tulang :
Estrogen merupakan regulator pertumbuhan dan homeostatis tulang yang
penting. Estrogen memiliki efek langsung dan tidak langsung pada tulang. Efek
tidak langsungnya meliputi estrogen terhadap tulang berhubungan dengan
4

homeostatis kalsium yang meliputi regulasi absorpsi kalsium di usus, modulasi 1,25
(OH)2D, ekskresi Ca di ginjal dan sekresi hormone paratioid.
Efek langsung dari estrogen meningkatkan formasi tulang dan menghambat
resorpsi tulang oleh esteoklas.
Patogenesis dari Osteoporosis tipe I :
Pasca menopause terjadi penurunan estrogen yang menyebabkan produksi
sitokin seperti IL-1, IL-6 dan TNF- yang meningkatkan kerja osteoklas sehingga
menyebabkan aktifitas osteoklas meningkat, yang apabila aktifitas osteoklas maka
akan terjadi meningkatan resorbsi tulang sehingga dapat menyebabkan osteoporosis
karena terjadi penurunan densitas tulang terutama pada tulang trabekuler. Selain itu,
menopause juga meningkatkan eksresi kalsium di ginjal sehinga terjadi reabsorpsi
kalsium di ginjal sehingga timbul keseimbangan negatife kalsium akibat
menopause, maka kadar PTH akan meningkat karena tejadi pengaturan kadar ion Ca
dalam jaringan sehingga didapatkan peningkatan kadar kalsium dalam serum.2
Patogenesis Osteoporosis tipe II :
Lebih disebabkan oleh usia lanjut, terutama pada decade ke-delapan dan
kesembilan kehidupannya terjadi ketidakseimbangan remodeling tulang, dimana
resorpsi tulang meningkat, sedangkan formasi tulang tidak berubah atau menurun.
Defisiensi kalsium dan vitamin D terjadi karena asupannya berkurang sehingga
terjadi hiperparatiroidisme sekunder yang persisten sehingga akan semakin
meningkatakan resorpsi tulang dan kehilangan massa tulang. Selain itu juga terjadi
penurunan sekresi GH dan IGF-1, penurunan aktifitas fisik, penurunan sekresi
estrogen yang menyebabkan terganggunya fungsi oesteoblas dan peningkatan
turnover tulang yang memicu terjadinya osteoporosis, yang padat menimbulkan
fraktur apabila terjadi trauma ringan.

E. Manifestasi Klinis
Penyakit osteoporosis sering disebut sebagai silent disease karena proses
kepadatan tulang berkurang secara perlahan (terutama pada penderita osteoporosis
senilis) dan berlangsung secara progresif selama bertahun-tahun tanpa kita sadari
dan tanpa disertai adanya gejala. Gejala-gejala baru timbul pada tahap osteoporosis
lanjut, seperti: patah tulang, punggung yang semakin membungkuk, hilangnya
tinggi badan dan nyeri punggung.
F. Pemeriksaan dan diagnosis
Anamnesis
Anamnesis diperlukan karena keluhan utama dapat langsung mengarah ke pada
diagnosis, misalnya fraktur kolum femoris pada osteoporosis, kesemutan dan rasa
kebal disekitar mulut, immobilisasi yang lama, pengaruh obat-obtan, alcohol,
merokok. 3
Pemeriksaan Fisik
Tinggi badan dan berat badan harus diukur pada apsien osteoporosis, gaya
berjalan, nyeri spinal, sering ditemukannya kifosis dorsal atau gibbus dan
penurunan tinggi badan
Pemeriksaan Biokimia Tulang
Pemeriksaan ini dilakukan prediksi kehilangan massa tulang, prediksi fraktur,
evaluasi efektivitas terapi. Meliputi hitung kalsium total kalsium dalam serum, ion
kalsium, kadar fosfor dalam serum, kalsium urin, fosfat urin

Pemeriksaan Radiologis
Dual Energy X-Ray Absorptimetry (DXA)
DXA merupakan metode yang paling sering digunakan dalam diagnosis
osteoporosis karena mempunyai tingkat akurasi dan presisi yang tinggi. Sumber
energinya bukan dari sinar X tapi enerigi yang dihasilkan dari tabung sinar X.
Hasil pengukurannya berupad densitas mineral tulang, kandungan mineral,
perbandingan hasil densitas mineral tulang. Katagori Diagnostiknya Normal
untuk T-score >-1 ; Osteopenia <-1 ; Osteopororsis <-2,5 (tanpa fraktur) ;
Osteoporosis berat <-2,5 (dengan fraktur).4

Single-Photon Absorptimetry (SPA)


SPA digunakan unsure radioisotope I yang mempunyai energy photon rendah
dan digunakan hanya pada bagian tulang yang mempunyai jaringan lunak yang
tidak tebal seperti distal radius dan kalkaneus.
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Metode ini mempunyai kelebihan berupa tidak menggunakan radiasi, aplikasi ini
dipakai untuk menilai tulang trabekula melalui dua langkah yaitu T2 sumsum
tulang dapat digunakan untuk menilai densitas serta kualitas jaringan tulang
trabekula dan kedua untuk menilai arsitektur trabekula

G. Tata laksana dan Pencegahan


Tata laksana : Tujuan pengobatan adalah meningkatkan kepadatan tulang. Semua
wanita, terutama yang menderita osteoporosis, harus mengkonsumsi kalsium dan
vitamin D dalam jumlah yang mencukupi. Wanita pasca menopause yang menderita
osteoporosis juga bisa mendapatkan estrogen (biasanya bersama dengan
progesteron) atau alendronat, yang bisa memperlambat atau menghentikan
penyakitnya. Bifosfonat juga digunakan untuk mengobati osteoporosis. Pria yang

menderita osteoporosis biasanya mendapatkan kalsium dan tambahan vitamin D,


terutama jika hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa tubuhnya tidak menyerap
kalsium dalam jumlah yang mencukupi. Jika kadar testosteronnya rendah, bisa
diberikan testosteron.
Patah tulang karena osteoporosis harus diobati. Patah tulang pergelangan
biasanya digips atau diperbaiki dengan pembedahan. Pada kolaps tulang belakang
disertai nyeri punggung yang hebat, diberikan obat pereda nyeri, dipasang
supportive back brace dan dilakukan terapi fisik.
Penanganan yang dapat di lakukan pada klien osteoporosis meliputi :
a. Diet
b. Pemberian kalsium dosis tinggi
c. Pemberian vitamin D dosis tinggi
d.Pemasangan penyangga tulang belakang (spina brace) untuk mengurangi nyeri
punggung.
Pencegahan osteoporosis meliputi:
a. Mempertahankan atau meningkatkan kepadatan tulang dengan mengkonsumsi
kalsium yang cukup
b. Melakukan olah raga dengan beban
Olah raga beban (misalnya berjalan dan menaiki tangga) akan meningkatkan
kepadatan tulang
c. Mengkonsumsi obat (untuk beberapa orang tertentu)
Estrogen membantu mempertahankan kepadatan tulang pada wanita dan sering
diminum bersamaan dengan progesteron. Terapi sulih estrogen paling efektif
dimulai dalam 4-6 tahun setelah menopause; tetapi jika baru dimulai lebih dari 6
tahun setelah menopause, masih bisa memperlambat kerapuhan tulang dan
mengurangi resiko patah tulang.

H. Prognosis dan Komplikasi


Prognosis : Tergantung dengan tindak pencegahan dini osteoporosis saat masih
masa pertumbuhan sesuai pemenuhan kalsium tubuh, nutrisi, asupan, aktivitas fisik,
dan pada masa menopause pemenuhan hormone estrogen.
Komplikasi : Dapat terjadi fraktur pada penderita, karena terjadinya trauma-trauma
ringan karena osteoporosis menyebabkan berkurangnya densitas massa tulang.5

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
1. Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan
densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang
menjadi rapuh dan mudah patah
2. Faktor penyebab dari osteoporosis adalah usia, jenis kelamin, merokok,
alcohol, lingkungan, genetic, hormonal dan penyakit kronik, dan sifat fisik
tulang
3. Jenis-jenis osteoporosis dibagi menjadi osteoporosis primer (osteoporosis
yang tidak diketahui penyebabnya), osteoporosis sekunder (yang diketahui
penyebabnya), dan osteoporosis idiopatik (yang biasa dijumpai oleh anakanak, remaja)
4. Osteoporosis primer dibagi menjadi dua yaitu osteoporosis tipe I dan
osteoporosis tipe II
5. Osteoporosis tipe I disebabkan oleh karena pasca menopause, disebabkan
oleh defisiensi estrogen akibat menopause dan tipe II karena gangguan
absorpsi kalsium di usus sehingga menyebabkan hiperparatiroidisme
sekunder
6. Manifestasi klinis dari osteoporosis adalah nyeri akut yang berlangsung lama
berbulan-bulan kemudian apabila terjadi trauma ringan gampang terjadi
fraktur
7. Pendekatan

klinis

osteoporosis

dilakukan

berdasarkan

anamnesis,

pemeriksaan fisik (terjadi penurunan indeks massa tubuh/IMT), pemeriksaan


biokimia tulang (pemeriksaan total kalsium pada serum, ion kalsium, kadar
kalsium dalam urin), pemeriksaan radiologis (DXA- tidak menggunakan
sinar X, hasil lebih akurat dan presisi yang tinggi, SPA- menggunakan energy

10

poton, namun kelemahannya harus diganti setiap 6 bulan sekali, MRImenganalisa struktur trabekula)
8. Penatalaksanaan dari osteoporosis yaitu meliputi suntik estrogen, diet,
peningkatan kalsium, pemberian vitamin D dosis tinggi, pemberian
sanggahan pada penderita yang menjadi fraktur. Pencegahan meliputi
olahraga dengan beban, makan-makanan bergizi empat sehat lima sempurna,
edukasi pada penderita

B. SARAN
1. Sebaiknya mengkonsumsi makanan yang mengandung vitamin, mineral yang
baik untuk tubuh salah satunya mengkonsumsi makanan empat sehat 5
sempurna ditambah 2 gelas susu dan buah
2. Hindari konsumsi alcohol dan merokok yang tidak bagus bagi kesehatan
3. Hindari berbagai hal yang menyebabkan pasien terjauh misalnya lantai yang
licin, obat-obatan sedative, obat anti hipertensi
4. Hindari defisiensi vitamin D dengan berjemur di sinar matahari pagi saat
sinarnya masih bagus untuk kulit dan tulang
5. Hindari defisiensi estrogen dengan mencegah menopause dini

11

DAFTAR PUSTAKA
1.

Sudoyo S. et al, 2005, Tulang, Sendi dan Infeksi, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
Ed.3 jilid 1, FKUI, Jakarta, Hal : 145-150

2.

Robbins, Stanley L; Kumar, Vinay. 2005. Buku Ajar Patologi II. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. pp 463-4

3.

De Jong, Wim; Sjamsuhidajat, R. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. pp 907-10.

4.

Hayes,WS. 2004, Bone density studies : dual-energy x-ray absorptiometry


(DEXA).Pp1-11

5.

Rasjad C. 2005, Fraktur vetebrae dalam Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Ed.II.
Makassar: Bintang Lamumpatue.Pp. 144-149

12

Anda mungkin juga menyukai