PERITONITIS
DISUSUN OLEH :
SITI LESTARININGRUM
NIM 1102005248
PEMBIMBING :
Dr. TRIMAYU Sp. B
Definisi
Peritonitis merupakan inflamasi dari peritoneum, yaitu membrane serosa yang
melingkupi rongga abdomen dengan organ-organ dalam. Peritonitis dapat terjadi local
ataupun generalisata, dan dapat diakibatkan oleh adanya infeksi (sering akibat rupturnya
organ berrongga, seperti yang terjadi pada trauma abdomen atau appendicitis) atau juga
akibat proses non-infeksi.
Terdapat dua tipe umum dari peritonitis. Peritonitis primer disebabkan oleh
penyebaran infeksi dari darah dan limfonodi ke peritoneum. Tipe ini merupakan tipe
yang cukup jarang terjadi, kurang dari 15 dari seluruh kasus peritonitis. Tipe lainnya
yang lebih sering terjadi, disebut peritonitis sekunder, terjadi ketika infeksi dari saluran
gastrointestinal atau duktus biliaris menyerang peritoneum. Kedua tipe peritonitis ini
merupakan hal yang serius dan dapat mengancam jiwa jika tidak ditangani segera.
Etiologi
Penyebab paling sering dari peritonitis primer adalah spontaneous bacterial
peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis. Kira-kira 10-30% pasien dengan sirosis
hepatis dengan ascites akan berkembang menjadi peritonitis bakterial. Penyebab
peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendicitis, perforasi gaster dan
penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon (paling sering kolon sigmoid) akibat
divertikulitis, volvulus, kanker serta strangulasi usus halus.
Faktor Risiko
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya peritonitis primer di
antaranya:
Stomach ulcers
Pancreatitis
Peritoneal dialysis
Trauma
Patofisiologi
Pada peritonitis yang disebabkan oleh bakteri, respon fisiologisnya ditentukan
menjadi beberapa faktor, termasuk virulensi dari mikroorganismenya, ukuran inokulum,
status imunitas pasien, dan elemen dari lingkungan local. Sepsis intraabdomen yang
berasal dari perforasi viscus menghasilkan penyebaran langsung dari isi lumen ke
peritoneum. Dengan penyebaran tersebut, bakteri anaerob dan Gram-negatif, termasuk
flora normal usus, seperti Escherchia coli dan Klebsiella pneumonia, memasuki rongga
peritoneal. Endotoksin diproduksi oleh bakteri Gram-negatif yang akan menyebabkan
pelepasan sitokin yang menginduksi jalur seluler dan humoral, menghasilkan kerusakan
sel, syok septic, dan multiple organ dysfunction syndrome (MODS).
Gambaran Klinis
Umumnya semua pasien hadir dengan keluhan berbagai derajat nyeri abdomen.
Nyerinya dapat akut maupun kronis. Umumnya nyerinya dalam bentuk nyeri tumpul
dengan tidak terlokalisasi dengan baik (peritoneum visceral) yang kemudian berkembang
menetap, makin parah dan makin terlokalisasi (peritoneum parietal). Jika proses infeksi
tidak terbendung, nyeri akan menjadi difus. Pada beberapa penyakit penyebab (seperti
perforasi gaster, pakreatitis akut yang berat, iskemi intestin) nyeri abdomen dapat
tergeneralisasi dari awal.
Anoreksia dan nausea sering muncul dan dapat mendahului perkembangan nyeri
abdomen. Vomit dapat muncul akibat proses ptologis organ visceral (seperti obstruksi)
atau secara sekunder akibat iritasi peritoneal.
Pada pemeriksan fisik, pasien dengan peritonitis sering tampak tidak sehat dan
pada keadaan berbahaya. Demam dengan temperatur melebihi 38C dapat ditemukan,
tapi pasien dengan sepsis berat dapat ditemukan dalam keadaan hipotermia. Takikardi
muncul akibat mediator inflamasi dan hipovelemia vaskular karena anoreksia dan vomit,
demam serta hilangnya sepertiga ruang peritoneal. Dengan dehidrasi yang progresif,
pasien akan menjadi hipotensi, yang menunjukan penurunan output urin dan dengan
peritonitis berat.
Pada pemeriksaan abdomen, pada dasarnya semua pasien menunjukan adanya
tenderness pada palpasi, (pada saat pemeriksaan pasien dengan suspect peritonitis
sebaiknya pasien sebaiknya berbaring dengan posisi lutut lebih tinggi agar pasien dapat
lebih relaksasi pada dinding abdomennya). Pada banyak pasien (baik pada peritonitis dan
nyeri abdomen difus yang berat) titik tenderness maksimal atau atau referred rebound
tenderness terletak pada tempat proses patologis.
Pada banyak pasien menunjukan adanya peningkatan rigiditas dinding abdomen.
Peningkatan tonus otot dinding abdomen dapat secara volunter akibat respon atau
antisipasi pada pemeriksaan abdomen atau secara involunter karena iritasi peritoneal.
Pasien dengan peritonitis berat sering menghindari banyak gerak dan memfleksikan
pinggulnya untuk mengurangi tekanan dinding abdomen. Abdomen terkadang distensi,
dengan suara usus hipoaktif hingga tidak terdengar.
Pemeriksaan rektal kerap mengakibatkan nyeri abdomen. Massa peradangan
lunak yang terletak pada anterion kanan mungkin mengindikasikan appendisitis dan
anterior fullness dan fluktuasi dapat mengindikasikan sebuah abses cul de sac.
Pada pasien wanita, pemeriksaan bimanual dan vaginal dapat mengarahkan pada
differential diagnosis penyakit inflamasi pelvis (seperti endometritis, salfingo-oovoritis,
abses tuba ovarii). Tapi temuannya kerap sulit untuk diinterpretasikan sebagai peritonitis
berat.
Diagnosis
Peritonitis dapat mengancam jiwa pasien, sehingga sang dokter harus melakukan
pemeriksaan fisik terlebih dahulu untuk menilai apakah keadaan tersebut membutuhkan
tindakan operasi segera untuk mengatasinya. Selain itu, pemeriksaan darah rutin
diperiksakan untuk melihat adakah tanda infeksi bakteri pada darah. Pemngambilan
sampel dari cairan dalam abdomen ditujukan untuk mengidentifikasi bakteri yang
menjadi penyebab infeksi tersebut. Pemeriksaan radiologi berupa rontgen ditujukan
untuk
mendeteksi
adanya
gambaran
udara
dalam
rongga
abdomen,
yang
mengindikasikan adanya perforasi salah satu organ dalam rongga abdomen. Sedangkan
pemeriksaan CT scan dilakukan untuk mengidentifikasi adanya cairan dalam rongga
abdomen atau adanya organ yang terinfeksi.
Penatalaksanaan
Management peritonitis tergantung dari diagnosis penyebabnya. Hampir semua
penyebab peritonitis memerlukan tindakan pembedahan (laparotomi eksplorasi).
Pertimbangan dilakukan pembedahan antara lain :
o
Pada pemeriksaan fisik didapatkan defans muskuler yang meluas, nyeri tekan
terutama jika meluas, distensi perut, massa yang nyeri, tanda perdarahan (syok,
anemia progresif), tanda sepsis (panas tinggi, leukositosis), dan tanda iskemia
(intoksikasi, memburuknya pasien saat ditangani).
Pemeriksaan laboratorium.
Pemberian antibiotic
Kontrol sumber infeksi, dilakukan sesuai dengan sumber infeksi. Tipe dan luas
dari pembedahan tergantung dari proses dasar penyakit dan keparahan infeksinya.
Pemberian cairan I.V, dapat berupa air, cairan elektrolit, dan nutrisi.
Pemberian antibiotic
Oral-feeding, diberikan bila sudah flatus, produksi NGT minimal, peristaltic usus
pulih, dan tidak ada distensi abdomen.
Prognosis
7
Selama decade terakhir, kombinasi dari pemberian antibiotic yang lebih baik,
perawatan intensif yang lebih agresif, dan diagnosis dini serta terapi kombinasi
pembedahan dan teknik perkutaneus menghasilkan penurunan angka kesakitan dan
kematian yang berkaitan dengan sepsis intra-abdomen secara signifikan.
Pada peritonitis primer, angka kematiannya dapat kurang dari 5% pada pasien
yang segera dilakukan diagnosis dan pengobatan secara dini. Meskipun begitu, angka
kematian dalam 1 tahun pertama dapat mencapai 50-70%. Pada peritonitis sekunder,
angka kematian kurang dari 5%, namun dapat mencapai angka 30-50% jika terdapat
infeksi berat. Namun, angka kematian yang terkait dengan abses intraabdomen kurang
dari 10-20%. Pada peritonitis tertier, membutuhkan perawatan intensif yang lebih lama,
kerusakan organ juga kebih berat, dan angka kematian yang lebih tinggi, yakni sekitar
50-70%.
Daftar pustaka