Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Epidemiologi adalah suatu rangkaian proses yang terus menerus dan

sistematik dalam pengumpulan data, pengolahan, analisis dan interpretasi serta


disiminasi informasi untuk aksi atau perencanaan, pelaksanaan dan penilaian
program kesehatan masyarakat berdasarkan evidence base. Program pencegahan
dan pemberantasan penyakit akan sangat efektif bila dapat dukungan oleh sistem
yang handal karena fungsi utamanya adalah menyediakan informasi epidemiologi
yang peka terhadap perubahan yang terdapat dalam pelaksanaan program
pemberantasan penyakit yang menjadi prioritas pembangunan.
Sesuai dengan strategi Indonesia sehat tahun 2015 dan kebutuhan
pembangunan sektor kesehatan di era desentralisasi ini Departemen kesehatan
Republik Indonesia sudah menetapkan visi dan misi Puskesmas. Visi
pembangunan kesehatan melalui Puskesmas adalah terwujudnya Kecamatan sehat
tahun 2015. Kecamatan sehat merupakan gambaran masyarakat kecamatan masa
depan yang hidup di lingkungan yang sehat dan perilaku hidup masyarakat yang
juga sehat, mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang ada di wilayahnya serta
memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Pencapaian visi Indonesia
2015 dapat dicapai dengan menggerakan Puskesmas sebagai pelaksana teknis
Dinas Kesehatan terbawah yang memiliki enam kewajiban yang harus
dilaksanakan, yaitu upaya promosi kesehatan, kesehatan lingkungan (kesling),
kesehatan ibu anak dan keluarga berencana, perbaikan gizi masyarakat,
pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, serta pengobatan.
Program kesehatan Lingkungan pada masyarakat adalah bagian dari
program pembangunan kesehatan nasional. Tujuan utamanya adalah untuk
meningkatkan derajat kesehatan dan kemandirian masyarakat dalam pemeliharaan
kesehatan dengan titik berat pada upaya peningkatan kualitas hidup dan
pencegahan penyakit disamping pengobatan dan pemulihan. Indikator yang akan
dicapai adalah meningkatnya kesadaran masyarakat tentang pola hidup bersih dan
sehat, meningkatnya industri dan tempat-tempat umum yang sehat, menurunnya
angka penyakit diare, demam berdarah dan penyakit akibat kurang sehatnya

lingkungan di sekitar masyarakat.Di Puskesmas Ploso program kesling yang


dilaksanakan secara umum yaitu pengawasan terhadap tempat-tempat umum
(TTU), pengawasan terhadap tempat pengolahan makanan (TPM) dan
pengawasan terhadap industri rumah tangga. Program yang dituangkan dalam
tugas intregasi kepada petugas kesling adalah melaksanakan program UKS,
melaksanakan kunjungan TK, melaksanakan kunjungan SD, melaksanakan
kunjungan rumah, melaksanakan kunjungan TTU, melaksanakan kunjungan TPM,
serta penanggulangan diare dan Demam Berdarah Dengue (DBD).
Berdasarkan Laporan Evaluasi Program Kerja Puskesmas Ploso mengenai
program kesling dan P2P 2011 menunjukan 8.930 warga memiliki sumber air
bersih, 8.176 warga memiliki jamban dan 89% warga memiliki sistem
pengelolaan air limbah dengan baik. Sanitasi pada TTU telah mencapai 100%
memenuhi syarat. Tempat pembuangan sampah (TPS) sementara warga dalam
kodisi yang sangat baik yaitu mencapai 100% untuk 1 TPS yang diawasi oleh
Kesling. Jumlah persentase air bersih yang memenuhi persyaratan didapatkan
angka 100%, dan untuk penyakit berbasis lingkungan terbanyak adalah diare
1.265 kasus, thypoid 651 kasus dan demam berdarah 21 kasus.Kegiatan yang
dilakukan untuk penanggulangan diare di wilayah kerja Puskesmas Ploso adalah
penyelidikan epidemiologi (PE), pemeriksaan sanitasi lingkungan di rumah pada
daerah adanya kasus, pemeriksaan jenis jamban, upaya pencegahan dengan
menggalakkan gerakan cuci tangan sebelum makan menggunakan sabun.
1.2 Tujuan Kegiatan
1.2.1 Tujuan Umum
Menganalisa kejadian diare di wilayah kerja Puskesmas Ploso periode 1
Januari -31 Desember 2010
1.2.2 Tujuan Khusus
1.
Menganalisa kejadian diare berdasarkan usia di wilayah kerja Puskesmas
2.

Ploso periode 1 Januari-31 Desember 2010


Menganalisa kejadian diare berdasarkan bulan di wilayah kerja Puskesmas

3.

Ploso periode 1 Januari-31 Desember 2010


Menganalisa kejadian diare berdasarkan desa di wilayah kerja Puskesmas

4.

Ploso periode 1 Januari-31 Desember 2010


Menganalisa kejadian diare berdasarkan jenis kelamin di wilayah kerja

5.

Puskesmas Ploso periode 1 Januari-31 Desember 2010


Menganalisa kualitas air bersih terhadap kejadian diare di wilayah kerja
Puskesmas Ploso 1 Januari-31 Desember 2010
2

6.

Menganalisa kepemilikan jamban terhadap kejadian diare di wilayah kerja

7.

Puskesmas Ploso periode 1 Januari-31 Desember 2010


Menganalisa kepemilikan tempat sampah terhadap kejadian diare di wilayah
kerja Puskesmas Ploso periode 1 Januari-31 Desember 2010

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Dasar Pencegahan penyakit
2.1.1 Faktor Penentu Derajat Kesehatan
Derajat kesehatan penduduk, dapat diukur dari seberapa banyak warga
mesyarakat suatu penduduk yang baru atau sedang menderita sakit akibat berbagai
3

penyakit. Setiap penyakit selalu unik, artinya selalu memiliki keluhan, gejala, dan
kadang-kadang penyebab yang khas dan spesifik. Bila dari sekumpulan penyakit
yang banyak diderita oleh sebagian penduduk dapat diketahui faktor penyakit
tersebut dapat dihilangkan, maka proporsi penduduk yang sakit akan menurun
(morbiditas penduduk menurun) dan dikatakan perubahan ini sebagai derajat
kesehatannya meningkat.
Di dalam konsep kesehatan masyarakat, penyebab yang mendorong seorang
terjangkit suatu penyakit seringkali lebih dari satu faktor (multifaktorial). Saat
penyakit infeksi masih mendominasi penyakit manusia pada awal sampai hampir
akhir abad ke-20, berkembanglah konsep epidemiological triangle atau segitiga
epidemiologi. Menurut konsep ini derajat kesehatan yang ditunjukkan oleh adanya
penyimpangan fungsi/mental pada individu dari normalnya, ditentukan oleh tiga
faktor yaitu daya perusak agent of disease, ketahanan psiko-biologi, dan
keberpihakan lingkungan fisik biologi serta lingkungan sosial.
Saat penyakit manusia mulai beralih ke penyakit degeneratif, maka konsep
agent of disease ini menjadi kurang mampu menjelaskan terjadinya penyakit
mental, dietetik, genetik, dan penyakit degeneratif yang agent of disease-nya
merupakan bagian faktor host sendiri (penyakit genetik) dan atau bagian dari
lingkunagan hidupnya (depresi karena konflik keyakinan dengan norma yang
berlaku di lingkungan sosial).
Untuk mengatasi kelemahan konsep segitiga epidemiologi diatas, pada tahun
1974 Marc La Londe dari Kanada mengembangkan konsep yang dikenal dengan
The Health Field Concept yang kemudian dipertajam oleh Henrik L. Blum dengan
konsep The Force Field and Well Being Paradigma of Helath pada tahun 1984.
Marc La Londe, menjelaskan bahwa kondisi kesehatan seseorang atau komunitas,
dipengaruhi oleh kelompok faktor yang saling mempengaruhi, yaitu :
1)
2)
3)
4)

Kelompok faktor gaya hidup (Life Style)


Kelompok faktor lingkungan biofisik dan lingkungan sosial
Kelompok faktor ketahanan Psiko-biologi
Kelompok faktor yang bersumber dari upaya kesehatan pencegahan primer,
sekunder, dan tersier oleh organisasi kesehatan

2.1.2 Proses Perkembangan Penyakit (Natural History of Disease)


Perkembangan penyakit oleh para ahli kesehatan dibagi dalam 3 fase, yaitu :

1.

Fase Pre Patogenensis


Yaitu fase saat seseorang masih dalam keadaan sehat. Pada fase ini interaksi

keempat faktor determinan kesehatan (Lalonde-Blum) sudah terjadi. Bila interaksi


keempat faktor stressor La londe mampu menyebabkan tingginya ketahanan psiko
biologik dan menurunkan daya perusak stressor, maka orang tersebut akan tetap
sehat. Pada fase ini, kelompok orang sehat ini terbagi menjadi dua kelompok,
yaitu :
A. Kelompok sehat dan tidak beresiko kontak dengan stressor. Misalnya bayi
yang hidup di komunitas bekesadaran kesehatan lingkungan yang tinggi, maka
bayi tersebut akan terhindar dari resiko kena penyakit infeksi. Untuk
mencegah penyakit pada kelompok ini adalah dengan melalui kegiatan
promotion of health yang bertujuan mengurangi atau menghilangkan stressor,
mengembangkan lingkungan yang mendorong berkurangnya sterssor dan
mendorong meningkatnya ketahanan psiko biologik.
B. Kelompok sehat, tetapi beresiko kontak dengan stressor penyebab penyakit.
Contohnya adalah pengendara sepeda motor yang tidak mungkin menghindari
cidera akibat kecelakaan lalu lintas. Untuk kelompok sehat seperti ini maka
upaya pencegahan agar tidak sakit adalah spesific protection, artinya
perlindungan khusus dan spesifik. Pada contoh kecelakaan lalu lintas ini,
penggunaan helm pengendara sepeda motor merupakan bagian dari upaya
perlindungan spesifik.

2.

Fase patogenesis
Fase Patogenesis dimulai dengan adanya penyimpangan fungsi dan struktur

tubuh akibat prosoes perusak stressor. Proses penyimpangan berlanjut secara


dinamis akibat interaksi keempat faktor La Londe, karena itu dimungkinkan tanpa
diduga proses penyimpangan berhenti dan segera balik ke arah normal tanpa
intervensi apa-apa. Proses ini baru dirasakan oleh penderitanya apabila perubahan
fungsi struktur jasmani-mental-sosial melampaui batas clinical horizon. Seperti
saat ini sebelumnya, akibat dari meningkatnya ketahanan psikobiologik dan
lingkungan hidup akibat dari sesuatu yang tidak diperkirakan sebelumnya, tiba-

tiba seseotrang yang sedang sakit tanpa pengobatan menjadi sembuh total.
Penyakit ini di dalam ilmu kedokteran dinamakan self limited diseases (penyakit
bisa sembuh sendiri).
Bila proses perubahan fungsi dan struktur mencapai point of no retur, maka
kondisi kesehatan sudah menjurus ke hilangnya harapan hidup atau meninggal
dunia. Pada fase ini upaya pencegahan yang paling tepat adalah early case
deyection ( penemuan kasus sedini mungkin ) dan Prompt Treatment (pengobatan
tepat) serta disability limitation (pembatasan kecacatan). Batas akhir fase ini
adalah saat penderita meninggal dunia,sembuh, ayau cacat. Pada saat itu proses
perubahan fungsi/struktur telah berhenti.
3.

Fase covalescence
Saat proses perubahan fungsi struktur sudah berhenti, maka fase tersebut

dianamakan fase konvalescence. Bagi yang fase ini masih hidup, maka umunya
penderita belum pulih kekuatan dan fungsi organ-organ tubuhnya. Oleh karena itu
upaya perbaikan yang bisa dilakukan adalah upaya rehabilitation (pemulihan
kondisi jasmani,mental, dan sosial) sesegera mungkin agar semua fungsi dan
struktur kembali normal. Upaya yang dilakukan dalam pemulihan pasca sakit ini
adalah : Pemulihan mental fisik sosial (Physical Mental and Social
Rehabilitation). Upaya ini mutlak dilakukan pada hampir semua orang yang baru
sembuh dari sakit.

2.2 Kejadian Luar Biasa / Wabah


Pengertian Wabah/KLB serta Kriteria KLB
1.

Wabah
Wabah penyakit menular adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit

menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata


melebihi dari pada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat
menimbulkan mala petaka (UU No.4, 1984). Menteri menetapkan jenis-jenis
penyakit tertentu yang dapat menimbulkan wabah. Menteri menetapkan dan
mencabut penetapan daerah tertentu dalam wilayah Indonesia yang terjangkit
wabah sebagai daerah wabah.
2.

Kejadian Luar Biasa (KLB)


KLB adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan/kematian yang

bermakna secara epidemiologi pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu
(Peraturan Menteri Kesehatan RI, Nomor 560/Menkes/Per/VIII/1989). KLB
penyakit menular merupakan indikasi ditetapkannya suatu daerah menjadi suatu
wabah, atau dapat berkembang menjadi suatu wabah.
3.

Kriteria Kerja KLB


Kepala wilayah/daerah setempat yang mengetahui adanya tersangka wabah

(KLB penyakit menular) di wilayahnya atau tersangka penderita penyakit menular


yang dapat menimbulkan wabah, wajib segera melakukan tindakan-tindakan
penanggulangan seperlunya, dengan bantuan unit kesehatan setempat, agar tidak
berkembang

menjadi

wabah

(UU

4,

1984

dan

Permenkes

560/Menkes/Per/VIII/1989).
Suatu kejadian penyakit atau keracunan dapat dikatakan KLB apabila
memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Timbulnya suatu penyakit/ menular yang sebelumnya tidak ada/ tidak dikenal.
b. Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus menerus selama 3 kurun waktu
berturut-turut menurut jenis penyakitnya (jam, hari, minggu).
c. Peningkatan kejadian penyakit/kematian, 2 kali atau lebih dibandingkan
dengan periode sebelumnya (jam, minggu, bulan, tahun).
d. Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan dua kali atau
lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dalam tahun sebelumnya.

e. Angka rata-rata perbulan selama satu tahun menunjukkan kenaikan dua kali
lipat atau lebih dibanding dengan angka rata-rata per bulan dari tahun
sebelumnya.
f. Case Fatality rate (CFR) suatu penyakit dalam suatu kurun waktu tertentu
menunjukkan kenaikan 50% atau lebih, dibanding dengan CFR dari periode
sebelumnya.
g. Proportional Rate (PR) penderita dari suatu periode tertentu menunjukkan
kenaikan dua atau lebih diabnding periode, kurun waktu atau tahun
sebelumnya.
h. Beberapa penyakit khusus menetapkan kriteria khusus : kholera dan demam
berdarah dengue.
-

Setiap peningkatan kasus dari periode sebelumnya (pada daerah endemis).

Terdapat satu atau lebih penderita baru dimana pada periode 4 minggu
sebelumnya daerah tersebut dinyatakan bebas dari penyakit yang
bersangkutan.

i. Beberapa penyakit seperti keracunan, menetapkan 1 (satu) kasus atau lebih


sebagai KLB:
-

Keracunan makanan

Keracunan pestisida
Kriteria-kriteria diatas dalam penggunaan sehari-hari harus didasarkan pada

akal sehat atau common sense. Sebab belum tentu suatu kenaikan dua kali atau
lebih merupakan KLB. Sebaliknya suatu kenaikan yang kecil dapat saja
merupakan KLB yang perlu ditangani seperti penyakit : poliomyelitis dan tetanus
neonatorum, kasus dianggap KLB dan perlu penanganan khusus.
2.2.1

Penyakit-penyakit Menular yang Berpotensi Wabah/KLB


Penyakit-penyakit menular yang wajib dilaporkan adalah penyakit-penyakit

yang memerlukan kewaspadaan ketat yang merupakan penyakit-penyakit wabah


atau yang berpotensi wabah atau yang dapat menimbulkan kejadian luar biasa
(KLB).
Penyakit-penyakit menular dikelompokkan sebagai berikut:
1. Penyakit karantina atau penyakit wabah penting antara lain adalah:
a. DHF

b. Campak
c. Rabies
d. Tetanus Neonatorum
e. Diare
f. Pertusis
g. Poliomyelitis
2. Penyakit potensi wabah/KLB yang menjalar dalam waktu cepat atau
mempunyai mortalitas tinggi, dan penyakit yang telah masuk program
eradikasi/eliminasi dan memerlukan tindakan segera:
a. Malaria
b. Frambosia
c. Influenza
d. Anthrax
e. Hepatitis
f. Typhus abdominalis
g. Meningitis
h. Keracunan
i. Encephalitis
j. Tetanus
3. Penyakit-penyakit potensial wabah/KLB lainnya dan beberapa penyakit
penting.
4. Penyakit-penyakit menular yang tidak berpotensi menimbulkan wabah dan
KLB tetapi diprogramkan, ditingkat kecamatan dilaporkan secara bulanan
melalui RR terpadu Puskesmas ke Kabupaten, dan seterusnya secara
berjenjang sampai ke tingkat pusat. Penyakit-penyakit tersebut meliputi :
Cacing, Lepra, Tuberculosa, Syphilis, Gonorhoe, Filariasis & AIDS, dll.
Sehingga petugas Poskesdes diharapkan melaporkan kejadian-kejadian
penyakit ini ke tingkat Kecamatan/ Puskesmas jika, dari penyakit-penyakit
diatas, pada keadaan tidak ada wabah/KLB secara rutin hanya yang termasuk
kelompok 1 dan kelompok 2 yang perlu dilaporkan secara mingguan. Bagi
penyakit kelompok 3 dan kelompok 4 bersama-sama penyakit kelompok 1 dan
2 secara rutin dilaporkan bulanan ke Puskesmas.

Jika peristiwa KLB atau wabah dari penyakit yang bersangkutan sudah
berhenti (incidence penyakit sudah kembali pada keadaan normal), maka penyakit
tersebut tidak perlu dilaporkan secara mingguan lagi. Sementara itu, laporan
penyakit setiap bulan perlu dilaporkan ke Puskesmas oleh Bidan desa/petugas di
Poskesdes.
2.2.2 Laporan Kewaspadaan (dilaporkan dalam 24 jam)
Laporan kewaspadaan adalah laporan adanya penderita, atau tersangka
penderita

penyakit

yang

dapat

menimbulkan

wabah. Yang

diharuskan

menyampaikan laporan kewaspadaan adalah:


a. Orang tua penderita atau tersangka penderita, orang dewasa yang tinggal
serumah dengan penderita atau tersangka penderita, Kepala Keluarga, Ketua
RT, RW, Kepala Desa.
b. Dokter, petugas kesehatan yang memeriksa penderita, dokter hewan yang
memeriksa hewan tersangka penderita.
Laporan kewaspadaan disampaikan kepada Lurah atau Kepala Desa dan atau
Poskesdes/unit pelayanan kesehatan terdekat selambat-lambatnya 24 jam sejak
mengetahui adanya penderita atau tersangka penderita atau tersangka penderita
(KLB), baik dengan cara lisan maupun tertulis. Kemudian laporan kewaspadaan
tersebut harus diteruskan kepada Poskesdes untuk diteruskan ke Puskesmas
setempat.
Isi laporan kewaspadaan antara lain:
o Nama atau nama-nama penderita atau yang meninggal
o Golongan Umur
o Tempat dan alamat kejadian
o Waktu kejadian
o Jumlah yang sakit dan meninggal
Diharapkan setelah adanya laporan kewaspadaan dari desa ke Puskesmas
maka pihak Puskesmas dapat segera merespon dengan melaporkan ke Dinkes
Kabupaten/Kota dengan menggunakan format W1 (laporan KLB) selama kurang
dari 24 jam dan ditindaklanjuti dengan melakukan penyelidikan epidemiologi.
Penyelidikan Epidemiologi dapat dilakukan oleh Tim Gerak Cepat (TGC)
Puskesmas bekerjasama TGC Desa dan TGC Kabupaten. Bersamaan Penyelidikan

10

Epidemiologi dilakukan juga upaya-upaya penanggulangan dengan melibatkan


masyarakat setempat.
2.3 Epidemiologi Diare
2.3.1

Definisi Diare
Diare adalah buang air besar dalam bentuk cairan lebih dari tiga kali dalam

satu hari dan biasanya berlangsung selama dua hari atau lebih. Menurut data
Badan Kesehatan Dunia (WHO), Diare adalah penyebab nomor satu kematian
balita di seluruh dunia. Di Indonesia, diare adalah pembunuh balita nomor dua
setelah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut).
Sementara UNICEF (Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk urusan anak)
memperkirakan bahwa, setiap 30 detik ada satu anak yang meninggal dunia
karena Diare. Di Indonesia, setiap tahun 100.000 balita meninggal karena Diare.
Orang yang mengalami diare akan kehilangan cairan tubuh sehingga
menyebabkan dehidrasi tubuh. Hal ini membuat tubuh tidak dapat berfungsi
dengan baik dan dapat membahayakan jiwa, khususnya pada anak dan orang tua.
2.3.2

Klasifikasi Diare

1. Diare Akut adalah berak lebih dari 3 kali sehari yang berlangsung selama 1 7
hari
2. Diare Berkepanjangan/prolonged diarrhea adalah berak lebih dari 3 kali sehari
yang berlangsung selama > 7 hari
3. Diare Kronik adalah berak lebih dari 3 kali sehari yang berlangsung selama >
14 hari.
2.3.3

Penyebab Diare

1. Infeksi dari berbagai bakteri yang disebabkan oleh kontaminasi makanan


maupun air minum;
2. Infeksi berbagai macam virus;
3. Alergi makanan, khususnya susu atau laktosa (makanan yang mengandung
susu);
4. Parasit yang masuk ke tubuh melalui makanan atau minuman yang kotor.

11

Gambar 2.1 Faktor Resiko Diare

2.3.4 Gejala Klinis


a. Frekuensi BAB meningkat (> 3 kali)
b. Bentuk dan konsistensi : cair, lembek, lendir, darah
c. Gejala lain : anoreksia, panas , muntah, kembung.
d. Dapat disertai komplikasi (dehidrasi, gangguan elektrolit, gangguan gas darah
/ asidosis)
2.3.5

Pemeriksaan Penunjang

a. Darah Lengkap
b. Faeces Lengkap/Kultur
c. Serum elektrolit
d. Analisis gas darah
2.3.6

Pencegahan Diare
Diare mudah dicegah antara lain dengan cara:

1. Mencuci tangan pakai sabun dengan benar pada lima waktu penting:
a. sebelum makan
b. setelah buang air besar
c. sebelum memegang bayi
d. setelah menceboki anak
e. sebelum menyiapkan makanan;

12

2. Meminum air minum sehat, atau air yang telah diolah, antara lain dengan cara
merebus, pemanasan dengan sinar matahari atau proses klorinasi;
3. Pengelolaan sampah yang baik supaya makanan tidak tercemar serangga
(lalat, kecoa, kutu, lipas, dan lain-lain);
4. Membuang air besar dan air kecil pada tempatnya, sebaiknya menggunakan
jamban dengan tangki septik.
2.3.7

Penyembuhan Diare

1. Minum dan makan secara normal untuk menggantikan cairan tubuh yang
hilang;
2. Untuk bayi dan balita, teruskan minum ASI (Air Susu Ibu);
3. Garam Oralit.

BAB III
HASIL PENELITIAN
13

3.1 Kejadian Diare Berdasarkan Usia


Bulan
< 1 thn
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
Total

13
22
23
17
7
5
12
11
17
33
15
19
194
(19%)

Tahun 2010
1-4 thn 5-14
>15
thn
thn
26
25
40
29
24
28
25
34
40
18
23
19
11
9
12
4
6
8
9
15
20
9
20
19
19
35
41
40
36
42
23
17
23
26
27
31
239
271
323
(23%) (26%) (32%)

Total

< 1 thn

104
103
122
77
39
23
56
59
112
151
78
103

6
0
5
2
15
5
9
13
15
26
1
22
119
(17%)

Tahun 2011
5-14 thn >15
thn
13
16
20
13
8
12
7
14
21
8
12
17
6
11
19
9
22
16
15
9
18
9
16
8
20
20
34
28
29
34
3
15
18
12
25
25
143
187
242
(21%)
(27%)
(35%)

1-4 thn

Tabel 1. Distribusi dan frekuensi penyakit diare berdasarkan usia


Berdasarkan tabel di atas, kejadian diare terbanyak terjadi pada usia > 15
tahun baik di tahun 2010 maupun tahun 2011. Kejadian diare terbanyak terjadi
pada bulan oktober yaitu sebesar 151 kasus pada tahun 2010, dan sebesar 117
kasus pada tahun 2011.

14

Total
55
35
47
39
51
42
47
46
89
117
37
76

Gambar 3.1 Diagram Pie Angka kejadian Diare berdasarkan Usia


Dari hasil data diatas pada tahun 2010 didapatkan kejadian diare di wilayah
kerja puskesmas Ploso sebesar 1-4 tahun 23%, 5-14 tahun 26%, dan tertinggi pada
usia >15 tahun 32%

Dari hasil data diatas pada tahun 2011 didapatkan kejadian diare di wilayah
kerja puskesmas Ploso sebesar 1-4 tahun 21%, 5-14 tahun 27%, dan tertinggi pada
usia >15 tahun 35%

15

3.2 Kejadian Diare Berdasarkan Desa di Kecamatan Ploso


Tahun 2010 Presentase Tahun 2011 Presentase
Pager tanjung
50
7%
40
6%
Gedung ombo
44
6%
46
7%
Pandan Blole
41
6%
42
6%
Kebon Agung
53
8%
53
7%
Rejo Agung
72
10%
100
14%
Tanggung Kramat
36
5%
36
5%
Losari
59
9%
59
8%
Jati Banjar
59
8%
58
8%
Bawangan
48
7%
48
7%
Ploso
73
11%
73
10%
Kedung Dowo
53
8%
53
7%
Jati Gedong
56
8%
56
8%
Dadi Tunggal
51
7%
51
7%
Tabel 2. Distribusi dan frekuensi penyakit diare berdasarkan usia

Berdasarkan tabel di atas, kejadian diare terbanyak terjadi di Desa Ploso tahun
2010 dan di Rejo Agung pada tahun 2011.

16

Berdasarkan diagram pie di atas, kejadian diare terbanyak terjadi di Desa Ploso
sebesar 11 % tahun 2010, sedangkan pada tahun 2011 sebesar 14 % di Desa Rejo
Agung.

17

3.3 Kejadian Diare Berdasarkan Jenis Kelamin

Gambar 3.2 Diagram Pie Angka kejadian Diare berdasarkan Jenis Kelamin
Dari hasil data diatas didapatkan jumlah kejadian diare berdasarkan jenis
kelamin di wilayah kerja Puskesmas Ploso laki-laki sebesar 55 % dan 45 %
perempuan.
3.4 Kejadian Diare Berdasarkan Kualitas air

Gambar 3.3 Diagram Pie Kejadian diare berdasarkan kualitas air

18

Dari hasil data diatas didapatkan kualitas air di wilayah kerja puskesmas
Ploso sebesar 80 % kualitas air baik dan 20 % kualitas air buruk.
3.5 Kejadian Diare Berdasarkan Kepemilikan Jamban

Gambar 3.4 Diagram Pie Kepemilikan Jamban di wilayah kerja Puskesmas Ploso
Dari hasil data di atas didapatkan bahwa penduduk yang tidak memiliki
jamban sebesar 43 % dan yang memiliki jamban sebesar 57 %.
3.6 Kejadian Diare Berdasarkan Kepemilikan Tempat Sampah

Gambar 3.5 Diagram Pie Kepemilikan Tempat Sampah

19

Dari hasil data di atas didapatkan bahwa penduduk yang memiliki tempat
sampah sebesar 88 % dan yang tidak memiliki tempat sampah sebesar 12 %.

BAB IV
PEMBAHASAN
4.1

Karakteristik Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian


Diare berdasarkan Usia dan Bulan
Dari hasil data diatas didapatkan kejadian diare di wilayah kerja puskesmas

Ploso terbesar usia

> 15 tahun, sesuai dengan Hasil survei Demografi dan

Kesehatan Indonesia tahun 1991 menemukan bahwa semakin muda usia semakin
besar kecenderungan terkena penyakit diare, kecuali pada kelompok usia kurang
dari enam bulan, yang mungkin disebabkan makanan bayi masih sangat
tergantuing pada Air Susu Ibu (ASI). Selain itu usia semakin muda daya tahan
tubuhnya terhadap infeksi penyakit terutama penyakit diare semakin tinggi, lebih-

20

lebih jika status gizinya kurang dan berada dalam lingkungan yang kurang
memadai. Teori ini tidak sesuai dengan kenyataan yang di dapatkan di Kecamatan
Ploso bahwa pola hidup bersih dan sehat penduduk desa kurang, terbukti tidak
menggunakan jamban sesuai dengan fungsinya, mayoritas pekerjaan sebagai
buruh tani dan tingkat pendidikan yang rendah sehingga pengetahuan tentang
pentingnya kesehatan kurang.
Dari hasil data didapatkan angka tertinggi pada bulan Oktober sebesar 151
pada tahun 2010 dan 117 pada tahun 2011 dimana pada bulan ini terjadi
pergantian musim dari musim kemarau ke penghujan, terjadi perubahan adaptasi
pada tubuh sehingga imunitas tubuh menurun, banyaknya penggunaan air hujan
sebagai air minum, masih terdapat 20% penduduk tidak memiliki air bersih,
akibatnya mudah terserang diare, dimana hal ini tidak menutup kemungkinan
menularkan kepada penduduk yang memiliki air bersih.
4.2

Karakteristik Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian


Diare berdasarkan Desa
Dari hasil data diatas didapatkan jumlah kejadian diare pada tahun 2010

dan 2011 terbanyak terjadi di Desa Ploso dan Desa Rejo agung karena jaraknya
dengan puskesmas lebih dekat sehingga pasien diare lebih banyak terdeteksi untuk
daerah tersebut. Penduduk Desa Ploso dan Desa Rejoagung memiliki tingkat
pendidikan yang rendah sehingga pengetahuan akan pentingnya pola hidup bersih
dan sehat rendah, cakupan air bersih yang rendah dengan pengguna sumur gali
lebih banyak, pengguna rumah yang masih menggunakan rumah gedek sehingga
kebersihan kurang.
4.3

Karakteristik Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian


Diare berdasarkan Jenis Kelamin
Dari hasil data diatas didapatkan jumlah kejadian diare berdasarkan jenis

kelamin di wilayah kerja Puskesmas Ploso laki-laki sebesar 55 % dan 45 %


perempuan. Deskripsi kasus diare berdasarkan jenis kelamin terlihat bahwa jenis
kelamin laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kelamin perempuan
walaupun terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan terlalu mencolok. Disini dapat
dilihat bahwa aktifitas laki-laki yang lebih banyak di luar. Laki-laki juga
cenderung kurang memperhatikan hygiene perorangan. Kebiasaan mengkonsumsi
air tanpa dimasak terlebih dahulu dan kebiasaan tidak mencuci tangan setelah
21

bermain dan langsung menjamah makanan juga menjadi salah satu faktor resiko
terjadinya diare pada pria.
Kebiasaan yang berhubungan

dengan

kebersihan

adalah bagian

penting dalam penularan kuman diare, mengubah beberapa kebiasaan tertentu


(mencuci tangan) dapat meutuskan penularan. Mencuci tangan dengan sabunm
terutama sesudah buang air dan sebelum menyiapkan makanan atau makan,
telah dibuktikan mempunyai dampak dalam kejadian diare dan harus menjadi
sasaran utama pendidikan tentang kebersihan. Penurunan 14 48 % kejadian
diare dapar diharapkan sebagai hasil pendidikan tentang kebersihan dan
perbaikan kebiasaan.
4.4 Karakteristik Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian
Diare berdasarkan Kualitas Air
Dari hasil data diatas didapatkan kualitas air di wilayah kerja puskesmas
Ploso sebesar 80 % kualitas air baik dan 20 % kualitas air buruk. Sebagian besar
kuman kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur fekal oral.
Mereka dapat ditularkan dengan memasukkan ke dalam mulut, cairan atau benda
yang tercemar dengan tinja, misalnya air minum, tangan atau jari jari, makanan
yang disiapkan dalam panci yang telah di cuci dengan air tercemar dan lainlain.
Banyak air bersih yang diperlukan untuk membersihkan alat alat makanan dan
memasak serta tangan. Memperbaiki sumber air (kualitas dan kuantitas) dan
kebersihan akan mengurangi tertelannya kuman. Tersedianya air penting untuk
membiasakan kebersihan, misalnya mencuci tangan. Perbaikan sumber dan
sanitasi air mungkin juga mencegah diare

pada kelompok umur lain dan

mempunyai berbagai keuntungan lain di bidang kesehatan.


Hasil penelitian Trisno Agung Wibowo,menunjukkan bahwa menggunakan
sumber air minum yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan meningkatkan risiko
terjadinya diare berdarah pada anak balita sebesar 2,47 kali

dibandingkan

keluarga yang mengunakan sumber air minum yang memenuhi syarat sanitasi.
Keluarga yang dapat memanfaatkan sarana air bersih (air dan sumber air
yang bersih dan handal), menunjukkan angka kejadian diare yang lebih sedikit
dari pada keluarga yang tidak memanfaatkan sarana air bersih.

22

Green

dalam Notoatmodjo (1993) menyatakan

bahwa

pendidikan

kesehatan dengan pemberian informasi dan diikuti oleh banyak latihan / praktek
akan efektif merubah perilaku masyarakat.
4.5

Karakteristik Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian


Diare berdasarkan Kepemilikan Jamban
Dari hasil data di atas didapatkan bahwa penduduk yang tidak memiliki

jamban sebesar 43 % dan yang memiliki jamban sebesar 57 %. Pada penelitian


ini

dibedakan penduduk yang memiliki jamban dengan yang tidak memiliki

jamban. Meskipun, banyak penduduk yang sudah memiliki jamban tetapi masih
menderita diare hal ini dikarenakan b erdasarkan hasil wawancara dengan
responden diketahui masih ada sebagian masyarakat yang tidak menggunakan
jamban dengan semsestinya, sehingga apabila mereka buang air besar mereka
menumpang di jamban tetangga, buang air besar di sungai dekat rumah atau
buang air besar di jamban cemplung yang ada di kebun dekat rumah. Bila
dilihat dari perilaku ibu, masih ada sebagian ibu yang tidak membuang tinja
balita dengan benar, mereka membuang tinja balita ke sungai, ke kebun
atau

pekarangan. Mereka beranggapan bahwa tinja balita tidak berbahaya.

Padahal menurut Depkes (2000), tinja balita juga berbahaya karena


mengandung virus atau bakteri dalam jumlah besar. Tinja balita juga dapat
menularkan penyakit pada balita itu sendiri dan juga pada orang tuanya. Selain
itu tinja binatang dapat pula menyebabkan infeksi pada manusia.
Tinja yang dibuang di tempat terbuka dapat digunakan oleh lalat untuk
bertelur dan berkembang biak. Lalat berperan dalam penularan penyakit
melalui tinja (faecal borne disease), lalat senang menempatkan telurnya pada
kotoran manusia yang terbuka, kemudian lalat tersebut hinggap di kotoran
manusia dan hinggap pada makanan manusia.
4.6

Karakteristik Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian


Diare berdasarkan Kepemilikan Tempat Sampah
Dari hasil data di atas didapatkan bahwa penduduk yang memiliki tempat

sampah sebesar 88 % dan yang tidak memiliki tempat sampah sebesar 12 %.


Sampah

dapat

menjadi

sehingga tidak mengotori

sumber

penyakit.

Karena

itu

perlu dikelola

lingkungan, tidak menjadi sarang vektor, maupun

23

sarang penyakit. Sampah harus ditempatkan pada tempat yang memenuhi


syarat. Syarat tempat sampah yang dianjurkan yaitu konstruksi kuat, tidak
mudah

bocor, tertutup,

mudah

dibuka, mudah dikosongkan, dibersihkan,

ukuran tempat sampah sedemikian rupa sehingga mudah diangkat oleh satu
orang. Keluarga

yang mempunyai tempat sampah khusus akan membuang

sampah tersebut sehingga dapat mencegah diare, sedangkan keluarga yang


tidak mempunyai tempat sampah khusus mempunyai resiko 2 kali lipat
terkena diare dibandingkan yang mempunyai tempat sampah khusus. Hasil
penelitian Rochman T. B disimpulkan bahwa Ada hubungan yang bermakna
antara tempat pembuangan sampah dengan kejadian diare.
4.7

Intervensi yang Dilakukan

4.7.1 Pencegahan Primer


Intervensi di lakukan dua bulan sebelum bulan Oktober, karena berdasarkan
penelitian didapatkan peningkatan angka kejadian diare. Upaya pencegahan pada
penyakit diare ditujukan untuk mencegah agen penyebab penyakit, mencegah
terjadinya kontak agen penyebab sakit dan manusai dengan modifikasi lingkungan,
dan perilaku, serta karakteristik melalui upaya promosi kesehatan dan perlindungan
spesifik (health promotion and specific protection).
Promosi kesehatan yang dapat dilakukan adalah berupa penyuluhan
kesehatan mengenai Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, mengenai sanitasi, penyebab,
penyebaran,

dampak,

dan

pertolongan

pertama

tentang

penyakit

diare.

Mengusulkan kepada penduduk untuk mencanangkan program kerja bakti.


Perlindungan spesifik yang bisa dilakukan untuk pencegahan primer diare
adalah dengan membiasakan diri menggunakan alas kaki dan sarung tangan dalam
bekerja terutama pekerja sawah.
4.7.2 Percegahan Sekunder
Pertolongan pertama yang dapat dilakukan pada penderita diare adalah
pemberian oralit dan kecukupan diare. Diare yang disebabkan oleh bakteri ummnya
telah ditemukan antibiotik yang bersifat spesifik. Keefektifan pemberian tergantung
pada kesesuaian jenis, dosis, frekuensi, dan lama pemberian yang juga tergantung
dengan kondisi pasien. Pemberian terapi yang adekuat dan dini dapat mencegah
progresifitas penyakit. Sehingga tidak menimbulkan komplikasi yang berat.
4.7.3 Pencegahan Tersier

24

Untuk mempercepat proses pemulihan dan mencegah kekambuhan dengan


cara memperbaiki status gizi dengan cara makan-makanan yang bersih dan sehat,
minum air yang matang serta pola hidup sehat.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan hal-hal sebagai
berikut:
1.

Rentang usia terbanyak kejadian diare didapatkan pada usia > 15 tahun
sebanyak 35 %

2.

Desa terbanyak kejadian diare terjadi di Desa Rejoagung pada tahun 2011
dan Desa Ploso pada tahun 2010

3.

Kejadian diare terbanyak terjadi pada bulan oktober yaitu sebesar 151 kasus
pada tahun 2010, dan sebesar 117 kasus pada tahun 2011.

25

4.

Jenis kelamin terbanyak kejadian diare didapatkan pada laki-laki yaitu


sebanyak 55% dan perempuan 45%.

5.

Kualitas air bersih di wilayah kerja kecamatan Ploso sebesar 80%, dan 20%

6.

kualitas air buruk.


Dari kepemilikan jamban didapatkan bahwa penduduk yang tidak memiliki

7.

jamban sebesar 43 % dan yang memiliki jamban sebesar 57 %.


Dari kepemilikan tempat sampah didapatkan bahwa penduduk yang
memiliki tempat sampah sebesar 88 % dan yang tidak memiliki tempat

sampah sebesar 12 %.
5.2 Saran
5.2.1 Bagi instansi terkait (Puskesmas Ploso)
Hendaknya petugas kesehatan melakukan penyuluhan tentang pentingnya
mencuci tangan pakai sabun dalam 5 waktu penting seperti yang telah disebutkan
dalam tinjauan pustaka. Selain itu, dapat pula dilakukan kegiatan penyuluhan
untuk memotivasi masyarakat dalam pengadaan dan penggunaan sumber air
bersih dan penggunaan jamban sebagaimana mestinya. Upaya penyuluhan dari
Dinas

Kesehatan

dan

Puskesmas hendaknya dilakukan

secara terus

menerus sampai masyarakat betul-betul mamahami akan pentingnya sanitasi


dalam mencegah terjadinya diare.
5.2.2 Bagi masyarakat
a.

Diharapkan lebih meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat, terutama


melakukan tindakan pencegahan terjadinya diare seperti mencuci tangan
sebelum makan dengan sabun.

b.

Mengupayakan jamban yang memenuhi syarat sanitasi antara lain dengan


model leher angsa dan memelihara kebersihan tempat pembuangan tinja,
serta tidak membiasakan buang air besar di sembarang tempat.

c.

Mengupayakan pembuatan WC umum yang dapat dipakai secara bersamasama,terutama bagi masyarakat yang belum memiliki jamban

26

Anda mungkin juga menyukai