Anda di halaman 1dari 30

REFRAT

ANALISIS GAS DARAH HENDERSON-HASSELBACH

Oleh :
Alfia Nourita Putri

G0007031

Bety Nurhajat Jalanita

G0007045

Lestari Handayani

G0007129

Pramadya Vardhani Mustafiza

G0007129

Pembimbing

dr. Wachid Putranto, SpPD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2012

BAB I
PENDAHULUAN

Gas darah arteri memungkinkan untuk pengukuran pH (dan juga


keseimbangan asam -basa), oksigenasi, kadar karbondioksida, kadar bikarbonat,
saturasi oksigen, dan kelebihan atau kekurangan basa. Pemeriksaan gas darah
arteri dan pH sudah secara luas digunakan sebagai pegangan dalam
penatalaksanaan pasien-pasien penyakit berat yang akut dan menahun.
Pemeriksaan gas darah juga dapat menggambarkan hasil berbagai tindakan
penunjang yang dilakukan, tetapi kita tidak dapat menegakkan suatu diagnosa
hanya dari penilaian analisa gas darah dan keseimbangan asam basa saja, kita
harus menghubungkan dengan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan data-data
laboratorium lainnya.
Pada dasarnya, pH atau derajat keasaman darah tergantung pada
konsentrasi ion H+ dan dapat dipertahankan dalam batas normal melalui 3 faktor,
yaitu: (1) Mekanisme penyangga kimiawi, (2) mekanisme pernapasan untuk
mengontrol pH, dan (3) mekanisme ginjal untuk mengontrol pH. Mekanisme
tersebut terdiri atas

reabsorbsi ion HCO3-, asidifikasi dari garam-garam

penyangga, dan sekresi ammonia. Tubuh memiliki empat sistem penyangga, yaitu
sistem penyangga asam karbonat-bikarbonat, sistem penyangga protein, sistem
penyangga hemoglobin, dan sistem penyangga fosfat.

BAB II
ANALISIS GAS DARAH HENDERSON-HASSELBACH

A. PENGATURAN ASAM BASA TUBUH


Ion hidrogen adalah proton tunggal bebas yang dilepaskan dari atom
hidrogen. Molekul yang mengandung atom-atom hidrogen yang dapat
melepaskan ion ion hidrogen dalam larutan dikenal sebagai asam. Satu contoh
adalah asam hidrochlorida (HCl) yang berionisasi dalam air membentuk ion
ion hidrogen (H+) dan ion klorida (Cl-). Demikian juga asam karbonat
(H2CO3) berionisasi dalam air membentuk ion H+ dan ion bikarbonat( HCO3).
Basa adalah ion atau molekul yang dapat menerima ion hidrogen.
Sebagai contoh, ion bikarbonat, HCO3- adalah suatu basa karena dia dapat
bergabung dengan satu ion hidrogen untuk membentuk H2CO3. Protein
protein dalam tubuh juga berfungsi sebagai basa karena beberapa asam amino
yang membangun protein dengan muatan akhir negatif siap menerima ion-ion
hidrogen.
H+ di CES dalam keadaan normal adalah 4 x 10-8 atau 0,00000004
ekivalen per liter. Konsep pH telah diciptakan untuk menyatakan [H+] secara
lebih sederhana. pH setara dengan logaritma (log) berbasis 10 dari kebalikan
konsentrasi ion hidrogen :
= - log [H+]

pH = log

pH = - log [0,00000004]
pH = 7,4
Larutan yang memiliki pH kurang dari 7,0 mengandung [H+] yang
lebih tinggi daripada H2O murni dan dianggap sebagai asam. Sebaliknya,
larutan yang memiliki nilai pH lebih besar daripada 7,0 memiliki [H+] lebih
rendah dan dianggap sebagai basa atau alkali. pH darah arteri dalam keadaan
normal adalah 7,45 dan pH darah vena adalah 7,35, untuk pH darah rata-rata
adalah 7,4. pH darah vena sedikit lebih rendah karena adanya H+ yang
dihasilkan oleh pembentukan H2CO3

dari CO2 yang diserap di kapiler

jaringan. Asidosis terjadi apabila pH darah turun di bawah 7,35 sementara


2

alkalosis terjadi jika pH darah lebih dari 7,45. Pada keadaan normal, H+
secara terus menerus ditambahkan ke cairan tubuh dari tiga sumber berikut :
1.

Pembentukan asam karbonat.

2.

Asam anorganik yang dihasilkan selama penguraian nutrien

3.

Asam organik yang dihasilkan dari metabolisme perantara

Dengan demikian, pembentukan ion hidrogen dalam keadaan normal


berlangsung secara terus menerus akibat adanya berbagai aktivitas metabolik.
Ada 3 sistem utama yang mengatur konsentrasi ion hidrogen dalam
cairan tubuh untuk mencegah asidosis atau alkalosis :
1.

Sistem penyangga asam basa kimiawi dalam cairan tubuh, yang


dengan segera bergabung dengan asam atau basa untuk mencegah
perubahan konsentrasi ion hidrogen yang berlebihan.

2.

Pusat pernapasan, yang mengatur pembuangan CO2

dari cairan

ekstraselular.
3.

Ginjal, yang dapat mengeksresikan urin asam atau urin alkalin,


sehingga menyesuaikan kembali konsentrasi ion hidrogen cairan
ekstraseluler menuju normal selama asidosis atau alkalosis.

Saat terjadi perubahan dalam konsentrasi ion hidrogen, sistem penyangga


cairan tubuh bekerja dalam waktu yang singkat untuk meminimalkan
perubahan-perubahan ini.
Sistem penyangga tidak mengeliminasikan ion-ion hidrogen dari
tubuh atau menambahnya ke dalam tubuh tetapi hanya menjaga agar mereka
tetap terikat sampai keseimbangan tercapai kembali. Garis pertahanan kedua,
sistem

pernapasan,

juga

bekerja

dalam

beberapa

menit

untuk

mengeliminasikan CO2 dan oleh karena itu H2CO3 dari tubuh. Kedua garis
pertahanan pertama ini menjaga konsentrasi ion hidrogen dari perubahan
yang terlalu banyak sampai garis pertahanan ketiga yang bereaksi lebih
lambat, ginjal, dapat mengeliminasikan kelebihan asam dan basa dari tubuh.
Walaupun ginjal relatif lambat memberi respons, dibandingkan dengan
pertahanan-pertahanan lain, ginjal merupakan sistem pengatur asam basa

yang paling kuat selama beberapa jam sampai beberapa hari (Beaudoin,
2003).

SISTEM PENYANGGA BIKARBONAT


Suatu penyangga adalah zat apapun yang secara terbalik dapat
mengikat ion-ion hidrogen. Bentuk umum dari reaksi penyangga adalah :
Penyangga + H+ Penyangga H
Bila konsentrasi ion hidrogen meningkat, reaksi dipaksa ke kanan dan
lebih banyak ion hidrogen yang bereaksi dengan penyangga. Sebaliknya bila
konsentrasi ion hidrogen menurun, reaksi bergeser ke arah kiri, dan ion ion
hidrogen dilepaskan dari penyangga.
Sistem penyangga bikarbonat terdiri dari larutan air yang mengandung
dua zat : (1) asam lemah, H2CO3 , dan (2) garam bikarbonat, seperti NaHCO3.
H2CO3 dibentuk dalam tubuh oleh reaksi CO2 dengan H2O :
Karbonik anhidrase

CO2 + H2O

H+ + HCO3-

H2CO3

Reaksi ini bersifat reversibel karena dapat berlangsung dalam dua arah,
bergantung pada konsentrasi zat-zat yang terlibat. Reaksi ini lambat, dan
sangat sedikit jumlah H2CO3 yang dibentuk kecuali bila ada enzim karbonik
anhidrase. Enzim ini terutama banyak sekali di dinding alveoli paru, dimana
CO2 dilepaskan; karbonik anhidrase juga ditemukan di sel epitel tubulus
ginjal, dimana CO2 bereaksi dengan H2O untuk membentuk H2CO3.

PERSAMAAN HENDERSON-HASSELBALCH
Untuk menyatakan konsentrasi ion hidrogen lebih sering dalam unit
pH daripada dalam konsentrasi yang sebenarnya.
pH = 6,1 + log
Dengan persamaan tersebut seseorang dapat menghitung pH suatu larutan bila
konsetrasi molar dari ion bikarbonat dan PCO2 diketahui. Dari persamaan
Henderson-Hasselbalch,

terlihat

bahwa

peningkatan

konsentrasi

ion

bikarbonat menyebabkan pH meningkat, menggeser keseimbangan asam-basa


4

menuju alkalosis. Dan peningkatan PCO2 menyebabkan pH menurun


menggeser keseimbangan asam basa menuju asidosis (Beaudoin, 2003).

SISTEM PENYANGGA HEMOGLOBIN


Hemoglobin menyangga H+

yang dibentuk

CO2

hasil

dari

metabolisme yang singgah dalam perjalanan antara jaringan dan paru. Di


tingkat kapiler sistemik, CO2 secara terus menerus berdifusi ke dalam darah
dari sel jaringan tempat gas tersebut dihasilkan. Sebagian besar CO2 ini
membentuk H2CO3, yang secara parsial terurai menjadi H+ dan HCO3-.
Secara bersamaan, oksihemoglobin (HbO2) mengeluarkan O2 yang berdifusi
ke dalam sel. Hb tereduksi (tidak teroksigenasi) memiliki afinitas yang lebih
besar terhadap H+ daripada HbO2. Dengan demikian, sebagian besar H+ yang
dihasilkan dari CO2 di tingkat jaringan akan terikat ke Hb dan tidak lagi ikut
serta menentukan keasaman cairan tubuh. Di paru reaksinya berbalik.
Sewaktu Hb menyerap O2 yang berdifusi dari alveolus ke dalam sel darah
merah, afinitas Hb untuk H+ menurun sehingga H+ dilepaskan. Ion H+ yang
dibebaskan tersebut berikatan dengan HCO3- untuk menghasilkan H2CO3
yang kemudia menghasilkan CO2 untuk dikeluarkan melalui paru. Apabila
tidak terdapat Hb, darah akan menjadi terlalu asam setelah menyerap CO2 di
jaringan (Ivkovic, 2003).

MEKANISME KONTROL pH OLEH SISTEM PERNAPASAN


Garis pertahanan kedua terhadap gangguan asam basa adalah
pengaturan konsentrasi CO2 cairan ekstraseluler oleh paru-paru. Sistem
pernapasan berperan penting dalam keseimbangan asam basa karena
kemampuannya mengubah ventilasi paru, dan dengan demikian mengubah
kecepatan ekskresi CO2 penghasil H+.

Jika [H+] arteri meningkat, pusat

pernapasan di batang otak secara refleks terangsang untuk meningkatkan


ventilasi paru (kecepatan pertukaran gas antara paru dan atmosfer). Karena
kecepatan dan kedalaman bernapas meningkat, lebih banyak CO2 yang
dihembuskan ke luar, sehingga jumlah H2CO3 yang ditambahkan ke dalam

cairan tubuh berkurang. Karena CO2 membentuk asam, pengeluaran CO2


pada dasarnya mengeluarkan asam dari tubuh.
Sebaliknya, apabila [H+] arteri turun, ventilasi paru berkurang. Akibat
bernapas yang lebih lambat dan lebih dangkal, CO2 hasil metabolisme akan
berdifusi dari sel ke dalam darah lebih cepat daripada pengeluaran gas
tersebut dari darah oleh paru, sehingga terjadi penimbunan lebih banyak CO2
pembentuk asam di darah, sehingga [H+] dapat dipulihkan ke tingkat normal.

MEKANISME KONTROL pH OLEH GINJAL


Ginjal adalah lini pertahanan ketiga terhadap perubahan-perubahan
[H+] dalam cairan tubuh; ginjal memerlukan waktu beberapa jam sampai hari
untuk mengkompensasi perubahan pH cairan tubuh, dibandingkan dengan
respons sistem penyangga yang segera dan respons sistem pernapasan yang
memerlukan waktu beberapa menit.
Ginjal mengatur konsentrasi ion hidrogen cairan ekstraseluler melalui
tiga mekanisme dasar :
1. Eksresi H+
2. Ekskresi HCO33. Produksi ion-ion bikarbonat baru

EKSRESI ION HIDROGEN


H+ di sekresi oleh sel di nefron yang diikuti oleh reabsorbsi HCO3-,
penurunan pH urin, titrasi penyangga urin dan menyebabkan eksresi NH4.
Pada proses ini, reabsorbsi HCO3- yang di filtrasi sangat penting, karena
jumlah HCO3- yang di filtrasi sebanyak 4500 mEq/hari, sedangkan jumlah H+
yang dibutuhkan untuk eksresi NH4 hanya sebanyak 100 mEq/hari.
Sekresi H+ (reabsorbsi HCO3-) terjadi di sepanjang nefron. Tubulus
proksimal reabsorbsi 80% dari bikarbonat yang difiltrasi, dan 15% lainnya di
filtrasi di bagian tebal lengkung henle asendens. Sekresi H+ terjadi melalui 2
transportasi membran atipikal, melalui transpor imbangan natrium dan H+
ATPase. Transport imbangan natrium merupakan jalur utama sekresi H+.

karena itu, faktor-faktor yang mempengaruhi transport natrium akan secara


tidak langsung mempengaruhi sekresi H+.
Proses sekresi dimulai ketika CO2 berdifusi ke dalam sel tubulus atau
dibentuk melalui metabolisme di sel epitel tubulus. CO2, di bawah pengaruh
enzim karbonik anhidrase, bergabung dengan H2O untuk membentuk H2CO3
yang berdisosiasi menjadi HCO3- dan H+. Ion-ion hidrogen disekresikan dari
sel masuk ke dalam lumen tubulus melalui transpor-imbangan natriumhidrogen. Artinya, ketika natrium bergerak dari lumen tubulus ke bagian
dalam sel, natrium mula-mula bergabung dengan protein pembawa di batas
luminal membran sel; pada waktu yang bersamaan, ion hidrogen di bagian
dalam sel bergabung dengan protein pembawa. Natrium bergerak ke dalam
sel melalui gradien konsentrasi yang telah dicapai oleh pompa natriumkalium ATPase di membran basolateral. Gradien untuk pergerakan natrium
ke dalam sel kemudian menyediakan energi untuk menggerakkan ion
hidrogen dalam arah yang berlawanan dari dalam sel ke lumen tubulus.
Tubulus distal dan duktus kolektikus reabsorbsi bikarbonat yang lolos
dari tubulus proksimal dan lengkung henle asendens bagian tebal ( 5% yang
difiltrasi). Bikarbonat direabsorbsi sebagai hasil dari sekresi H+ di sel
intercalated, yang disekresi dengan 2 cara, yaitu H+ ATPase dan H+/K+
ATPase. Prosesnya tidak berbeda jauh dengan transpor imbangan natrium.
Seperti di tubulus proksimal dan lengkung henle asendens, karbonik
anhidrase mengkatalisasi H2CO3 menjadi H+ dan HCO3-. Mekanisme
predominan bikarbonat menembus membran basolateral melalui Cl2/HCO3sama seperti yang ditemukan di sel darah merah.
Dimulai dari bagian akhir tubulus distal dan berlanjut melalui sisa
sistem tubular, epitel tubulus menyekresikan ion-ion hidrogen melalui
transpor aktif primer. Sekresi terjadi pada membran luminal sel tubulus,
tempat ion-ion hidrogen ditranspor secara langsung oleh suatu protein khusus,
yaitu pentranspor-hidrogen ATPase. Energi

yang dibutuhkan untuk

memompa ion hidrogen dihasilkan dari pemecahan ATP menjadi ADP.

Untuk setiap ion hidrogen yang disekresikan, satu bikarbonat


direabsorbsi, mirip dengan proses di dalam tubulus proksimal. Perbedaan
utama adalah bahwa hidrogen bergerak melewati membran luminal melalui
pompa aktif H+ dan bukan melalui transpor-imbangan seperti yang terjadi
pada awal nefron.
Walaupun sekresi ion hidrogen di tubulus distal bagian akhir dan
duktus koligentes hanya merupakan sekitar 5 persen dari ion hidrogen total
yang disekresikan, mekanisme ini penting dalam pembentukan urin asam
yang maksimal. Di tubulus proksimal, konsentrasi ion hidrogen dapat
ditingkatkan hanya sekitar tiga sampai empat kali lipat, walaupun sejumlah
besar ion hidrogen disekresikan melalui nefron ini. Sebaliknya konsentrasi
ion hidrogen dapat ditingkatkan sebanyak 900 kali lipat di dalam duktus
koligentes.

Eksresi bikarbonat
Ginjal mengatur [HCO3-] plasma melalui dua mekanisme yang saling
berkaitan : (1) reabsorbsi HCO3- yang difiltrasi kembali ke plasma dan (2)
penambahan HCO3- baru ke plasma. Kedua mekanisme tersebut terkait erat
dengan sekresi H+ oleh tubulus ginjal. Setiap kali sebuah H+ disekresikan ke
dalam cairan tubulus, secara simultan sebuah HCO3- yang dipindahkan ke
dalam plasma kapiler peritubulus. Reabsorbsi ion bikarbonat ini diawali oleh
reaksi di dalam tubulus antara ion-ion bikarbonat yang disaring pada
glomerulus dan ion-ion hidrogen yang disekresi oleh sel-sel tubulus. H2CO3
yang terbentuk kemudian berdisosiasi menjadi CO2 dan H2O. CO2 dapat
bergerak dengan mudah melewati membran tubulus. Oleh karena itu, CO2
segera berdifusi masuk ke dalam sel tubulus, tempat CO2 bergabung dengan
H2O, di bawah pengaruh karbonik anhidrase, untuk menghasilkan molekul
H2CO3 yang baru. H2CO3 ini kemudian berdisosiasi membentuk ion
bikarbonat dan ion hidrogen; ion bikarbonat kemudian berdifusi melalui
membran basolateral ke dalam cairan interstitial dan dibawa naik ke darah
kapiler peritubular. Jadi, setiap kali ion hidrogen dibentuk di dalam sel-sel

epitel tubular, ion bikarbonat juga dibentuk dan dilepaskan kembali kedalam
darah.
Bila terdapat kelebihan ion bikarbonat melebihi ion hidrogen dalam
urin, seperti yang terjadi pada alkalosis metabolik, kelebihan ion bikarbonat
tidak dapat direabsorbsi; oleh karena itu, kelebihan ion bikarbonat
ditinggalkan di dalam tubulus dan akhirnya dieksresikan ke dalam urin, yang
membantu mengoreksi alkalosis metabolik.
Pada asidosis, terdapat kelebihan jumlah ion hidrogen dibandingkan
dengan ion bikarbonat, menyebabkan reabsorbsi menyeluruh bikarbonat, dan
kelebihan ion hidrogen dikeluarkan ke dalam urin. Jadi, mekanisme dasar
dimana ginjal mengoreksi asidosis atau alkalosis merupakan titrasi tidak
lengkap dari ion hidrogen terhadap ion bikarbonat, meninggalkan salah satu
dari kedua ion ini untuk dikeluarkan ke dalam urin, dan oleh karena itu
dihilangkan dari cairan ekstraseluler.
SISTEM PENYANGGA FOSFAT
Sistem penyangga fosfat terdiri dari HPO4= dan H2PO4-. Keduanya
menjadi pekat di dalam cairan tubulus akibat reabsorbsinya yang relatif buruk
dan akibat reabsorbsi air dari cairan tubulus. Faktor lain yang membuat fosfat
menjadi penting sebagai penyangga tubulus adalah kenyataan bahwa pK
sistem ini adalah sekitar 6,8. Selama terdapat kelebihan ion bikarbonat dalam
cairan tubulus, kebanyakan ion hidrogen yang disekresikan bergabung dengan
ion bikarbonat. Akan tetapi, sekali semua bikarbonat telah direabsorbsi dan
tidak ada lagi yang tersedia untuk berikatan dengan ion hidrogen, setiap
kelebihan ion hidrogen dapat bergabung dengan HPO4- dan penyangga
tubulus lainnya.
Setelah ion hidrogen bergabung dengan HPO4= untuk membentuk
H2PO4-, ion hidrogen dapat dieksresikan sebagai garam natrium NaH2PO4,
dengan membawa serta kelebihan hidrogen. Oleh karena itu, kapan pun ion
hidrogen yang disekresikan ke dalam lumen tubulus bergabung dengan suatu
penyangga selain bikarbonat, hasil akhirnya adalah penambahan ion

bikarbonat baru ke dalam darah. Pada kondisi normal, kebanyakan fosfat


yang disaring akan direabsorbsi, dan hanya tersedia sekitar 30 sampai 40
mEq/hari untuk menyangga ion hidrogen. Oleh karena itu, sebagian besar
penyanggaan untuk kelebihan ion hidrogen dalam cairan tubulus pada
keadaan asidosis terjadi melalui sistem penyangga amonia.

SISTEM PENYANGGA AMONIA


Sistem penyangga fosfat terdiri atas amonia (NH3) dan ion amonium
(NH4+). Ion amonium disintesis dari glutamin, yang secara aktif ditranspor ke
dalam sel epitel tubulus proksimal, cabang tebal asenden ansa Henle, dan
tubulus distal. Sekali berada dalam sel, setiap molekul glutamin
dimetabolisme untuk membentuk dua ion NH4+ dan dua ion HCO3-. NH4+
disekresikan ke dalam lumen tubulus melalui mekanisme transpor-imbangan
sebagai pertukaran dengan ion natrium, yang direabsorbsi. HCO3- bergerak
melewati membran basolateral bersama dengan ion natrium (Na+) yang
direabsorbsi ke dalam cairan interstitial dan diambil oleh kapiler peritubular.
Jadi, untuk setiap molekul glutamin yang dimetabolisme di dalam tubulus
proksimal, dua ion NH4+ disekresikan ke dalam urin dan dua ion HCO3direabsorbsi ke dalam darah. HCO3- yang dihasilkan oleh proses ini
membentuk bikarbonat baru.
Dalam tubulus koligentes, penambahan ion NH4+ ke cairan tubulus
terjadi melalui mekanisme yang berbeda. Di sini, ion hidrogen disekresikan
oleh membran tubulus ke dalam lumen, termpatnya bergabung dengan
amonia (NH3) untuk membentuk NH4+, yang kemudian dieksresikan. Duktus
koligentes bersifat permeabel untuk NH3, yang dengan mudah dapat berdifusi
ke dalam lumen tubulus. Akan tetapi, membran luminal bagian tubulus ini
kurang permeabel untuk NH4+, oleh karena itu, sekali ion hidrogen sudah
bereaksi dengan NH3 membentuk NH4+, NH4+ terperangkap di dalam lumen
tubulus dan dikeluarkan dalam urin. Untuk setiap NH4+ yang dieksresikan,
dihasilkan HCO3- yang baru dan ditambahkan ke dalam darah.

10

Peningkatan konsentrasi ion hidrogen dalam cairan ekstraseluler


merangsang

metabolisme

glutamin

ginjal,

sehingga

meningkatkan

pembentukan NH4+ dan bikarbonat baru untuk digunakan dalam penyanggaan


ion hidrogen; penurunan konsentrasi ion hidrogen memiliki efek berlawanan.
Pada asidosis kronik, mekanisme utama yang mengeliminasi asam adalah
eksresi NH4+. Mekanisme ini juga merupakan mekanisme utama untuk
menghasilkan bikarbonat baru selama asidosis kronik (Marieb, 2004; Rashid,
2005).

B. GANGGUAN KESEIMBANGAN ASAM-BASA


Penyimpangan status asam-basa normal dibagi menjadi empat
kategori umum, bergantung pada sumber dan arah perubahan abnormal [H+].
Keempat kategori tersebut adalah asidosis respiratorik, alkalosis respiratorik,
asidosis metabolik, dan alkalosis metabolik. Perubahan [H+] akan tercermin
pada perubahan rasio [HCO3-] terhadap [CO2] (Sherwood, 2001).

11

Gambar 1. Representasi Skematik Hubungan Konsentrasi HCO3- dan CO2


terhadap pH dalam Berbagai Status Asam-Basa
1. ASIDOSIS METABOLIK
Asidosis metabolik ditandai dengan turunnya kadar ion HCO3
yang diikuti dengan penurunan tekanan parsial CO2 di dalam arteri.
Penurunan kadar ion HCO3 sebesar 1 meq/L akan diikuti oleh penurunan
PCO2 sebesar 1,2 mmHg. Bila peningkatan keasaman melampaui sistem
penyangga pH, darah akan benar-benar menjadi asam. Seiring dengan
menurunnya pH darah, pernafasan menjadi lebih dalam dan lebih cepat
sebagai usaha tubuh untuk menurunkan kelebihan asam dalam darah
dengan cara menurunkan jumlah karbon dioksida. Kompensasi paru
dengan cara hipoventilsai yang menyebabkan penurunan tekanan parsial
CO2 dapat bersifat lengkap, sebagian, atau berlebihan. Berdasarkan

12

kompensasi ini, asidosis metabolik dapat dibagi menjadi tiga kelompok,


yaitu :
1. Asidosis metabolik sederhana (simpel), di mana penurunan kadar ion
HCO3 sebesar 1 meq/L diikuti penurunan PCO2 sebesar 1,2 mmHg
2. Asidosis metabolik bercampur dengan asidosis respirasi, di mana
penurunan kadar ion HCO3 sebesar 1 meq/L diikuti penurunan PCO2
sebesar kurang dari 1,2 mmHg
3. Asidosis metabolik sederhana (simpel), di mana penurunan kadar ion
HCO3 sebesar 1 meq/L diikuti penurunan PCO2 lebih dari 1,2 mmHg
Dalam keadaan asidosis metabolik, ginjal juga berperan dalam
mekanisme kompensasi tubuh, yaitu dengan meningkatkan sekresi dan
ekskresi ion H (asidifikasi urin, pH urin turun) sebanyak 50-100 meq/hari
serta reabsorbsi ion HCO3 yang terdapat dalam cairan filtrat glomerolus.
Sekresi ion H terjadi di tubulus proksimal dan di tubulus distal.
Sekresi ion H di tubulus proksimal terjadi melalui penukar Na-H dan
pompa H-ATPase pada bagian apikal (lumen) tubulus. Sebanyak dua
pertiga sekresi ion H di tubulus proksimal adalah melalui penukar Na-H,
sedang sisanya melelui pompa H-ATPase. Ion H yang disekresi di
tubulus proksimal akan bergabung dengan ion HCO3 yang difiltrasi di
glomerolus membentuk H2CO3, kemudian terdisosiasi menjadi H2O dan
CO2 dengan bantuan enzim karbonik anhidrase dalam lumen tubulus
proksimal.
Secara pasif, CO2 dan H2O akan direabsorbsi mesuk ke dalam sel
tubulus proksimal yang kemudian bereaksi dengan H2O membentuk ion
HCO3. Ion HCO3 ini kemudian akan masuk ke dalam sirkulasi darah oleh
kotranspor Na- HCO3 pada membran basolateral (perivaskular). Sebagain
besar (90% dari yang difiltrasi) ion HCO3 direabsorbsi di tubulus
proksimal dan sisanya 10 % di bagian tebal loop dari Henle melalui
penukar Na-H dan di duktus koligentes bagian medula-luar.
Di tubulus distal khususnya pada duktus koligentes, asidifikasi
urin terjadi dengan disekresinya ion H oleh pompa H-ATPase dan pompa

13

H-K-ATPase pada bagian apikal. Pompa H-K-ATPase berfungsi sebagai


sekresi ion H dan reabsorbsi ion K di mana fungsi utama adalah
mencegah hilnganya kalium pada keadaan hipokalemia.
Penyebab asidosis metabolik dapat dbagi dalam 3 kelompok, yaitu :
a. Pembentukan asam yang berlebihan dalam tubuh
b. Berkurangnya kadar ion HCO3 di dalam tubuh
c. Adanya retensi ion H dalam tubuh
Penyebab utama dari asidois metabolik:
a. Gagal ginjal
b. Asidosis tubulus renalis (kelainan bentuk ginjal)
c. Ketoasidosis diabetikum
d. Asidosis laktat (bertambahnya asam laktat)
e. Bahan beracun seperti etilen glikol, overdosis salisilat, metanol,
paraldehid, asetazolamid atau amonium klorida
f. Kehilangan basa (misalnya bikarbonat) melalui saluran pencernaan
karena diare, ileostomi atau kolostomi.

2.

ASIDOSIS RESPIRATORIK
Asidosis respiratorik adalah suatu keadaan dimana pH darah arteri
lebih rendah dari 7,35 dengan PaCO2 lebih tinggi dari 45 mmHg.
Keadaan ini terjadi karena adanya retensi CO2 akibat hiperkapnia yang
disebabkan oleh hipoventilasi (ventilasi yang tidak adekuat untuk
memenuhi kebutuhan metabolik untuk penyaluran O2 dan pembuangan
CO2). Karena jumlah CO2 yang keluar melalui paru berkurang, terjadi
peningkatan pembentukkan H2CO3 yang kemudian berdisosiasi dan
menyebabkan peningkatan [H+]. Hal-hal yang dapat menimbulkan
keadaan ini antara lain (Orlando Regional Healthcare, Education and
Development, 2004; Sherwood, 2001):
a. Kelainan paru (emfisema, asma, bronkitis kronis, atelektasis,
pneumonia, pneumothoraks, edema paru, atau obstruksi bronkial)
b. Penekanan pusat pernapasan akibat cedera kepala

14

c. Penekanan pusat pernapasan akibat konsumsi obat-obatan (narkotik,


sedatif, atau anestesia)
d. Gangguan fungsi otot-otot pernapasan akibat cedera medula spinalis,
penyakit neuromuskuler, atau konsumsi obat-obatan yang dapat
memblokade fungsi neuromuskuler
e. Emboli paru masif
f. Hipoventilasi akibat nyeri, deformitas atau cedera dinding dada, atau
distensi abdomen.
Gejala dan tanda asidosis respiratorik terpusat pada sistem
respirasi, saraf, dan kardiovaskuler. Gejala respiratorik meliputi sesak
napas, distres respiratorik, dan atau pernapasan dangkal. Manifestasi dari
sistem saraf meliputi nyeri kepala, gelisah, iritabilitas, delirium, apatis,
halusinasi dan kebingungan. Jika kadar CO2 sudah terlampau tinggi,
maka penderita dapat jatuh ke keadaan koma. Asidosis respiratorik
menyebabkan gangguan kontraktilitas miokard dan vasodilatasi sistemik
(khususnya sirkulasi serebral) sehingga dapat menimbulkan gejala
takikardi dan disritmia (Madias, 2000; Orlando Regional Healthcare,
Education and Development, 2004).
Tindakan-tindakan kompensatorik berfungsi untuk memulihkan pH
menjadi normal. Penyangga kimiawi segera menyerap tambahan H+,
tetapi mekanisme pernapasan biasanya tidak mampu berespon dengan
meningkatkan ventilasi karena gangguan aktivitas pernapasanlah yang
menjadi penyebab masalahnya. Dengan demikian, ginjal adalah organ
terpenting dalam mekanisme kompensasi asidosis respiratorik. Ginjal
menghemat semua HCO3- yang difiltrasi dan menambahkan HCO3- baru
ke dalam plasma, sementara secara simultan mengekskresikan lebih
banyak H+. Akibatnya, simpanan HCO3- dalam tubuh meningkat.
Mekanisme kompensasi ini berlangsung dalam beberapa jam hingga
beberapa hari (Sherwood, 2001).
Onset

asidosis

respiratorik

dapat

ditentukan

dari

derajat

kompensasi ginjal (peningkatan HCO3). Pada keadaan akut, setiap

15

kenaikan PaCO2 sebesar 10 mmHg akan meningkatkan HCO3- sebesar 1


mEq/L. Pada keadaan kronik, setiap kenaikan PaCO2 sebesar 10 mmHg
akan meningkatkan HCO3- sebesar 4 mEq/L. Kronisitas asidosis
respiratorik juga dapat diprediksi dengan melihat perubahan pH. Pada
asidosis respiratorik akut, peningkatan PaCO2 sebesar 10 mmHg dari
nilai batas normalnya (40 mmHg) akan menurunkan pH sebesar 0,08
unit, sedangkan asidosis respiratorik kronik ditandai dengan penurunan
pH sebesar 0,03 unit setiap kenaikan PaCO2 sebesar 10 mmHg (Sherman,
2011).

3.

ALKALOSIS METABOLIK
Alkalosis metabolik merupakan suatu keadaan dimana darah dalam
keadaan basa karena tingginya kadar bikarbonat. Akibat peningatan ini,
rasio PCO2 dan kadar HCO3 dalam aretri berubah. Usaha tubuh untuk
memperbaiki rasio ini dilakukan oleh paru dengan menurunkan ventilasi
(hipoventilasi) sehingga PCO2 meningkat dalam arteri. Penyebab
alkalosis metabolik:
a. Terbuangnya ion H melalui saluran cerna atau melalui ginjal dan
berpindahnya ion H masuk ke dalam sel
b. Terbuangnya cairan bebas biakrbonat dari dalam tubuh (contraction
alkalosis)
c. Pemberian bikarbonat berlebihan
Alkalosis metabolik dapat terjadi jika tubuh kehilangan terlalu
banyak ion H. Sebagai contoh adalah kehilangan sejumlah asam lambung
selama periode muntah yang berkepanjangan atau bila asam lambung
disedot dengan selang lambung (seperti yang kadang-kadang dilakukan
di rumah sakit, terutama setelah pembedahan perut). Terbuangnya ion H
akan menyebabkan hilangnya stimulus ion H di duodenum, sehingga
ekskresi bikarbonat oleh pancreas tidak terjadi. Hilangnya ion H yang
tidak diimbangi oleh berkurangnya bikarbonat akan menimbulkan
alkalosis.

16

Penggunaan diuretic loop dan tiazid dapat memicu timbulnya


alkalosis metabolic karena akan meningkatkan kadar aldosteron,
sekunder dari pengurangan volume plasma. Deplesi volume plasma akan
merangsang sistem renin-aldosteron-angiotensin. Semua keadaan ini
akan merangsang peningkatan sekresi ion H dan reabsorbsi bikarbonat
dalam tubulus.
Selain itu, alkalosis metabolik dapat terjadi bila kehilangan kalium
dalam jumlah yang banyak mempengaruhi kemampuan ginjal dalam
mengendalikan keseimbangan asam basa darah. Keadaan hipokalemia
akan merangsang keluarnya kalium dalam sel masuk ke dalam plasma.
Untuk menjaga keseimbangan elektrik, ion H masuk ke dalam sel
sehinngga terjadi asidosis intrasel. Asidosis intrasel merangsang sekresi
ion H meningkat ke lumen tubulus dan meningkatkan reabsorbsi ion
bikarbonat.
Terbuangnya cairan bebas bikarbonat dalam jumlah besar,
misalnya pada pemberian diuretic loop dalam dosis tinggi akan
meningkatkan kadar bikarbonat perliter plasma akibat volume plasma
yang berkurang.
Pemberian bikarbonat tanpa kendali pada keadaan ketoasidosis
diabetic atau asidosis laktat dapat mengakibatkan alkalosis metabolic.
Pemberian insulin pada ketoasidosis diabetic atau perbaikan oksigenasi
jaringan pada asidosis laktat akan dengan cepat meningkatkan kadar
bikarbonat plasma.

4.

ALKALOSIS RESPIRATORIK
Alkalosis respiratorik adalah suatu keadaan dimana pH darah
arteri lebih tinggi dari 7,45 dengan PaCO2 kurang dari 35 mmHg. Defek
primer pada alkalosis respiratorik adalah pengeluaran berlebihan CO2
dari tubuh akibat hiperventilasi. Jika ventilasi paru meningkat melebihi
kecepatan produksi CO2, maka CO2 yang dikeluarkan menjadi terlalu
banyak sehingga H2CO3 yang terbentuk sedikit dan meyebabkan [H+]

17

menurun (Orlando Regional Healthcare, Education and Development,


2004; Sherwood, 2001).
Semua

kondisi

yang

menyebabkan

hiperventilasi

dapat

menimbulkan alkalosis respiratorik seperti respon psikologis (takut atau


gelisah), rasa nyeri, peningkatan laju metabolisme (demam, sepsis,
kehamilan, tirotoksikosis), keracunan aspirin atau lesi pada sistem saraf
pusat.

Tanda

dan

gejala

alkalosis

respiratorik

sebagian

besar

berhubungan dengan sistem saraf dan kardiovaskuler. Gejala pada sistem


saraf

meliputi

timbulnya

rasa

kebas,

kebingungan,

kesulitan

berkonsentrasi, pandangan kabur, peningkatan refleks tendon dalam dan


kejang. Gejala kardiovaskuler meliputi disritmia dan palpitasi (Orlando
Regional Healthcare, Education and Development, 2004).
Mekanisme kompensatorik dari alkalosis respiratorik dapat
bersifat primer dan sekunder. Sistem penyangga kimiawi akan
membebaskan H+ untuk memperkecil keparahan alkalosis. Penurunan
[CO2] dan [H+] plasma akan merangsang penghambatan ventilasi.
Namun, jika mekanisme primer tersebut tidak berhasil dan penurunan
[CO2] dan [H+] plasmaterus berlangsung selama beberapa hari, maka
ginjal melakukan kompensasi sekunder dengan menahan H+ dan
mengekskresikan lebih banyak HCO3-. Dengan demikian, pH dipulihkan
ke

keadaan

normal

dengan

mengurangi

beban

HCO3-untuk

mengompensasi kehilangan CO2 (Sherwood, 2001).

C. INTERPRETASI ANALISIS GAS DARAH


Gas darah arteri digunakan untuk mengevaluasi keseimbangan asambasa dan oksigenasi. Hasil analisis gas darah (AGD) memperlihatkan
beberapa komponen yaitu (Surjanto, 2011; Yap dan Aw, 2011):
1. pH
Merupakan indikator tingkat keasaman darah arteri berdasarkan
keberadaan ion hidrogen (H+). Sebagian besar ion hidrogen dalam tubuh
adalah hasil dari metabolisme karbohidrat dan protein. Rentang nilai

18

normal pH adalah 7,35 7,45. pH suatu larutan adalah sebanding dengan


nilai negatif log dari konsentrasi ion hidrogen dalam larutan tersebut (pH =
- log [H+]).
2. PaO2
Tekanan parsial oksigen menunjukkan jumlah oksigen yang terlarut
dalam darah arteri dengan rentang nilai normal 80 100 mmHg. Kadar
yang rendah menggambarkan adanya hipoksemia dan pasien tidak
bernapas dengan adekuat. Nilai PaO2 di bawah 60 mmHg mengindikasikan
perlunya pemberian oksigen tambahan.
3. SaO2
Merupakan nilai saturasi oksigen yang menunjukkan persentase
oksihemoglobin dalam darah arteri dengan rentang nilai normal 95
100%. SaO2 menggambarkan kemampuan darah untuk mengikat oksigen.
4. PaCO2
Merupakan tekanan parsial karbondioksida yang menunjukkan
jumlah karbondioksida yang terlarut dalam darah arteri. Karbondioksida
dihasilkan dari respirasi internal sel dan diekskresikan melalui respirasi
eksternal oleh paru. Nilai PaCO2 menggambarkan gangguan pernapasan
dan dipengaruhi sepenuhnya oleh ventilasi. Nilai PaCO2 yang tinggi
menggambarkan hipoventilasi dan begitu pula sebaliknya. Rentang nilai
normal untuk tekanan parsial karbondioksida adalah 35 45 mmHg.
5. HCO3Menunjukkan kadar bikarbonat dalam aliran darah. Kadarnya yang
abnormal menggambarkan adanya gangguan metabolik. Rentang nilai
normal HCO3- adalah 22 28 mEq/L.
6. BE (Base Excess)
BE didefinisikan sebagai jumlah asam atau basa (dalam mmol) yang
bdiperlukan untuk mentitrasi 1 L darah untuk menjadikan pH 7,4 pada
suhu 37C dan pCO2 40 mmHg. Perhitungan BE tergantung pada
hemoglobin, pH, dan pCO2. BE menunjukkan jumlah kelebihan atau
kekurangan kadar bikarbonat dalam sistem. Rentang nilai normal BE

19

adalah -2 +2

mEq/L (nilai BE yang negatif menunjukkan adanya

defisiensi basa dalam darah).

Parameter AGD

Nilai Rujukan

Nilai yang Perlu Diwaspadai

pH

7,35 7,45

<7,10 atau >7,60

PaCO2 (mmHg)

35,0 45,0

<20,0 atau >50,0

PaO2 (mmHg)

80,0 100,0

<55,0

BE (mmol/L)

-2,0 +2,0

HCO3- (mmol/L)

22 28

SaO2 (%)

95,0 100,0

Tabel 1. Parameter AGD, Nilai Rujukan, dan Nilai yang Perlu Diwaspadai
(Surjanto, 2011; Yap dan Aw, 2011).

Hasil AGD memberikan informasi mengenai status asam-basa,


oksigenasi (PaO2 dan saturasi hemoglobin), dan eliminasi CO2. Riwayat
klinis pasien dengan hasil AGD dan elektrolit dapat memberikan informasi
mengenai gangguan keseimbangan asam-basa. Gambar 2 menunjukkan tabel
yang merangkum nilai AGD yang diharapkan pada berbagai status
keseimbangan asam-basa.
Kelainan

respiratorik

melibatkan

kondisi

hipoventilasi

atau

hiperventilasi yang menghasilkan nilai PaCO2 yang abnormal dengan atau


tanpa adanya respon kompensaptorik dari ginjal (HCO3-). Kelainan metabolik
menghasilkan nilai HCO3- yang abnormal dengan atau tanpa adanya
kompensasi respiratorik (PaCO2).
Evaluasi tambahan diperlukan dalam kondisi asidosis, yaitu anion gap
untuk kondisi asidosis metabolik dan status oksigenasi untuk kondisi asidosis
respiratorik.

20

Gambar 2. Nilai AGD yang Diharapkan pada Berbagai Status Keseimbangan


Asam-Basa (Yap dan Aw, 2011).

21

Langkah-langkah untuk menginterpretasikan hasil AGD:


1. Melihat nilai pH dan membandingkannya dengan rentang nilai normal.
Jika pH<7,35, maka telah terjadi asidosis dan jika pH>7,45, maka telah
terjadi alkalosis.
2. Menentukan jenis kelainan primer (metabolik atau respiratorik).
a. Untuk pasien dengan pH rendah (asidemia)
Jika PaCO2 tinggi (>45 mmHg), maka kelainan primernya adalah
asidosis respiratorik
Jika HCO3- rendah (<22 mmol/L), maka kelainan primernya adalah
asidosis metabolik.
b. Untuk pasien dengan pH tinggi (alkalemia)
Jika PaCO2 rendah (<35 mmHg), maka kelainan primernya adalah
alkalosis respiratorik
Jika HCO3- tinggi (>28 mmol/L), maka kelainan primernya adalah
alkalosis metabolik.

Gambar 3. Identifikasi Kelainan Primer (Orlando Regional Healthcare,


Education and Development, 2004).

22

Secara singkat, kita dapat membandingkan nilai pH dengan PaCO2


atau HCO3-. Jika nilai pH dan PaCO2 bergerak ke arah yang berlawanan,
maka kelainan primernya adalah respiratorik. Jika nilai pH dan PaCO2
bergerak ke arah yang sama, maka kelainan primernya adalah metabolik.

Tabel 2. Perbandingan Nilai pH dengan PaCO2 dan HCO3- untuk Menentukan


Kelainan Primer Gangguan Keseimbangan Asam-Basa (Orlando Regional
Healthcare, Education and Development, 2004).
3. Menentukan adanya mekanisme kompensasi
Ketika terjadi gangguan keseimbangan asam-basa, tubuh akan
berusaha untuk melakukan mekanisme kompensasi. Hasil akhirnya dapat
berupa tidak terkompensasi, terkompensasi sebagian, atau terkompensasi
sempurna. Jika gangguan keseimbangan asam-basa tidak terkompensasi
atau terkompensasi sebagian, maka nilai pH tetap di luar rentang nilai
normal.

Jika

gangguan

keseimbangan

asam-basa

terkompensasi

sempurna, maka nilai pH kembali dalam rentang nilai normal meskipun


nilai komponen lainnya abnormal (iOrlando Regional Healthcare,
Education and Development, 2004).
Untuk pasien asidosis respiratorik (PaCO2 tinggi), mekanisme
kompensatorik adalah dengan peningkatan HCO3-.
Untuk pasien dengan alkalosis respiratorik (PaCO2 rendah),
mekanisme kompensatorik adalah dengan penurunan HCO3-.
Untuk pasien dengan asidosis metabolik (HCO3- rendah), mekanisme
kompensasi adalah dengan penurunan PaCO2.
Untuk pasien dengan alkalosis metabolik (HCO3- tinggi), mekanisme
kompensasi adalah dengan peningkatan PaCO2.
23

Tabel 3. Perbandingan Nilai pH dengan PaCO2 dan HCO3- pada Berbagai


Gangguan Keseimbangan Asam-Basa yang Terkompensasi Sempurna
(Orlando Regional Healthcare, Education and Development, 2004).

Tabel 4. Perbandingan Nilai pH dengan PaCO2 dan HCO3- pada Berbagai


Gangguan Keseimbangan Asam-Basa yang Terkompensasi Sebagian
(Orlando Regional Healthcare, Education and Development, 2004).
4. Menentukan onset pada kelainan respiratorik
Untuk menilai onset (akut atau kronik) pada kelainan respiratorik,
komponen yang perlu diperhatikan adalah pH dan PaCO2. Pada kondisi
akut, setiap perubahan PaCO2 sebesar 10 mmHg, akan diikuti dengan
perubahan pH sebesar 0,08 atau lebih. Pada kondisi kronis, setiap
perubahan PaCO2 sebesar 10 mmHg, akan diikuti dengan perubahan pH
sebesar 0,03.
5. Menghitung anion gap serum (AGS)
AGS digunakan sebagai sarana evaluasi tambahan untuk menilai
gangguan keseimbangan asam-basa. AGS adalah istilah yang digunakan
untuk menggambarkan perbedaan jumlah antara kation dan anion.
Rentang nilai AGS pada orang normal adalah 12 + 2 mmol/L. Jika AGS
24

meningkat di atas nilai normal, maka kemungkinan terjadi asidosis


metabolik. pH dapat saja bernilai normal, tetapi jika nilai AGS tinggi,
maka hal ini menunjukkan adanya asidosis metabolik. Oleh karena itu,
penghitungan AGS harus selalu dilakukan (Yap dan Aw, 2011).
AGS = [Na+] - ([Cl-] + [HCO3-])

AGS dapat membantu menentukan etiologi dari asidosis metabolik.


Nilai AGS yang tinggi mungkin disebabkan oleh keracunan salisilat,
asidosis laktat (hipoksia, hipoperfusi), uremia, medikasi (metformin,
linezolid, topiramate), ketoasidosis diabetik atau alkoholik, asam organik
(penyakit metabolik pada anak-anak, asidemia piroglutamat), atau
keracunan gas dan logam berat (CO, CO2, sianida, besi, arsenik). Nilai
AGS dapat menurun pada keadaan hipoalbuminemia, hemodilusi, atau
penurunan kadar bikarbonat dan klorida. AGS dapat tetap berada dalam
rentang nilai normal jika penurunan kadar bikarbonat juga diimbangi
oleh peningkatan klorida seperti pada gangguan gastrointestinal (diare
kronik, fistula ureterokolonik dan fistula pankreatik), penyakit tubuler
ginjal (asidosis tubulus proksimal dan distal), iatrogenik (pemberian
kalsium

klorida

dan

nutrisi

parenteral

total),

atau

defisiensi

mineralokortikoid (Addisons disease) (Yap dan Aw, 2011).


Setiap peningkatan beban positif akan diikuti oleh penurunan beban
negatif yang sebanding. Oleh karena itu, pada pasien asidosis metabolik
dengan anion gap (anion gap metabolic acidosis, AGMA), peningkatan
AGS di atas 12 mmol/L akan diikuti dengan penurunan konsentrasi
bikarbonat yang sebanding. Jika nilai bikarbonat lebih rendah dari yang
diharapkan, maka terjadi asidosis metabolik tanpa anion gap (non anion
gap metabolic acidosis, NAGMA). Keadaan ini mungkin berupa
NAGMA primer atau merupakan mekanisme kompensasi dari alkalosis
respiratorik. Perhitungan ini disebut sebagai delta gap. Rentang nilai
normal untuk delta gap adalah -6 6.

25

Pada pasien NAGMA, alkalosis metabolik yang tidak terdeteksi


dapat diketahui dengan memerhatikan kadar klorida dan bikarbonat.
Setiap peningkatan 1 mEq/L klorida (dari nilai normal 100), seharusnya
terdapat penurunan 1 mEq/L bikarbonat (dari nilai normal 24). Jika kadar
bikarbonat menurun lebih dari yang diharapkan, maka terdapat alkalosis
metabolik.
6. Menentukan adanya gangguan keseimbangan asam-basa campuran.
Pada

beberapa

kondisi

tertentu,

seorang

pasien

mungkin

mengalami lebih dari satu jenis gangguan keseimbangan asam-basa.


Pasien dapat mengalami asidosis metabolik dan alkalosis metabolik atau
dalam waktu yang bersamaan. Keadaan ini disebut sebagai gangguan
keseimbangan asam-basa campuran.
Salah satu cara untuk menentukan adanya gangguan keseimbangan
asam-basa campuran adalah dengan menghitung delta-delta. Pendekatan
ini menggunakan nilai pH, AGS, dan kadar bikarbonat. Berikut langkah
untuk perhitungan menggunakan delta-delta :
a. Menghitung delta gap
Delta gap = AGS terukur AGS normal (12 mmol/L)
b. Menghitung delta-delta
Delta-delta = delta gap + [HCO3-] terukur
c. Membandingkan delta-delta dengan kadar bikarbonat normal (22 28
mmol/L)

Jika delta-delta < 22, artinya terjadi kehilangan bikarbonat dan


terjadi asidosis metabolik tanpa anion gap. Jika ditemukan
asidosis metabolik tanpa anion gap pada langkah 1 4, maka
asidosis yang teridentifikasi merupakan proses yang sama.
Namun jika ternyata tidak ditemukan adanya asidosis metabolik
tanpa anion gap pada langkah 1 4, maka langkah terakhir ini
telah mendeteksi adanya proses tambahan berupa asidosis
metabolik tanpa anion gap.

26

Jika delta-delta > 28, artinya terdapat alkalosis metabolik. Jika


tidak ditemukan adanya alkalosis metabolik pada langkah 1 4,
maka langkah terakhir ini telah mendeteksi adanya proses
tambahan berupa alkalosis metabolik.

27

DAFTAR PUSTAKA

Beaudoin, D. 2003. Electrolytes And Ion Sensitive Electrodes. PPT.

Ivkovic, A ., Dave, R. Renal Review. PPT

Marieb, EN. 2004. Fluid, Electrolyte, And Acid-Base Balance. PPT. Pearson
Education, Inc.

Madias

N.
2000.
Respiratory
Acidosis
and
Alkalosis.
http://ocw.tufts.edu/data/33/508776.pdf(diakses tanggal 31 Maret 2012).

Orlando Regional Healthcare, Education and Development. 2004. Interpretation


of
the
Arterial
Blood
Gas.http://orlandohealth.com/pdf%20folder/Inter%20of%20Arterial%20
Blood%20Gas.pdf(diakses tanggal 31 Maret 2012).

Rashid, FA. 2005. Respiratory Mechanism In Acid-Base Homeostasis. PPT.


Sherman
S.
C.
2011.
Acid-Base
Made
Easy.
http://webapps.acep.org/sa/Syllabi/SA-30.pdf(diakses tanggal 31 Maret
2012).

Sherwood L. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta: EGC.

Silverthorn, DU. 2004. Integrative Physiology II: Fluid And Electrolyte Balance.
Chapter 20, part B. Pearson Education, Inc.

Siregar, Parlindungan. 2006. Gangguan Keseimbangan Asam Basa Metabolik.


Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Editor : Aru W.
Sudoyo. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit DAlam FK UI.
Surjanto E. 2011. Gangguan keseimbangan asam basa. Dalam: Kumpulan
Makalah Workshop Analisis Gas Darah dan Terapi Oksigen dalam
Pertemuan Ilmiah Respirologi. Surakarta: RSDM.
Yap C. dan Aw T. C. 2011. Arterial blood gases. Proceedings of Singapore
Healthcare. 20 (3): 227-35.

28

29

Anda mungkin juga menyukai