DAFTAR ISI
RUANG GURU
RUANG SISWA
RUANG BACA
SASTRA
LAIN-LAIN
PROFIL
Home bacaan pengayaan Fiqh Khiyafiyah NU-Muhammadiyah: Melafalkan Niat Shalat
A. Niat Sholat
Baik Nahdhatul Ulama maupun Muhammadiyah sepakat bahwa niat dalam shalat
merupakan bagian dari rukun. Perbedaan pendapat hanya muncul dalam menjawab
pertanyaan, apakah niat shalat perlu dilafalkan atau tidak, dan apa hukumnya
melafalkan niat dalam shalat?
1. Nahdhatul Ulama
pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah) adalah sunnah. Hal
ini dikarena melafalkan niat sebelum takbir dapat membantu untuk mengingatkan hati
sehingga membuat seseorang lebih khusyu dalam melaksanakan shalatnya.
Melafadhkan niat shalat merupakan wujud dari kehati-hatian. Sebab, jika
seseorang salah dalam melafalkan niat sehingga tidak sesuai dengan niatnya, seperti
melafalkan niat shalat Ashar tetapi niatnya shalat Dzuhur, maka yang dianggap adalah
niatnya bukan lafal niatnya. Sebab apa yang diucapkan oleh mulut itu (shalat Ashar)
bukanlah niat, ia hanya membantu mengingatkan hati. Salah ucap tidak mempengaruhi
niat dalam hati sepanjang niatnya itu masih benar.
Berkaitan dengan pendapat yang tidak menganjurkan pelafadzan niat shalat,
Cholil Nafis tak lupa melengkapi argumennya. Ia menambahkan, bahwamenurut
pengikut mazhab Imam Malik (Malikiyah) dan pengikut Imam Abu Hanifah
(Hanafiyah) melafalkan niat shalat sebelum takbiratul ihram tidak disyariatkan kecuali
bagi orang yang terkena penyakit was-was (peragu terhadap niatnya sendiri). Menurut
penjelasan Malikiyah, bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir menyalahi
keutamaan (khilaful aula), tetapi bagi orang yang terkena penyakit was-was hukum
melafalkan niat sebelum shalat adalah sunnah. Sedangkan penjelasan al Hanafiyah
bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir adalah bidah, namun dianggap baik
(istihsan) melafalkan niat bagi orang yang terkena penyakit was-was.
Dasar atau argumen NU selanjutnya adalah hadist Rasul tentang pelafalan niat
dalam suatu ibadah wajib yang pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw pada saat
melaksanakan ibadah haji.
Dari Anas r.a. berkata: Saya mendengar Rasullah saw mengucapkan, Labbaika, aku sengaja
mengerjakan umrah dan haji." (HR. Muslim).
1.
2.
3.
4.
Memang, ketika Nabi Muhammad SAW melafalkan niat itu bukan untuk ibadah
shalat, bukan pula wudhu, dan puasa, melaikan ibadah haji. Namun demikian,
menurut Cholil Nafis, apa yang dikerjakan Nabi tersebut tidak berarti selain haji. Apa
yang dilakukan Nabi bisa diqiyaskan atau dianalogikan, yakni disunnahkannya
pelafalan niat shalat.
Tempatnya niat ada di hati, NU tidak menampik hal ini. Namun demikian,
masih menurut Cholil Nafis, untuk sahnya niat dalam ibadah itu disyaratkan empat hal
yaitu,
Islam
Berakal sehat (tamyiz)
Mengetahui sesuatu yang diniatkan
Tidak ada sesuatu yang merusak niat.
Syarat yang nomor tiga (mengetahui sesuatu yang diniatkan) menjadi tolok ukur
tentang diwajibkannya niat. Menurut ulama fiqh, niat diwajibkan dalam dua
hal. Pertama, untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat), seperti
Hadits Riwayat Bukhari dari Umar ra. Bahwa beliau mendengar Rasulullah bersabda ketika
tengah berada di Wadi Aqiq: Shalatlah engkau di lembah yang penuh berkah ini dan
ucapkanlah sengaja aku umrah di dalam haji. (Hadis Sahih riwayat Imam-Bukhari)
Diriwayatkan dari Jabir, beliau berkata: Aku pernah shalat Idul Adha bersama Rasulullah
Saw., maka ketika beliau hendak pulang dibawakanlah beliau seekor kambing lalu beliau
menyembelihnya sambil berkata: Dengan nama Allah, Allah Maha Besar, Ya Allah, inilah
kurban dariku dan dari orang-orang yang tidak sempat berkurban di antara ummatku. (HR
Ahmad, Abu Dawud dan Turmudzi)
Dari hadis-hadis di atas, menunjukkan bahwa Rasulullah mengucapkan niat
dengan lisan atau talafudz binniyah ketika beliau akan haji, puasa, maupun
menyembelih qurban, sehingga hal ini sangat bisa diqiyaskan dalam perkara shalat.
Sekali lagi, perlu ditegaskan bahwa, fungsi melafalkan niat, menurut Fuqoha
kaum NU adalah untuk mengingatkan hati agar lebih siap dalam melaksanakan shalat
sehingga dapat mendorong pada kekhusyuan. Karena melafalkan niat sebelum shalat
hukumnya sunnah, maka jika dikerjakan dapat pahala dan jika ditinggalkan tidak
berdosa.
2. Muhammadiyah
Dalam HPT juga disebutkan dalil hadis shahih yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud dan at-Tirmidzi, yang artinya:
"Kunci (pembuka) shalat itu wudlu, permulaannya takbir dan penghabisannya salam".
Juga hadis shahih dari Ibnu Majah yang dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan
Ibnu Hibban dari hadis Abi Humaid Sa'idi bahwa Rasulullah, jika shalat ia menghadap
ke Qiblat dan mengangkat kedua belah tangannya dengan membaca "Allahu Akbar".
Niat sholat itu sesuatu yang wajib hukumnya dalam shalat menurut
Muhammadiyah. Hal ini didasaarkan firman Allah surah al-Bayyinah 6:
"Dan tidaklah mereka diperintah melainkan supaya menyembah kepada Allah dengan ikhlas
kepadaNya daam menjalankan Agama".(Q.S. AL-Bayyinah: 6)
Juga hadis Rasulullah Saw:
Sesungguhnya (sahnya) amal itu tergantung kepada niat." (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Namun Muhammadiyah tidak memberikan pedoman kepada warganya untuk
melafalkan niat. Muhammadiyah menyatakan bahwa niat itu bukan amalan anggota
tubuh. Rasulullah memisahkan antara amalan-amalan anggota tubuh dengan niat,
bahwa niat itu yang menggerakkan tubuh untuk beramal. Oleh karena itu melafalkan
niat, bagi Muhammadiyah bukanlah sesuatu yang disunnahkan. Dalil dari fatwa ini
jelas, bahwa melafalkan niat tidak pernah dilakukan Rasulullah saw.
Hal ini pernah ditegaskan oleh Syakir Jamaluddin, Ketua Lembaga Pengkajian
dan Pengembangan Islam (LPPI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) saat
memberikan materi Ibadah Praktis Perspektif Muhammadiyah pada acara Baitul
Arqam Karyawan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Syakir Jamaluddin
mengatakan, bidah (penyimpangan) yang terjadi di masyarakat mengenai tata cara
shalat Nabi Muhammad SAW, yaitu mengenai niat. Niat itu, kata Syakir, di dalam hati
secara ikhlas karena Allah semata. Niat adalah perbuatan hati, bukan perbuatan mulut
sehingga tidak perlu diucapkan. Ia melanjutkan, tidak ada satu pun hadis, baik yang
dhaif (lemah), dan sahih menjelaskan tentang adanya tuntunan melafalkan niat ketika
hendak memulai shalat.
Selain itu, argumen lain dari tidak disunnahkannya melafalkan niat shalat
adalah, bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hati setiap orang, maka niat tidak
perlu diucapkan. Dia hanyalah suatu niat yang tempatnya di hati. Dan tidak ada
perbedaan dalam hal ini antara ibadah haji dan yang lainnya.
Berkaitan dengan hadis Rasulullah yang oleh ulama NU dijadikan dalil bahwa
niat juga pernah diucapkan Rasulullah sebelum haji, maka pihak yang menolak
disunnahkannya melafalkan niat sebelum shalat menganggap bahwa apa yang
dicapkan Nabi tersebut adalah talbiyah sesuai dengan yang dia niatkan. Dan talbiyah
bukanlah merupakan pengkabaran niat karena talbiyah mengandung jawaban
terhadap panggilan Allah. Maka talbiyah itu sendiri merupakan dzikir dan bukan
pengkabaran tentang apa yang diniatkan di dalam hati.
Baca Artikel Menarik Lainnya
7 comments:
1.
2.
Reply
3.
4.
wr
wb
artikel yg sangat bagus, saya setuju dgn pendapat yg pertama karena niat itu seperti halnya dgn
berdoa yaitu harus jelas tujuannya dan melafadzkan niat dgn lirih akan menambah mantap
maksud hati paling nggak terdengar oleh telinga kita sendiri.
Reply
5.
NIATinsyaAllah
mencerahkan..
http://abuhauramuafa.wordpress.com/tag/hukum-melafadzkan-niat/
6.
kutipannya
Melafalkan niat untuk melakukan ibadah hukumnya mubah bukan haram, wajib atau
sunnah/mandub/mustahabb. Kemubahan ini tidak membedakan apakah ibadah tersebut ibadah
Mahdhoh seperti shalat, puasa Wudhu, Mandi Junub, Tayamum, Zakat, Haji, Umroh, berkurban,
Kaffaroh,Itikaf dll ataukah Ghoiru Mahdhoh seperti berbakti kepada orangtua, shilaturrahim,
membezuk orang sakit dll, juga tidak membedakan apakah ibadah tersebut manfaatnya juga
dirasakan hamba yang lain seperti menghajikan orang lain ataukah tidak, juga tidak membedakan
apakah ibadah tersebut dilakukan langsung setelah pelafalan ataukah ada jarak waktu.
Semuanya mubah selama lafadz niatnya tidak bertentangan dengan syara, baik untuk
kepentingan mengajari, menguatkan niat, menghilangkan was-was, menegaskan maksud, dan
semua kepentingan yang syari. Namun kemubahan ini adalah mubah dari segi pelafalan itu
sendiri, bukan menjadi syarat sah, sifat wajib, apalagi rukun niat. Jika niat dilafalkan, hendaknya
tidak dilakukan terus menerus, dan mengucapkannya juga harus pelan jika dimungkinkan
mengganggu ibadah orang lain. Jika pelafalan niat itu untuk selain ibadah seperti jual beli, ijaroh,
wakalah, syirkah, nikah, talak, rujuk, sumpah, nadzar dan yang semisal, maka lebih jelas lagi
kemubahannya.
http://abuhauramuafa.wordpress.com/2012/12/03/hukum-melafazkan-niat/#more-325
Reply
7.
Su
Mo
Tu
We
Th
Fr
Sa
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
View Archive
LABEL
buku (27)
cerpen (41)
galeri (2)
kliping (5)
lain-lain (24)
lomba (12)
makalah (5)
profil (1)
puisi (7)
resensi (30)
sastra (37)
tips (23)
STATISTIK
top sites
BERLANGGANAN
BERLANGGANAN ARTIKEL GRATIS
Tuliskan Email Anda
Ketik email anda d Subribe
Heru Click
Eko Hastuti
Dwi's Blog
Info Lomba Menulis
Fiksi Sains Indonesia
Blog Rel-Pintu
Dinding Sastra
Kang Gurukoe
Abdurahman Saleh
Pangeling-eling
Blog Mutiara-Islam
Hadi Setyo-Wonosobo
Blog-Sukasains
Fatahillah
A.S Laksana
Guru Budies
Hanif Wonosobo
Sawali Kendal
Pak Mars, Kendal
Mursyid Pekalongan
Muslimah Cantik
Zaenal Demak
Puspita Jatim
Sairan Banyumas
Ahsan Semarang
Narto Banyumas
Zulkarnaen Klaten
seby-antoe.com
LINK PENDIDIKAN
FOLLOW ME!
Support : Profil | Privacy Policy | Blog saya yang lain
Copyright 2013. Tinta Guru - All Rights Reserved