Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Mata bagian luar adalah bagian krusial dalam tubuh yang terpapar dengan dunia
luar. Struktur dan fungsi yang normal dari mata yang sehat terkait dengan
homeostasis dari keseleruhan tubuh sebagai proteksi terhadap lingkungan yang
dapat merugikan. Segmen anterior dari bola mata memberikan jalur masuk yang
jernih dan terlindungi sehingga cahaya dapat diproses melalui jalur visual menuju
susunan saraf pusat.1 Cahaya yang masuk ke mata pertama kali akan melewati
kornea. Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus
cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan
terdiri dari atas 5 lapis. 5 lapisan tersbut yaitu epitel, membran bowman, stroma,
membran descemet, dan endotel. Endotel lebih penting daripada epitel dalam
mekanisme dehidrasi dan cedera kimiawi atau fisik pada endotel jauh lebih berat
daripada cedera pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema
kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya cedera pada epitel hanya
menyebabkan edema lokal sesaat pada stroma kornea yang akan menghilang bila
sel-sel epitel itu telah beregenerasi.1,2
Keratitis adalah infeksi pada kornea yang ditandai dengan timbulnya
infiltrat pada lapisan kornea, biasanya diklasifikasikan menurut lapisan kornea
yang terkena; yaitu keratitis superfisialis apabila mengenal lapisan epitel atau
bowman dan keratitis profunda atau interstisialis (atau disebut juga keratitis
parenkimatosa) yang mengenai lapisan stroma. Keratitis superfisial adalah radang
kornea yang mengenai lapisan epitel dan membran bowman, keratitis dapat terjadi
pada anak-anak maupun dewasa. Kornea merupakan salah satu media refraksi
penglihatan dan berperan besar dalam pembiasan cahaya di retina. Oleh karena itu
setiap kelainan pada kornea termasuk infeksi dapat menyebabkan terganggunya
penglihatan, terganggunya penglihatan biasanya karena terjadi kekeruhan pada
kornea akibat keberadaan infiltrat pada lapisan kornea.3
Beberapa etiologi yang dapat meningkatkan kejadian terjadinya keratitis
antara lain: perawatan lensa kontak yang buruk, penggunaan lensa kontak yang
1

berlebihan, trauma, keracunan obat, infeksi jamur, bakteri, virus, alergi, defisiensi
vitamin A, kekebalan tubuh yang menurun karena penyakit lain. Keratitis dapat
menimbulkan gejala pada mata berupa tajam penglihatan menurun, tanda radang
pada kelopak mata, rasa nyeri, mata merah, fotofobia, mata berair, sensasi benda
asing didalam mata.3,4
Di Indonesia kekeruhan kornea masih merupakan masalah kesehatan mata
sebab kelainan ini menempati urutan kedua dalam penyebab utama kebutaan.
Kekeruhan kornea ini terutama disebabkan oleh infeksi mikroorganisme berupa
bakteri, jamur dan virus dan bila terlambat didiagnosis atau diterapi secara tidak
tepat akan mengakibatkan kerusakan stroma dan meninggalkan jaringan parut
yang luas.3
Antibiotik, anti jamur dan anti virus dapat digunakan tergantung
organisme penyebab. Antibiotik spektrum luas dapat digunakan secepatnya, tapi
bila hasil laboratorium sudah menentukan organisme penyebab, pengobatan dapat
diganti. Terkadang, diperlukan lebih dari satu macam pengobatan. Terapi bedah,
misalnya

transplantasi kornea biasa dilakukan pada kasus yang tidak dapat

membaik dengan terapi medikamentosa.4 Pengobatan yang inadekuat atau salah


dapat menyebabkan perburukan gejala, misalnya kortikosteroid topikal dapat
menyebabkan perburukan kornea pada pasien dengan keratitis akibat virus dan
jamur.5
Kontrol rutin ke dokter mata dapat membantu mengetahui perbaikan dari
keadaan mata, hal ini disertai dengan diagnosis dini dan pengobatan yang adekuat
memberikan prognosis yang baik.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologis Kornea


Kornea (latin cornum=seperti tanduk) adalah selaput bening mata, bagian
selaput mata yang tembus cahaya. Kornea transparan (jernih), bentuknya hampir
sebagian lingkaran dengan diameter vertikal 10-11 mm dan horizontal 11-12 mm,
tebal 0,6-1 mm terdiri dari 5 lapis. Memiliki indeks bias 1,375 dengan kekutan
pembiasan 80%. Sifat kornea yang dapat ditembus cahaya ini disebabkan oleh
struktur kornea yang uniform, avaskuler dan diturgesens atau keadaan dehidrasi
relatif jaringan kornea, yang dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada
endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Endotel lebih penting daripada
epitel dalam mencegah dehidrasi, dan cedera kimiawi atau fisik pada endotel jauh
lebih berat daripada cedera pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel jauh
menyebabkan sifat transparan hilang dan edema kornea, sedangkan kerusakan
epitel hanya menyebabkan edema lokal sesaat karena akan menghilang seiring
dengan regenerasi epitel.2,3

Gambar 1. Kornea
Kornea dipersarafi oleh banyak serat saraf sensoris terutama saraf siliaris
longus, saraf nasosiliaris, saraf ke V saraf siliaris longus berjalan supra koroid,
3

masuk kedalam stroma kornea, menembus membran bowman melepaskan


selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai kedua lapis terdepan
tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan didaerah
limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam
waktu 3 bulan. Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan
sistem pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi
edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenerasi.2,3

Gambar 2. Lapisan Kornea3


Kornea merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan
dan terdiri atas lapis:
1. Epitel
Bentuk epitel gepeng berlapis tanpa tanduk. Bersifat fat soluble
substance. Ujung saraf kornea berakhir di epitel oleh karena itu kelaianan
pada epitel akan menyebabkan gangguan sensibilatas kornea dan rasa sakit
dan mengganjal. Daya regenerasi cukup besar, perbaikan dalam beberapa hari
4

tanpa membentuk jaringan parut. Tebalnya 50m, terdiri atas sel epitel tidak
bertanduk yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan
sel gepeng. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini
terdorong kedepan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju kedepan menjadi
sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal disampingnya dan sel
poligonal didepannya

melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini

menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa yang merupakan barrier.


Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila
terjadi gangguan akan menjadi erosi rekuren. Epitel berasal dari ektoderm
permukaan.2
2. Membrana Bowman
Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan
kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian
depan stroma. Mempertahankan bentuk kornea Lapisan ini tidak mempunyai
daya regenerasi. Kerusakan akan berakhir dengan terbentuknya jaringan
parut.2
3. Stroma
Lapisan yang paling tebal dari kornea. Bersifat water soluble
substance. Terdiri atas jaringan kolagen yang tersusun atas lamel-lamel, pada
permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang dibagian perifer serat
kolagen bercabang. Stroma bersifat higroskopis yang menarik air, kadar air
diatur oleh fungsi pompa sel endotel dan penguapan oleh sel epitel. Gangguan
dari susunan serat kornea terlihat keruh. Terbentuknya kembali serat kolagen
memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit
merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara serat
kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen
dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.2
4. Membran Descemet
Lapisan tipis yang bersifat kenyal, kuat dan tidak berstruktur dan
bening terletak dibawah stroma dan pelindung atau barrier infeksi dan
masuknya pembuluh darah. Merupakan membran selular dan merupakan batas
belakang stroma kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran
5

basalnya. Bersifat sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup,


mempunyai tebal 40 m.2
5. Endotel
Satu lapis sel terpenting untuk mempertahankan kejernihan kornea,
mengatur cairan didalam stroma kornea, tidak mempunyai daya regenerasi,
pada kerusakan bagian ini tidak akan normal lagi. Dapat rusak atau terganggu
fungsinya akibat trauma bedah, penyakit intra okuler dan usia lanjut jumlah
mulai berkurang. Berasal dari mesotalium, berlapis satu bentuk heksagonal
besar 20-40 m. Endotel melekat pada mebran descemet melalui hemi
desmosom dan zonula okluden.2
2.2 Fisiologis Kornea
Fungsi utama kornea adalah sebagai membran protektif dan sebuah
jendela yang dilalui cahaya untuk mencapai retina. Transparansi kornea
dimungkinkan oleh sifatnya yang avaskuler, memiliki struktur yang seragam
sifat deturgescence-nya. Transparansi stroma dibentuk oleh pengaturan fisis
special dari komponen-komponen fibril. Walaupun indeks refraksi dari
masing-masing fibril kolagen berbeda dari substansi infibrilar, diameter yang
kecil (300 A) dari fibril dan jarak yang kecil diantara mereka (300 A)
mengakibatkan pemisahan dan regularitas yang menyebabkan sedikit
pembiasan cahaya dibandingkan dengan inhomogenitas optikalnya. Sifat
deturgescence dijaga dengan pompa bikarbonat aktif dari endotel dan fungsi
barrier dari epitel dan endotel. Kornea dijaga agar tetap berada pada keadaan
basah dengan kadar air sebanyak 78%.7,8
Peran kornea dalam proses refraksi cahaya bagi penglihatan seseorang
sangatlah penting. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana
43,25 dioptri dari total 58,6 kekuatan dioptri mata normal manusia, atau
sekitar 74% dari seluruh kekuatan dioptri mata normal. Hal ini
mengakibatkan gangguan pada kornea dapat memberikan pengaruh yang
cukup signifikan dalam fungsi visus seseorang.9
Kornea merupakan struktur vital dari mata dan oleh karenanya kornea
sangatlah sensitif. Saraf-saraf kornea masuk dari stroma kornea melalui
membran bowman dan berakhir secara bebas diantara sel-sel epitel serta tidak
6

memiliki selebung myelin lagi sekitar 2-3 mm dari limbus ke sentral kornea,
sehingga menyebabkan sensitifitas yang tinggi pada kornea.7
Kornea menerima suplai sensoris dari bagian oftalmik nervus trigeminus.
Sensasi taktil yang terkecil pun dapat menyebabkan refleks penutupan mata.
Setiap kerusakan pada kornea (erosi, penetrasi benda asing atau
keratokonjungtivitis ultraviolet) mengekspose ujung saraf sensorik dan
menyebabkan nyeri yang intens disertai dengan refleks lakrimasi dan
penutupan bola mata involunter. Trias yang terdiri atas penutupan mata
involunter (blepharospasme), refleks lakrimasi (epiphora) dan nyeri selalu
mengarahkan kepada kemungkinan adanya cedera kornea.10
Seperti halnya lensa, sklera dan badan vitreous, kornea merupakan struktur
jaringan yang bradittrofik, metabolismenya lambat dimana ini berarti
penyembuhannya juga lambat. Metabolisme kornea (asam amino dan
glukosa) diperoleh dari 3 sumber, yaitu :10

Difusi dari kapiler kapiler disekitarnya

Difusi dari humor aquous

Difusi dari film air mata

Tiga lapisan film air mata prekornea memastikan bahwa kornea tetap lembut
dan membantu nutrisi kornea. Tanpa film air mata, permukaan epitel akan
kasar dan pasien akan melihat gambaran yang kabur. Enzim lisosom yang
terdapat pada film air mata juga melindungi mata dari infeksi.5
2.3 Etiologi dan Patofisiologi
Terdapat beberapa kondisi yang dapat sebagai predisposisi terjadinya
inflamasi pada kornea seperti blefaritis, perubahan pada barrier epitel kornea
(dry eyes), penggunaan lensa kontak, lagopthalmos, gangguan paralitik,
trauma dan penggunaan preparat imunosupresif topical maupun sistemik.10
Kornea mendapatkan pemaparan konstan dari mikroba dan pengaruh
lingkungan, oleh sebab itu untuk melindunginya kornea memiliki beberapa
mekanisme pertahanan. Mekanisme pertahanan tersebut termasuk refleks
berkedip, fungsi antimikroba film air mata (lisosim), epitel hidrofobik yang

membentuk barrier terhadap difusi serta kemampuan epitel untuk beregenerasi


secara cepat dan lengkap.10
Epitel adalah merupakan barrier yang efisien terhadap masuknya
mikroorganisme ke dalam kornea. Pada saat epitel mengalami trauma, struma
yang avaskuler dan lapisan bowman menjadi mudah untuk mengalami infeksi
dengan organisme yang bervariasi, termasuk bakteri, amoeba dan jamur.
Sreptokokus pneumonia adalah merupakan bakteri patogen kornea, patogenpatogen yang lain membutuhkan inokulasi yang berat atau pada host yang
immunocompromised untuk dapat menghasilkan sebuah infeksi di kornea.8
Ketika patogen telah menginvasi jaringan melalui lesi kornea superfisial,
beberapa rantai kejadian tipikal akan terjadi, yaitu:10

Lesi pada kornea

Patogen akan menginvasi dan mengkolonisasi struma kornea

Antibodi akan menginfiltrasi lokasi invasi patogen

Hasilnya akan tampak gambaran opasitas pada kornea dan titik invasi
patogen akan membuka lebih luas dan memberikan gambaran infiltrasi
kornea

Iritasi dari bilik mata depan dengan hipopion (umumnya berupa pus
yang akan berakumulasi pada lantai dari bilik mata depan)

Patogen akan menginvasi seluruh kornea.

Hasilnya stroma akan mengalami atropi dan melekat pada membaran


descement yang relatif kuat dan akan menghasilkan descematocele
yang dimana hanya membaran descement yang intak.

Ketika penyakit semakin progresif, perforasi dari membran descement


terjadi dan humor aquos akan keluar. Hal ini disebut ulkus kornea
perforasi dan merupakan indikasi bagi intervensi bedah secepatnya.
Pasien akan menunjukkan gejala penurunan visus progresif dan bola
mata akan menjadi lunak.

Kelainan lokal seperti pada infeksi adenovirus, herpes, moluskum, alergi,


keracunan obat miotika dapat ditemukan bersama-sama dengan folikel.
Kelainan sistemik yang menyertai infeksi saluran pernafasan bagian atas

seperti yang disebabkan herpes simpleks dan adenovirus, artritis, penyakit


saluran kemih, penyakit saluran pencernaan.
2.4 Keratitis Pungtata Superfisialis
2.4.1

Definisi
Keratitis pungtata merupakan keratitis yang terkumpul di daerah
membran Bowman dengan infiltrat berbentuk bercak-bercak halus.
Keratitis ini disebut juga dengan Thygesons disease karena ditemukan
pertama kali oleh dr. Phillip Thygeson di amerika. Keratitis pungtata
disebabkan oleh hal yang tidak spesifik dan dapat terjadi pada moluskum
kontagiosum, akne rosasea, herpes zoster, herpes simpleks, blefaritis,
keratitis neuroparalitik, infeksi virus, mata kering, vaksin, trakoma dan
trauma radiasi, trauma, lagoftalmus, keracunan obat seperti neomisin,
tobramisin dan bahan pengawet lain.2
Kelainan-kelainan pada keratitis ini dapat berupa :
1. Keratitis pungtata superfisial
2. Pada konjungtivitis vernal dan konjungtivitis atopik ditemukan
bersama papil raksasa.
3. Pada trakoma, pemfigoid, sindrom Stevens Johnson dan pasca
pengobatan radiasi dapat ditemukan bersama-sama dengan jaringan
parut konjungtiva.

Gambar 3. Keratitis Pungtata Superfisialis


Keratitis pungtata superfisialis adalah penyakit bilateral rekuren
menahun yang jarang ditemukan. Penyakit ini berjalan kronis, tidak
terlihat adanya gejala kelainan konjungtiva ataupun tanda radang akut dan
9

biasanya terjadi pada dewasa muda. Keratitis ini ditandai dengan adanya
infiltrat berbentuk bercak-bercak halus yang terkumpul di daerah antara
epitel dan membran bowman.
Penyakit ini ditandai kekerutan epitel yang meninggi berbentuk lonjong
dan jelas, yang menampakkan bintik-bintik pada pemulasan dengan
fluoresein, terutama di daerah pupil. Uji fluoresein merupakan sebuah tes
untuk mengetahui terdapatnya kerusakan epitel kornea. Dasar dari uji ini
adalah bahwa zat warna fluoresein akan berubah berwarna hijau pada
media alkali. Zat warna fluoresein bila menempel pada epitel kornea maka
bagian yang terdapat defek akan memberikan warna hijau karena jaringan
epitel yang rusak bersifat lebih basa.. Sebelum dilakukan uji ini, mata
diteteskan anestetikum pantokain 1 tetes. Kemudian zat warna fluoresein
0,5%-2% diteteskan pada mata atau kertas fluoresein ditaruh pada forniks
inferior selama 20 detik. Zat warna lalu diirigasi dengan garam fisiologik
sampai seluruh air mata tidak berwarna hijau lagi. Kemudian dilakukan
penilaian pada kornea yang berwarna hijau. Bila terdapat warna hijau pada
kornea berarti terdapat defek pada epitel kornea. Defek ini dapat berbentuk
erosi kornea atau infiltrat yang mengakibatkan kerusakan epitel.
Kekeruhan ini tidak tampak dengan mata telanjang, namun mudah dilihat
dengan slit-lamp dengan lampu berwarna biru sehingga permukaan kornea
terlihat warna hijau.
Kekeruhan subepitelial dibawah lesi epitel sering terlihat semasa
penyembuhan penyakit epitel ini, uji sensibilitas kornea juga diperiksa
untuk mengetahui fungsi dari saraf trigeminus dan fasial baik bila keratitis
pungtata superfisialis disebabkan oleh virus umumnya sensibilitas kornea
menurun.2,3,8
2.4.2

Patofisiologi
Kornea adalah struktur yang avaskuler oleh sebab itu pertahanan pada
waktu peradangan, tidak dapat segera ditangani seperti pada jaringan
lainnya yang banyak mengandung vaskularisasi. Sel-sel di stroma kornea
pertama-tama akan bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul
dengan dilatasi pembuluh darah yang ada di limbus dan tampak sebagai
injeksi pada kornea. Sesudah itu terjadilah infiltrasi dari sel-sel lekosit, selsel polimorfonuklear, sel plasma yang mengakibatkan timbulnya infiltrat,

10

yang tampak sebagai bercak kelabu, keruh dan permukaan kornea


menjadi tidak licin.
Epitel kornea dapat rusak sampai timbul ulkus. Adanya ulkus ini dapat
dibuktikan dengan pemeriksaan fluoresin sebagai daerah yang berwarna
kehijauan pada kornea. Bila tukak pada kornea tidak dalam dengan
pengobatan yang baik dapat sembuh tanpa meninggakan jaringan parut,
namun apabila tukak dalam apalagi sampai terjadi perforasi penyembuhan
akan disertai dengan terbentuknya jaringan parut. Mediator inflamasi
yang dilepaskan pada peradangan kornea juga dapat sampai ke iris dan
badan siliar menimbulkan peradangan pada iris. Peradangan pada iris
dapat dilihat berupa kekeruhan di bilik mata depan. Kadang-kadang dapat
terbentuk hipopion. 9
2.4.3

Etiologi
Belum ditemukan organisme penyebabnya, namun dicurigai virus. Pada
satu kasus berhasil diisolasi virus varisella-zoster dari kerokan kornea.
Penyebab lainnya dapat terjadi pada moluskulum kontangiosum, akne
roasea, blefaritis neuroparalitik, trakoma, trauma radiasi, lagoftalmos,
keracunan obat seperti neomisin, tobramisin dan bahan pengawet
lainnya.3,4

2.4.4

Gambaran Klinis
Penderita akan mengeluh sakit pada mata karena kornea memiliki
banyak serabut nyeri, sehingga amat sensitif. Kebanyakan lesi kornea
superfisialis maupun yang sudah dalam menimbulkan rasa sakit dan
fotofobia. Rasa sakit diperberat oleh kuman kornea bergesekan dengan
palpebra. Karena kornea berfungsi sebagai media untuk refraksi sinar dan
merupakan media pembiasan terhadap sinar yang masuk ke mata maka lesi
pada kornea umumnya akan mengaburkan penglihatan terutama apabila
lesi terletak sentral pada kornea.
Fotofobia yang terjadi biasanya terutama disebabkan oleh kontraksi iris
yang meradang. Dilatasi pembuluh darah iris adalah fenomena
refleks yang disebabkan iritasi pada ujung serabut saraf pada kornea.
Pasien biasanya juga berair mata namun tidak disertai dengan
pembentukan kotoran mata yang banyak kecuali pada ulkus kornea
yang purulen. Keratitis pungtata superfisialis juga akan memberikan
gejala mata merah, silau, merasa kelilipan, penglihatan kabur.2,3,4
11

Dalam mengevaluasi peradangan kornea penting untuk membedakan


apakah tanda yang kita temukan merupakan proses yang masih aktif atau
merupakan kerusakan dari struktur kornea hasil dari proses di waktu yang
lampau. Sejumlah tanda dan pemeriksaan sangat membantu dalam
mendiagnosis dan menentukan penyebab dari suatu peradangan kornea
seperti: pemeriksaan sensasi kornea, lokasi dan morfologi kelainan,
pewarnaan dengan fluoresin, neovaskularisasi, derajat defek pada epithel,
lokasi dari infiltrat pada kornea, edema kornea, keratik presipitat, dan
keadaan di bilik mata depan. Tanda-tanda yang ditemukan ini juga
berguna dalam mengawasi perkembangan penyakit dan respon terhadap
pengobatan.6
2.4.5

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium dengan melakukan kultur dari flora kornea
dilakukan selama terjadi inflamasi aktif dapat membantu dalam penelitian
selanjutnya akan tetapi hal tersebut tidak begitu signifikan dalam
penegakan diagnosis dan penatalaksana penyakit keratitis pungtata
superfisial. Pemeriksaan pencitraan dengan menggunakan fotografi slit
lamp untuk mendokumentasikan inflamasi aktif dan periode inaktivitas
dapat dilakukan tapi hal tersebut juga tidak begitu penting dalam
penegakan diagnosis maupun penanganan penyakit.10

2.4.6

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada keratitis pungtata superfisial pada prinsipnya
adalah diberikan sesuai dengan etiologi. Untuk virus dapat diberikan
idoxuridine, trifluridin atau acyclovir. Untuk bakteri gram positif pilihan
pertama adalah cafazolin, penisilin G atau vancomisin dan bakteri gram
negatif dapat diberikan tobramisin, gentamisin atau polimixin B.
Pemberian antibiotik juga diindikasikan jika terdapat sekret mukopurulen,
menunjukkan adanya infeksi campuran dengan bakteri. Untuk jamur
pilihan terapi yaitu : natamisin, ampoterisin atau fluconazol. Selain itu
obat yang dapat membantu epitelisasi dapat diberikan. 3
Namun selain terapi berdasarkan etiologi, pada keratitis pungtata
superfisial ini sebaiknya juga diberikan terapi simptomatisnya agar dapat
memberikan rasa nyaman dan mengatasi keluhan-keluhan pasien. Pasien
dapat diberi air mata buatan, sikloplegik dan kortikosteroid. Pemberian air
mata buatan yang mengandung metilselulosa dan gelatin yang dipakai
12

sebagai pelumas oftalmik, meningkatkan viskositas, dan memperpanjang


waktu kontak kornea dengan lingkungan luar. Pemberian tetes
kortikosteroid pada keratitis pungtata superfisialis ini bertujuan untuk
mempercepat penyembuhan dan mencegah terbentuknya jaringan parut
pada kornea, dan juga menghilangkan keluhan subjektif seperti fotobia
namun pada umumnya pada pemberian steroid dapat menyebabkan
kekambuhan karena steroid juga dapat memperpanjang infeksi dari virus
jika memang etiologi dari keratitis pungtata superfisialis tersebut adalah
virus.
Namun pemberian kortikosteroid topikal pada keratitis pungtata
superfisialis harus terus diawasi dan terkontrol karena pemakaian
kortikosteroid untuk waktu lama dapat memperpanjang perjalanan
penyakit hingga bertahun-tahun dan berakibat timbulnya katarak dan
glaukoma terinduksi steroid, menambah kemungkinan infeksi jamur,
menambah berat radang akibat infeksi bakteri juga steroid ini dapat
menyembunyikan gejala penyakit lain. Penggunaan kortikosteroid pada
keratitis pungtata superfisialis ini menurut beberapa jurnal dapat
dipertimbangkan untuk diganti dengan NSAID. Dari penelitian-penelitian
tersebut telah menunjukan bahwa NSAID dapat mengurangi keluhan
subjektif pasien dan juga mengatasi peradangannya seperti halnya
kortikostroid namun lebih aman dari steroid itu sendiri karena tidak akan
menyebabkan katarak ataupun glaukoma yang terinduksi steroid.
Lensa kontak sebagai terapi telah dipakai untuk mengendalikan gejala,
supaya dapat melindungi lapisan kornea pada waktu kornea bergesekan
dengan palpebra, khususnya pada kasus yang mengganggu. Pemberian
siklopegik mengakibatkan lumpuhnya otot sfingter iris sehingga terjadi
dilatasi pupil dan mengakibatkan paralisis otot siliar sehingga melemahkan
akomodasi. Terdapat beberap obat sikloplegia yaitu atropin, homatropin,
dan tropikamida.
Namun atropin (0,5%-2%) merupakan sikloplegik yang sangat kuat dan
juga bersifat midriatik sehingga biasanya tidak dijadikan pilihan terapi
pada keratitis pungtata superfisialis. Efek maksimal atropin dicapai setelah
30-40 menit dan bila telah terjadi kelumpuhan otot akomodasi maka akan
normal kembali dalam 2 minggu setelah obat dihentikan. Atropin juga
memberikan efek samping nadi cepat, demam, merah, dan mulut kering.
13

Homatropin (2%-5%) efeknya hilang lebih cepat dibanding dengan


atropin, efek maksimal dicapai dalam 20-90 menit dan akomodasi normal
kembali setelah 24 jam hingga 3 hari. Sedangkan trokamida (0,5%-1%)
memberikan efek setelah 15-20 menit, dengan efek maksimal dicapai
setelah 20-30 menit dan hilang setelah 3-6 jam. Obat ini sering dipakai
untuk melebarkan pupil pada pemeriksaan fundus okuli.
Selain terapi medikamentosa sebaiknya diberikan pula edukasi pada
pasien dengan keratitis pungtata superfisialis. Pasien diberikan pengertian
bahwa penyakit ini dapat berlangsung kronik dan juga dapat terjadi
kekambuhan. Pasien juga sebaiknya dianjurkan agar tidak terlalu sering
terpapar sinar matahari ataupun debu karena keratitis pungtata superfisialis
ini dapat juga terjadi pada konjungtivitis vernal yang biasanya tercetus
karena paparan sinar matahari, udara panas, dan debu, terutama jika pasien
tersebut memang telah memiliki riwayat atopi sebelumnya. Pasien pun
harus dilarang mengucek matanya karena dapat memperberat lesi keratitis
pungtata superfisialis yang telah ada.
Pada keratitis pungtata superfisialis dengan etiologi bakteri, virus,
maupun jamur sebaiknya kita menyarankan pasien untuk mencegah
transmisi penyakitnya dengan menjaga kebersihan diri dengan mencuci
tangan, membersihkan lap atau handuk, sapu tangan, dan tissue.1
2.4.7

Prognosis
Prognosis akhirnya baik karena tidak terjadi parut atau vaskularisasi
pada kornea. Bila tidak diobati, penyakit ini berlangsung 1-3 tahun dengan
meninggalkan gejala sisa.1,3,4
Meskipun sebagian besar keratitis pungtata superfisialis memberikan
hasil akhir yang baik namun pada beberapa pasien dapat berlanjut hingga
menjadi ulkus kornea jika lesi pada keratitis pungtata superfisialis tersebut
telah melebihi dari epitel dan membran bowman. Hal ini biasanya terjadi
jika pengobatan yang diberikan sebelumnya kurang adekwat, kurangnya
kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi yang sudah dianjurkan,
terdapat penyakit sistemik lain yang dapat menghambat proses
penyembuhan seperti pada pasien diabetes mellitus, ataupun dapat juga
karena mata pasien tersebut masih terpapar secara berlebihan oleh
lingkungan luar, misalnya karena sinar matahari ataupun debu.
14

Pemberian

kortikosteroid

topikal

untuk

waktu

lama

dapat

memperpanjang perjalanan penyakit hingga bertahun-tahun serta dapat


pula mengakibatkan timbulnya katarak dan glaukoma yang diinduksi oleh
steroid.

15

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama

: NA

Umur

: 35 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Jl Pulau Saelus Gang IV Denpasar

Pekerjaan

: Pegawai Swasta

Agama

: Hindu

Suku Bangsa

: Bali

Tanggal pemeriksaan

: 19 Februari 2013

3.2 Anamnesa
Keluhan Utama : Mata kiri merah dan silau
Anamnesa

Pasien datang ke poliklinik RSUP Sanglah Denpasar dengan keluhan mata


kiri merah dan silau. Pasien juga merasakan mata kirinya berair, nyeri, dan sedikit
kabur. Keluhan ini dirasakan setelah pasien terkena serpihan beton di tempat kerja
dua minggu lalu. Pasien menggunakan kaca mata hitam saat bepergian keluar
rumah oleh karena silau yang dirasakan. Pasien meneteskan cendoxytrol pada
mata krirnya satu minggu setelah terkena serpihan dan tetap digunakan sampai
sekarang. Pasien meneteskannya satu kali sehari pada mata kiri.
Riwayat Penyakit Dahulu dan Pengobatan
Pasien mengatakan kejadian ini merupakan yang pertama kalinya. Riwayat
penyakit sistemik seperti diabetes melitus dan hipertensi disangkal. Riwayat sakit
gigi, sakit tenggorokan, sakit telinga disangkal.
Riwayat Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama.
Riwayat Sosial
16

Pasien merupakan seorang mandor yang sehari-harinya bekerja di lapangan.


3.3 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik Umum
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 84x/menit
Respirasi : 16x/menit
Temperatur axila : 36,5o C
Pemeriksaan Fisik Khusus (Lokal pada Mata)
Okuli Dekstra (OD)

Okuli Sinistra

Visus
Refraksi/Pin Hole

6/6
Tidak dilakukan

6/10
Tidak dilakukan

Supra cilia
Madarosis
Sikatriks

Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada

Palpebra superior
Edema
Hiperemi
Enteropion
Ekteropion
Benjolan

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Palpebra inferior
Edema
Hiperemi
Enteropion
Ekteropion
Benjolan

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Pungtum lakrimalis
Sumbatan
Hiperemis
Benjolan

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Konjungtiva Palpebra Superior


Sekret mata
Hiperemi
Folikel
Papil

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
17

Sikatriks
Benjolan

Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada

Konjungtiva Palpebra Inferior


Sekret mata
Hipermi
Folikel
Papil
Sikatriks
Benjolan

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
bawah Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Sklera
Warna
Pigmentasi

Putih
Tidak ada

Putih
Tidak ada

Limbus
Arkus senilis

Tidak ada

Tidak ada

Kornea
Odem
Infiltrat
Ulkus
Sikatriks
Keratik presifitat

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Bilik Mata Depan


Kedalaman
Hypema
Hipopion

Normal
Tidak ada
Tidak ada

Normal
Tidak ada
Tidak ada

Iris/Pupil
Warna
Bentuk
Refleks cahaya langsung
Refleks cahaya konsensuil

Coklat
Bulat, reguler
(+)
(+)

Coklat
Bulat, reguler
(+)
(+)

Lensa
Kejernihan
Dislokasi

Jernih
Tidak ada

Jernih
Tidak ada

Konjungtiva bulbi
Kemosis
Hiperemi
- Konjungtiva
- Silier
Perdarahan

di

konjungtiva
Pterigium
Pingueculae

18

Subluksasi
Tes Bayangan Iris

Tidak ada
Negatif

Tidak ada
Negatif

Pemeriksaan Penunjang
Pergerakan bola mata
Tonometri Schiotz
Funduskopi

Baik ke segala arah


Tidak dievaluasi
Refleks fundus (+)

Baik ke segala arah


Tidak dievaluasi
Refleks fundus (+)

3.4 Resume
Laki-laki 35 tahun datang dengan keluhan mata kiri merah dan silau
setelah terkena serpihan beton di tempat kerja dua minggu sebelum masuk
rumah sakit. Pasien juga merasakan mata kirinya berair, nyeri, dan sedikit
kabur.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan visus OD 6/6, OS 6/10, palpebra
didapatkan oedema, konjungtiva didapatkan PCVI (+). Pada kornea
didapatkan infiltrat (+). Pada OD ditemukan dalam batas normal.
Pemeriksaan lokal
OD

Pemeriksaan

OS

6/6

Visus

6/10

Normal

Palpebra

Edema (+)

Tenang

Konjungtiva

PCVI (+),
Sekret (-)

Sensibilitas (+)

Kornea

Sensibilitas (+)

Normal

Bilik Mata Depan

Infiltrat (+)
Normal

Bulat, reguler

Iris

Bulat, reguler

Refleks pupil (+)

Pupil

Refleks pupil (+)

Jernih

Lensa

Jernih

Refleks (+)

Funduskopi

Refleks (+)

3.5 Diagnosis Banding


- OS Keratitis
-OS Konjungtivitis
-OS Uveitis Akut
19

-OS Glaukoma Akut


3.6 Diagnosis Kerja
OS Keratitis
3.7 Usulan Pemeriksaan
-

Slit Lamp

Tes Flouresin

Tes Sensibilitas Kornea

3.8 Usulan Terapi


- Eye Fresh tetes mata 6 x 1 tetes / hari
- Levofloxacin tetes mata 6 x 1 tetes / hari
3.9 Prognosis
Ad vitam

: Dubius ad bonam

Ad fungsionam

: Dubius ad bonam

20

BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien datang dengan keluhan utama mata kiri merah dan silau setelah
terkena serpihan beton di tempat kerja dua minggu sebelum masuk rumah sakit
(MRS). Pasien juga merasakan mata kirinya berair, nyeri, dan sedikit kabur.
Keluhan utama penderita yaitu mata kiri merah. Pada

keratitis pada

umumnya, pasien akan datang dengan berbagai keluhan lokal akibat iritasi pada
mata. Kornea adalah struktur yang avaskuler oleh sebab itu pertahanan pada
waktu peradangan, tidak dapat segera ditangani seperti pada jaringan lainnya
yang banyak mengandung vaskularisasi. Sel-sel di stroma kornea pertama-tama
akan bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh
darah yang ada di limbus dan tampak sebagai injeksi pada kornea.
Selain itu dikeluhkan pula mata kiri pasien silau. Permukaan kornea
seharusnya merupakan suatu struktur yang licin dan jernih karena merupakan
media pembiasan terhadap sinar yang masuk ke mata. Karena adanya infiltrat
akibat proses peradangan, terjadi diskontinuitas permukaan kornea sehingga sinar
yang masuk tidak dibiaskan ke satu titik dan menyebar mengakibatkan pandangan
silau.
Pasien juga mengeluhkan nyeri. Saraf-saraf kornea masuk dari stroma
kornea melalui membrana bowman dan berakhir secara bebas diantara sel-sel
epithelial serta tidak memiliki selebung myelin lagi sekitar 2-3 mm dari limbus ke
sentral kornea, sehingga menyebabkan sensitifitas yang tinggi pada kornea.
Infiltrat pada kornea merangsang ujung-ujung serabut saraf dan menimbulkan rasa
nyeri. Keluhan lain yang juga dialami yaitu pandangan menjadi kabur, pandangan
kabur ini menyebabkan penurunan visus pada pasien. Penurunan visus dapat
terjadi akibat defek pada epitel kornea, pembentukan kabut stroma, peningkatan
lakrimasi atau ketidaknyamanan. Selain keluhan pandangan kabur, pasien juga
mengeluhkan pandangan yang menjadi silau,.
Pada pemeriksaan lokalis mata kanan didapatkan blepharospasme karena
pasien merasa silau. Edema pada kelopak disebabkan adanya peningkatan
21

permeabilitas pembuluh darah. Pelebaran pembuluh darah berupa CVI dan PCVI
dikarenakan adanya reaksi peradangan yang meluas sampai ke arteri konjungtiva
posterior dan arteri siliaris anterior. Pada pasien ini terjadi komplikasi erosi
kornea, dibuktikan dengan tes floresensi (+) yang merupakan tes untuk
mengetahui defek kornea.
Dari anamnesis dan pemeriksaan, pasien ini didiagnosis OS keratitis yaitu
keratitis pungtata superfisialis. Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien ini
adalah eye fresh tetes mata yang merupakan artificial tears yang mengandung
hidroxyprobhyl, metilselulosa, dan dextran. Pemberian air mata buatan yang
mengandung metilselulosa dan gelatin yang dipakai sebagai pelumas oftalmik,
meningkatkan viskositas, dan memperpanjang waktu kontak kornea dengan
lingkungan luar. Pasien juga diberikan antibiotik cendo floxa tetes mata.
Pemberian antibiotik ini untuk mencegah terjadinya infeksi. Pasien dengan trauma
pada kornea, konjungtiva, dan sklera dapat dilakukan pemberikan antibiotik tetes
mata atau salep mata topikal profilaksis. Pilihan antibiotik adalah yang
berspektrum luas, seperti tobramisin, gentamisin, siprofloxacin, norfloxacin,
bacitrasin. Neomycin dan golongan sulfa lebih jarang digunakan karena
banyaknya kasus alergi.
Sebagian besar keratitis pungtata superfisialis memberikan hasil akhir
yang baik namun pada beberapa pasien dapat berlanjut hingga menjadi ulkus
kornea jika lesi pada keratitis pungtata superfisialis tersebut telah melebihi dari
epitel dan membran bowman. Hal ini biasanya terjadi jika pengobatan yang
diberikan sebelumnya kurang adekwat, kurangnya kepatuhan pasien dalam
menjalankan terapi yang sudah dianjurkan, terdapat penyakit sistemik lain yang
dapat menghambat proses penyembuhan seperti pada pasien diabetes mellitus,
ataupun dapat juga karena mata pasien tersebut masih terpapar secara berlebihan
oleh lingkungan luar, misalnya karena sinar matahari ataupun debu.

22

BAB V
SIMPULAN

Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang merupakan bagian dari media
refraksi. Kornea juga berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang
dilalui berkas cahaya menuju retina. Kornea terdiri atas lima lapisan yaitu epitel,
membran bowman, stroma, membran descement, dan endotel. Keratitis adalah
suatu peradangan kornea yang disebabkan oleh bakteri, virus, dan jamur. Keratitis
pungtata merupakan keratitis yang terkumpul di daerah membran Bowman
dengan infiltrat berbentuk bercak-bercak halus. Gejala yang muncul berupa rasa
sakit, fotofobia, blepharospasme, juga akan memberikan gejala mata merah, silau,
serta penglihatan kabur. Manajemen yang tepat dapat mengurangi insidensi
kehilangan penglihatan dan membatasi kerusakan kornea. Keterlambatan
diagnosis infeksi adalah salah satu faktor yang berperan terhadap terapi awal yang
tidak tepat. Prognosis baik jika penyebab ditetapkan secara dini dan diobati secara
memadai.

23

DAFTAR PUSTAKA

1. Skuta GL,Cantor LB,Weiss JS. Structure dan Function of the External Eye
dan Cornea. In : Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Basic and Cliniccal
Science Cources : External Disease dan Cornea 2008-2009. Singapore :
American Academy of Ophthalmology ; 2007. p.5-14
2. Doggart JH. Superficial Punctate Keratitis [online]. 1933 [cited 2011
July]; [1 screen]. Available from URL:http://bjo.bmj.com/cgi/pdf_extract
3. Ilyas S. Mata Merah dengan Penglihatan Turun Mendadak. Dalam : Ilyas
S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2008.
H 147-78
4. Mills TJ. Corneal Ulceration and Ulcerative Keratitis [online]. 2008 [cited
2013 February]; [4 screen]. Available from URL:http://www.emedicine.
medscape.com/article/798100
5. Ilyas S. Anatomi dan Fisiologi Mata. Dalam : Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata.
Edisi ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2008. h. 1-13
6. Riordan-Eva. Anatomy and embryology of The Eye. In

: Vaughan

D,Asbury T, Riordan-Eva P. general Ophthalmology. 15 th edition.


Connecticut; Appleton & lange; 1999. p. 1-26
7. Pavan-Langston D. Cornea and External Desease. In: Pavan-Langston D.
Manual of Ocular Diagnosis and Theraphy. 5th edition. Philadelphia;
Lippincott Williams & Wilkins; 2002. p. 67-129
8. Biswell R. Cornea. In: Vaughan D, Asbury T, Riordon-Eva P. General
Ophthalmology. 15th edition. Connecticut ; Appleton & Lange; 1999. p.
119-41
9. Skuta GL,Cantor LB,Weiss JS. Clinical Approach to Immune-Related
Disorders of the External Eye. In : Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Basic
and Cliniccal Science Cources : External Disease dan Cornea 2008-2009.
Singapore : American Academy of Ophthalmology ; 2007. p.205-41
10. Lang GK. Cornea. In : Lang GK. Ophthalmology A Pocket Textbook
Atlas. 2nd edition. Stuttgart ; thieme ; 2007. p. 115-60

24

11. Duszak RS. Thygeson Superficial Punctata Keratitis [online]. 2008 [cited
2012 February]. Available from URL:http://www.emedicine.medscape.
com/article/1197335

25

Anda mungkin juga menyukai