Anda di halaman 1dari 18

Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Fakultas Kedokteran
Universitas Muslim Indonesia

Referat Mini II
Januari 2015

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN


DERMATITIS ATOPI

Disusun oleh :
Ilham Syahid Ruray
110 210 0089

Pembimbing:
dr.Rani Bachmid

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Pada Bagian Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin
Fakultas Kedokteran
Universitas Muslim Indonesia
Makassar
2015
i

HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:


Nama

Ilham Syahid Ruray

Nim

110 210 0089

Judul Referat :

Diagnosis dan Penatalaksanaan Dermatitis Atopi

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Makassar,

Januari 2015

Mengetahui,

Pembimbing

Co-Asisten

dr. Rani Bachmid

Ilham Syahid Ruray

ii

BAB I
PENDAHULUAN
Dermatitis atopi (DA) adalah penyakit kulit kronik yang berulang, sering
terjadi pada awal kehidupan (bayi) dan waktu anak-anak.Dermatitis atopi sering
dikaitkan dengan fungsi sawar kulit yang abnormal dan sensitisasi alergen. Tidak
ada kriteria atau diagnosa khusus yang mampu membedakan dermatitis atopi
dengan penyakit lain.1,2
Dermatitis atopi merupakan penyaklit inflamasi kulit yang sangat gatal,
diakibatkan oleh interaksi kompleks antara kecenderungan genetik yang
menyebabkan gangguan fungsi sawar kulit, gangguan sistem imun humoral, dan
peningkatan respon imunologik terhadap alergen dan antigen mikroba.1,2
Tingkat dermatitis atopi sekitar 30% di negara-negara maju dan melebihi
10% di banyak negara, sehingga prevalensi kumulatif seluruh dunia dari 15-20%.
Sekitar 50% dari kasus dermatitis atopi muncul pada tahun pertama kehidupan,
sebagian besar dalam 5 tahun pertama kehidupan, dan kasus-kasus yang tersisa
dari dermatitis atopi dewasa biasanya sebelum usia 30.1
Dermatitis Atopi dapat dibagi menjadi tiga tahap: dermatitis atopi
kekanak-kanakan, yang terjadi dari 2 bulan sampai 2 tahun; masa dermatitis atopi,
dari 2 sampai 10 tahun; dan dermatitis remaja/dewasa. Dalam semua tahapan,
pruritus adalah ciri khas. Gatal sering mendahului munculnya lesi, maka konsep
bahwa dermatitis atopi adalah "Ruam yang gatal".3
Dermatitis atopik khas tidak sulit untuk mendiagnosa karena prediksi
untuk keterlibatan simetris wajah, leher, dan antecubital dan poplitea fossae.
dermatitis yang mungkin menyerupai dermatitis atopik termasuk dermatitis
seboroik (terutama pada bayi), iritasi atau dermatitis kontak alergi, dermatitis
nummular, kudis, dan psoriasis (terutama palmoplantar). Sindrom imunodefisiensi

tertentu (lihat bawah) mungkin menunjukkan dermatitis sangat mirip identik


untuk dermatitis atopic.4
Keseluruhan proses dermatitis atopi tidak diketahui secara pasti. Namun,
penyakit ini lebih berat dan persisten pada anak-anak. Waktu remisi muncul lebih
sering dengan pertambahan usia anak tersebut. Selain itu, lebih satu per dua dari
remaja yang dirawat dengan dermatitis ringan akan mengalami relaps pada usia
dewasa.5
Faktor yang diduga menyebabkan prognosis buruk pada pasien dermatitis
atopi adalah lesi yang meluas pada waktu anak-anak, mempunyai riwayat
keluarga dengan penyakit asma atau rhinitis alergi (orang tua atau saudara), onset
dermatitis atopi yang terjadi sangat awal, dan kadar serum IgE yang sangat
tinggi.6

BAB II
DIAGNOSIS
2.1

ANAMNESIS
Kurang lebih 50% hingga 80% penderita dermatitis atopi akan terkena

alergi rhinitis atau asma pada kehidupaan anak-anak ke depannya. Namun,


penderita yang terkena alergi respiratori akan mendapat gejala dermatitis atopi
yang lebih signifikan.1
Sensasi yang sangat gatal dan reaktivitas kulit merupakan gejala kardinal
pada dermatitis atopi. Rasa gatal bisa hilang timbul sepanjang hari tetapi
bertambah berat pada sore dan malam hari. Konsekuensi yang bisa terjadi adalah
garukan, papul prurigo, likenifikasi, dan lesi pada kulit yang eksim.Lesi kulit yang
akut ditandai dengan gejala seperti sensasi yang sangat gatal, papul eritema
dengan ekskoriasi, vesikel pada kulit yang eritem, dan eksudat serosa. Dermatitis
subakut ditandai dengan gejala seperti papul eritematous berskuama yang disertai
dengan ekskoriasi. Dermatitis kronik ditandai dengan gejala seperti plak yang
menebal pada kulit, likenifikasi, dan papul fibrotik (prurigo nodularis).1

2.2

PEMERIKSAAN FISIS

Lokasi
Untuk mengetahui seberapa banyak daerah yang terkena eksema dapat
dilihat pada gambar tubuh. Aturan 9 digunakan untuk mengetahui daerah yang
terkena (A) sebagai presentasi dari seluruh tubuh.7

Kepala dan leher 9%

Ekstremitas atas 9% masing-masing

Ekstremitas bawah 18% masing-masing

Dada dan perut 18%

Punggung 18%

1% untuk alat kelamin

Skor untuk masing-masing wilayah yang ditambahkan luas total A


maksimum 100%.7

Intensitas
Wilayah yang terkena eksema.Diderah ini, intensitas masing-masing tanda
berikut dinilai sebagai tidak ada (0), ringan (1), sedang (2) atau berat (3). 7

Kemerahan

Pembengkakan

krusta

Tanda goresan

Penebalan kulit (likenifikasi)

Kekeringan (ini dinilai di daerah dimana tidak ada peradangan)


Skor intensitas ditambahkan bersama-sama untuk memberikan B

(maksimal 18).7

Gambar 1
Kemerahan: 1,
pembengkakan:0,
pengerasan kulit:0,
menggaruk: 0, likenifikasi:1

Gambar 2
Kemerahan: 2,
pembengkakan:1,
pengerasan kulit:1,
menggaruk:1, likenifikasi:1

Gambar 3
Kemerahan: 1,
pembengkakan:1,
pengerasan kulit:1,
menggaruk: 3, likenifikasi:3

Gejala subjektif
Gejala subjektif yaitu gatal dan sulit tidur, masing-masing dibuat oleh
pasien atau keluarga pasien menggunakan skala analog visual dimana 0 adalah
tidak gatal (atau bisa tidur) dan 10 adalah sangat gatal (atau sulit tidur). Skor ini
ditambahkan untuk memberikan C (maksimal 20).7

Selain itu, diagnosa dermatitis atopi dapat ditegakkan berdasarkan:1,2


Kriteria mayor (harus memenuhi 3 atau lebih kriteria):

Pruritus

Morfologi dan distribusi yang tipikal

Likenifikasi fleksura pada orang dewasa

Keterlibatan wajah dan ekstensor pada bayi dan anak-anak

Dermatitis- kronik atau kronik yang berulang

Riwayat keluarga atau personal asma, rhinitis alergi, dermatitis atopi

Kriteria minor (harus memenuhi 3 atau lebih kriteria):

Katarak (anterior-subkapsular)

Cheilitis

Konjungtivitis - rekuren

Eksim asentuasi perifolikuler

Fasial palor/fasial eritema

Intoleren terhadap makanan

Dermatitis tangan non-alergi, iritan

Iktiosis

Peningkatan IgE

Tipe 1 (immediate) tes reaktivitas kulit

Infeksi (kulit) S.aureus, herpes simpleks

Infraorbital fold (Dennie-Morgan lines)

Gatal sewaktu berkeringat

Keratokonus

Keratosis pilaris

Dermatitis payudara

Warna hitam pada orbital

Palmar hyperlinearity

Pityriasis alba

Dermografisme putih

Intoleren pada wool

2.3

PEMERIKSAAN PENUNJANG (TES LABORATORIUM)


Tes laboratorium biasanya tidak diperlukan dalam evaluasi rutin dan terapi

uncomplicated atopic dermatitis. Kira-kira 70 % hingga 80% pasien dermatitis


atopi mempunyai serum IgE yang meningkat. Kondisi ini berhubungan dengan
sensitisasi alergen makanan atau alergen hirup dan/atau yang disebabkan oleh
rhinitis alergi dan asma. Sebanyak 20% hingga 30% penderita mempunyai kadar
IgE serum yang normal. Pada dermatitis atopi subtipe ini, penderita hanya
memiliki sedikit sensitisasi IgE terhadap alergen makanan dan alergen hirup.
Tetapi penderita juga memiliki sensitisasi terhadap antigen mikroba seperti toksin
S.aureus dan Candida albicans atau Malassezia sympodialis. Namun, kebanyakan
penderita menunjukkan reaksi positif dengan tes tempel atopi (atopy patch test).
Majoritas penderita dermatitis atopik memiliki eosinofilia darah perifer. Penderita
dermatitis atopi meningkatkan pelepasan histamin secara spontan dari basofil.
Temuan klinis ini memberikan gambaran respon imun Th2 dalam penyakit ini
terutamanya penderita dengan elevasi kadar serum IgE.3,4

2.4

DIAGNOSA BANDING
Diagnosa banding bagi penyakit dermatitis atopi adalah sebagai berikut: 1

2.4.1 Dermatitis kontak


Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan/substansi
yang menempel pada kulit. Dikenal dua macam dermatitis kontak yaitu dermatitis
kontak iritan dan dermatitis kontak alergi. Keduanya dapat bersifat akut maupun
kronis. Dermatitis iritan merupakan reaksi peradangan kulit nonimunologik, jadi
kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses sensitisasi. Sebaliknya,
dermatitis kontak alergi terjadi pada seseorang yang telah mengalami sensitisasi
terhadap suatu alergen.1,5
2.4.2 Dermatitis seboroik
Istilah dermatitis seboroik dipakai untuk segolongan kelainan kulit yang
didasari oleh faktor konstitusi dan bertempat predileksi di tempat-tempat seboroik,
dengan gambaran klinis yang khas ialah skuama yang berminyak dan
kekuningan.5
8

2.4.3

Psoriasis
Psoriasis ialah penyakit yang penyebabnya autoimun, bersifat kronis dan

residif, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan


skuama yang kasar, berlapis-lapis dan transparan, disertai fenomena tetesan lilin,
Auspitz dan kobner.5

BAB III
PENATALAKSANAAN
Terapi yang bisa dilakukan adalah hidrasi kulit, terapi farmakologik dan
identifikasi serta eliminasi faktor pencetus dermatitis atopi seperti bahan iritan,
deterjen, alergen, agen infeksi, dan stres emosional. Terdapat banyak faktor
dermatitis atopi yang kompleks. Oleh sebab itu, rencana terapi berbeda-beda bagi
setiap pasien karena reaksi kulit pada setiap individu dan faktor pencetusnya
berbeda.6
3.1

NON MEDIKAMENTOSA

Edukasi kepada orang tua pasien.


Perlu dijelaskan secara rinci perjalanan penyakit, dampak psikologis,
prognosis dan prinsip penatalaksanaan. Langkah pertama yaitu edukasi kepada
orang tua pasien untuk menghindari atau mengurangi faktor penyebab misalnya
dengan eliminasi makanan, faktor inhalan, atau faktor pencetus.7
Menghindari faktor allergen.
Pada bayi berumur kurang dari satu tahun akan mengurangi beratnya
gejala dermatitis atopik. Maka dianjurkan agar bayi dengan riwayat keluarga
alergi memperoleh ASI sedikitnya 3 bulan, jika memungkinkan 6 bulan pertama
dan ibu yang menyusui dianjurkan untuk tidak makan telur, kacang tanah, terigu,
dan susu sapi. Karena susu sapi diduga alergen kuat pada bayi dan anak. Maka
bagi mereka yang jelas alergi terhadap susu dapat menggantinya dengan susu
kedelai, walaupun kemungkinan alergi terhadap susu kedelai masih ada. Sekitar
60% penderita DA di bawah usia 2 tahun memberikan reaksi positif pada uji kulit
terhadap telur, susu, ayam, dan gandum. Reaksi positif ini akan menghilang
dengan bertambahnya usia. Walaupun pada uji kulit positif terhadap antigen
makanan tersebut di atas, belum tentu mencerminkan gejala klinisnya. Demikian
pula hasil uji provokasi, sehingga membatasi makanan anak tidak selalu berhasil
untuk mengatasi penyakitnya.7
Menjaga hiegenitas.
Mengganti popok, pakaian bayi agar kebersihan bayi tetap terjaga.7

10

3.2

MEDIKAMENTOSA

3.2.1

Terapi sistemik

Antihistamin
Antihistamin digunakan untuk membantu mengurangi rasa gatal yang
hebat, terutama malam hari, sehingga mengganggu tidur. Oleh karena itu
antihistamin yang dipakai ialah yang mempunyai efek sedatif, misalnya
hidroksisin atau difenhidramin. Pada kasus yang lebih sulit dapat diberikan
doksepin hidroklorid yang mempunyai efek antidepresan dan memblokade
reseptor histamine H1 dan H2, dengan dosis 10 sampai 75 mg secara oral malam
hari pada orang dewasa.
Indikasi : Pengobatan rhinitis alergi menahun ataupun musiman, dan
urtikaria idiopatik kronik, terutama demam dan alergi lainnya. Karena gejala
gatal-gatal dan kemerahan dalam kondisi ini disebabkan oleh histamin yang
bekerja pada reseptor H1, memblokir reseptor sementara mengurangi gejalagejala.
Kontraindikasi : Penderita dengan riwayat hipersensitif terhadap
kandungandalam obat dan wanita menyusui, karena kandungan aktif cetirizine
diekskresi pada air susu ibu.
Farmakokinetik: Dalam studi pemberian 10 mg tablet , sekali sehari
selama 10 hari, tingkat serum rata-rata puncak 311 ng / mL. Puncak level darah
untuk 0,3 ug/ml dicapai antara 30- 60 menit setelah pemberian Cetirizine 10 mg.
Waktu paruh plasma kira-kira 11 jam. Absorpsi sangat konsisten pada semua
subjek. Efek metabolik cetirizine yang tersisa dalam sistem untuk maksimal 21
jam sebelum dibuang, eliminasi rata -hidup adalah 8 jam. Sekitar 70% dari obat
tersebut diekskresi atau dikeluarkan melalui buang air kecil, yang setengah
diamati sebagai senyawa cetirizine tidak berubah. Lain 10% diekskresikan.

11

Pengeluaran melalui ginjal 30 ml/menit dan waktu paruh ekskresi kira-kira 9 jam.
Cetirizine terikat kuat pada protein plasma.5,6
Siklosporin
Farmakokinetik : Siklosporin merupakan imunosupresif kuat yang
terutama bekerja pada sel T akan terikat dengan cyclophilin (suatu protein
intraseluler) menjadi satu kompleks yang akan menghambat calcineurin sehingga
transkripsi sitokin ditekan. Banyak studi menyatakan bahwa terapi siklosporin
jangka pendek bisa memberi kebaikan kepada pasien dermatitis atopi dewasa dan
anak-anak.Indikasi : pada beberapa penyakit autoimun seperti uveitis endogen,
psoriasis, dermatitis atopi, rheumatoid atritis, penyakit crohn dan sindrom
nefrotik. Dosis : 5mg/kgBB biasanya diberikan dengan jangka waktu pendek dan
jangka waktu panjang (1 tahun). Ada juga sumber yang mengatakan bahwa
siklosporin dalam bentuk mikroemulsi bisa diberikan setiap hari pada pasien
dewasa dengan dosis 150 mg (dosis rendah) dan 300 mg (dosis tinggi).6

Kortikosteroid sistemik
Penggunaan kortikosteroid sistemik seperti prednison jarang diberikan
pada pasien dengan dermatitis atopi yang kronik. Peningkatan perbaikan pada
pasien yang mengkonsumsi kortikosteroid sistemik biasanya berkait dengan
rebound yang parah setelah terapi glukokortikoid sistemik dihentikan. Terapi
jangka pendek kortikosteroid oral sesuai untuk eksaserbasi akut dermatitis atopi.
Dosis yang diberikan untuk penggunaan terapi dengan kortikosteroid oral harus
dikurangi (tappering) dan perawatan kulit juga harus dilakukan dengan cara
aplikasi kortikosterid topical serta pemberian emolien untuk mencegah terjadinya
rebound.5
Indikasi : Penyakit kolagen : systemik lupus eritematosus, karditis
rheumatik akut, dan sistemik dermatomitosis (polymitosis).5
Penyakit kulit : pemphigus, bullous dermatitis herpetiformis, eritema multiforme
yang berat (Stevens Johnson sindrom), eksfoliatif dermatitis, mikosis fungoides,
psoriaris, dan dermatitis seboroik .5
12

Alergi : seasonal atau perenial rhinitis alergi, penyakit serum, asma


bronkhial, reaksi hipersensitif terhadap obat, dermatitis kontak dan dermatitis
atopik.5
Kontra Indikasi : Methylprednisolone dikontraindikasikan pada infeksi
jamur sistemik dan pasien yang hipersentitif terhadap komponen obat.6
Farmakokinetik : Walaupun tampaknya ada bermacam efek pada fungsi
fisiologik, kortikosteroid tampaknya mempengaruhi produksi protein tertentu dari
sel. Molekul steroid memasuki sel dan berikatan dengan protein spesifik dalam
sitoplasma. Kompleks yang terjadi dibawa ke dalam nukleus, lalu menimbulkan
terbentuknya mRNA yang kemudian dikembalikan ke dalam sitoplasma untuk
membantu pembentukan protein baru, terutama enzim, sehingga melalui jalan ini
kortikosteroid dapat mempengaruhi berbagai proses. Kortikosteroid juga
mempunyai efek terhadap eosinofil, mengurangi jumlah dan menghalangi
terhadap stimulus. Pada pemakaian topikal juga dapat mengurangi jumlah sel
mast di mukosa. Kortikosteroid juga bekerja sinergistik dengan agonis 2 dalam
menaikkan kadar cAMP dalam sel.5
Pada

waktu

memasuki

jaringan,

glukokortikoid

berdifusi

atau

ditranspormenembus sel membran dan terikat pada kompleks reseptor


sitoplasmikglukokortikoid heat-shock protein kompleks. Heat shock protein
dilepaskan dankemudian kompleks hormon reseptor ditranspor ke dalam inti,
dimana akan berinteraksi dengan respon unsur respon glukokortikoid pada
berbagai gen danprotein pengatur yang lain dan merangsang atau menghambat
ekspresinya.5
3.2.2

Terapi topikal

Hidrasi kutaneus
Pasien dermatitis atopi mempunyai kulit yang kering dan fungsi sawar
kulit yang terganggu. Kondisi ini bisa memberikan morbiditas dengan cara
membentuk mikrofisura dan celahan pada kulit sekaligus menjadi port de entry

13

bagi patogen kulit, bahan iritan, dan alergen, sekaligus mengakibatkan infeksi
sekunder. Kondisi ini bisa menjadi lebih parah ketika musim dingin. Untuk
mengurangi gejala secara simptomatis, dapat dilakukan dengan aplikasi emolien
yang oklusif untuk mengembalikan kelembapan kulit. Kombinasi penggunaan
emolien yang efektif dengan terapi hidrasi membantu mengembalikan dan
mempertahankan sawar stratum korneum serta mengurangi frekuensi aplikasi
glukokortikoid topikal. Pelembab yang tersedia dalam berbagai sediaan
diantaranya krem, losion, atau ointment. Namun, campuran losion dan krem
bersifat iritan akibat penambahan substansi lain seperti preservatif, pelarut, dan
pewangi. Losion yang mengandung air bisa mengering karena efek evaporasi.
Ointment hidrofilik tersedia dalam berbagai viskositas tergantung dari kebutuhan
pasien.6
Terapi topikal untuk menggantikan lipid epidermal yang abnormal,
memperbaiki hidrasi kulit, dan disfungsi sawar kulit bisa diberikan pada pasien
dermatitis atopi ini. Hidrasi dengan mandi dan kompres basah (wet dressing)
merangsang penetrasi kortikosteroid topikal. Kompres basah tersebut juga bisa
melindungi lesi dari garukan yang persisten, seterusnya memberikan proses
penyembuhan lesi ekskoriasi. Kompres basah direkomendasikan pada bagian
yang terkena dermatitis atopi berat atau bagian yang melibatkan terapi dalam
jangka waktu yang lama. Namun, penggunaan kompres basah yang berlebihan
bisa mengakibatkan maserasi dan dipersulit dengan infeksi sekunder. Kompres
basah dan mandi berpotensi membuat kulit menjadi kering dan membentuk fisura
jika tidak diikuti dengan aplikasi emolien topikal.6
Terapi kortikosteroid topikal
Terapi kortikosteroid topikal merupakan dasar untuk anti-inflamasi lesi
kulit yang eksematous. Disebabkan oleh efek sampingnya, kortikosteroid topikal
hanya digunakan untuk dermatitis atopi eksaserbasi akut. Studi terbaru
menunjukkan bahwa kontrol dermatitis atopi bisa dilaksanakan dengan terapi
setiap hari dengan kortikosteroid topikal.6

14

Kortikosteroid fluorinated yang kuat tidak boleh diaplikasikan ke wajah,


genitalia dan bagian lipatan kulit, tetapi preparasi kortikosteroid yang berpotensi
rendah bisa diaplikasikan ke bagian ini. kortikosteroid diaplikasikan hanya pada
bagian lesi saja dan aplikasi emolien pada bagian kulit yang sehat. Kadangkala
penyebab kegagalan terapi dengan kortikosteroid topikal adalah disebabkan oleh
penggunaan obat yang tidak mencukupi. Jumlah kortikosteroid topikal yang
diperlukan untuk digunakan ke seluruh tubuh adalah kira-kira 30 gram krim atau
ointment. Jadi, untuk merawat seluruh tubuh 2 kali sehari dalam 2 minggu
memerlukan kurang lebih 840 gram kortikosteroid topikal.6
Terdapat 7 golongan kortikosteroid topikal yang diatur mengikut potensi
berdasarkan vasoconstrictor assay. Karena efek sampingnya, kortikosteroid yang
sangat kuat hanya digunakan untuk jangka waktu pendek dan pada bagian yang
mengalami likenifikasi tetapi tidak pada daerah wajah atau lipatan kulit. Tujuan
utama penggunaan emolien adalah untuk menghidrasi kulit dan penggunaan
kortikosteroid potensi rendah untuk terapi maintenance. Kortikosteroid potensi
sedang bisa digunakan untuk jangka waktu panjang untuk merawat dermatitis
atopi kronik yang melibatkan bagian badan dan ekstrimitas. Kortikosteroid gel
yang disediakan dengan basa glycol propylene sering mengiritasi serta
menyebabkan kekeringan pada kulit. Obat ini tidak boleh diaplikasikan pada
daerah kulit kepala atau jenggot.6
Faktor yang berperan mempengaruhi potensi dan efek samping
kortikosteroid adalah struktur molekuler yang terkandung, vehikulum, jumlah
obat yang diaplikasi, durasi aplikasi, sifat oklusif, serta faktor si pemakai seperti
umur, luas permukaan badan dan berat, inflamasi pada kulit, anatomi kulit, dan
perbedaan metabolisme kutaneus dan sistemik pada setiap individu. Efek samping
kortikosteroid topikal terkait langsung dengan susunan potensi yang terkandung
dan durasi penggunaannya. Selain itu, ointment mempunyai risiko tinggi untuk
mengoklusi

epidermis,

seterusnya

meningkatkan

absorbsi

sistemik

jika

dibandingkan dengan krim. Efek samping dari kortikosteroid dapat dibagi menjadi
dua yaitu efek samping lokal dan efek samping sistemik yang disebabkan oleh
supresi hypothalamus pituitary-adrenal.6

15

Efek sampingnya termasuk striae, atrofi kulit, dermatitis perioral dan akne
rosasea. Kortikosteroid kuat bisa mengakibatkan supresi adrenal (terutama pada
bayi dan anak kecil). Kortikosteroid sedang (fluticasone propionate) 0.05% krim
pada bagian wajah dan bagian tubuh lain yang signifikan aman untuk digunakan
pada anak-anak berumur 1 bulan sampai 3 bulan. Pada penggunaan fluticason
0.05% krim juga bisa diaplikasikan pada anak-anak umur 3 bulan selama
maksimal 4 minggu. Fluticason losion pula bisa digunakan pada anak-anak 12
bulan ke atas. Krim dan ointment mometason bisa digunakan pada anak-anak
berumur 2 tahun ke atas.6
Preparat ter
Preparat ter mengandungi antipruritik dan anti inflamasi yang memberi
efek pada kulit, walaupun efek yang dihasilkan tidak seperti kortikosteroid
topikal. Preparat ter bermanfaat dalam mengurangi potensi kortikosteroid topikal
pada terapi maintenance dermatitis atopi kronik. Preparat ter ini tidak boleh
digunakan pada inflamasi kulit yang akut karena bisa menyebabkan iritasi pada
kulit. Efek samping dari preparat ter adalah folikulitis dan fotosensitivitas.
Preparat ter juga dikatakan mengandung efek karsinogenik.5,6
3.2.3

Intervensi

Fototerapi
Cahaya matahari memberi banyak kebaikan pada pasien dermatitis atopi.
Walaupun sinaran yang terlalu panas bisa mencetuskan pruritus yang
memperberat kondisi pasien.Broadband UVB, Broadband UVA, Narrowband
UVB (311 nm), UVA-1 (340 hingga 400 nm) dan kombinasi fototerapi dengan
UVA-B menjadi terapi adjuvan (tambahan) yang bermanfaat untuk pasien
dermatitis

atopi.

Investigasi

dari

mekanisma

fotoimunologi

yang

bertanggungjawab terhadap efektifitas terapi menunjukkan bahwa sel Langerhans


epidermis dan eosinofil mungkin merupakan sasaran dari UVA fototerapi dengan
dan tanpa psoralen, sedangkan UVB yang diberikan menghasilkan efek
imnunosupresif dengan cara memblokir fungsi antigen-presenting Langerhans
cell dan mengubah produksi keratinosit sitokin. Indikasi fotokemoterapi dengan
psoralen dan UVA adalah pasien dengan dermatitis atopi yang parah dan

16

menyebar. Efek samping jangka waktu pendek bagi fototerapi adalah eritema,
nyeri kulit, pruritus, dan pigmentasi. Efek samping jangka panjang adalah proses
penuaan yang prematur dan juga maligna kulit.5,6

17

DAFTAR PUSTAKA

1.

Leung D. Atopic Dermatitis. In:

Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,

Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, editors. Fitzpatricks Dermatology in


General Medicine. 8th Edition. USA: McGraw-Hill Company; 2012. p.
261-84
2.

James

W.

Atopic

Dermatitis,

Eczema

and

Non-Infectious

Immunodeficiency Disorder. In: James W, editor. Andrew's Disease of


The Skin:Clinical Dermatology. 11th ed. Philadelphia: Pa: Mosby Elsevier;
2011. p. 69-70.
3.

Djuanda A. Dermatosis Eritroskuamosa. In: Djuanda PDdA, Hamzah dM,


Aisah PDdS, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. p. 138-147.

4.

Friedmann PS. Atopic Dermatitis. In: Burns T, Breathnach S, Cox N,


Griffiths CG, editors. Rooks Textbook of Dermatology. 8th Edition. USA:
Wiley-Blackwell; 2010. p.24.01-24.34.

5.

Jochen Schmitt, MD, MPH. Sinead Langan,MD, PhD. Stefanie


Deckert,MPH. dkk. Assessment of Clinical Signs of Atopic Dermatitis:
A Systematic Review and Recommendation. J Allergy Clin Immunol.
2013. p.1337-46.

6.

Work Group : Co-chair, Lawrence F, Eichenfield MD, Wynnis Tom, dkk.


Guidelines of Care for the Management of Atopic Dermatitis : Section 1.
Diagnosis and Assessment of Atopic Dermatitis. J Am Acad Dermatol.
2013. p. 338-46.

7.

Ring, J. Alomar, A. Bieber, T. Fink-Wagner, dkk. Guidelines for


Treatment of Atopic Eczema (Atopic Dermatitis) Part I. JEADV. 2012.
p.1045-56.

18

Anda mungkin juga menyukai