Anda di halaman 1dari 2

PK DIANTARA MK DAN MA

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pembatalan Pasal 268 Ayat (3) Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana yang mengatur peninjauan kembali (PK)
hanya sekali. Dengan putusan MK tersebut, maka terpidana bisa mengajukan PK
berkali-kali. Namun sudah beberapa hari terakhir, putusan itu kembali
dipersoalkan. Mantan ketua MK Prof. Jimly Asshiddiqie menyebut bahwa
masalah pengajuan PK antara MK dan MA (Mahkamah Agung), sebaiknya tidak
dibesar-besarkan. Sebetulnya tidak perlu diperpanjang. Perbedaan itu biasa,
tidak perlu bikin pusing masyarakat soal kepastian keadilan, ujar Jimly pada
Diskusi Perspektif Indonesia, bersama Populi Center dan Smart FM, di Menteng,
Jakarta Pusat, Sabtu 10 Januari 2015.
Selain Jimly, pengajar Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Umar Husin, juga
menganggap memanasnya perbincangan tentang PK adalah hal yang terlalu
berlebihan, karena apabila semua peraturan yang ada ditinjau, sebenarnya
semua tidak ada masalah. Harus ada alasan-alasan tertentu untuk mengajukan
PK. Tinggal itu saja dipertajam oleh MA, untuk menyampaikan kepada
jajarannya, apabila PK tidak sesuai ya tolak, ujar Umar sebagai salah satu
pembicara di diskusi ini.
Sementara itu, Advokat Muhammad Joni memandang PK berkali-kali sebagai
upaya optimalisasi litigasi. Baginya sebagai advokat, Undang-Undang memiliki
celah untuk interpretasi. Terlebih apabila ada novum atau fakta baru yang
muncul dan belum dibuka di persidangan. Oleh karena itu, Umar menganggap
optimalisasi PK sebagai peluang untuk langkah litigasi. Umar juga memandang
bahwa sistem peradilan di Indonesia belum sempurna. Ada kelupaan ada
kekhilafan. Pemahaman novum saja ada yang tidak pas untuk penegak hukum,
jelasnya.
Ketua Populi Center Dr. Nico Harjanto, menyebut bahwa ada kemungkinan
novum dapat didekatkan kembali. Dr. Nico juga menjelaskan lebih dalam bahwa
perbedaan masalah penafsiran hukum dianggap sebagai hal yang wajar. Hal ini

karena perspektif hukum selalu berkembang, penafsiran interpretasi juga


berkembang terus, ucapnya.
Oleh karena itu, Prof. Jimly merumuskan suatu konsep bahwa hukum harus
bersifat blind-trust, artinya keadilan membutuhkan konteks struktural. Problem
yang terjadi di Indonesia adalah jarak antara si kaya dan si miskin begitu jauh.
Social gap ini sulit menghasilkan keadilan yang sebenarnya. Kalau struktur
kehidupan tidak adil, tidak akan ada keadilan, kata Ketua DKPP ini .
Oleh karena itu, seorang hakim memiliki pekerjaan rumah yang besar, karena
harus memiliki aspek moral, social, dan philosophical, supaya proses peradilan
betul-betul matang. Prof. Jimly berharap apabila semua proses peradilan sudah
matang, selanjutnya tidak ada lagi kebutuhan untuk PK karena semua fakta
sudah dipertimbangkan.
Sebagai penutup, Prof. Jimly pun memberikan beberapa solusinya. Pertama,
eksekusi tetap berjalan, terutama bagi terpidana mati yang ditolak grasinya.
Yang kedua, sebelum Peraturan Pemerintah untuk tindak lanjut putusan MK
tentang PK berkali-kali diterbitkan, maka tidak ada kesempatan bagi pemohon
baru untuk pengajuan PK. (NE)

Anda mungkin juga menyukai