Pengemb&pengolahan Kakao PDF
Pengemb&pengolahan Kakao PDF
PENDAHULUAN
Kakao merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang peranannya cukup penting bagi
perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara.
Di samping itu kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayan dan pengembangan
agroindustri. Pada tahun 2002, perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan
bagi sekitar 900 ribu kepala keluarga petani yang sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI)
serta memberikan sumbangan devisa terbesar ke tiga sub sektor perkebunan setelah karet dan minyak sawit
dengan nilai US $ 701 juta.
Perkebunan kakao di Indonesia mengalami perkembangan pesat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir dan
pada tahun 2002 areal perkebunan kakao Indonesia tercatat seluas 914.051 ha. Perkebunan kakao tersebut
sebagianbesar (87,4%) dikelola oleh rakyat dan selebihnya 6,0% perkebunan besar negara serta 6,7%
perkebunan besar swasta. Jenis tanaman kakao yang diusahakan sebagian besar adalah jenis kakao lindak
dengan sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Di samping
itu juga diusahakan jenis kakao mulia oleh perkebunan besar negara di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Dari segi kualitas, kakao Indonesia tidak kalah dengan kakao dunia dimana bila dilakukan fermentasi
denganbaik dapat mencapai cita rasa setara dengan kakao berasal dari Ghana dan keunggulan kakao
Indonesia tidak mudah meleleh sehingga cocok bila dipakai untuk blending. Sejalan dengan keunggulan
tersebut, peluang pasar kakao Indonesia cukup terbuka baik ekspor maupun kebutuhan dalam negeri. Dengan
kata lain, potensi untuk menggunakan industri kakao sebagai salah satu pendorong pertumbuhan dan
distribusi pendapatan cukup terbuka.
Meskipun demikian, agribisnis kakao Indonesia masih menghadapi berbagai masalah kompleks antara lain
produktivitas kebun masih rendah akibat serangan hama Penggerek Buah Kakao (PBK), mutu produk masih
rendah serta masih belum optimalnya pengembangan produk hilir kakao. Hal ini menjadi suatu tantangan
sekaligus peluang bagi para investor untuk mengembangkan usaha dan meraih nilai tambah yang lebih besar
dari agribisnis kakao.
Pada tahun 2002 tersebut komposisi tanaman perkebunan kakao Indonesia tercatat seluas 224.411 ha (24,6%)
tanaman belum menghasilkan (TBM), 618.089 ha (67,6%) tanaman menghasilkan (TM), dan 71.551 ha (7,8%)
tanaman tua/rusak. Produktivitas rata-rata nasional tercata 924 kg/ha, dimana produktivitas perkebunan
rakyat (PR) sebesar 963,3 kg/ha, produktivitas perkebunan besar negara (PBN) rata-rata 688,13 kg/ha dan
produktivitas perkebunan besar swasta (PBS) rata-rata 681,1 kg/ha.
Tabel Perkembangan areal dan produksi perkebunan kakao Indonesia
Areal (ha)
Produksi(ton)
Tahun
PR
PBN
PBS
Jumlah
PR
PBN
PBS
Jumlah
13,125
18,636
5,321
37,082
1,058
8,410
816
10,284
1985
51,765
29,198
11,834
92,797
8,997
20,512
4,289
33,798
1990
252,237
57,600
47,653
357,490
97,418
27,016
17,913
142,347
1995
428,614
66,021
107,484
602,119
231,992
40,933
31,941
304,866
2000
641,133
52,690
56,094
749,917
363,628
34,790
22,724
421,142
2001
710,044
55,291
56,114
821,449
476,924
33,905
25,975
536,804
2002
798,628
54,815
60,608
914,051
511,379
34,083
25,693
571,155
2003
861,099
49,913
53,211
964,223
634,877
32,075
31,864
698,816
2004
1,033,252
38,668
19,040
1,090,960
636,783
2,583
52,338
691,704
2005
1,081,102
38,295
47,649
1,167,046
693,701
25,494
29,633
748,828
1980
2006
1,105,654
38,453
Keterangan : PR = Perkebunan Rakyat
47,635
1,191,742
723,992
26,122
29,360
779,474
PBN = Perkebunan Besar Negara PBS = Perkebunan Besar Swasta
Pada Tabel tersebut tampak bahwa perluasan areal perkebunan kakao yang begitu pesat umumnya dilakukan
petani, sehingga perkebunan rakyat telah mendominasi perkebunan kakao Indonesia. Tanaman kakao
ditanam hampir di seluruh pelosok tanah air dengan sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tenggara, Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, Kalimantan Timur, maluku
Utara dan Irian Jaya. Keberhasilan perluasan areal dan peningkatan produksi tersebut telah memberikan hasil
nyata bagi peningkatan pangsa pasar kakao Indonesia di kancah perkakaoan dunia. Indonesia berhasil
menempatkan diri sebagai produsen kakao terbesar kedua dunia setelah Pantai Gading (Cote dlvoire) pada
tahun 2002, walaupun kembali tergeser ke posisi ketiga oleh Ghana pada tahun 2003 (International Cocoa
Organization, 2003). Tergesernya posisi Indonesia tersebut salah satunya disebabkan oleh makin
mengganasnya serangan hama PBK. Pada saat ini teridentifikasi serangan hama PBK sudah mencapai 40% dari
total areal kakao khususnya di sentra utama produksi kakao dengan kerugian sekitar US$ 150 juta per tahun.
Di samping itu rendahnya produktivitas tanaman kakao disebabkan oleh masih dominannya kebun yang
dibangun dengan asalan, terutama perkebunan rakyat dan belum banyaknya adopsi penggunaan tanaman
klonal.
Sementara mengganasnya serangan hama Penggerek Buah Kakao (PBK) antara lain disebabkan oleh belum
ditemukannya klon kakao yang tahan terhadap hama PBK. Pada saat ini teknologi pengendalian hama PBK
sudah diperoleh, tetapi penerapannya masih menghadapi berbagai kendala. Hal ini menjadi tantangan bagi
pelaku bisnis kakao untuk segera mengatasi permasalahan hama PBK.
Guna membantu mengatasi masalah mutu benih kakao, Kementeraian Negara Koperasi dan UKM telah
melaksanakan program bantuan perkuatan bibit kakao kepada masyarakat melalui koperasi. Program ini
dimulai sejak tahun anggaran 2005 di Kabupaten Temanggung Propinsi Jawa Tengah melalui 2 koperasi
sebanyak 2 juta batang bibit kakao, dan dilanjutkan pada tahun anggaran 2006 di Kabupaten Jayapura Propinsi
Papua melalui 7 koperasi sebanyak 1,4 juta batang bibit kakao, Propinsi Jawa Tengah sebanyak 2,64 juta
batang bibit kakao yang tersebar di Kabuapaten Semarang (9 koperasi sebanyak 1.424.025 batang), Kabupaten
Wonogiri (4 koperasi sebanyak 440.000 batang) dan Kabupaten Karanganyar (7 koperasi sebanyak 759.997
batang), Kabupaten Ciamis Propinsi Jawa Barat (2 koperasi sebanyak 500.000 batang) serta Kabupaten Lebak
Propinsi Banten (6 koperasi sebanyak 1.420.005 batang). Selanjutnya pada tahun anggaran 2007 Kementerian
Negara Koperasi dan UKM masih melanjutnya program bantuan perkuatan bibit kakao bermutu di daerah
potensial kakao lainnya sebanyak 5 juta batang yang tersebar di Propinsi Lampung (Kabupaten Lampung),
Propinsi Bengkulu (Kabupaten Kepahiang), Propinsi Sumatera Utara (Kabupaten Tapanuli Tengah dan
Mandailing Natal), Propinsi Jawa Barat (Kabupaten Garut), Provinsi Jawa Tengah (Kabupaten Banjarnegara),
Propinsi Sulawesi Tenggara (kabupaten Konawe Selatan) dan Propinsi Sulawesi Selatan (Kabupaten Luwu).
Di samping itu, Kementerian Negara Koperasi dan UKM telah memberikan bantuan perkuatan kepada koperasi
berupa sarana pengolahan kakao tahun anggaran 2005 yang tersebar di Propinsi Sulawesi Tengah (Kabupaten
Donggala), Propinsi Papua (Kabupaten Jayapura) dan Propinsi Sulawesi Tenggara (Kabupaten Konawe Selatan)
serta pada tahun anggaran 2006 di Propinsi Sulawesi Selatan (Kabupaten Wajo).
Diprogramkan bantuan perkuatan bibit kakao ini dilanjutkan pada tahun-tahun yang akan datang sehingga
pemenuhan bibit kakao bermutu dapat terwujud dan produksi kakao nasional dapat ditingkatkan.
II.
Beberapa sifat (penciri) dari buah dan biji digunakan dasar klasifikasi dalam sistem taksonomi.
Berdasarkan bentuk buahnya, kakao dapat dikelompokkan ke dalam empat populasi
Kakao lindak (bulk) yang telah tersebar luas di daerah tropika adalah anggota subjenis Sphaerocarpum.
Bentuk bijinya lonjong (oval), pipih dan keping bijinya (kotiledon) berwarna ungu gelap. Mutunya
beragam tetapi lebih rendah daripada subjenis cacao. Permukaan kulit buahnya relatif halus karena aluralurnya dangkal. Kulit buah ini tipis tetapi keras (liat). Pertumbuhan tanamannya kuat dan cepat, daya
hasilnya tinggi dan relatif tahan terhadap beberapa jenis hama dan penyakit.
Gambar : Biji Kakao bentuk lonjong, pipih dan keping bijinya ungu gelap
Menurut Wood, G.A.R. (1975), kakao dibagi tiga kelompok besar, yaitu criollo, forastero, dan sebagian
sifat criollo telah disebutkan di atas. Sifat lainnya adalah pertumbuhannya kurang kuat, daya hasil lebih
rendah daripada forastero, relatif gampang terserang hama dan penyakit permukaan kulit buah criollo
kasar, berbenjol-benjol dan alur-alurnya jelas. Kulit ini tebal tetapi lunak sehingga mudah dipecah. Kadar
lemak dalam biji lebih rendah daripada forastero tetapi ukuran bijinya besar, bulat, dan memberikan
citarasa khas yang baik. Lama fermentasi bijinya lebih singkat daripada tipe forastero. Dalam tata niaga
kakao criollo termasuk kelompok kakao mulia (fine flavoured), sementara itu kakao forastero termasuk
kelompok kakao lindak (bulk) kelompok Kakao trinitario merupakan hibrida criollo dengan farastero. Sifat
morfologi dan fisiologinya sangat beragam demikian juga daya dan mutu hasilnya. Dalam tata niaga,
kelompok trinitario dapat masuk ke dalam kakao mulia dan lindak, tergantung pada mutu bijinya.
B. Morfologi Tanaman Kakao
1.
Tanaman kakao bersifat dimorfisme, artinya mempunyai dua bentuk tunas vegetatif. Tunas yang arah
pertumbuhannya ke atas disebut dengan tunas ortotrop atau tunas air (wiwilan atau chupon),
sedangkan tunas yang arah pertumbuhannya ke samping disebut dengan plagiotrop (cabang kipas
atau fan).
Tanaman kakao asal biji, setelah mencapai tinggi 0,9 1,5 meter akan berhenti tumbuh dan
membentuk jorket (jorquette). Jorket adalah tempat percabangan dari pola percabangan ortotrop ke
plagiotrop dan khas hanya pada tanaman kakao. Pembentukan jorket didahului dengan berhentinya
pertumbuhan tunas ortotrop karena ruas-ruasnya tidak memanjang. Pada ujung tunas tersebut,
stipula (semacam sisik pada kuncup bunga) dan kuncup ketiak daun serta tunas daun tidak
berkembang. Dari ujung perhentian tersebut selanjutnya tumbuh 3 - 6 cabang yang arah
pertumbuhannnya condong ke samping membentuk sudut 0 60 dengan arah horisontal. Cabangcabang itu disebut dengan cabang primer (cabang plagiotrop). Pada cabang primer tersebut
kemudian tumbuh cabang-cabang lateral (fan) sehingga tanaman membentuk tajuk yang rimbun.
Saat tumbuhnya jorket tidak berhubungan dengan umur atau tinggi tanaman. Pemakaian pot besar
dilaporkan menuda tumbuhnya jorket, sedangkan pemupukan dengan 140 ppm N dalam bentuk
nitrat mempecepat tumbuhnya jorket. Tanaman kakao akan membentuk jorket setelah memiliki ruas
batang sebanyak 60-70 buah. Namun, batasan tersebut tidak pasti, karena kenyataannya banyak
faktor lingkungan yang berpengaruh dan sukar dikendalikan. Contohnya, kakao yang ditanam dalam
polibag dan mendapat intensitas cahaya 80% akan membentuk jorket lebih pendek daripada
tanaman yang ditanam di kebun. Selain itu, jarak antar daun sangat dekat dan ukuran daunnya lebih
kecil. Terbatasnya medium perakaran merupakan penyebab utama gejala tersebut. Sebaliknya,
tanaman kakao yang ditanam di kebun dengan jarak rapat akan membentuk jorket yang tinggi
sebagai efek dari etiolasi (pertumbuhan batang memanjang akibat kekurangan sinar matahari).
2.
Daun
Sama dengan sifat percabangannya, daun kakao juga bersifat dimorfisme. Pada tunas ortotrop,
tangkai daunnya panjang, yaitu 7,5-10 cm sedangkan pada tunas plagiotrop panjang tangkai daunnya
hanya sekitar 2,5 cm (Hall, 1932). Tangkai daun bentuknya silinder dan bersisik halus, bergantung
pada tipenya.
Salah satu sifat khusus daun kakao yaitu adanya dua persendian (articulation) yang terletak di
pangkal dan ujung tangkai daun. Dengan persendian ini dilaporkan daun mampu membuat gerakan
untuk menyesuaikan dengan arah datangnya sinar matahari.
Bentuk helai daun bulat memanjang (oblongus) ujung daun meruncing (acuminatus) dan pangkal
daun runcing (acutus). Susunan daun tulang menyirip dan tulang daun menonjol ke permukaan
bawah helai daun. Tepi daun rata, daging daun tipis tetapi kuat seperti perkamen. Warna daun
dewasa hijau tua bergantung pada kultivarnya. Panjang daun dewasa 30 cm dan lebarnya 10 cm.
Permukaan daun licin dan mengkilap.
3.
Akar
Kakao adalah tanaman dengan surface root feeder, artinya sebagain besar akar lateralnya (mendatar)
berkembang dekat permukaan tanah, yaitu pada kedalaman tanah (jeluk) 0-30 cm. Menurut Himme
(cit.Smyth, 1960), 56% akar lateral tumbuh pada jeluk 0-10 cm, 26% pada jeluk 11-20 cm, 14% pada
jeluk 21-30 cm, dan hanya 4% tumbuh pada jeluk di atas 30 cm dari permukaan tanah. Jangkauan
jelajah akar lateral dinyatakan jauh di luar proyeksi tajuk. Ujungnya membentuk cabang-cabang kecil
yang susunannya ruwet (intricate).
4.
Bunga
Tanaman kakao bersifat kauliflori. Artinya bunga tumbuh dan berkembang dari bekas ketiak daun
pada batang dan cabang. Tempat tumbuh bunga tersebut semakin lama semakin membesar dan
menebal atau biasa disebut dengan bantalan bunga (cushioll). Bunga kakao mempunyai rumus
K5C5A5+5G (5) artinya, bunga disusun oleh 5 daun kelopak yang bebas satu sama lain, 5 daun
mahkota, 10 tangkai sari yang tersusun dalam 2 lingkaran dan masing-masing terdiri dari 5 tangkai
sari tetapi hanya 1 lingkaran yang fertil, dan 5 daun buah yang bersatu. Bunga kakao berwarna putih,
ungu atau kemerahan. Warna yang kuat terdapat pada benang sari dan daun mahkota. Warna bunga
ini khas untuk setiap kultivar. Tangkai bunga kecil tetapi panjang (1-1,5 cm). Daun mahkota
panjangnya 6-8 mm, terdiri atas dua bagian. Bagian pangkal berbentuk seperti kuku binatang (claw)
dan bisanya terdapat dua garis merah. Bagian ujungnya berupa lembaran tipis, fleksibel, dan
berwarna putih.
Fotosintesis
Habitat asli tanaman kakao adalah hutan tropis basah dan tumbuh di bawah naungan tanaman
hutan. Di dalam teknik budidaya yang baik, sebagian sifat habitat aslinya tersebut masih
dipertahankan, yaitu dengan memberi naungan secukupnya. Ketika tanaman masih muda, intensitas
naungan yang diberikan cukup tinggi, selanjutnya dikurangi secara bertahap seiring dengan semakin
tuanya tanaman atau bergantung pada berbagai faktor tumbuh yang tersedia.
Pada dasarnya kakao adalah tanaman yang suka naungan (shade loving tree), laju fotosintesis
optimnum berlangsung pada intensitas cahaya sekitar 70%. Tanaman penaung berperan sebagai
penyangga (buffer) terhadap pengaruh jelek dari faktor lingkungan yang tidak dalam kondisi optimal,
seperti kesuburan tanah rendah serta musim kemarau yang tegas dan panjang.
2.
Perkembangan Akar
Pada awal perkembangan benih, akar tunggang tumbuh cepat dari panjang 1 cm pada umur satu
minggu, mencapai 16-18 cm pada umur satu bulan, dan 25 cm pada umur tiga bulan. Setelah itu laju
pertumbuhannya menurun dan untuk mencapai panjang 50 cm memerlukan waktu dua tahun.
Kedalaman akar tunggang menembus tanah dipengaruhi keadaan air tanah dan struktur tanah. Pada
tanah yang dalam dan berdrainase baik, akar kakao dewasa mencapai kedalaman 1,0 1,5 m.
Pertumbuhan akar kakao sangat peka pada hambatan, baik berupa batu, lapisan keras, maupun air
tanah. Apabila selama pertumbuhan, akar menjumpai batu, akar tunggang akan membelah diri
menjadi dua dan masing-masing tumbuh geosentris (mengarah ke dalam tanah). Apabila batu yang
dijumpai terlalu besar, sebagian akar lateral mengambil alaih fungsi akar tunggang dengan tumbuh ke
bawah. Apabila permukaan air tanah yang dijumpai, akar tunggang tidak berkembang sama sekali.
3.
Iklim
Sebaran curah hujan lebih berpengaruh terhadap produksi kakao dibandingkan dengan jumlah curah
hujan yang tinggi. Jumlah curah hujan memengaruhi pola pertunasan kakao (flush). Curah hujan yang
tinggi dan sebaran yang tidak merata akan berpengaruh terhadap flush dan berakibat terhadap
produksi kakao.
Pertumbuhan dan produksi kakao banyak ditentukan oleh ketersediaan air sehingga kakao dapat
tumbuh dan berproduksi dengan baik di tempat yang jumlah curah hujannya relatif sedikit tetapi
merata sepanjang tahun.
2.
Sifat biologi tanah belum menjadi pertimbangan dalam melakukan penilaian kesesuaian lahan,
karena hubungannya belum banyak diketahui secara pasti. Secara tidak langsung sifat tersebut
mempengaruhi pertumbuhan tanaman.
Keasaman (pH) tanah yang baik untuk kakao adalah netral atau berkisar 5,6-6,8. Sifat ini khusus
berlaku untuk tanah atas (top soil), sedangkan pada tanah bawah (subsoil) keasaman tanah sebaiknya
netral, agak asam, atau agak basa.
Tanaman kakao membutuhkan tanah berkadar bahan organik tinggi, yaitu di atas 3%. Kadar bahan
organik yang tinggi akan memperbaiki struktur tanah, biologi tanah, kemampuan penyerapan
(absorpsi) hara, dan daya simpan lengas tanah. Tingginya kemampuan absorpsi menandakan bahwa
daya pegang tanah terhadap unsur-unsur hara cukup tinggi dan selanjutnya melepaskannya untuk
diserap akar tanaman. Kakao tumbuh baik pada lahan datar atau kemiringan tanah kurang dari 15%.
Suhu udara harian idealnya sekitar 28C, sehingga semakin tinggi tempat semakin rendah tingkat
kesesuaiannya.
III.
Perbanyakan vegetatif akan menghasilkan tanaman yang secara genetis sama dengan induknya sehingga
akan diperoleh tanaman kakao yang produktivitas serta kualitasnya seragam. Karena itu, penggunaan
bahan tanam vegetatif yang berasal dari klon-klon kakao yang sudah teruji keunggulannya akan lebih
menjamin produktivitas dan kualitas biji kakao yang dihasilkan.
Perbanyakan tanaman kakao secara vegetatif telah lama dilakukan pada tanaman kakao mulia dengan
cara okulasi dan menggunakan bahan tanam beru[pa entres klon-klon unggul dari jenis DR 1, DR 2, dan DR
38. Perbanyakan vegetatif dengan cara okulasi dapat dilakukan pada tanaman kakao lindak dengan
menggunakan bahan tanam berupa entres (kayu okulasi) klon-klon kakao lindak unggul.
C.
Metode Okulasi
Tempelan mata okulasi lazimnya dilakukan pada ketinggian 10-20 cm dari permukaan tanah. Sisi batang
bawah yang dipilih sebaiknya bagian yang terlindung dari kemungkinan kerusakan oleh faktor-faktor luar.
Jika cuaca mendukung keberhasilan okulasi dan kemungkinan penyebab kegagalan sangat kecil sebaiknya
dipilih bagian yang paling rata atau halus. Jika okulasi dilaksanakan di pembibitan dan jarak antar bibit
cukup rapat, lebih tepat jika letak tempelan di sisi yang sama untuk mempermudah pengamatan dan
pemeliharaan.
Metode okulasi cukup beragam. Metode yang digunakan di suatu tempat mungkin berbeda dengan
tempat lain karena disesuaikan dengan iklim, pengalaman dan keterampilan pelaksana, serta hasil yang
diperoleh. Beberapa metode okulasi bisa diuraikan sebagai berikut :
1.
Pemotongan batang bawah yang dilengkungkan ini dilakukan setelah tunas okulasi cukup kuat
dan memiliki paling sedikit delapan lembar daun yang telah berkembang.
2.
3.
Metode T terbalik
Metode ini lazimnya dilakukan jika okulasi dilaksanakan pada musim hujan guna mencegah genangan
air pada mata. Di samping itu metode ini dapat digunakan pada tanaman yang banyak mengandung
getah karena memungkinkan penghentian mengalirnya getah agar tidak mengganggu mata okulasi.
Pelaksanaan metode ini sama dengan metode T. hanya, dalam menyisipkan mata dilakukan dari
bawah ke atas. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah mata okulasi tidak sampai terbalik melawan
polaritas tanaman. Meskipun tunas okulasi terbalik tetap bisa tumbuh pertumbuhan dan
keguanannya kurang menguntungkan.
4.
10
2.
3.
E.
11
tidak meratanya penyebaran faktor tumbuh antar individu tanaman. Memperhatikan faktor penyebab
kompetisi dan untuk menghindari dampak negatif yang ditimbulkannya, pemilihan jenis tanaman yang
diusahakan dalam tumpang sari merupakan langkah awal yang sangat penting.
Pengaturan jarak tanam dalam tumpang sari merupakan hal yang sangat penting karena berkaitan
langsung dengan tingkat tersedianya energi matahari dan sebaran sistem perakaran. Mengingat
konsentrasi perakaran kelapa terletak pada radius 2 m dari pokok pohon, maka jarak minimum tanaman
kakao dari pokok kelapa adalah 3 m. Walaupun akar lateral tanaman kakao tumbuh ke samping sampai
batas tajuk tanaman, tetapi distribusi akar yang terbanyak sampai jarak 90-120 cm dari pokok tanaman.
Thong dan Ng juga menyatakan 89% akar lateral kakao terdapat dalam radius 92 cm dari pokok pohon.
Karena itu jarak kakao ke tanaman kelapa selebar 3 m tersebut dipandang cukup optimal. Selain aspek
dari sistem perakaran, persaingan dalam pengunaan cahaya matahari juga perlu mendapat perhatian
besar. Jarak tanam kelapa monokoltur yang optimum adalah 8 x 8 m (156 pohon/ha) atau 9 x 9 m (123
pohon/ha). Dengan jarak tanam tersebut populasi kelapa dianggap terlalu banyak untuk pola tanam
tumpang sari. Jika tanaman kelapa telah terlanjur ditanam dengan jarak tanam yang normal, pekebun
dapat memotong beberpa pelepahnya untuk mendapatkan intensitas cahaya yang cukup bagi kakao.
Dalam pola tanam tumpang sari, jadwal tanam memegang peranan penting karena melibatkan banyak
tanaman yang menghendaki syarat tumbuh yang berbeda. Karena sifat fisiologis tanaman kakao
menghendaki naungan sebelum ditanam pohon pelindung harus sudah berfungsi baik. Peranan pohon
pelindung (penaung) bagi tanaman kakao muda sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan awal dan
produksi.
Untuk mendapatkan pelindung yang cukup, minimum satu tahun sebelum bibit kakao dipindahkan ke
kebun, bibit kelapa harus ditanam. Lebih baik lagi jika kelapa ditanam 3-4 tahun sebelumnya.
Penanaman kelapa yang lebih awal bertujuan agar pertumbuhan tajuk kelapa tidak mengganggu
pertumbuhan kakao.
Penaung sementara Gliricidia sp ditanam bersamaan dengan tanam kelapa atau satu tahun sebelum
menanam sebelum menanam kakao. Gliricidia sp diperlakukan sebagai tanaman penaung sementara
karena nantinya akan dibongkar setelah tajuk kelapa berfungsi optimal.
Pertumbuhan cabang Gliricedia sp perlu diatur sehingga memberikan perlindungan yang cukup. Pada
umur tiga bulan, cabang Gliricedia sp cukup disisakan 3-4 cabang yang arah pertumbuhannya ke atas.
Setelah bibit kakao ditanam, tanaman penaung Gliricidia sp perlu dikurangi percabangannya setiap tiga
bulan dengan meninggalkan tiga cabang dan menyisakan satu cabang ketika kakao berumur sembilan
bulan. Setelah kakao mulai berbunga (umur 18 bulan) populasi Gliricidia sp dikurangi setengahnya.
Setelah kakao berumur empat tahun, semua Gliricidia sp yang masih tersisa dimusnahkan karena
tanaman kelapa telah berfungsi baik sebagai penaung.
*
*
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
*
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
12
*
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
*
0
*
0
0
0
0
0
0
IV.
PENGOLAHAN KAKAO
Proses pengolahan buah kakao menentukan mutu produk akhir kakao, karena dalam proses ini terjadi
pembentukan calon citarasa khas kakao dan pengurangan citarasa yang tidak dikehendaki, misalnya rasa pahit
dan sepat.
Mengingat pentingnya arti pengolahan terhadap mutu biji kakao kering, maka para produsen hendaknya
mengusahakan agar biji kakaonya diolah dengan baik untuk memperoleh harga yang lebih tinggi dan
memperkuat daya saingnya di pasaran.
Proses pengolahan biji kakao terdiri dari 2 metode :
a. Metode Konvensional
b. Metode Sime Cadbury
Pada prinsipnya kedua metode tersebut tidak terlalu berbeda, tetapi khusus pada kakao lindak dengan
metode konvensional dihasilkan biji kakao yang mempunyai tingkat keasaman lebih tinggi sedangkan citarasa
khas kakao relatif lebih rendah. Untuk mengatasinya disarankan mengolah biji kakao dengan metode Sime
Cadbury dan ini dapat dilaksanakan pada perusahaan besar (PTP dan PBS)
13
PANEN
PANEN
SORTASI
SORTASI
PEMERAMAN
BUAH 5-12 HARI
PEMECAHAN BUAH
PEMECAHAN
FERMENTASI
FERMENTASI
PENCUCIAN
PENGHEMBUSAN
PENUTASAN
PENGHEMBUSAN
PENJEMURAN
SORASI
PENJEMURAN
PENGERINGAN
ALAT/BUATAN
PENYIMPANAN
SORASI
PENYIMPANAN
METODE
KONVENSIONAL
14
A. Pemeraman
Pemeraman buah bertujuan, untuk memperoleh keseragaman kematangan buah dan memudahkan
pengeluaran biji dari buah kakao.
Caranya : buah dimasukkan ke dalam keranjang rotan atau sejenisnya disimpan di tempat yang bersih
dengan alas daun-daunan
daunan dan permukaan tumpukan ditutup dengan daun
daun-daunan.
daunan.
Pemeraman dilakukan di tempat yang teduh lamanya sekitar maksimum 1 minggu.
Gambar : Pemeraman
Pemeraman buah kakao di kebun dengan penutup daun kakao kering
B. Pemecahan Buah
Pemecahan atau pembelahan buh kkao harus dilakukan secara hati-hati,
hati hati, jangan sampai melukai atau
merusak biji kakao.
Caranya :
1. Buah dipecah dengan menggunakan parang pemukul kayu atau memukulkan buah satu sama lainnya;
2. Biji kakao dikeluarkan, sedangkan empulur yang melekat pada biji dibuang;
3. Biji kakao yang sudah dikeluarkan dimasukkan ke dalam ember plastik atau tempat lain yang bersih;
4. Harus dihindarkan kontak biji kakao dengan benda-benda
benda benda logam, karena dapat menyebabkan warna
kakao menjadi kelabu.
15
Gambar : Cara memecahkan buah kakao dengan memukulkan sesama buah kakao
C.
Fermentasi
Tujuan fermentasi adalah :
1. Mematikan lembaga
2. Menghancurkan pulp
3. Menimbulkan aroma (membentuk calon aroma)
4. Memperbaiki warna biji
16
Caranya :
1.
Gambar : Fermentasi biji kakao dengan keranjang bambu yang dilapisi daun untuk wadah fermentasi
kakao
3.
17
Biji kakao dijemur di atas balai bambu dengan ketinggian 1 m dari tanah atau di atas alas
tikar/sesek bambu.
Tebal lapisan/komponen biji 3 cm
Biji kakao dibalik setiap 1-2 jam sekali supaya pengeringan merata.
Lama penjemuran tergantung keadaan cuaca dan tebalnya hamparan biji, biasanya berlangsung
7-10 hari.
Alat pengering yang biasa digunakan adalah rancangan BPP-Bogor (Stasioner dan mobil)
Kapasitas unit pengering stasioner : 25-35 kg biji kakao basah.
Tebal lapisan-lapisan 10-20 cm.
Biji kakao setiap 1-2 jam dibalik supaya pengeringan merata
Lama pengeringan dengan 48 jam dengan suhu 55-60 c.
18
3.
Biji kakao terlebih dahulu dijemur dengan sinar matahari selama dua hari
Kemudian dimasukkan ke dalam alat pengering sampai diperoleh kadar air 7,5%
Melihat kekerasan kulit/keping biji, biji kakao yang sudah kering mudah patah/rapuh apabila
ditekan antara ibu jari dan telunjuk
Menggunakan alat pengukur kadar ai
Sortasi
1.
2.
3.
Sortasi biji kakao kering dimasukkan untuk memisahkan antara biji baik dan cacat yang berupa : biji
pecah, kotoran atau benda asing lainnya (batu, kulit dan daun-daunan)
Sortasi dilakukan setelah 1-2 hari dikeringkan agar kadar air seimbang, sehingga biji tidak terlalu
rapuh dan tidak mudah rusak
Sortasi dilakukan dengan ayakan yang dapat memisahkan biji kakao dari kotoran-kotoran
Biji kakao dikemas dengan baik di dalam wadah bersih dan kuat, biasanya menggunakan karung goni
dan tidak dianjurkan menggunakan karung plastik
Biji kakao jangan disimpan dengan produk pertanian lainnya yang berbau keras, karena biji kakao
dapat menyerap bau-bauan tersebut
Biji kakao jangan disimpan di atas para-para dapur, karena dapat mengakibatkan biji kakao berbau
asap
Biji kakao disimpan dalam ruangan, dengan kelembaban tidak melebihi 75%, ventilasi cukup dan
bersih
Antara lantai dan alas wadah diberi jarak 8 cm dan dari dinding 60 cm
Biji kakao dapat disimpan 3 bulan.
H. Standarisasi
Standar mutu biji kakao disusun sebagai pedoman pengolahan biji kakao pada tingkat petani, sebagai
dasar penetapan harga pada tingkat petani/produsen dan dapat menjamin serta memenuhi kepentingan
produsen, kalangan dagang maupun industri pengguna.
Tabel. Standar Nasional Biji Kakao
(SNI 01 2333 2000)
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
Karakteristik
Jumlah biji/100 gr
Kadar air, % (b/b) maks
Berjamur, % (b/b) maks
Tak terfermentasi, % (b/b) maks
Berserangga, hampa, berkecambah, % (b/b) maks
Biji pecah, % (b/b) maks
Benda asing, % (b/b) maks
Kemasan kg, netto/karung
Mutu I
**
7,5
3
3
3
3
0
62,5
Mutu II
**
7,5
4
8
6
3
0
62,5
**
7,5
4
8
6
3
0
62,5
Keterangan :
** Ukuran biji ditentukan oleh jumlah biji per 100 gr
AA jumlah biji per 100 gram maksimum 85
A jumlah biji per 100 gram maksimum 100
B jumlah biji per 100 gr maksimum 110
C jumlah biji per 100 gram maksimum 120
Sub standar jumlah biji per 100 gram maksimum > 120
19
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 1993, Pengolahan kakao, Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian RI.
Anonimus, 2004, Kakao (theobroma cacao L), Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian
Departemen Pertanian RI.
Anonimous, 2007, Prospek dan Arah Pembangunan Agrisbisnis Kakao, Badan Pengembangan dan Penelitian
Pertanian (Indonesian Agency for Agricultural Research and Development), Departemen Pertanian RI
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2006, Panduan Lengkap Budidaya Kakao (Kiat mengatasi permasalahan
praktis), PT. Agromedia Pustaka.
Sri Mulato dkk, 2005, Pengolahan Produk Primer dan Sekunder Kakao, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia,
Jember.
Tjitrosoepomo, Gembong, 1988, Taksonomi Tumbuhan (Spermathopyta), Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.
Tumpal H.S. Siregar dkk, 2006, Budidaya, Pengolahan dan Pemasaran Coklat, Penebar Swadaya Jakarta.
Wood, G.A.R, 1975, Cocoa Tropical Agriculture Series, 3 Ed, London, Longmans.
20