Soeharto tertolak oleh kultur atau masyarakat. Untuk tetap mempertahkan kekuasaannya
Soeharto menggunakan cara-cara represif pada semua pihak yang melawannya.
Pada masa Orde baru, gaya kepemimpinannya adalah Otoriter/militeristik. Seorang
pemimpinan yang otoriter akan menunjukan sikap yang menonjolkan keakuannya, antara lain
dengan ciri-ciri :
1. Kecendurangan memperlakukan para bawahannya sama dengan alat-alat lain dalam
organisasi, seperti mesin, dan dengan demikian kurang menghargai harkat dan maratabat
mereka.
2. Pengutamaan orientasi terhadap pelaksanaan dan penyelesaian tugas tanpa mengaitkan
pelaksanaan tugas itu dengan kepentingan dan kebutuhan para bawahannya.
3. Pengabaian peranan para bawahan dalam proses pengambilan keputusan.
fleksibelitas dalam melaksanakan tugas dan fungsi kepemimpinannya. Isi pesan-pesan politiknya
dari periode ke periode mengalami pasang-surut. Pada periode awal kepemimpinannya, yakni
selama masa jabatan pertama 1968-1973, dominasi gagasan-gagasan sendiri lebih menonjol
dalam pesan-pesan politik Presiden Soeharto. Namun, pada periode pengamalan dan pematangan
kepemimpinan, yakni selama masa jabatan kedua sampai kelima 1973-1993, dominasi gagasan-
gagasan sendiri semakin menurun, dan kecenderungan ini diimbangi dengan meningkatnya
tanggapan atau respon yang ia berikan terhadap gagasan, ucapan, dan tindakan-tindakan orang
lain. Sedangkan pada periode puncak dan akhir kepemimpinannya, yakni selama masa jabatan
keenam dan ketujuh 1993-1998, isi pesan-pesan politik Presiden Soeharto semakin didominasi
oleh tanggapan atau respon yang ia berikan terhadap gagasan, ucapan, dan tindakan-tindakan
orang lain.
Orientasi pada tugas
Potret Presiden Soeharto cenderung menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang lebih
sering memberikan perhatian sangat umum terhadap lingkup pembangunan nasional. Dalam
setiap periode kekuasaannya, ia digambarkan jarang memberi perhatian khusus pada lingkup
pembangunan lokal saja atau regional saja. Dilihat dari isi pesan-pesan politiknya, pembangunan
yang paling sering dibicarakan oleh Presiden Soeharto adalah pembangunan dalam lingkup
nasional. Pembangunan lokal Daerah Tingkat II Kabupaten / Kotamadya dan pembangunan
regional Daerah Tingkat I Propinsi relatif jarang dibicarakan oleh pemimpin Orde Baru itu.
Surat kabar juga menggambarkan Presiden Soeharto sebagai pemimpin yang memberikan
perhatian pada pembangunan daerah pedesaan dan perkotaan tanpa membedakan diantara
keduanya. Presiden Soeharto jarang membicarakan pembangunan yang orientasinya hanya
daerah perkotaan atau hanya daerah perdesaan. Dalam media massa ia lebih sering ditampilkan
sebagai pemimpin yang membicarakan tentang pembangunan secara keseluruhan, baik daerah
perkotaan maupun daerah perdesaan. Selain itu, ia juga digambarkan sebagai pemimpin yang
memberi perhatian umum terhadap pelaksanaan pembangunan wilayah. Ia jarang digambarkan
sebagai pemimpin yang memberi perhatian khusus pada pembangunan wilayah Barat saja atau
wilayah Timur saja.
Hasil analisis juga menunjukkan, Presiden Soeharto cenderung direpresentasikan sebagai
seorang pemimpin yang lebih mementingkan pembangunan ekonomi dibanding pembangunan
sektor-sektor lainnya. Baik pada periode awal, periode pengamalan dan pematangan, maupun
pada periode puncak dan akhir kepemimpinannya, topik pembangunan yang paling sering
dibicarakan oleh Presiden Soeharto adalah ekonomi. Dari sektor-sektor pembangunan yang
pernah dibicarakannya, dua sektor yang paling sering dibicarakan Presiden Soeharto adalah
sektor Hankam, dan sektor Politik, Aparatur Negara, Penerangan, Komunikasi, dan Media
Massa. Topik yang paling jarang dibicarakan pemimpin tersebut adalah topik pembangunan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK).
pesan, menjelaskan manfaat apabila pesan itu diikuti, atau menjelaskan akibat apabila pesan itu
tidak diikuti. Tujuan komunikasi yang dilakukan Presiden Soeharto tampaknya hanya agar orang
lain menjadi mengetahui, tetapi tidak sampai pada taraf memahami, mencoba, dan memutuskan
untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu.
Kepribadian
Menurut kelompok kami, Presiden Soeharto adalah seorang pemimpin yang sederhana,
tidak suka menonjolkan diri di hadapan orang lain. Ketika berbicara dengan orang lain atau
menyampaikan pesan-pesan kepada bawahan atau orang-orang yang dipimpinnya dalam
berbagai organisasi, ia tidak suka menunjukkan keberhasilan atau jasa-jasa yang dimilikinya.
Apabila ia berusaha menonjolkan diri sendiri, cara yang digunakan Presiden Soeharto
biasanya adalah mengemukakan pengalaman atau jasa-jasa yang pernah diberikannya kepada
bangsa dan negara pada masa lalu. Dalam menyampaikan pesan-pesan kepada bawahan dan
orang-orang yang dipimpinnya, Presiden Soeharto berusaha menunjukkan jasanya yang besar
dalam membela bangsa dan negara Indonesia, berani melawan musuh-musuh negara baik pada
masa perjuangan kemerdekaan maupun pada masa pemberontakan G30S/PKI, dan
keberhasilannya dalam penyelenggaraan pembangunan nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Entman, R.M. & A. Rojecki, The Black Image in the White Mind: Media and Race in
America, Chicago: University of Chicago Press, 2000.
Hendel, Tova, Miri Fish & Vered Galon, Leadership style and choice of strategy in
conflict management among Israeli nurse managers in general hospitals, International
Education Journal, Vol. 4 No. 3, 2003, http://www.iej.cjb.net
Kartono, Kartini. ABRI dan Permasalahannya - Pemikiran Reflektif Peranan ABRI di Era
Pembangunan (Bandung: Mandar Maju, 1996).
Kartono, Kartini. Pemimpin dan Kepemimpinan. Cetakan Kesembilan (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2001).
Khalili. S. Leadership Style and their Applications in the Iranian Management System.
(Tehran: Iran, 1994), hal. 47.
Lewig, K.A. & M.F. Dollard, Social construction of work stress: Australian newsprint
media portrayal of stress at work, 1997-98, Work & Stress, 2001, vol. 15, No. 2, hal. 179-190.
McQuail, Dennis. Teori Komunikasi Massa, Edisi Kedua (Jakarta: Erlangga, 1996).
Ministry of Health of New Zealand, Suicide and the Media The reporting and portrayal
of suicide in the media. 1999. http://www.moh.govt.nz
Pingree, S., R. Hawkins, M. Butler & W. Paisley, A scale of sexism, Journal of
Communication, 24, hal. 193-200; R. Kolbe & P. Albanese, Man to man: a content analysis of
sole-male images in male audience magazines, Journal of Advertising, 25 (4), hal. 1-20.
Rasidi, Zaim. Soeharto Menjaring Matahari ( Bandung: Mizan, 1998).