Anda di halaman 1dari 8

TIPE KEPRIBADIAN SOEHARTO

Gaya Kepemimpinan Soeharto


Diawali dengan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun 1966 kepada
Letnan Jenderal Soeharto, maka Era Orde Lama berakhir diganti dengan pemerintahan Era Orde
Baru. Pada awalnya sifat-sifat kepemimpinan yang baik dan menonjol dari Presiden Soeharto
adalah kesederhanaan, keberanian dan kemampuan dalam mengambil inisiatif dan keputusan,
tahan menderita dengan kualitas mental yang sanggup menghadapi bahaya serta konsisten
dengan segala keputusan yang ditetapkan.
Gaya Kepemimpinan Presiden Soeharto merupakan gabungan dari gaya kepemimpinan
Proaktif-Ekstraktif dengan Adaptif-Antisipatif, yaitu gaya kepemimpinan yang mampu
menangkap peluang dan melihat tantangan sebagai sesuatu yang berdampak positif serta
mempunyal visi yang jauh ke depan dan sadar akan perlunya langkah-langkah penyesuaian.
Tahun-tahun pemerintahan Suharto diwarnai dengan praktik otoritarian di mana tentara
memiliki peran dominan di dalamnya. Kebijakan dwifungsi ABRI memberikan kesempatan
kepada militer untuk berperan dalam bidang politik di samping perannya sebagai alat pertahanan
negara. Demokrasi telah ditindas selama hampir lebih dari 30 tahun dengan mengatasnamakan
kepentingan keamanan dalam negeri dengan cara pembatasan jumlah partai politik, penerapan
sensor dan penahanan lawan-lawan politik. Sejumlah besar kursi pada dua lembaga perwakilan
rakyat di Indonesia diberikan kepada militer, dan semua tentara serta pegawai negeri hanya dapat
memberikan suara kepada satu partai penguasa Golkar.
Bila melihat dari penjelasan singkat di atas maka jelas sekali terlihat bahwa mantan
Presiden Soeharto memiliki gaya kepemimpinan yang otoriter, dominan, dan sentralistis.
Sebenarnya gaya kepemimpinan otoriter yang dimiliki oleh Almarhum merupakan suatu gaya
kepemimpinan yang tepat pada masa awal terpilihnya Soeharto sebagai Presiden Republik
Indonesia. Hal ini dikarenakan pada masa itu tingkat pergolakan dan situasi yang selalu tidak
menentu dan juga tingkat pendidikan di Indonesia masih sangat rendah. Namun, dirasa pada
awal tahun 1980-an dirasa cara memimpin Soeharto yang bersifat otoriter ini kurang tepat,
karena keadaan yang terjadi di Indonesia sudah banyak berubah. Masyarakat semakin cerdas dan
semakin paham tentang hakikat negara demokratis. Dengan sendirinya model kepemimpinan

Soeharto tertolak oleh kultur atau masyarakat. Untuk tetap mempertahkan kekuasaannya
Soeharto menggunakan cara-cara represif pada semua pihak yang melawannya.
Pada masa Orde baru, gaya kepemimpinannya adalah Otoriter/militeristik. Seorang
pemimpinan yang otoriter akan menunjukan sikap yang menonjolkan keakuannya, antara lain
dengan ciri-ciri :
1. Kecendurangan memperlakukan para bawahannya sama dengan alat-alat lain dalam
organisasi, seperti mesin, dan dengan demikian kurang menghargai harkat dan maratabat
mereka.
2. Pengutamaan orientasi terhadap pelaksanaan dan penyelesaian tugas tanpa mengaitkan
pelaksanaan tugas itu dengan kepentingan dan kebutuhan para bawahannya.
3. Pengabaian peranan para bawahan dalam proses pengambilan keputusan.

Status kepemimpinan dan kekuasaan


Presiden Soeharto digambarkan sebagai seorang Kepala Negara dibanding sebagai
pemimpinan organisasi lainnya. Di media ia hampir tidak pernah ditampilkan sebagai seorang
individu atau pribadi. Kecenderungan ini secara jelas terlihat dari frekuensi kemunculan berita
yang menunjukkan status Presiden Soeharto ketika menyampaikan pesan-pesan politik adalah
sebagai Kepala Negara.
Presiden Soeharto cenderung digambarkan sebagai seorang pemimpin yang menjadi pusat
kekuasaan pemerintah dan negara. Media cenderung menggambarkan Presiden Soeharto sebagai
pemimpin yang lebih suka berada di lokasi pusat kekuasaan, di Jakarta sebagai ibukota negara.
Meskipun ia sering melakukan perjalanan dinas dan pribadi/keluarga, baik di dalam maupun di
luar negeri, media lebih sering menyajikan liputan tentang aktivitas komunikasi yang dilakukan
Presiden Soeharto di Jakarta.
Penggambaran media yang demikian diperkuat dengan penggambaran bahwa ketika di
Jakarta Presiden Soeharto lebih sering berada di Istana Negara atau Istana Merdeka dibanding
tempat-tempat lainnya yang dapat berfungsi sebagai simbol kekuasaan dirinya sebagai pemimpin
tertinggi dalam organisasi pemerintahan, negara, dan organisasi-organisasi lainnya. Bahkan, ia
juga digambarkan sebagai pemimpin yang lebih sering berada di Istana dibanding di Bina
Graha, kantor atau tempat ia biasanya bekerja.

Orientasi pada hubungan


Dilihat dari orientasinya pada pemeliharaan hubungan, Presiden Soeharto cenderung
ditampilkan sebagai seorang pemimpin yang otoriter, atau dalam istilah Likert (1961) disebut
exploitative-authoritative, kurang demokratis. Hasil analisis menunjukkan, dari periode ke
periode berita yang beredar menunjukkan isi pesan Presiden Soeharto berfungsi menghibur,
memberikan dorongan dan bimbingan serta mengundang kritik konstruktif sebagaimana
umumnya pemimpin yang demokratis jumlahnya relatif kecil.
Kecuali pada periode awal kekuasaannya, Presiden Soeharto dalam berita suratkabar juga
cenderung ditampilkan sebagai pemimpin yang mengutamakan hubungan dengan lembaga
pemerintah yang dipimpinnya dibanding dengan lembaga-lembaga politik lainnya. Beliau lebih
sering menyampaikan pesan-pesan politik kepada para pejabat pemerintah, seperti menteri,
gubernur, bupati, walikota, dan pegawai negeri, dibanding kepada ketua dan anggota DPR /
MPR, ketua MA, Hakim Agung, pimpinan dan anggota ABRI, ketua dan anggota Parpol, serta
pimpinan dan wartawan media massa. Proporsi berita yang menunjukkan Presiden Soeharto
menyampaikan pesan-pesan kepada masyarakat (termasuk para tokoh dan kalangan perguruan
tinggi), dan kepada mereka yang duduk di lembaga eksekutif lebih besar dibanding proporsi
berita yang menunjukkan ia menyampaikan pesan-pesan kepada pihak lainnya.
Presiden Soeharto juga cenderung ditampilkan sebagai seorang pemimpin yang lebih
reaktif dibanding proaktif. Ia lebih sering memberikan tanggapan atau respon terhadap
pernyataan orang lain dibanding menunjukkan gagasan/pemikirannya sendiri. Pesan-pesan
verbal sebagaimana tercakup dalam ucapan atau pernyataan yang disampaikan Presiden Soeharto
kepada berbagai pihak lebih banyak berisi tanggapan dirinya terhadap pertanyaan, opini, sikap,
dan perilaku para pejabat dan masyarakat yang dipimpinnya
Selain itu juga

Presiden Soeharto digambarkan sebagai pemimpin yang memiliki

fleksibelitas dalam melaksanakan tugas dan fungsi kepemimpinannya. Isi pesan-pesan politiknya
dari periode ke periode mengalami pasang-surut. Pada periode awal kepemimpinannya, yakni
selama masa jabatan pertama 1968-1973, dominasi gagasan-gagasan sendiri lebih menonjol
dalam pesan-pesan politik Presiden Soeharto. Namun, pada periode pengamalan dan pematangan
kepemimpinan, yakni selama masa jabatan kedua sampai kelima 1973-1993, dominasi gagasan-

gagasan sendiri semakin menurun, dan kecenderungan ini diimbangi dengan meningkatnya
tanggapan atau respon yang ia berikan terhadap gagasan, ucapan, dan tindakan-tindakan orang
lain. Sedangkan pada periode puncak dan akhir kepemimpinannya, yakni selama masa jabatan
keenam dan ketujuh 1993-1998, isi pesan-pesan politik Presiden Soeharto semakin didominasi
oleh tanggapan atau respon yang ia berikan terhadap gagasan, ucapan, dan tindakan-tindakan
orang lain.
Orientasi pada tugas
Potret Presiden Soeharto cenderung menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang lebih
sering memberikan perhatian sangat umum terhadap lingkup pembangunan nasional. Dalam
setiap periode kekuasaannya, ia digambarkan jarang memberi perhatian khusus pada lingkup
pembangunan lokal saja atau regional saja. Dilihat dari isi pesan-pesan politiknya, pembangunan
yang paling sering dibicarakan oleh Presiden Soeharto adalah pembangunan dalam lingkup
nasional. Pembangunan lokal Daerah Tingkat II Kabupaten / Kotamadya dan pembangunan
regional Daerah Tingkat I Propinsi relatif jarang dibicarakan oleh pemimpin Orde Baru itu.
Surat kabar juga menggambarkan Presiden Soeharto sebagai pemimpin yang memberikan
perhatian pada pembangunan daerah pedesaan dan perkotaan tanpa membedakan diantara
keduanya. Presiden Soeharto jarang membicarakan pembangunan yang orientasinya hanya
daerah perkotaan atau hanya daerah perdesaan. Dalam media massa ia lebih sering ditampilkan
sebagai pemimpin yang membicarakan tentang pembangunan secara keseluruhan, baik daerah
perkotaan maupun daerah perdesaan. Selain itu, ia juga digambarkan sebagai pemimpin yang
memberi perhatian umum terhadap pelaksanaan pembangunan wilayah. Ia jarang digambarkan
sebagai pemimpin yang memberi perhatian khusus pada pembangunan wilayah Barat saja atau
wilayah Timur saja.
Hasil analisis juga menunjukkan, Presiden Soeharto cenderung direpresentasikan sebagai
seorang pemimpin yang lebih mementingkan pembangunan ekonomi dibanding pembangunan
sektor-sektor lainnya. Baik pada periode awal, periode pengamalan dan pematangan, maupun
pada periode puncak dan akhir kepemimpinannya, topik pembangunan yang paling sering
dibicarakan oleh Presiden Soeharto adalah ekonomi. Dari sektor-sektor pembangunan yang
pernah dibicarakannya, dua sektor yang paling sering dibicarakan Presiden Soeharto adalah

sektor Hankam, dan sektor Politik, Aparatur Negara, Penerangan, Komunikasi, dan Media
Massa. Topik yang paling jarang dibicarakan pemimpin tersebut adalah topik pembangunan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK).

Cara mempengaruhi orang lain


Presiden Soeharto digambarkan sebagai seorang pemimpin yang otoriter, yang menerapkan
gaya kepemimpinan coercive, yang selalu menginginkan agar perintah dan instruksinya
dipatuhi orang lain dengan segera. Dalam berita surat kabar Presiden Soeharto cenderung
ditampilkan lebih mementingkan keselamatan dan kelangsungan pembangunan nasional.
Demikian pentingnya hal itu sehingga bagian besar perintah dan instruksi yang disampaikan
Presiden Soeharto kepada orang lain berisi permintaan agar keselamatan dan kelangsungan
pembangunan nasional selalu diprioritaskan.
Selain itu, alasan yang juga sering dijadikan landasan argumentasi Presiden Soeharto
ketika meminta orang lain untuk mematuhi pesan-pesannya adalah perlunya memelihara
persatuan dan kesatuan bangsa, upaya mempertahankan stabilitas politik, upaya menciptakan
masyarakat adil dan makmur, upaya membangun kehidupan demokrasi, dan upaya lainnya.
Ketika ia meminta orang lain agar mau mematuhi pesan-pesannya, Presiden Soeharto
biasanya memilih kata-kata atau kalimat tertentu. Ia lebih sering menggunakan kata-kata atau
kalimat netral dibanding membujuk (persuasive) atau memerintah (instructive atau
coercive). Kesan yang dapat ditimbulkan dari cara menyampaikan perintah atau instruksi yang
demikian adalah bahwa pada akhirnya perintah atau instruksi Presiden Soeharto diserahkan
kepada masing-masing orang untuk menentukan sikap; apakah mematuhi atau tidak mematuhi
pesan-pesan itu.
Meskipun demikian, penjelasan yang disampaikan Presiden Soeharto umumnya hanya
berupa penjelasan tentang arti kata / istilah, ungkapan, dan kalimat-kalimat yang diucapkannya.
Ia jarang sekali memberikan penjelasan yang bersifat mendorong penggunaan logika agar orang
lain secara sadar dan sukarela mau menerima pesan-pesan yang disampaikannya. Kepada orangorang yang menjadi sasaran pesan-pesannya, ia jarang memberikan contoh-contoh penerapan

pesan, menjelaskan manfaat apabila pesan itu diikuti, atau menjelaskan akibat apabila pesan itu
tidak diikuti. Tujuan komunikasi yang dilakukan Presiden Soeharto tampaknya hanya agar orang
lain menjadi mengetahui, tetapi tidak sampai pada taraf memahami, mencoba, dan memutuskan
untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu.
Kepribadian
Menurut kelompok kami, Presiden Soeharto adalah seorang pemimpin yang sederhana,
tidak suka menonjolkan diri di hadapan orang lain. Ketika berbicara dengan orang lain atau
menyampaikan pesan-pesan kepada bawahan atau orang-orang yang dipimpinnya dalam
berbagai organisasi, ia tidak suka menunjukkan keberhasilan atau jasa-jasa yang dimilikinya.
Apabila ia berusaha menonjolkan diri sendiri, cara yang digunakan Presiden Soeharto
biasanya adalah mengemukakan pengalaman atau jasa-jasa yang pernah diberikannya kepada
bangsa dan negara pada masa lalu. Dalam menyampaikan pesan-pesan kepada bawahan dan
orang-orang yang dipimpinnya, Presiden Soeharto berusaha menunjukkan jasanya yang besar
dalam membela bangsa dan negara Indonesia, berani melawan musuh-musuh negara baik pada
masa perjuangan kemerdekaan maupun pada masa pemberontakan G30S/PKI, dan
keberhasilannya dalam penyelenggaraan pembangunan nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Entman, R.M. & A. Rojecki, The Black Image in the White Mind: Media and Race in
America, Chicago: University of Chicago Press, 2000.
Hendel, Tova, Miri Fish & Vered Galon, Leadership style and choice of strategy in
conflict management among Israeli nurse managers in general hospitals, International
Education Journal, Vol. 4 No. 3, 2003, http://www.iej.cjb.net
Kartono, Kartini. ABRI dan Permasalahannya - Pemikiran Reflektif Peranan ABRI di Era
Pembangunan (Bandung: Mandar Maju, 1996).
Kartono, Kartini. Pemimpin dan Kepemimpinan. Cetakan Kesembilan (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2001).
Khalili. S. Leadership Style and their Applications in the Iranian Management System.
(Tehran: Iran, 1994), hal. 47.
Lewig, K.A. & M.F. Dollard, Social construction of work stress: Australian newsprint
media portrayal of stress at work, 1997-98, Work & Stress, 2001, vol. 15, No. 2, hal. 179-190.
McQuail, Dennis. Teori Komunikasi Massa, Edisi Kedua (Jakarta: Erlangga, 1996).
Ministry of Health of New Zealand, Suicide and the Media The reporting and portrayal
of suicide in the media. 1999. http://www.moh.govt.nz
Pingree, S., R. Hawkins, M. Butler & W. Paisley, A scale of sexism, Journal of
Communication, 24, hal. 193-200; R. Kolbe & P. Albanese, Man to man: a content analysis of
sole-male images in male audience magazines, Journal of Advertising, 25 (4), hal. 1-20.
Rasidi, Zaim. Soeharto Menjaring Matahari ( Bandung: Mizan, 1998).

Anda mungkin juga menyukai