Rakyat Surabaya tidak takut dengan gempuran Sekutu. Bung Tomo memimpin rakyat dengan
berpidato membangkitkan semangat lewat radio. Pertempuran berlangsung selama tiga
minggu. Akibat pertempuran tersebut 6.000 rakyat Surabaya gugur. Pengaruh pertempuran
Surabaya berdampak luas di kalangan internasional, bahkan masuk dalam agenda sidang
Dewan Keamanan PBB tanggal 7-13 Februari 1946.
2. Pertempuran Ambarawa
Pada tanggal 9 Oktober 1945 tentara Inggris yang diboncengi oleh NICA
mendarat di Medan. Mereka dipimpin oleh Brigjen T.E.D Kelly. Awalnya
mereka diterima secara baik oleh pemerintah RI di Sumatra Utara sehubungan
dengan tugasnya untuk membebaskan tawanan perang (tentara Belanda).
Sebuah insiden terjadi di hotel Jalan Bali, Medan pada tanggal 13 Oktober
1945. Saat itu seorang penghuni hotel (pasukan NICA) merampas dan
menginjak-injak lencana Merah Putih yang dipakai pemuda Indonesia. Hal ini
mengundang kemarahan para pemuda. Akibatnya terjadi perusakan dan
penyerangan terhadap hotel yang banyak dihuni pasukan NICA. Pada tanggal 1
Desember 1945, pihak Sekutu memasang papan-papan yang bertuliskan Fixed
Boundaries Medan Area di berbagai sudut kota Medan. Sejak saat itulah Medan
Area menjadi terkenal. Pasukan Inggris dan NICA mengadakan pembersihan
terhadap unsur Republik yang berada di kota Medan.
Hal ini jelas menimbulkan reaksi para pemuda dan TKR untuk melawan
kekuatan asing yang mencoba berkuasa kembali. Pada tanggal 10 Agustus 1946
di Tebingtinggi diadakan pertemuan antara komandan-komandan pasukan yang
berjuang di Medan Area. Pertemuan tersebut memutuskan dibentuknya satu
komando yang bernama Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area.
Terjadinya peristiwa Bandung Lautan Api diawali dari datangnya Sekutu pada
bulan Oktober 1945. Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh ultimatum Sekutu untuk
mengosongkan kota Bandung. Pada tanggal 21 November 1945, Sekutu
mengeluarkan ultimatum pertama isinya kota Bandung bagian Utara selambat-
Dalam agresi militer II, Belanda berhasil menangkap para pemimpin politik dan
menduduki ibukota RI di Yogyakarta. Belanda ingin menunjukkan kepada
dunia bahwa pemerintahan RI telah dihancurkan dan TNI tidak memiliki
kekuatan lagi. Menghadapi tindakan Belanda tersebut, TNI menyusun kekuatan
untuk melawan Belanda. Puncak serangan TNI adalah serangan umum terhadap
kota Yogyakarta pada tanggal 1 Maret 1949, yang dipimpin oleh Letkol
Soeharto. Sebelumnya, Letkol Soeharto mengadakan koordinasi terlebih dahulu
dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX selaku Kepala Daerah Istimewa
Yogyakarta. Dalam serangan ini, TNI memakai sistem wehrkreise.
Untuk memudahkan penyerangan, maka dibentuk beberapa sektor yaitu:
a. sektor Barat dipimpin oleh Mayor Ventje Sumual,
b. sektor Selatan dan Timur dipimpin oleh Mayor Sardjono,
c. sektor Utara dipimpin oleh Mayor Kusno,
d. sektor Kota dipimpin oleh Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki.
Pada malam hari menjelang serangan umum, pasukan-pasukan telah merayap
mendekati kota dan melakukan penyusupan-penyusupan. Pagi hari tanggal 1
Maret 1949 sekitar pukul 06.00 WIB tepat sirene berbunyi, serangan
dilancarkan dari segala penjuru kota. Letkol Soeharto langsung memimpin
penyerangan dari sektor Barat sampai batas Jalan Malioboro. Rakyat membantu
memperlancar jalannya penyerangan dengan memberikan bantuan logistik.
Dalam waktu enam jam kota Yogyakarta berhasil dikuasai TNI. Pada pukul
12.00 WIB tepat, pasukan TNI mengundurkan diri. Hal ini sesuai dengan
rencana yang ditentukan sejak awal. Bersamaan dengan itu bantuan Belanda
tiba dengan kendaraan lapis baja serta pesawat terbang. Belanda melakukan
serangan balasan.
7. Perundingan Linggarjati
Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melancarkan aksi polisionil yang dikenal
dengan agresi militer I. Tujuannya adalah untuk menguasai sarana-sarana vital
di Jawa dan Madura. Jadi tujuan serangan ini bersifat ekonomis. Pasukan
Belanda bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat, dan
dari Surabaya untuk menduduki Madura. Berbagai reaksi bermunculan akibat
agresi militer I. Belanda tidak menyangka apabila Amerika Serikat dan Inggris
memberikan reaksi yang negatif. Australia dan India mengajukan masalah
Indonesia ini ke Dewan Keamanan PBB. Pada tanggal 4 Agustus 1947, PBB
mengeluarkan perintah penghentian tembak menembak. Untuk mengawasi
gencatan senjata, PBB membentuk Komisi Tiga Negara (KTN). Anggota KTN
ada tiga negara yaitu:
a. Belgia (dipilih oleh Belanda) dipimpin oleh Paul van Zeeland;
b. Australia (dipilih oleh Indonesia) dipimpin oleh Richard Kirby; dan
c. Amerika Serikat (dipilih oleh Indonesia dan Belanda) dipimpin Dr. Frank
Graham.
Tugas utama KTN adalah mengawasi secara langsung penghentian tembak-
Terjadinya Agresi Militer Belanda menimbulkan reaksi yang cukup keras dari
Amerika Serikat dan Inggris, bahkan PBB. Hal ini tidak lepas dari kemampuan
pada diplomat Indonesia dalam memperjuangkan dan menjelaskan realita di
PBB. Salah satunya adalah L.N. Palar. Sebagai reaksi dari Agresi Militer
Belanda, PBB memperluas kewenangan KTN. Komisi Tiga Negara diubah
menjadi UNCI. UNCI kependekan dari United Nations Commission for
Indonesia. UNCI dipimpin oleh Merle Cochran (Amerika Serikat) dibantu
Critchley (Australia) dan Harremans (Belgia). Hasil kerja UNCI di antaranya
mengadakan Perjanjian Roem-Royen antara Indonesia Belanda. Perjanjian
Roem-Royen diadakan tanggal 14 April 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta.
Sebagai wakil dari PBB adalah Merle Cochran (Amerika Serikat), delegasi
Republik Indonesia dipimpin oleh Mr. Moh. Roem, sedangkan delegasi Belanda
dipimpin oleh van Royen. Dalam perundingan Roem-Royen, masing-masing
pihak mengajukan statement. Lihat tabel 3.1