Anda di halaman 1dari 13

Strategi Mencegah Kejatuhan Rupiah ke Level 25.

000 per USD


oleh Sando Sasako
Economics and Business Intelligent Advisor
Advanced Advocacy Plus
Jakarta, 4:43 AM 2013-08-21
Last update 5:04 AM 2013-08-30
Abstrak
Tulisan ini dibuat untuk mendapatkan gambaran dan latar belakang yang mendasari tekanan bertubitubi terhadap rupiah dan pasar saham di Indonesia belakangan ini. Rupiah dan saham yang
mengalami penurunan nilai bisa diartikan karena lebih banyaknya penjualan daripada permintaan.
Rupiah dan pasar saham Indonesia seperti sedang mengalami fire sale.
Beberapa waktu yang lalu, Indonesia pernah melakukan represi finansil yang terkenal dengan
sebutan Gebrakan Sumarlin. BUMN di bidang keuangan dipaksa untuk membeli rupiah, surat utang
negara, dan saham-saham BUMN lainnya yang sudah go public. Dewasa ini, represi finansil tetap
dilakukan dengan nada yang dihaluskan, yakni dianjurkan.
Represi finansil mungkin bisa berhasil dalam jangka pendek. Dalam jangka menengah dan panjang,
kebijakan tersebut sering tidak efektif dan tidak efisien. Pondasi dan fundamental ekonomi Indonesia
tidak begitu kokoh. Sejak Mei 2012, utang luar negeri pihak swasta saja sudah melebihi cadangan
devisa.
Kondisi ini diperburuk oleh utang luar negeri pemerintah (dan Bank Indonesia) yang selalu lebih besar
dari jumlah cadangan devisa. Utang luar negeri pemerintah mungkin tidak sekaku utang swasta
dalam artian pemerintah memiliki bargaining power dan menerapkan mekanisme tersendiri dalam
melakukan restrukturisasi utang. Mekanisme yang dimaksud adalah Paris Club dan London Club.
Dalam jangka menengah dan panjang, pemerintah sebenarnya bisa memaksa pelaku ekonomi untuk
lebih terbuka dalam manajemen utang. Dalam rangka contingency, pemerintah seharusnya bisa
memaksa pelaku ekonomi untuk bertransaksi melalui bank untuk jumlah yang signifikan. Beberapa
tujuan positifnya mencakup pengenaan pajak transaksi dan mendeteksi praktek pencucian uang.
JEL Classification No. E42, E44, E52, E58, F31, F32, F34, H63, G01
Keywords:
financial repression, capital control, currency control, foreign exchange policy, foreign
currency management, debt management, export revenue management, import
payment management
References and Raw Data on Graphics are available on request to
sandosako@yahoo.com
+62.812.8056.516

Pengantar
Berbagai media internasional semakin mengkhawatirkan kondisi pasar dan intrumen finansil
Indonesia yang semakin terjerembab. Hanya dalam waktu 3 bulan, per 29 Agustus 2013, indeks
harga saham gabungan di bursa efek indonesia turun lebih dari 20% ke tingkat 4.103,59 dari level
tertingginya sebesar 5.145,8 per 17 Mei 2013.
Sementara itu, derivatif rupiah dalam bentuk one-month non-deliverable forwards (NDF) pada 28
Agustus 2013 pagi ditransaksikan pada tingkat 11.597 per dollar AS. Harga tersebut adalah yang
terendah dalam 4 tahun terakhir. Sementara kurs tengah Bank Indonesia pada 29 Agustus 2013 sore,
rupiah ditransaksikan pada tingkat 10.936 per dollar AS.
Tekanan jual terhadap rupiah dan saham-saham Indonesia dipicu oleh semakin anjloknya cadangan
devisa yang dimiliki pemerintah. Di bulan Agustus 2011, cadangan devisa Indonesia adalah yang
terbesar, yakni US$ 124,5 milyar. Dalam 2 tahun, di akhir Juli 2013, cadangan devisa sudah anjlok
lebih dari 25% menjadi hanya US$ 92,67 milyar, atau berkurang sebanyak US$ 31,83 milyar. Data ini
diperburuk oleh semakin tingginya prediksi nilai impor dibandingkan hasil ekspor Indonesia pada
akhir tahun 2013.

Pengulangan Flights to Safety and Quality


Fenomena flights to safety and quality membuat dollar AS kembali pulang kandang. Pasar saham AS
mendapat limpahan trilyunan dollar AS dan membuat indeks Dow Jones mencetak rekor tertingginya

Sando Sasako

dari waktu ke waktu di sepanjang tahun ini. Per 2 Agustus 2013, indeks Dow 30 sempat menyentuh
level 15.658,43 untuk ditutup di level 15.658,36.
Tanggal 5 Maret merupakan awal pembuatan rekor tertinggi DJIA di tahun 2013. Limpahan dana
sekitar US$ 10 trilyun mampu mengerek Dow Jones di tutup ke level 14.253,77. Terhitung 9 Oktober
2007, Dow Jones membutuhkan waktu 65 bulan untuk bisa pulih dari rekor tertinggi sebelumnya,
yakni 14.164,53.
Di sisi lain, secara kebetulan, Hugo Chvez wafat pada hari yang sama, 5 Maret 2013. Ekonomi
Venezuela yang masih tersandera akibat oil glut di tahun 1980-an ditambah hilangnya figur kuat
selama 15 tahun terakhir membuat mata uangnya harus didevaluasi sebesar 46,5% per 19 Maret
2013 dari 4,30/USD menjadi 6,30/USD untuk transaksi penjualan dan dari 4,29/USD menjadi
6,28/USD untuk transaksi pembelian.
Selain devaluasi, Venezuela juga menyempurnakan berbagai mekanisme dalam rangka currency
control. Beberapa nama institusi dan/atau mekanisme pengendalian mata uang VEF (Venezuelan
bolivar fuerte) seperti CADIVI, SITME, SICAD, dan lainnya bersifat independent dari bank sentral
Venezuela.

Euro Siprus yang Diobral


Di belahan dunia yang lain, di bulan yang sama, Maret 2013, euro Siprus juga mengalami tekanan
jual yang hebat menyusul rong-rongan Laiki, bank terbesar kedua di Siprus, yang meminta kucuran
kredit likuiditas setiap 2 minggu akibat tingginya kepemilikan obligasi Yunani dan surat utang
pemerintah Siprus. Selama 2 minggu pertama di bulan Maret 2013, Laiki harus menanggung
kerugian 550 juta.
Kesepakatan bailout senilai 10 milyar (US$13 milyar) dibuat dalam rangka menjaga aset Laiki tidak
diobral dan bisa membangkrutkan pemerintah dan negara Siprus. Dana bailout digunakan untuk
menutup kerugian sebesar 7,4 milyar selama Juni 2012 sampai Juni 2015 dan sekitar 2,8 milyar
untuk merekapitalisasi divisi yang masih menguntungkan sebelum dijual.
Divisi yang masih menguntungkan dari Laiki akan dijual ke Bank of Cyprus, sementara divisi yang
merugikan akan ditutup. Kredit macet dan simpanan yang tidak dijamin akan ditempatkan di divisi
yang merugikan dan dilikuidasi sepanjang waktu. CPB, kantor cabang Laiki di Yunani, dijual ke
Piraeus Bank. Sebelumnya, CPB direkapitalisasi pemerintah Siprus pada akhir Juni 2012 dengan
kepemilikan saham sebesar 84%.
Kerugian terbesar Laiki sebenarnya berasal dari aksi mengobral surat utangnya dalam euro Siprus
dengan diskon sebesar 9% ke Serbia dan Ukraina dan sebagian dari 2 milyar ke Yunani. Diskon
dinaikkan ke angka 15% sejak awal 2013. Akibatnya, Laiki berniat menggadaikan 20 milyar asetnya
dalam rangka mendapatkan likuiditas dari bank sentral sebesar 9,95 milyar.

Euro Siprus yang Dikarantina


Seperti halnya implementasi kebijakan too big to fail, kebijakan penyelamatan bank terbesar sarat
dengan moral hazard. Pada akhir Mei 2013, bank sentral Siprus membekukan aset 3 orang Yunani
mantan petinggi Laiki senilai 5,3 milyar. Ketiga orang tersebut adalah Andreas Vgenopoulos
(mantan preskom), Efthimios Bouloutas (mantan presdir), dan Kyriakos Magiras (kadiv wholesale
banking).
Tidak itu saja, simpanan diatas 100.000 di dua bank tersebut yang tidak dijamin pemerintah juga
dibekukan dan akan digunakan untuk membiayai utang Laiki dan merekapitalisasi Bank of Cyprus
melalui pengkonversian deposit ke saham. Pembekuan aset ini yang bernilai 4,2 milyar diharapkan
bisa membiayai sebagian dana bailout yang harus digalang pemerintah Siprus sebesar 5,8 milyar.
Dalam rangka menghindari bank run di kedua bank tersebut, bank sentral Siprus membatasi
penarikan tunai dari ATM maksimal sebesar 100 per hari. Dua bank terbesar Siprus, Bank of Cyprus

Strategi Mencegah Kejatuhan Rupiah ke Level 25.000 per USD

dan Laiki, yang bermasalah memiliki aset dalam bentuk deposito senilai 68 milyar, termasuk
didalamnya 38 milyar rekening dengan nilai simpanan lebih dari 100.000. Jumlah tersebut
merupakan hal yang fantastis bagi suatu negara berpenduduk 860.000 jiwa.

Perlunya Kebijakan Capital Control


Dengan beban utang valas (external debts) swasta sebesar US$ 134 milyar per Juni 2013 dan
cadangan devisa yang turun menjadi US$ 92,7 milyar per Juli 2013, tekanan terhadap rupiah menjadi
berlipat ganda. Terutama ketika utang valas tersebut jatuh tempo. Bila negara tidak mampu
menyediakan valas yang dibutuhkan, negara tersebut bisa dinyatakan bangkrut secara ekonomi.
Utang valas tidak menjadi masalah bila semuanya berjalan lancar. Beberapa kondisi yang dimaksud
adalah adanya kelancaran pada sistem pembayaran, sistem perbankan, sistem finansil, dan sistem
moneter. Dari segi pelaku ekonomi, 'kelancaran' juga diharapkan dari prilaku penerimaan valas hasil
ekspor. Pendapatan ekspor seharusnya langsung masuk kedalam sistem keuangan Indonesia, dan
tidak parkir atau wara-wiri dulu di pasar keuangan negara lain.
Dalam rangka menjaga 'prilaku' kelancaran penerimaan valas ke dalam sistem keuangan domestik,
pemerintah seharusnya memberikan kecukupan insentif pada pelaku ekonomi yang mendukung
kepentingan nasional. Kontrol yang 'atraktif' atas capital inflows lebih merupakan easy money policy.
Dampak potensilnya adalah semakin tingginya prilaku excessive risk taking oleh para pelaku ekonomi
melalui wujudnya fenomena lending boom.
Demikian pula dalam kasus kontrol atas pemenuhan kebutuhan valas. Kontrol yang 'ketat' pada
capital outflows dalam bentuk tight money policy bukannya tidak mungkin 'ditelikung' oleh 'oknum'
birokrat di lembaga otoritas moneter. Beberapa 'fleksibilitas' atas kebijakan uang ketat bisa wujud
dalam aspek implementasi pengawasan di tingkat satuan institusi atau bahkan dalam bentuk regulasi
untuk satu institusi atau di keseluruhan sistem keuangan (corruption by design).
Apapun pilihannya, kebijakan capital control baik pada arus modal masuk dan/atau modal keluar
cenderung manipulatif. Bila ditegakkan secara kaku, otoritatif, dan tidak transparan, pelaku ekonomi
mendapat persepsi terjadinya penurunan akuntabilitas dan kepercayaan (confidence) pada
kemampuan pemerintah dalam mengelola ekonomi pada umumnya dan khususnya dalam
pembuatan dan implementasi kebijakan moneter.
Efek samping lainnya dari pemberlakuan kontrol valas adalah adanya black market dan/atau pasar
bayangan dengan harga valas yang berbeda dengan harga yang ditetapkan pemerintah. Selain itu,
kebijakan capital control yang rencananya bersifat sementara, dalam realisasi dan implementasinya
bisa memakan waktu yang lebih lama dari antisipasi rencana semula.

Nilai Tukar Mengambang sebagai Instrumen Capital Control


Salah satu instrumen yang paling terkenal dalam aplikasi kontrol modal adalah pemberlakuan
(rezim/sistem) nilai tukar tetap. Cina merupakan negara yang terakhir meninggalkan sistem nilai tukar
tetap. Cina setidaknya tiga kali memberlakukan sistem nilai tukar tetap, yakni pada periode 19601971 (CNY2,46/US$), 1986-1990 (CNY3,72/US$), dan periode 1995 sampai 15 April 2012
(CNY8,27/US$).
Di sisi lain, 17 negara yang tergabung dalam Uni Eropa memberlakukan sistem nilai tukar tetap dalam
kerangka eurozone. Sebagai wadah zona euro, ERM II (European Exchange Rate Mechanism)
merupakan bagian dari EMS (European Monetary System) yang bertujuan mewujudkan stabilitas
moneter, mengurangi variabilitas dan fluktuasi nilai tukar, serta menjaga tingkat inflasi tetap terkontrol.
Walau zona euro dinyatakan sebagai sistem nilai tukar tetap, dalam prakteknya, lebih bersifat
managed floating. Beberapa sinonim dari nilai tukar mengambang mencakup dirty floating, floating
exchange rate, floating currency, currency band, flexible exchange rate, mixed exchange rate, linked
exchange rate. Beberapa sinonim dari nilai tukar tetap mencakup fixed exchange rate, pegged
exchange rate, currency board system.

Sando Sasako

Dinamika Praktek Capital Control


Dewasa ini, semua negara pada prinsipnya membatasi kebebasan lalu lintas devisa (foreign
exchange). Berbagai dalil dan dalih biasanya digunakan dalam rangka mengamankan kepentingan
nasional suatu negara. Bentuk umumnya adalah kepatuhan pada asas transparansi dan birokratisme
saat mendapatkan dan menggunakan devisa. Bentuk yang paling kaku adalah saat nominalnya
dinyatakan dan dibatasi.
Sebagai suatu alternatif kebijakan, capital control lebih bersifat politis. Akibatnya, di satu periode,
pemerintah bisa menganggap capital control merupakan suatu kebutuhan mutlak. Sementara di
periode lain, capital control merupakan suatu hal yang relatif dan dipersepsikan lebih banyak
mudaratnya daripada manfaat positif dan potensilnya.
Islandia yang memberlakukan capital control sejak krisis subprime mortgage berencana untuk keluar
dari program tersebut di bulan September 2013. Sebanyak US$ 8 milyar dana asing ditahan sejak
2008 dalam rangka menahan mata uangnya krona diobral demi mendapat dollar AS. Termasuk
didalamnya meminta kreditur menghapusbukukan klaim senilai US$ 3,6 milyar dalam mata uang
krona.

Dinamika Praktek Currency Control


Currency control merupakan instrumen alternatif dalam aplikasi kontrol modal. Bila capital control
lebih bersifat makro dan melibatkan unsur eksternal, currency control lebih bersifat mikro dan
melibatkan unsur domestik suatu negara. Kontrol valuta yang dimaksud adalah lebih pada
pembatasan transaksi tunai maksimal dan anjuran menggunakan transaksi perbankan untuk nilai
yang dianggap cukup signifikan.
Dua kejahatan keuangan yang biasa terjadi pada transaksi tunai dalam jumlah signifikan adalah
sebagai cara untuk mencuci uang dan untuk menghindari pajak. Italia melarang pembayaran tunai
untuk nilai transaksi diatas 1.000, sementara Spanyol dengan nilai diatas 2.500. Di Meksiko, orang
asing hanya dibolehkan mendapat peso maksimal sebanyak US$1.500 per bulannya. Sementara
beberapa institusi keuangan Meksiko membatasi penukaran peso maksimal sebesar US$300 per
transaksi. Beberapa lembaga lainnya justru menolak menerima dollar AS tanpa adanya persetujuan
dari pemerintah Meksiko.
Beberapa bentuk lain dari kontrol atas peso Meksiko:
1. Pelarangan pembelian properti lebih dari setengah juta peso (US$38.750) secara tunai.
2. Pelarangan pembayaran tunai lebih dari 200.000 peso (US$15.500) untuk produk-produk mobil,
pesawat, kapal, perhiasan, logam mulia, jam tangan, batu permata, karya seni, lotere, kupon
undian, pembayaran hadiah, transfer saham.
3. Toko, restoran, bar, hotel hanya boleh menerima pembayaran tunai maksimal US$100 per
transaksi.
4. Notaris, makelar rumah, dealer lainnya wajib melaporkan pembayaran untuk transaksi di atas
ketentuan.
5. Lembaga keuangan wajib melaporkan kartu kredit yang memiliki saldo diatas 50.000 peso
(US$3.875).

Dilema Siprus dalam Praktek Currency Control di Eurozone


Sebagai salah satu dari 17 negara yang tergabung dalam zona euro, saat ini, euro Siprus ternyata
menjadi mata uang kelas dua. Euro Siprus dilarang untuk ditransaksikan di luar negeri. Capital control
yang secara kaku diterapkan sejak Maret 2013 mulai dikendurkan. Transfer ke bank luar negeri dan
di dalam negeri yang sebelumnya dilarang, sudah bisa dilakukan dengan beberapa ketentuan, antara
lain:
1. Persetujuan bank sentral harus didapat bagi perusahaan yang ingin mentransfer lebih dari
500.000 (US$640.000) atau 300.000 (US$380.000) bagi individu.
2. Dilarang membawa uang lebih dari 3.000 ke luar negeri.
3. Larangan mencairkan cek atau membuka rekening baru, kecuali sudah pernah dilakukan

Strategi Mencegah Kejatuhan Rupiah ke Level 25.000 per USD

sebelumnya di bank yang sama.


4. Perusahaan dibolehkan menarik dana maksimal per hari sebesar 500 dan 300 bagi individu.
Nilai euro Siprus semakin terpuruk akibat berbagai ketentuan dan paperwork yang jelas menaikkan
biaya transaksi. Rendahnya nilai euro Siprus bisa dinilai dari suku bunga pinjaman jangka panjang
yang lebih tinggi (7,75%) dari negara lainnya di zona euro seperti Jerman (3-4%). Hal yang terburuk
adalah perbankan Siprus banyak yang telah menghentikan kucuran kredit.
Kontrol mata uang Siprus yang rencananya berlangsung seminggu ternyata sudah berlangsung lima
bulan. Sementara kontrol mata uang Islandia yang sudah berjalan sejak 2008 direncanakan untuk
diakhiri September 2013 ini. Kebijakan uang ketat Siprus dilakukan setelah Laiki, bank kedua
terbesar, ditutup di bulan Maret 2013. Sebagai ukuran, dibandingkan dengan PDB eurozone senilai
US$ 9,5 trilyun, PDB Siprus senilai US$ 23 milyar hanya 2,4 per milnya saja.

Praktek Currency Control di Indonesia


Beberapa dasar hukum capital control dan currency control di Indonesia:
1. Perpu No.32/1960 tentang Penggunaan Mata Uang Rupiah dalam Lalu Lintas Pembayaran Luar
Negeri
2. UU No.24/1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar
3. UU No.7/2011 tentang Mata Uang
4. Peraturan BI No.7/14/2005 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valas
oleh Bank
5. Peraturan BI No.10/37/2008 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah
6. Surat Edaran BI No.14/11/DPM/2012 tentang Perubahan atas SEBI No.10/42/DPD tentang
Pembelian Valas terhadap Rupiah kepada Bank
Berdasarkan pengalaman, praktek, dan kenyataan yang ada di lapangan, berbagai aturan dan
ketentuan yang ada Indonesia banyak yang bersifat macan kertas dalam hal kepatuhan,
pengawasan, dan tindakan terhadap pelanggaran. Moral hazard yang tinggi dalam kepatuhan,
pengawasan, dan tindakan terhadap pelanggaran merupakan konsekuensi lazim di setiap birokrasi
dan implementasi kebijakan pemerintah.
Di sisi lain, paperwork yang semakin menumpuk merefleksikan semakin banyaknya meja birokrasi
(red tape) yang harus dilalui dan semakin tingginya biaya transaksi yang harus dibayar oleh
pengusaha untuk mendapatkan izin, permit, atau yang sejenisnya.

Indonesia Pasca Krisis Subprime Mortgage


Ekonomi Indonesia yang relatif tidak terganggu akibat krisis subprime mortgage di tahun 2008
membuat Indonesia dianggap sebagai safe haven yang atraktif bagi tujuan lalu lintas uang panas
bernilai trilyunan dollar AS. Dampak positifnya adalah di tahun yang sama, Indonesia dipercaya untuk
menerima dana dalam bentuk utang luar negeri (external debts) swasta yang meningkat tajam ke
level US$ 68,5 milyar, atau naik sebesar 22%.
Di sisi lain, cadangan devisa naik tajam sebesar 28% di tahun 2009 ke tingkat US$ 66 milyar.
Fenomena ini kemudian berlanjut di tahun 2010 dengan peningkatan dramatis sebesar 45,5% ke
tingkat US$ 96 milyar. Kenaikan dramatis tersebut membuat jumlah utang luar negeri swasta di tahun
2011 naik lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya, yakni sebesar 27,4% ke level US$ 106,7
milyar.
Sementara itu, jumlah cadangan devisa Indonesia mencapai puncaknya pada bulan Agustus 2011
dengan jumlah US$ 124,65 milyar. Per Juli 2013, jumlah cadangan devisa Indonesia turun ke level
US$ 92,7 milyar, atau berkurang lebih dari 25% dibandingkan nilai tertingginya dua tahun yang lalu.
Nilai ini berbanding terbalik dengan kenaikan jumlah utang luar negeri swasta sebesar lebih dari 25%
per Juni 2013 (US$ 134 milyar) dibandingkan dengan nilai pada akhir 2011 (US$ 106,7 milyar).

Sando Sasako

Bagan 1 - Cadangan Devisa & Utang Luar Negeri Indonesia, 2004-Juli 2013

Indonesia Mengalami Lending Boom atau Semakin Terperosok kedalam Jebakan Utang
Sampai tahun 2008, utang luar negeri swasta masih dibawah angka pada tahun 1999, yakni sebesar
US$ 68,5 milyar. Di tahun 2009, utang luar negeri swasta mulai lebih besar dari angka di tahun 1999,
yakni sebesar US$ 73,6 milyar. Di akhir tahun 2013, utang luar negeri swasta diperkirakan berada di
kisaran US$ 140,8 milyar, hampir 2 kali lipat dibanding angka 5 tahun yang lalu.
Sejak 1999 sampai Juni 2013, jumlah utang luar negeri swasta naik rata-rata sebesar 5,11% per
tahunnya. Kenaikan jumlah utang tertinggi terjadi di tahun 2011 dengan angka pertumbuhan
mencapai 27,38%. Kenaikan jumlah utang yang signifikan terjadi pula di tahun 2008 dan 2012,
dengan angka pertumbuhan sebesar 22,22% dan 18,28% masing-masingnya.
Sampai tahun 2004, utang luar negeri didominasi oleh swasta asing dengan porsi rata-rata lebih dari
40%. Sejak 2005, dominansi kepemilikan utang luar negeri swasta bergeser dari swasta asing ke
swasta campuran dengan porsi rata-rata lebih dari 30% per tahunnya. Sementara swasta nasional
memiliki porsi rata-rata utang luar negeri sebesar 35% untuk periode 1999 sampai kuartal kedua
2013. Di sisi lain, porsi utang luar negeri bank dan BUMN semakin cenderung bertambah.

Bagan 2 - Utang luar negeri swasta menurut institusi, 1999-2013q2

Strategi Mencegah Kejatuhan Rupiah ke Level 25.000 per USD

Dinamika Utang
Utang bisa diibaratkan sebagai pedang bermata dua. Bila digunakan secara bijaksana dan
seperlunya, utang bisa meningkatkan kesejahteraan. Sebaliknya, bila digunakan secara
sembarangan (imprudent) dan berlebihan, utang bisa menjadi bencana. Bagi perseorangan dan
perusahaan, pinjaman berlebihan (overborrowings) bisa membangkrutkan dan membawa kehancuran
finansil. Bagi negara, lilitan utang bisa mengurangi kemampuan pemerintah untuk memberikan
layanan esensil bagi warganya.
Utang memiliki kategori atau sifat tersendiri. Ada yang mensyaratkan jaminan (secured) atau tidak
(unsecured). Ada yang bersifat tertutup (private) seperti kredit bank atau terbuka (public, tradeable)
seperti obligasi. Ada yang bersifat urunan atau saweran (syndicated) atau bersifat bilateral. Dasar
pemberian utang adalah creditworthiness suatu institusi atau negara yang dinilai oleh rating agencies
seperti Moody's, Fitch, Standard & Poor's, Pefindo, atau lainnya.
Instrumen utang yang diperingkat bisa bernilai berisiko rendah (investment grade) atau berisiko tinggi
(junk). Ukuran risiko utang dinyatakan dalam bentuk bunga. Semakin tinggi risiko, semakin tinggi
bunga utang yang berlaku. Di tingkat satuan usaha, semakin tinggi porsi utang terhadap modal
(ekuitas), semakin tinggi risiko utang tersebut berpotensi menjadi gagal bayar. Pada masa suku
bunga tinggi, biaya bunga utang akan lebih besar dari biaya deviden yang dikeluarkan atas ekuitas.

Manfaat Positif dari Utang


Utang bisa memuluskan rencana konsumsi perorangan yang memiliki pendapatan bervariasi. Di
tingkat perusahaan, utang memuluskan rencana investasi dan produksi di tengah variasi penjualan.
Di tingkat pemerintah, utang bisa memuluskan pajak di dalam rangka pembiayaan publik yang
bervariasi. Secara makro, utang meningkatkan efisiensi alokasi modal diantara berbagai
kemungkinan penggunaannya di suatu perekonomian. Utang juga memindahkan risiko ke pihak yang
bersedia menanggungnya.
Utang publik seperti obligasi dapat memuluskan konsumsi seumur hidup seseorang dan
keturunannya. Generasi masa depan akan lebih kaya dibanding generasi pada masa kini, karena
mereka menerima buah dari modal manusia yang lebih banyak dan teknologi yang lebih produktif.
Dengan kata lain, utang seperti membeli teknologi produksi dan modal manusia masa depan untuk
dikonsumsi saat ini.
Sebagian penundaan kenaikan pajak dibutuhkan dalam rangka mendanai konsumsi saat ini yang
lebih tinggi. Akibatnya, utang publik dibutuhkan dalam rangka mengkompensasi penundaan kenaikan
pajak tersebut. Utang publik dibutuhkan sampai pada suatu kondisi di mana pertumbuhan tidak
melambat. Selain itu, utang pemerintah bisa menyediakan layanan likuiditas yang dibutuhkan dalam
rangka meciptakan kondisi yang kondusif bagi perusahaan dan perorangan. Sebagai akibat kebijakan
uang longgar, investasi swasta meningkat tajam.

Dampak Negatif dari Utang


Utang bisa berkembang lebih cepat dari kemampuan untuk membayar akibat adanya eksternalitas
atau masalah internal seperti buruknya manajemen sumber daya. Akumulasi utang yang tidak
dikelola dengan baik ditengarai banyak pihak melahirkan ekses yang kian memperburuk masalah
ekonomi. Beberapa masalah eksternalitas yang berdampak buruk bagi pelunasan utang mencakup
kehilangan pekerjaan, PHK, berpindah rumah, renovasi rumah, kegagalan usaha, sakit. Akumulasi
utang bisa membuat seseorang atau perusahaan menjadi terlilit utang (over-indebtedness).
Beberapa konsekuensi sosial akibat lilitan utang (debt trap) mencakup kesulitan keuangan yang
parah, terganggunya kesehatan fisik dan mental, stres perkawinan dan/atau keluarga, stigma,
ketegangan hubungan sosial, merasa tidak aman (finansil), sering absen kerja, kurangnya komitmen
organisasi, kecelakaan kerja, kesulitan mendapatkan pekerjaan, dikecualikan dari layanan dasar
keuangan, dan lainnya.

Sando Sasako

Ekses utang biasanya terjadi akibat ekspektasi yang berlebihan (excessive) pada pendapatan yang
akan datang (future returns). Ketika ekspektasi disadari bersifat semu, deflasi dan kelangkaan kredit
merupakan imbas pertama dari suatu siklus ekonomi yang bisa mengarah pada resesi dan depresi
ekonomi. Deflasi menyebabkan utang lebih mahal.

Hasil Penelitian Empiris tentang Batas dan Efek Utang


Hasil penelitian Cecchetti et al dari Bank for International Settlements di tahun 2011 menunjukkan
bahwa sampai suatu kondisi, utang berdampak buruk bagi pertumbuhan. Untuk utang pemerintah,
batasannya adalah sekitar 85% dari PDB. Untuk utang perusahaan, batasannya (threshold) adalah
maksimal 90% dari PDB. Untuk utang perorangan, batasannya adalah sekitar 85% PDB, dengan
kondisi besar dampak tidak bisa diestimasi secara tepat.
Sementara itu, utang pemerintah memiliki implikasi langsung pada kondisi yakni pemerintah yang
sangat terlilit utang seharusnya memiliki fokus tidak terbatas pada stabilisasi utang, melainkan juga
pada upaya menguranginya sampai ke tingkat yang dianggap cukup rendah dan tidak menghambat
pertumbuhan. Asas prudence mendikte bahwa pemerintah seharusnya menekan jumlah utang di
bawah batasan yang sudah diestimasi.
Asas prudence bertujuan sebagai langkah antisipasi terhadap kejadian luar biasa yang bisa
menaikkan utang ke tingkat yang bisa merusak pertumbuhan. Di sisi lain, manula dan peningkatan
rasio ketergantungan sangat berpotensi melambatkan pertumbuhan. Dua hal ini bisa sangat
menyulitkan efek negatif dari dinamika utang yang saat ini mengintai.

Manajemen Utang ala Swasta


Pada prinsipnya, jumlah utang akan semakin bertambah bila jumlah yang dibayar lebih sedikit dari
pertumbuhan (bunga) utang. Dalam rangka mengurangi tekanan utang, pelaku ekonomi kemudian
mengurangi konsumsi dan investasi. Reduksi terhadap permintaan mengurangi aktivitas bisnis dan
menyebabkan pengangguran. Secara singkat, akumulasi utang sangat potensil membangkrutkan
perusahaan dan/atau individu.
Perusahaan kartu kredit akan semakin untung besar bila utang kartu kredit dibayar dengan jumlah
pembayaran minimum. Dengan jumlah pembayaran minimum yang lebih kecil, utang pokok tidak
akan pernah berkurang. Di sisi lain, bunga utang kartu kredit yang lebih besar dari jumlah
pembayaran minimum membuat bunga utang semakin bertambah besar. Bunga utang semakin
berbunga. Praktek ini sering disebut riba, usury, suku bunga yang eksesif dan lebih besar dari
keuntungan yang reasonable untuk risiko yang normal (accepted).
Beberapa cara mencegah kebangkrutan adalah dengan melakukan refinancing, mengemas ulang
struktur utang (debt repackage, restructure), atau mengkonversi utang menjadi ekuitas. Syarat utama
bagi keberhasilan suatu konversi utang menjadi ekuitas adalah keditur mengharapkan utang dan
bunganya dibayar dalam bentuk deviden dan capital gains dari saham debitur yang dimilikinya.

Manajemen Utang ala Pemerintah


Semua hal yang berhubungan dengan pemerintahan pasti melibatkan urusan administrasi atau paper
work. Birokrasi yang dimaksud seharusnya mewadahi kerangka kerja institusional dan proses atau
mekanisme serta aplikasi sistem informasi utang yang transparan dan accountable. Tujuannya
adalah sebagai langkah untuk menciptakan sistem peringatan dini dalam mengantisipasi kebijakan
contingent.
Beberapa ketentuan transparansi utang mencakup persetujuan dan larangan serta jenis penggunaan
dana utang (sesuai kebijakan dan prioritas pembangunan serta Daftar Negatif Investasi), kemitraan,
batasan jumlah (dikaitkan dengan sejumlah indikator seperti utang per kapita, pendapatan per kapita,
taxability, investment rating, termin, rasio cicilan utang, variabilitas bunga, jatuh tempo, jaminan, opsi
restrukturisasi dan amortisasi, repo, dan lainnya).

Strategi Mencegah Kejatuhan Rupiah ke Level 25.000 per USD

Bagan 3
Sumber:

Struktur Organisasi DMO


N. Kappagoda, 2004. Key Analytical Functions for Public Debt Management (Geneva,
UNITAR)

Manajemen Pelunasan Utang


Beberapa strategi pengurangan utang mencakup metode bola salju utang, pelunasan saldo terkecil,
pengurangan jumlah tagihan atau kreditur, pelunasan berdasarkan jatuh tempo terdekat, pelunasan
berdasarkan senioritas utang, atau pelunasan pada bunga tertinggi. Pada metode bola salju utang,
pelunasan utang diprioritaskan pada saldo utang terkecil sementara utang yang lebih besar dibayar

Sando Sasako

dengan metode pembayaran minimum.


Gagal bayar merupakan suatu hal yang harus dihindari (default aversion). Tujuannya adalah untuk
menghindari reaksi berantai terhadap seluruh sistem yang ada dalam suatu ekonomi, baik lokal,
domestik, regional, atau global. Salah satu sebabnya adalah kebanyakan utang (dalam rupiah)
dikaitkan dengan inflasi dan nilai tukar. Pengaitan utang dengan tingkat inflasi dan nilai tukar
bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan bagi kreditur.
Pasar akan sangat mengapresiasi instrumen utang yang bisa mengakomodasi kebutuhan mereka.
Termasuk didalamnya game theory dalam struktur utang, repo, kemudahan mengganti tenor,
tersedianya likuiditas dan referensi harga, dan lainnya. Penggantian tenor bertujuan mengurangi
fragmentasi utang, konsolidasi utang, dan mengelola risiko refinancing.

Kebijakan Contigency
Kebijakan minimum yang seharusnya ditegakkan pemerintah adalah jaminan nilai tukar domestik
terhadap aset dan kewajiban di sistem perbankan domestik. Prinsip dasar yang menjadi acuan dalam
manajemen finansil adalah mengaitkan risiko dengan portofolio, tetapi bukan dengan prilaku aset dan
kewajiban individu. Manajemen portofolio yang diterapkan otoritas moneter dalam melaksanakan
kebijakan sterilisasi biasanya relatif jauh lebih kecil dibandingkan dengan potensi kerugian
kesejahteraan yang dikaitkan dengan varian dan portofolio yang dibuat.
Aspek penting dari kebijakan contigency adalah untuk membatasi implikasi aset dan kewajiban
terhadap komitmen nilai tukar dan lender of last resort. Ketika komitmen ini sudah dinyatakan (implicit
guarantees), pemerintah bisa dan sudah seharusnya meregulasi secara agresif prilaku sektor swasta
dalam rangka mengendalikan pertumbuhan kewajiban (utang).
Di sektor riel, subsidi BBM dan kebutuhan pangan (sembako) perlu dinyatakan secara eksplisit.
Termasuk didalamnya dalam rangka merealisasikan investasi publik. Subsidi perlu dilakukan pula
terhadap pembebasan pajak bagi pembayaran KPR dan bunganya. Setelah ini berjalan beberapa
waktu, pemerintah perlu memberikan preferensi bagi pembayaran bunga sebagai insentif dalam
rangka meningkatkan likuiditas pasar, yakni mendorong perusahaan untuk kembali menerbitkan surat
utang.

Perkembangan Ekspor-Impor
Selama periode 2004 sampai 2011, nilai impor Indonesia rata-rata sebesar 77% dari nilai ekspor. Di
tahun 2012, nilai impor sudah sebesar 95% dari nilai ekspor. Di tahun 2013, nilai impor diperkirakan
sudah melebihi nilai ekspor. Hal ini disebabkan pertumbuhan impor yang lebih besar dari ekspor,
yakni sebesar 19% dan 14% masing-masingnya, yakni untuk periode 2004-2012.
Selama periode Januari 2005 sampai Juni 2013, nilai impor bahan baku rata-rata per bulan sebesar
69,4%, dengan pangsa terendah terjadi di bulan Desember 2008 sebesar 61,8% bernilai US$ 4,93
milyar. Pangsa nilai impor bahan baku bulanan tertinggi terjadi di bulan Februari 2006 sebesar 74,9%
bernilai US$ 4,3 milyar. Secara nominal, nilai impor bahan baku rata-rata per bulan sebesar US$ 7,2
milyar, dengan nilai terendah terjadi di bulan November 2005 sebesar US$ 3,57 milyar dan tertinggi
terjadi di bulan Oktober 2012 sebesar US$ 11,91 milyar.
Ketergantungan ekonomi Indonesia tidak terbatas pada bahan baku saja, tetapi juga terhadap barang
modal. Impor barang modal (diluar mobil penumpang dan alat angkutan untuk industri) rata-rata per
bulan sebesar 13,9%. Pangsa nilai impor barang modal bulanan tertinggi terjadi di bulan Desember
2008 sebesar 20,2% bernilai US$ 1,6 milyar. Secara nominal, nilai impor bahan baku rata-rata per
bulan sebesar US$ 1,5 milyar, dengan nilai terendah terjadi di bulan November 2005 sebesar US$
0,63 milyar dan tertinggi terjadi di bulan April 2012 sebesar US$ 2,6 milyar.
Sementara itu, impor barang konsumsi (diluar mobil penumpang) rata-rata per bulan sebesar 12,4%.
Pangsa nilai impor barang konsumsi bulanan tertinggi terjadi di bulan September 2005 sebesar
15,9% bernilai US$ 1,0 milyar. Secara nominal, nilai impor bahan baku rata-rata per bulan sebesar

10

Strategi Mencegah Kejatuhan Rupiah ke Level 25.000 per USD

US$ 1,3 milyar, dengan nilai terendah terjadi di bulan Desember 2008 sebesar US$ 0,53 milyar dan
tertinggi terjadi di bulan April 2012 sebesar US$ 2,3 milyar.
Impor barang konsumsi (diluar mobil penumpang) rata-rata per bulan naik sebesar 2,5%. Kenaikan
nilai impor barang konsumsi bulanan tertinggi terjadi di bulan Juli 2005 sebesar 41,8% dari US$ 663,4
milyar menjadi US$ 940,5 milyar. Penurunan nilai impor barang konsumsi bulanan terbesar terjadi di
bulan Desember 2008 sebesar 32,7% dari US$ 783,2 milyar menjadi US$ 527,3 milyar.

Bagan 4 - Nilai ekspor dan impor Indonesia, 2004-2013q2

Bagan 5 - Pangsa nilai impor bulanan diluar bahan baku, Jan. 2005 - Juni 2013

Perkembangan Pinjaman Bank


Untuk periode yang sama, yakni Januari 2005 sampai Juni 2013, pinjaman konsumtif dari bank naik
rata-rata sebesar 1,67% per bulannya. Kenaikan pinjaman konsumtif tertinggi terjadi di bulan Juni
2005 sebesar 4,24% dari Rp 180,89 trilyun menjadi Rp 188,55 trilyun. Penurunan pinjaman konsumtif
tertinggi terjadi di bulan Januari 2006 sebesar 1,2% dari Rp 214,3 trilyun menjadi Rp 211,75 trilyun.
Untuk periode yang lebih lama, yakni Januari 2002 sampai Juni 2013, pinjaman konsumtif dari bank
naik rata-rata sebesar 1,88% per bulannya. Kenaikan pinjaman konsumtif tertinggi terjadi di bulan
11

Sando Sasako

Desember 2002 sebesar 6,32% dari Rp 87,87 trilyun menjadi Rp 93,42 trilyun. Penurunan pinjaman
konsumtif tertinggi terjadi di bulan September 2003 sebesar 6,5% dari Rp 109,83 trilyun menjadi Rp
102,68 trilyun. Pangsa pinjaman konsumtif berkisar antara 23,69% sampai 32,93% dari seluruh total
pinjaman bank selama Januari 2002 sampai Juni 2013, dengan nilai rata-rata pangsanya per bulan
adalah sebesar 29,28%.

Bagan 6 - Pinjaman bank menurut penggunaannya, Jan. 2002 - Juni 2013

Bagan 7 - Perbandingan nilai kredit bank, impor, dan cadangan devisa, Des. 1999 - Juni 2013

12

Strategi Mencegah Kejatuhan Rupiah ke Level 25.000 per USD

Bagan 8

Perbandingan nilai kredit bank, impor, cadangan devisa, utang luar negeri pemerintah
& BI, Des. 1999 - Juni 2013

Bagan 9

Perbandingan nilai kredit bank, impor, cadangan devisa, utang luar negeri swasta dan
bank, Des. 1999 - Juni 2013

13

Anda mungkin juga menyukai