Strategi Mencegah Kejatuhan Rupiah Ke Level 25 000 Per USD
Strategi Mencegah Kejatuhan Rupiah Ke Level 25 000 Per USD
Pengantar
Berbagai media internasional semakin mengkhawatirkan kondisi pasar dan intrumen finansil
Indonesia yang semakin terjerembab. Hanya dalam waktu 3 bulan, per 29 Agustus 2013, indeks
harga saham gabungan di bursa efek indonesia turun lebih dari 20% ke tingkat 4.103,59 dari level
tertingginya sebesar 5.145,8 per 17 Mei 2013.
Sementara itu, derivatif rupiah dalam bentuk one-month non-deliverable forwards (NDF) pada 28
Agustus 2013 pagi ditransaksikan pada tingkat 11.597 per dollar AS. Harga tersebut adalah yang
terendah dalam 4 tahun terakhir. Sementara kurs tengah Bank Indonesia pada 29 Agustus 2013 sore,
rupiah ditransaksikan pada tingkat 10.936 per dollar AS.
Tekanan jual terhadap rupiah dan saham-saham Indonesia dipicu oleh semakin anjloknya cadangan
devisa yang dimiliki pemerintah. Di bulan Agustus 2011, cadangan devisa Indonesia adalah yang
terbesar, yakni US$ 124,5 milyar. Dalam 2 tahun, di akhir Juli 2013, cadangan devisa sudah anjlok
lebih dari 25% menjadi hanya US$ 92,67 milyar, atau berkurang sebanyak US$ 31,83 milyar. Data ini
diperburuk oleh semakin tingginya prediksi nilai impor dibandingkan hasil ekspor Indonesia pada
akhir tahun 2013.
Sando Sasako
dari waktu ke waktu di sepanjang tahun ini. Per 2 Agustus 2013, indeks Dow 30 sempat menyentuh
level 15.658,43 untuk ditutup di level 15.658,36.
Tanggal 5 Maret merupakan awal pembuatan rekor tertinggi DJIA di tahun 2013. Limpahan dana
sekitar US$ 10 trilyun mampu mengerek Dow Jones di tutup ke level 14.253,77. Terhitung 9 Oktober
2007, Dow Jones membutuhkan waktu 65 bulan untuk bisa pulih dari rekor tertinggi sebelumnya,
yakni 14.164,53.
Di sisi lain, secara kebetulan, Hugo Chvez wafat pada hari yang sama, 5 Maret 2013. Ekonomi
Venezuela yang masih tersandera akibat oil glut di tahun 1980-an ditambah hilangnya figur kuat
selama 15 tahun terakhir membuat mata uangnya harus didevaluasi sebesar 46,5% per 19 Maret
2013 dari 4,30/USD menjadi 6,30/USD untuk transaksi penjualan dan dari 4,29/USD menjadi
6,28/USD untuk transaksi pembelian.
Selain devaluasi, Venezuela juga menyempurnakan berbagai mekanisme dalam rangka currency
control. Beberapa nama institusi dan/atau mekanisme pengendalian mata uang VEF (Venezuelan
bolivar fuerte) seperti CADIVI, SITME, SICAD, dan lainnya bersifat independent dari bank sentral
Venezuela.
dan Laiki, yang bermasalah memiliki aset dalam bentuk deposito senilai 68 milyar, termasuk
didalamnya 38 milyar rekening dengan nilai simpanan lebih dari 100.000. Jumlah tersebut
merupakan hal yang fantastis bagi suatu negara berpenduduk 860.000 jiwa.
Sando Sasako
Sando Sasako
Bagan 1 - Cadangan Devisa & Utang Luar Negeri Indonesia, 2004-Juli 2013
Indonesia Mengalami Lending Boom atau Semakin Terperosok kedalam Jebakan Utang
Sampai tahun 2008, utang luar negeri swasta masih dibawah angka pada tahun 1999, yakni sebesar
US$ 68,5 milyar. Di tahun 2009, utang luar negeri swasta mulai lebih besar dari angka di tahun 1999,
yakni sebesar US$ 73,6 milyar. Di akhir tahun 2013, utang luar negeri swasta diperkirakan berada di
kisaran US$ 140,8 milyar, hampir 2 kali lipat dibanding angka 5 tahun yang lalu.
Sejak 1999 sampai Juni 2013, jumlah utang luar negeri swasta naik rata-rata sebesar 5,11% per
tahunnya. Kenaikan jumlah utang tertinggi terjadi di tahun 2011 dengan angka pertumbuhan
mencapai 27,38%. Kenaikan jumlah utang yang signifikan terjadi pula di tahun 2008 dan 2012,
dengan angka pertumbuhan sebesar 22,22% dan 18,28% masing-masingnya.
Sampai tahun 2004, utang luar negeri didominasi oleh swasta asing dengan porsi rata-rata lebih dari
40%. Sejak 2005, dominansi kepemilikan utang luar negeri swasta bergeser dari swasta asing ke
swasta campuran dengan porsi rata-rata lebih dari 30% per tahunnya. Sementara swasta nasional
memiliki porsi rata-rata utang luar negeri sebesar 35% untuk periode 1999 sampai kuartal kedua
2013. Di sisi lain, porsi utang luar negeri bank dan BUMN semakin cenderung bertambah.
Dinamika Utang
Utang bisa diibaratkan sebagai pedang bermata dua. Bila digunakan secara bijaksana dan
seperlunya, utang bisa meningkatkan kesejahteraan. Sebaliknya, bila digunakan secara
sembarangan (imprudent) dan berlebihan, utang bisa menjadi bencana. Bagi perseorangan dan
perusahaan, pinjaman berlebihan (overborrowings) bisa membangkrutkan dan membawa kehancuran
finansil. Bagi negara, lilitan utang bisa mengurangi kemampuan pemerintah untuk memberikan
layanan esensil bagi warganya.
Utang memiliki kategori atau sifat tersendiri. Ada yang mensyaratkan jaminan (secured) atau tidak
(unsecured). Ada yang bersifat tertutup (private) seperti kredit bank atau terbuka (public, tradeable)
seperti obligasi. Ada yang bersifat urunan atau saweran (syndicated) atau bersifat bilateral. Dasar
pemberian utang adalah creditworthiness suatu institusi atau negara yang dinilai oleh rating agencies
seperti Moody's, Fitch, Standard & Poor's, Pefindo, atau lainnya.
Instrumen utang yang diperingkat bisa bernilai berisiko rendah (investment grade) atau berisiko tinggi
(junk). Ukuran risiko utang dinyatakan dalam bentuk bunga. Semakin tinggi risiko, semakin tinggi
bunga utang yang berlaku. Di tingkat satuan usaha, semakin tinggi porsi utang terhadap modal
(ekuitas), semakin tinggi risiko utang tersebut berpotensi menjadi gagal bayar. Pada masa suku
bunga tinggi, biaya bunga utang akan lebih besar dari biaya deviden yang dikeluarkan atas ekuitas.
Sando Sasako
Ekses utang biasanya terjadi akibat ekspektasi yang berlebihan (excessive) pada pendapatan yang
akan datang (future returns). Ketika ekspektasi disadari bersifat semu, deflasi dan kelangkaan kredit
merupakan imbas pertama dari suatu siklus ekonomi yang bisa mengarah pada resesi dan depresi
ekonomi. Deflasi menyebabkan utang lebih mahal.
Bagan 3
Sumber:
Sando Sasako
Kebijakan Contigency
Kebijakan minimum yang seharusnya ditegakkan pemerintah adalah jaminan nilai tukar domestik
terhadap aset dan kewajiban di sistem perbankan domestik. Prinsip dasar yang menjadi acuan dalam
manajemen finansil adalah mengaitkan risiko dengan portofolio, tetapi bukan dengan prilaku aset dan
kewajiban individu. Manajemen portofolio yang diterapkan otoritas moneter dalam melaksanakan
kebijakan sterilisasi biasanya relatif jauh lebih kecil dibandingkan dengan potensi kerugian
kesejahteraan yang dikaitkan dengan varian dan portofolio yang dibuat.
Aspek penting dari kebijakan contigency adalah untuk membatasi implikasi aset dan kewajiban
terhadap komitmen nilai tukar dan lender of last resort. Ketika komitmen ini sudah dinyatakan (implicit
guarantees), pemerintah bisa dan sudah seharusnya meregulasi secara agresif prilaku sektor swasta
dalam rangka mengendalikan pertumbuhan kewajiban (utang).
Di sektor riel, subsidi BBM dan kebutuhan pangan (sembako) perlu dinyatakan secara eksplisit.
Termasuk didalamnya dalam rangka merealisasikan investasi publik. Subsidi perlu dilakukan pula
terhadap pembebasan pajak bagi pembayaran KPR dan bunganya. Setelah ini berjalan beberapa
waktu, pemerintah perlu memberikan preferensi bagi pembayaran bunga sebagai insentif dalam
rangka meningkatkan likuiditas pasar, yakni mendorong perusahaan untuk kembali menerbitkan surat
utang.
Perkembangan Ekspor-Impor
Selama periode 2004 sampai 2011, nilai impor Indonesia rata-rata sebesar 77% dari nilai ekspor. Di
tahun 2012, nilai impor sudah sebesar 95% dari nilai ekspor. Di tahun 2013, nilai impor diperkirakan
sudah melebihi nilai ekspor. Hal ini disebabkan pertumbuhan impor yang lebih besar dari ekspor,
yakni sebesar 19% dan 14% masing-masingnya, yakni untuk periode 2004-2012.
Selama periode Januari 2005 sampai Juni 2013, nilai impor bahan baku rata-rata per bulan sebesar
69,4%, dengan pangsa terendah terjadi di bulan Desember 2008 sebesar 61,8% bernilai US$ 4,93
milyar. Pangsa nilai impor bahan baku bulanan tertinggi terjadi di bulan Februari 2006 sebesar 74,9%
bernilai US$ 4,3 milyar. Secara nominal, nilai impor bahan baku rata-rata per bulan sebesar US$ 7,2
milyar, dengan nilai terendah terjadi di bulan November 2005 sebesar US$ 3,57 milyar dan tertinggi
terjadi di bulan Oktober 2012 sebesar US$ 11,91 milyar.
Ketergantungan ekonomi Indonesia tidak terbatas pada bahan baku saja, tetapi juga terhadap barang
modal. Impor barang modal (diluar mobil penumpang dan alat angkutan untuk industri) rata-rata per
bulan sebesar 13,9%. Pangsa nilai impor barang modal bulanan tertinggi terjadi di bulan Desember
2008 sebesar 20,2% bernilai US$ 1,6 milyar. Secara nominal, nilai impor bahan baku rata-rata per
bulan sebesar US$ 1,5 milyar, dengan nilai terendah terjadi di bulan November 2005 sebesar US$
0,63 milyar dan tertinggi terjadi di bulan April 2012 sebesar US$ 2,6 milyar.
Sementara itu, impor barang konsumsi (diluar mobil penumpang) rata-rata per bulan sebesar 12,4%.
Pangsa nilai impor barang konsumsi bulanan tertinggi terjadi di bulan September 2005 sebesar
15,9% bernilai US$ 1,0 milyar. Secara nominal, nilai impor bahan baku rata-rata per bulan sebesar
10
US$ 1,3 milyar, dengan nilai terendah terjadi di bulan Desember 2008 sebesar US$ 0,53 milyar dan
tertinggi terjadi di bulan April 2012 sebesar US$ 2,3 milyar.
Impor barang konsumsi (diluar mobil penumpang) rata-rata per bulan naik sebesar 2,5%. Kenaikan
nilai impor barang konsumsi bulanan tertinggi terjadi di bulan Juli 2005 sebesar 41,8% dari US$ 663,4
milyar menjadi US$ 940,5 milyar. Penurunan nilai impor barang konsumsi bulanan terbesar terjadi di
bulan Desember 2008 sebesar 32,7% dari US$ 783,2 milyar menjadi US$ 527,3 milyar.
Bagan 5 - Pangsa nilai impor bulanan diluar bahan baku, Jan. 2005 - Juni 2013
Sando Sasako
Desember 2002 sebesar 6,32% dari Rp 87,87 trilyun menjadi Rp 93,42 trilyun. Penurunan pinjaman
konsumtif tertinggi terjadi di bulan September 2003 sebesar 6,5% dari Rp 109,83 trilyun menjadi Rp
102,68 trilyun. Pangsa pinjaman konsumtif berkisar antara 23,69% sampai 32,93% dari seluruh total
pinjaman bank selama Januari 2002 sampai Juni 2013, dengan nilai rata-rata pangsanya per bulan
adalah sebesar 29,28%.
Bagan 7 - Perbandingan nilai kredit bank, impor, dan cadangan devisa, Des. 1999 - Juni 2013
12
Bagan 8
Perbandingan nilai kredit bank, impor, cadangan devisa, utang luar negeri pemerintah
& BI, Des. 1999 - Juni 2013
Bagan 9
Perbandingan nilai kredit bank, impor, cadangan devisa, utang luar negeri swasta dan
bank, Des. 1999 - Juni 2013
13