Anda di halaman 1dari 4

LAPORAN PENDAHULUAN

HIPOSPADIA
Pengertian
Hipospadia adalah kelainan kongetinal berupa kelainan letak lubang uretra pada pria
dari ujung penis ke sisi ventral (Corwin, 2009).
Hipospadia adalah kegagalan meatus urinarius meluas ke ujung penis, lubang uretra
terletak dibagian bawah batang penis, skrotum atau perineum (Barbara J. Gruendemann &
Billie Fernsebner, 2005).
Dan menurut (Muscari, 2005) Hipospadia adalah suatu kondisi letak lubang uretra
berada di bawah glans penis atau di bagian mana saja sepanjang permukaan ventral batang
penis. Kulit prepusium ventral sedikit, dan bagian distal tampak terselubung.

1.
2.

3.

4.

5.
6.

Etiologi
Penyebab sebenarnya sangat multifaktor dan sampai sekarang belum diketahui penyebab
pasti dari hipospadia. Namun ada beberapa faktor yang oleh para ahli dianggap paling
berpengaruh antara lain :
Secara embriologis, hipospadia disebabkan oleh kegagalan penutupan yang sempurna pada
bagian ventral lekuk uretra (Heffiner, 2005).
Diferensiasi uretra pada penis bergantung androgen dihidrotestoteron (DHT). Defisiensi
produksi testoteron (T), konversi T menjadi DHT yang tidak adekuat atau defisiensi lokal
pada pengenalan androgen (kekurangan jumlah atau fungsi reseptor androgen) (Heffiner,
2005).
Terdapat presdisposisi genetik non-Mendelian pada hipospadia, jika salah satu saudara
kandung mengalami hipospadia, resiko kejadian berulang pada keluarga tersebut adalah 12%,
jika bapak dan anak laki-lakinya terkena, maka resiko untuk anak laki-laki berikutnya adalah
25% (Heffiner, 2005).
Kriptorkismus (cacat perkembangan yang ditandai dengan kegagalan buah zakar untuk turun
ke dalam kandung buah zakar) terdapat pada 16% anak laki-laki dengan hipospadia
(Heffiner, 2005).
Dihubungkan dengan penurunan sifat genetik (Muscari, 2005).
Faktor eksogen antara lain pajanan pranatal terhadap kokain, alkohol, fenitoin, progestin,
rubela, atau diabetes gestasional (Muscari, 2005).

Klasifikasi
Klasifikasi hipospadia menurut letak orifisium uretra eksternum :
1. Tipe sederhana adalah tipe grandular, disini meatus terletak pada pangkal glands penis. Pada
kelainan ini secara klinis umumnya bersifat asimtomatik.
2. Tipe penil, meatus terletak antara glands penis dan skrotum
3. Tipe penoskrotal dan tipe perineal, kelainan cukup besar, umumnya pertumbuhan penis akan
terganggu.
Derajat keparahan hipospadia :

a) Ditentukan oleh satu posisi meatus uretra : glands, korona, batang penis sambungan dari
batang penis dan skrotum dan perineum
b) Lokasinya
c) Derajat chordee (Anak-hipospadia)
Manifestasi Klinik
Gambaran klinis Hipospadia :
1. Kesulitan atau ketidakmampuan berkemih secara adekuat dengan posisi berdiri
2. Chordee (melengkungnya penis) dapat menyertai hipospadia
3. Hernia inguinalis (testis tidak turun) dapat menyertai hipospadia (Corwin, 2009).
4. Lokasi meatus urine yang tidak tepat dapat terlihat pada saat lahir (Muscari, 2005).
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis dilakukan dengan dengan pemeriksaan fisik pada bayi baru lahir atau bayi. Karena
kelainan lain dapat menyertai hipospadia, dianjurkan pemeriksaan yang menyeluruh,
termasuk pemeriksaan kromososm (Corwin, 2009).
1. Rontgen
2. USG sistem kemih kelamin
3. BNO IVP karena biasanya pada hipospadia juga disertai dengan kelainan kongenital ginjal
4. Kultur urine (Anak-hipospadia)

Komplikasi
Komplikasi dari hipospadia antara lain :
1. Dapat terjadi disfungsi ejakulasi pada pria dewasa. Apabila chordee nya parah, maka
penetrasi selama berhubungan intim tidak dapat dilakukan (Corwin, 2009)
2. Pseudohermatroditisme (keadaan yang ditandai dengan alat-alat kelamin dalam 1 jenis
kelamin tetapi dengan satu beberapa ciri seksual tertentu) (Ramali, Ahmad & K. St.
Pamoentjak, 2005)
3. Psikis (malu) karena perubahan posisi BAK
4. Kesukaran saat berhubungan saat, bila tidak segera dioperasi saat dewasa (Anak-hipospadia)
Komplikasi pascaoperasi yang terjadi :
1. Edema / pembengkakan yang terjadi akibat reaksi jaringan besarnya dapat bervariasi, juga
terbentuknya hematom/ kumpulan darah di bawah kulit, yang biasanya dicegah dengan
balutan ditekan selama 2 sampai 3 hari pascaoperasi
2. Striktur, pada proksimal anastomis yang kemungkinan disebabkan oleh angulasi dari
anastomis
3. Rambut dalam uretra, yang dapat mengakibatkan infeksi saluran kencing berulang atau
pembentukan batu saat pubertas
4. Fitula uretrokutan, merupakan komplikasi yang sering dan digunakan sebagai parameter
untuk menilai keberhasilan operasi. Pada prosedur satu tahap saat ini angka kejadian yang
dapat diterima adalah 5-10%

5. Residual chordee /rekuren chrodee, akibat dari chordee yang tidak sempurna, dimana tidak
melakukan ereksi artifisial saat operasi atau pembentukan scar yang berlebihan di ventral
penis walaupun sangat jarang
6. Divertikulum (kantung abnormal yang menonjol ke luar dari saluran atau alat berongga)
(Ramali, Ahmad & K. St. Pamoentjak, 2005), terjadi pada pembentukan neouretra yang
terlalu lebar atau adanya stenosis meatal yang mengakibatkan dilatasi yang dilanjut
Penatalaksanaan
Tujuan utama dari penatalaksanaan bedah hipospadia adalah merekomendasikan penis
menjadi lurus dengan meatus uretra ditempat yang normal atau dekat normal sehingga aliran
kencing arahnya ke depan dan dapat melakukan coitus dengan normal (Anak-hipospadia).
Teknik tunneling Sidiq-Chaula dilakukan operasi 2 tahap:
1. Tahap pertama eksisi dari chordee dan bisa sekaligus dibuatkan terowongan yang
berepitel pada glans penis. Penis diharapkan lurus, tapi meatus masih pada tempat
yang abnormal. Penutupan luka operasi menggunakan preputium bagian dorsal dan
kulit penis
2. Tahap kedua dilakukan uretroplasti, 6 bulan pasca operasi, saat parut sudah lunak.
Dibuat insisi paralel pada tiap sisi uretra (saluran kemih) sampai ke glans, lalu dibuat
pipa dari kulit dibagian tengah. Setelah uretra terbentuk, luka ditutup dengan flap dari
kulit preputium dibagian sisi yang ditarik ke bawah dan dipertemukan pada garis
tengah. Dikerjakan 6 bulan setelah tahap pertama dengan harapan bekas luka operasi
pertama telah matang.

DAFTAR PUSTAKA

Anak-hipospadia. (t.thn.). Dipetik Agustus 5, 2012, dari Scribd: http://ml.scribd.com


Barbara J. Gruendemann & Billie Fernsebner. (2005). Buku Ajar Keperawatan Perioperatif Vol.
2. Jakarta: EGC.
Behrman, Kliegman, & Arvin. (2000). Ilmu Kesehatan Anak ed. 15 Vol 3. Jakarta: EGC.
Corwin, E. J. (2009). Buku Saku : Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Heffiner, L. J. (2005). At a Glans Sistem Reproduksi Ed. 2. Boston: EMS.
Muscari, M. E. (2005). Panduan Belajar : Keperawatan Pediatrik Ed. 3 hal : 357. Jakarta : EGC.
Nanda. (2010). Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.
Ramali, Ahmad & K. St. Pamoentjak. (2005). Kamus Kedokteran. Jakarta: Djambatan.
Schwartz, S. I. (2000). Intisari Prinsip - prinsip Ilmu Bedah. Jakarta : EGC.
Tjay, Tan Hoan & Kirana Rahardja. (2007). Obat - Obat Penting. Jakarta: EMK Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai