Anda di halaman 1dari 2

Ia

Kekuasaan, satu dari tiga hal yang menggiurkan. Bahkan seseorang harus rela bertikai untuk
memperebutkan. Tak peduli teman atau kawan, selama memberi efek menguntungkan, segalanya
akan menjadi keharusan untuk dilakukan.
Mendapatkan kekuasaan dengan bermodalkan materi yang besar, sudah menjadi sarapan
yang hampir semua orang sepakatkan. Namun saat seseorang meraih kekuasaan dengan tanpa uang
atau janji sebuah jabatan, itu yang bagi saya sangat mengagumkan. Sebagian masyarakat yang mau
memberikan dukungan kepada orang yang mau membayarnya, itu hal lumrah. Namun bagi mereka
yang mau melakukannya hanya karna sebuah kepercayaan akan hal yang lebih indah untuk
Indonesia, itu yang akan selalu istimewa.
Saat seseorang membayar saya
untuk

memberikan

suara

pencalonannya dengan Rp. 100.000,maka sumpah hanya seharga itulah


nilai diri saya sebagai seorang manusia.
Bahkan ketika ia menjanjikan jabatan
di bawah kekuasaannya, maka sekali
lagi sumpah, hanya serendah itulah
martabat saya dihadapannya. Apapun
alasan

saya

menerimanya,

entah

kondisi keluarga yang tak punya apaapa, atau agar terlihat hebat di mata
mertua, keluarga, bahkan masyarakat lainnya, satu hal yang pasti membudaya, mental saya yang
hanya akan mau bekerja saat menguntungkan saya. Inilah yang sangat menakutkan bukan bagi saya
pribadi tapi untuk anak bahkan kelak cucu saya, bukan bagi generasi saya sendiri melainkan pada
generasi selanjutnya.
Harus ada pencerdasan dalam diri kita semua. Saya pun tahu hidup ini susah, karena
memang ini yang mereka lakukan agar kita rela dan pasrah melakukan apa yang saya katakan
sebelumnya. Ini namanya penjajahan atau lebih tegasnya perbudakan. Bukan sepasang kaki dan
sepasang tangan serta leher yang dirantai tapi kali ini suara hati, mental, dan pikiran yang telah
terantai.

Ini yang membuat kita selalu kalah dan terpecah. Sikap yang hanya mau bekerja saat
dibayar, mau memilih saat dibayar, mau memberikan saat menguntungkan bukan untuk mereka
yang miskin dan papah namun untuk diri kita sendiri dan golangan saja.
Untuk kesekian kalinya sumpah, Tuhan telah menegaskan, tak ada perbedaan di antara
manusia kecuali daya ibadahnya. Lantas mengapa kita harus merendahkan satu golongan untuk
meninggikan golongan lainnya, mengapa kita harus menjerumuskan satu orang untuk menjunjung
orang lainnya. Apa tak mampu kita membuatnya lebih sederhana dan lebih bersahaja, ketika
seorang pemimpin memimpin atas dasar kepercayaan rakyatnya,
ketika rakyat memilih bukan karena ada paksaan atau semacam
imbalannya. Saya hanya ingin kita melakukan hal dari sudut
berbeda, memilih pemimpin bukan dari uang atau golongan yang
ada di belakangnya, tapi lebih pada bagaimana ia menginspirasi
semuanya, berbagi tanpa mengharap imbalannya, beribadah
tanpa ingin dilihat setiap mata, dan maju bukan dari egois dalam
dirinya melainkan menjadikan kepemimpinannya sebagai sarana
ibadah kepada Tuhannya.
Dari mana kita mengetahuinya? Masih adakah orang seperti itu di luar sana? Saya sendiri tak
tahu jawabannya, yang saya tahu jika kita tak menemukannya, kenapa bukan kita sendiri yang
menjadi ia.
Pram, 5 Januari 2014 (17.00 wib)

Anda mungkin juga menyukai