Anda di halaman 1dari 6

Strategi Promosi Perilaku Sadar Gizi

Pusat

Kesehatan

Masyarakat

(PUSKESMAS)

adalah

salah

satu

sarana

pelayanan kesehatan masyarakat yang amat penting di Indonesia yang memberikan pelayanan
secara menyeluruh, terpadu dan bersinambungan kepada masyarakat dalam suatu wilayah
kerja tertentu dalam bentuk usaha-usaha kesehatan pokok dan langsung berada dalam
pengawasan administratif maupun teknis dari Dinas Kabupaten (Entjang, 2000). Jika ditinjau
dari sistem pelayanan kesehatan di Indonesia, maka peranan dan kedudukan PUSKESMAS
adalah sebagai

ujung tombak

mengembangkan puskesmas

sistem

pelayanan

kesehatan

di

Indonesia.

Pemerintah

dengan tujuan untuk mendekatkan pelayanan kesehatan kepada

masyarakat. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 128/ MENKES/ SK/II/ 2004
Tentang Kebijakan Dasar Puskesmas mempunyai fungsi sebagai pusat penggerak pembangunan
yang berwawasan kesehatan dimana Puskesmas aktif memantau dan melaporkan dampak
kesehatan program

pembangunan dan pemeliharaan kesehatan pencegahan, penyembuhan

dan pemulihan kesehatan melalui pelayanan yang diberikan.

Indeks
memperlihatkan

Pembangunan Manusia (IPM)


kualitas

manusia

merupakan indikator gabungan

secara

komprehensif

dari

yang

segi ekonomi,

pendidikan dan kesehatan. Indikator derajat kesehatan masyarakat diukur dari Umur Harapan
Hidup

(UHH)

yang

terkait

erat

dengan

Angka

Kematian Ibu

(AKI),

Angka Kematian Bayi (AKB) dan status gizi bayi dan balita. Tingginya angka kematian ibu dan
anak tidak terlepas dari masalah gizi masyarakat. Gambaran status gizi bayi dan balita menurut
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 terdapat 11,5 % Bayi Berat Lahir Rendah
(BBLR), 18,4 % Balita gizi kurang dan merupakan penyebab utama tingginya angka gizi kurang
dan kematian balita. Balita pendek 36,8%, balita kurus 13,6% juga sebagai akibat dari gizi
kurang. Masalah kurang gizi lainnya yaitu Anemia Gizi Besi (AGB) yang diderita oleh 27,7%
kelompok umur 1-4 tahun dan pada ibu hamil 40,1%. Selain masalah gizi kurang, juga ada
kecenderungan masalah gizi lebih, sejak beberapa tahun terakhir, dari hasil survai di
12 perkotaan tahun 1998 menunjukkan sekitar 12% penduduk dewasa menderita gizi
lebih (Kementrian Kesehatan RI, 2010).

Status gizi masyarakat dapat digambarkan terutama pada status gizi balita. Perilaku
keluarga sadar gizi yang rendah akan dapat berdampak pada status kesehatan dan gizi balita.
Keadaan ini dapat dilihat dari 54% balita mengalami demam dalam 3 bulan terakhir,
20,69% balita dengan status gizi kurang dan 5,17% balita dengan gizi buruk, jika dilihat pada
KMS-Balita, berat badan berada di bawah garis merah (Asmarni, dkk, 2006). Meningkatnya
kasus

gizi

buruk

menunjukkan

rumah tangga. Dampak krisis

rendahnya

ekonomi juga

masyarakat. Keadaan gangguan gizi telah lama

ketahanan

menurnkan

pangan

kemampuan

di

tingkat

daya

beli

menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah

telah mengupayakan penanggulangan masalah gizi dengan mengembangkan Usaha Perbaikan


Gizi Keluarga (UPGK). Kegiatan utama UPGK adalah penyuluhan gizi melalui pemberdayaan
keluarga dan masyarakat. Strategi lain yang dapat dilakukan adalah melalui keluarga sadar gizi
atau disebut juga dengan KADARZI. Tujuan dari program KADARZI adalah meningkatkan
pengetahuan dan perilaku keluarga untuk mengatasi masalah gizi. Indikator keluarga sadar gizi
antara lain adalah; status gizi anggota keluarga khusunya ibu dan anak baik, tidak ada lagi bayi
berat

lahir

rendah

pada

keluarga, semua

anggota

keluarga

menkonsumsi

garam

beryodium, semua ibu memberikan hanya ASI saja pada bayinya sampai usia 6 bulan dan semua
balita yang ditimbang naik berat badannya sesuai usia. Masa balita sering dinyatakan sebagai
masa kritis dalam rangka mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas, terlebih periode 2
tahun pertama merupakan masa emas pertumbuhan dan perkembangan otak yang optimal. Jika
masalah gangguan gizi pada balita dibiarkan akan berakibat fatal, Indonesia akan kehilangan
generasi penerus bangsa yang berkualitas (loss generation) (Depkes, 2004).

Tingginya AKI, AKB, dan status gizi buruk/kurang pada bayi dan balita serta
masih rendahnya

cakupan imunisasi

sangat

terkait

dengan faktor perilaku yaitu perilaku pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan pada
tenaga kesehatan, pemenuhan gizi ibu dan anak, penimbangan balita serta mengonsumsi
suplementasi yang diperlukan

dan

disediakan

di

fasilitas

kesehatan.

Masalah gizi pada umumnya dimulai dari rendahnya pengetahuan dan perilaku keluarga
mengenai gizi. Pada umumnya keluarga telah memiliki pengetahuan dasar mengenai gizi, namun
sikap dan keterampilan serta kemauan untuk bertindak memperbaiki gizi keluarga masih
rendah. Sebagian keluarga menganggap asupan makanannya selama ini cukup memadai karena
2

tidak ada dampak buruk yang mereka rasakan. Gambaran perilaku gizi yang tidak baik
ditunjukkan dengan masih rendahnya pemanfaatan Posyandu oleh anak Balita yaitu hanya
46% anakbalita yang ditimbang, yang tidak pernah ditimbang sama sekali 26% (Riskesdas
2007). Keadaan ini yang mempengaruhi upaya deteksi dan gangguan pertumbuhan pada bayi dan
Balita serta pemberian suplemen gizi rendah. Sementara itu perilaku gizi lain yang belum
baik

adalah

ibu

yang

menyusui

bayi

0-6

bulan

secara

eksklusif

baru mencapai

39%. Perilaku masyarakat tersebut dilandasi adanya kepercayaan, adat kebiasaan dan mitos
negatif pada keluarga yang perlu mendapat perhatian (Kementrian Kesehatan RI, 2010).

Selain itu keterlibatan dan perhatian pihak LSM di pusat dan daerah terhadap masalah
kesehatan dan gizi masyarakat belum memadai. Hal serupa terjadi juga pada peranan tokoh
masyarakat dan tokoh agama yang sebetulnya memiliki pengaruh yang kuat di masyarakat tetapi
belum berperan secara optimal. Di tingkat pemerintahan perlu adanya kebijakan pemerintah yang
mendukung terlaksananya perubahan perilaku sadar gizi. Dengan berlakunya otonomi daerah
dan desentralisasi yang didukung oleh Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999, bidang kesehatan
merupakan salah satu kewenangan pemerintah daerah yang wajib dipenuhi. Pemerintah daerah
juga diwajibkan untuk merealisasikan Standar Pelayanan Minimal (SPM) sesuai Peraturan
Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, dimana perilakusadar gizi juga merupakan bagian dari
SPM. Pada satu sisi, dinamika desentralisasi dan otonomi daerah telah membuka peluang bagi
pemerintah kabupaten/kota untuk berinovasi dan mengembangkan program yang lebih sesuai
dengan kebutuhan dan karakteristik daerahnya masing-masing. Meski termasuk dalam kategori
kewenangan wajib, dalam praktik di lapangan, komitmen setiap pemerintah daerah bervariasi
dan atau fluktuatif. Dengan diketahuinya peluang-peluang dan hambatan-hambatan di tingkat
keluarga, masyarakat, pelayanan kesehatan dan pemerintahan kabupaten/kota, maka perlu upaya
terobosan untuk mempercepat perwujudan perilaku sadar gizi. Untuk itu perlu disusun Pedoman
Promosi Keluarga Sadar Gizi bagi semua pihak yang berkepentingan di berbagai jenjang
administrasi. Di sinilah perlu peran lebih dari semua tenaga kesehatan, khususnya dokter
(Kementrian Kesehatan RI, 2010).

Berdasarkan uraian masalah yang sudah diuraikan di atas,sebagai dokter yang berada di
pelayanan kesehatan primer, bisa memikirkan berbagai strategi untuk mengatasi masalah
3

tersebut. Beberapa upaya yang bisa dilakukan antara lain upaya pemberdayaan masyarakat,
yaitu proses pemberian informasi secara terus menerus dan berkesinambungan mengikuti
perkembangan sasaran diberbagai tatanan, serta proses membantu sasaran, agar sasaran
tersebut berubah dari tidak tahu menjadi tahu atau sadar gizi, dari tahu menjadi mau dan dari
mau menjadi

mampu

melaksanakan

perilaku

sadar

gizi. Sasaran

utama pemberdayaan

masyarakat adalah individu, keluarga dan kelompok masyarakat. Yang kedua ialah menciptakan
opini atau lingkungan sosial yang mendorong individu, keluarga dan kelompok masyarakat
untuk mau melakukan perilaku sadar gizi. Cara yang bisa ditempuh antara lain dengan
melakukan pendekatan kepada masyarakat, atau tokoh masyarakat yang dipatuhi di
lingkungannya. Seseorang akan terdorong untuk melakukan perilaku sadar gizi apabila
lingkungan sosial dimana dia berada (keluarga di rumah, orang-orang menjadi panutan, idolanya,
majelis agama, dan lain-lain) memiliki opini yang positif terhadap perilaku sadar gizi. Bina
suasana perlu dilakukan karena akan mendukung proses pemberdayaaan masyarakat khususnya
dalam upaya mengajak para individu dan keluarga dalam penerapan perilaku sadar gizi,
memberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya gizi pada bayi dan balita karena
kebutuhan gizi pada masa tersebut sangatlah penting untuk pertumbuhan dan perkembangan
selanjutnya(Direktorat Bina Gizi Masyarakat, 2007).

Selain itu adalah upaya atau proses yang strategis dan terencana untuk mendapatkan
komitmen dan dukungan dari pihak-pihak yang terkait. Upaya ini diarahkan untuk menghasilkan
kebijakan yang mendukung peningkatan penerapan perilaku sadar gizi. Kebijakan publik di
sini dapat mencakup peraturan perundangan di tingkat nasional maupun kebijakan di daerah
seperti Peraturan Daerah (PERDA), Surat Keputusan Gubernur, Bupati/Walikota, Peraturan Desa
dan lain sebagainya. Yang terakhir yaitu dengan mengadakan kerja sama yang formal antara
individu-individu,

kelompok-kelompok

atau

organisasi-organisasi

untuk

mencapai

peningkatan perilaku sadar gizi. Semua itu sudah tercantum dalam Keputusan Menteri Kesehatan
RI No. 585/MENKES/SK/V/2007, Tentang Pedoman Pelaksanaan Promosi Kesehatan
di Puskesmas.
Kegiatan pengabdian masyarakat berupa penyuluhan kesehatan tentang perilaku sadar
gizi akan meningkatkan pengetahuan dan peran serta ibu tentang perilaku apa saja yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan gizi balitanya. Ibu akan dapat meningkatkan gizi balita
4

dan keluarganya dengan berperilaku sadar gizi, antara lain; memantau berat badan balita
secara teratur setiap bulan ke Posyandu, mengkonsumsi makanan yang beraneka ragam, hanya
mengkonsumsi garam beryodium, memberikan hanya ASI saja kepada bayi sampai usia 6 bulan,
serta

mendapatkan

dan

memberikan

makanan

tambahan

bagi

balitanya. Jika

dilihat dari pendidikan ibu balita, pada umumnya SD dan SMP, pekerjaan kepala
keluarga sebagian besar

wiraswasta dan bertani, sehingga

keadaan

ini mempengaruhi

ketahanan pangan keluarga karena kurangnya kemampuan keluarga dalam membeli makanan
yang bergizi dan berkualitas. Para ibu juga masih beranggapan bahwa makanan yang bergizi itu
adalah ayam, daging, dan ikan, sehingga sehari-hari mereka tidak dapat mengkonsumsi gizi
seimbang karena tidak mencari pengganti makanan sumber gizi di atas dengan yang lain
seperti tempe, tahu, kacang-kacangan dan lain-lain. Kegiatan penyuluhan juga dilakukan untuk
membantu mengatasi masalah gizi makro. strategi yang dilakukan untuk mengatasi masalah gizi
makro adalah melalui pemberdayaan keluarga di bidang kesehatan dan gizi, subsidi langsung
berupa dana untuk pembelian makanan tambahan dan penyuluhan pada ibu balita gizi buruk dan
ibu hamil yang mengalami kurang gizi kronis (Depkes RI, 2006).

Demikian berbagai hal yang bisa dilakukan oleh tenaga medis khususnya dokter
yang berada di pelayanan kesehatan primer, yang merupakan ujung tombak kesehatan. Banyak
sekali masalah yang dihadapi dalam bidang kesehatan masyarakat, di sinilah diperlukan adanya
kompetensi tenaga medis yang mempunyai keterampilan dalam melakukan promosi kesehatan,
dan tentunya dukungan dari segala pihak untuk membantu dalam tercapainya derajat kesehatan
yang lebih baik, dengan demikian dapat meningkatkan taraf IPM secara menyeluruh.

Daftar Pustaka
Asmarni dkk, (2006). Winshield Survey Status Kesehatan Gizi Bayi dan Balita di RW 01
Kelurahan Gurun Laweh Kecamatan Nanggalo Padang. Padang.
Depkes RI. (2004). Keluarga Sadar Gizi, Mewujudkan Keluarga Cerdas dan Mandiri. Tersedia
di:http://perpustakaan.depkes.go.id:8180/handle/123456789/1376 [Diakses pada 1 Mei
2014].
Depkes RI. (2006). Program Perbaikan Gizi Makro. Tersedia di:www.Depkes.go.id. [Diakses
pada 1 Mei 2014].
Depkes RI dan WHO. (2000). Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional 2001 2005 Jakarta.
Direktorat Bina Gizi Masyarakat. (2007). Pedoman strategi kie keluarga sadar gizi
(KADARZI). Tersedia

pada:http://gizi.depkes.go.id/wp-content/uploads/2012/05/strategi-

KIE-Kadarzi.pdf [Diakses pada 1 Mei 2014].


Entjang, Indan. (2000). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Kementrian Kesehatan RI. (2004). KMK. RI No. 128/MENKES/SK/II/2004, Tentang Kebijakan
DasarPuskesmas.Tersediadi:http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes/KMK%2
0No.%20128%20ttg%20Kebijakan%20Dasar%20Pusat%20Kesehatan%20Masyarakat.pdf
[Diakses pada 1 Mei 2014].
Kementrian Kesehatan RI. (2007). KMK. RI No.585/MENKES/SK/V/2007, Tentang Pedoman
Pelaksanaan

Promosi

Kesehatan

di Puskesmas.

Tersedia

di:

http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes/KMK%20No.%20585%20ttg%20Ped
oman%20Pelaksanaan%20Promosi%20Kesehatan%20Di%20Puskesmas.pdf [Diakses pada
1 Mei 2014].
Kementrian Kesehatan RI. (2010). Rencana Operasional Promosi Kesehatan Ibu dan Anak.
Tersediadi:http://www.promkes.depkes.go.id/bahan/Rencana%20Operasional%20KIA.pdf
[Diakses pada 1 Mei 2014].
Merdawati, Leni dan Rika Sabri. (2008). Upaya Perbaikan Gizi Balita Melalui Geraka Keluarga
Sadar Gizi (Kadarzi) Di Rw 01 Kelurahan Gurun Laweh Kecamatan Nanggalo
Padang. Tersedia

di:http://repository.unand.ac.id/2576/3/9._Leni_Mardawati.pdf[Diakses

pada 1 Mei 2014].

Anda mungkin juga menyukai