Pola Pembiayaan Usaha Kecil (Ppuk)
Pola Pembiayaan Usaha Kecil (Ppuk)
BANK INDONESIA
Direktorat Kredit, BPR dan UMKM
Pengasinan telur merupakan salah satu cara penambahan umur simpan telur
yang umum dilakukan oleh masyarakat. Telur asin merupakan salah satu
sumber protein yang mudah didapat dan berharga relatif murah. Telur asin
sebagai bahan makanan yang telah diawetkan mempunyai daya tahan
terhadap kerusakan yang lebih tinggi dibandingkan telur mentah. Telur
umumnya mengandung protein 13%, lemak 12%, mineral dan vitamin.
Selain lebih awet telur asin juga digemari karena rasanya yang relatif lebih
lezat dibandingkan telur tawar biasa.
a. Profil Usaha
Usaha pembuatan telur asin adalah salah satu jenis industri makanan yang
umumnya berskala mikro dan kecil. Bahan baku utama yang akan dijadikan
telur asin adalah telur itik, sedangkan jenis telur lainnya tidak lazim
dilakukan karena kebiasaan dari masyarakat kita yang menganggap telur
asin berasal dari telur itik.
Lokasi industri telur asin umumnya cukup dekat dengan daerah peternakan
itik dan merupakan daerah pesawahan yang luas seperti di Kabupaten
Cirebon dan Kabupaten Indramayu.
b. Pola Pembiayaan
Pola pembiayaan usaha produksi telur asin dapat berasal dari pengusaha
sendiri maupun dari bank dengan proporsi yang sangat beragam antar
pengusaha. Sumber dana lain berasal dari lembaga Pemerintahan seperti
Merujuk pada perkembangan perbankan syariah, maka pada buku ini salah
satu produk syariah yang digunakan untuk pembiayaan industri telur asin
adalah murabahah (jual beli).
1. Permintaan
Industri telur asin mempunyai peranan yang cukup penting bagi industri
pangan nasional terutama dalam memenuhi kebutuhan protein dan lemak
masyarakat. Persentase telur sebagai sumber protein adalah sebesar 2,08%
dari seluruh bahan pangan yang umum dikonsumsi.
Menurut data dari BPS Cirebon, produksi telur itik di Kabupaten Cirebon
tahun 2003 adalah sebanyak 24.000.000 butir dengan lebih dari 30% diolah
menjadi telur asin. Sedangkan konsumsi per kapita beberapa jenis telur dan
susu yang dikonsumsi masyarakat Indonesia per kapita disajikan pada Tabel
3.1. Jumlah total telur asin yang dikonsumsi akan didapatkan dari hasil
perkalian nilai di Tabel 3.1 ini dengan jumlah penduduk Indonesia.
Tabel 3.1.
Konsumsi per Kapita Telur dan Susu di Indonesia
Tahun
Komoditi
1990 1993 1996 1999 2002
Telur Itik (butir) 6,6 6,6 4,52 3,22 4,47
Telur Asin (butir) 1,51 1,56 1,98 0,99 1,92
Telur Ayam (kg) 2,55 3,28 4,71 7,88 4,58
Susu (liter) 0,31 0,31 0,21 0,21 0,21
1 kg telur ayam = 16 butir
Sumber : BPS (Data Susenas)
Tabel 3.1 menunjukkan bahwa konsumsi telur tertinggi berasal dari telur
ayam diikuti dengan telur itik tawar kemudian telur asin. Konsumsi telur asin
umumnya hanya sekitar 25 – 30% dibandingkan jumlah konsumsi telur itik
tawar. Persentase ini umumnya tidak mengalami perubahan yang cukup
berarti. Dari tahun ke tahun konsumsi telur asin per kapita umumnya tidak
mengalami perubahan yaitu sekitar 2 butir per orang per tahun.
Pada tahun 1999 terjadi penurunan permintaan telur asin yang cukup besar
dimana pada tahun yang sama terjadi peningkatan konsumsi telur ayam,
dengan pertimbangan bahwa penurunan konsumsi telur asin diakibatkan
beralihnya konsumen ke telur ayam. Meski demikian pada tahun-tahun
berikutnya perbandingan konsumsi telur per kapita sudah kembali pada nilai
–nilai yang hampir sama dengan tahun sebelumnya.
Tabel 3.2.
Pengeluaran per Kapita untuk Bahan Pangan Masyarakat Kabupaten Cirebon
Pengeluaran pada tahun (Rp/bulan)
Bahan
1999 2000 2001 2002 2003
Konsumsi Telur +
10.182 13.362 14.341 16.536 16.854
Susu
Total Konsumsi 256.891 276.732 284.881 333.714 386.766
Sumber : BPS Cirebon
Seperti yang diperlihatkan pada Tabel 3.2. pengeluaran per kapita untuk
konsumsi telur dan susu tidak mengalami perubahan yang cukup drastis,
dimana perubahan pengeluaran tersebut lebih disebabkan oleh peningkatan
harga dan bukan oleh peningkatan jumlah pembelian.
Meskipun dari sisi statistik tidak terjadi perubahan jumlah konsumsi per
kapita yang drastis, berdasarkan informasi dari pengusaha industri telur asin
di Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Indramayu, diperoleh gambaran bahwa
prospek pasar produk telur asin masih baik, karena ketersediaan bahan
baku, jaminan pasar serta dinilai sebagai usaha yang menguntungkan. Selain
itu perluasan pasar dari daerah sentra telur asin ke daerah-daerah baru
semakin meningkat seiring dengan semakin baiknya sarana dan prasarana
transportasi.
2. Penawaran
Analisa pasar terhadap penawaran produk telur asin secara langsung masih
belum dilakukan secara nasional. Perhitungan tidak langsung dapat dilakukan
dengan memperkirakan persentase jumlah telur itik yang diasinkan
dibandingkan produksi telur itik nasional. Data produksi total telur itik di
Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3.
Produksi Telur Itik Indonesia
Tahun Produksi (ton) Pertumbuhan (%)
2000 144.306
2001 157.578 9,2
2002 169.651 7,66
2003 185.037 9,07
2004 194.004 4,85
Sumber : Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan
Persaingan yang terjadi pada industri telur asin tidak tajam, karena para
pengusaha umumnya telah mempunyai pelanggan tetap. Upaya yang harus
dilakukan pengusaha adalah menjaga mutu sehingga pelanggan puas dan
tidak pindah ke pengusaha lain. Persaingan yang mungkin akan terjadi
adalah persaingan untuk mendapatkan bahan baku yang murah, dimana
petani itik petelur dapat saja memilih untuk menetaskan telur dibandingkan
menjual telur tawar kepada produsen telur asin.
Permintaan telur itik di Kabupaten Cirebon sebanyak 96,4 juta butir pertahun
dan 6,9 juta butir/tahun diantaranya akan ditetaskan. Penetasan telur
menjadi salah satu usaha yang cukup menguntungkan karena harga anak itik
muda hasil penetasan (DOD) lebih mahal (antara Rp 3.000 hingga Rp 4.000
per ekor) dibandingkan harga telur itik tawar yang dapat mereka jual ke
produsen telur asin (sekitar Rp 625 per butir). Padahal hanya diperlukan
waktu kurang dari satu bulan untuk menetaskan itik dengan peralatan
penetas yang sederhana dan harganya relatif murah (sekitar Rp 600.000
untuk kapasitas 700 butir).
c. Harga
Harga bahan baku utama industri ini adalah telur itik tawar yang dibeli
dengan harga Rp 550 - Rp 650 per butir. Harga bahan baku telur itik tidak
mengalami perubahan yang signifikan selama tidak terjadi kegagalan panen
pada suatu daerah yang akan mengakibatkan berkurangnya stok telur itik
yang menyebabkan meningkatkan harga telur itik tawar.
Harga telur asin yang dijual kepada konsumen berkisar antara Rp 750 – Rp
1.000 per butir. Perbedaan harga ditentukan berdasarkan ukuran telur asin,
harga telur asin dengan ukuran lebih besar dapat mencapai Rp 100 lebih
d. Jalur Pemasaran
Penjualan produk industri telur asin ini dapat dilakukan sendiri oleh
pengusaha maupun melalui jasa agen penjualan, dengan pembeli konsumen
langsung, rumah-rumah makan dan perkantoran. Pola pemasaran produk
telur asin ini secara umum terbagi tiga, yaitu :
e. Kendala Pemasaran
Kendala pemasaran yang dihadapi oleh industri telur asin adalah harga
bahan baku yang meningkat setiap saat manakala terjadi kegagalan panen
padi. Lonjakan harga bahan baku memaksa produsen untuk menaikkan
Lokasi usaha industri telur asin harus berorientasi pada daerah produksi telur
itik sebagai sumber bahan baku utama, yaitu pada umumnya daerah
persawahan. Wilayah Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cirebon
merupakan salah satu sentra industri telur asin terbesar di Jawa Barat,
karena pada daerah persawahan yang besar ini terdapat cukup banyak usaha
peternakan itik.
Ruangan proses produksi industri telur asin tidak harus memenuhi suatu
standar tertentu, namun diperlukan beberapa ruangan dengan tingkat
pencahayaan yang berbeda. Ruangan untuk melakukan penyortiran dan
pencucian telur harus ruangan yang terang, sedangkan ruangan untuk
pengasinan telur diharapkan cukup tertutup dan hangat.
Peralatan yang banyak digunakan dalam proses produksi telur asin adalah
ember atau baskom untuk tempat pencampuran adonan dengan telur serta
tempat untuk mencuci telur. Adapun peralatan lainnya berupa panci tempat
perebusan telur dan kompor minyak tanah. Disamping itu dibutuhkan tempat
penyimpanan telur untuk menyimpan telur asin pada proses pengasinan.
c. Bahan Baku
Bahan baku utama industri telur asin adalah telur itik yang diperoleh dari
peternak lokal dengan cara membeli di tempat peternakan itik. Untuk
menjaga mutu dari telur asin yang dihasilkan, maka bahan baku telur itik
umumnya berukuran besar, masih segar dan tidak retak
d. Tenaga Kerja
Tenaga kerja yang terlibat dalam industri telur asin sebanyak 10 orang
dengan upah Rp 250.000 – Rp 400.000 per bulan, 2 orang tenaga
pemasaran dengan upah Rp 500.000 per bulan, seorang tenaga administrasi
untuk mengawasi dan bertanggung jawab terhadap keuangan umum dan
pemesanan dengan upah Rp 600.000 per bulan. Untuk membina dan
menjalin hubungan dengan klien dan bank serta bertanggung jawab
terhadap keseluruhan kegiatan usaha adalah seorang manajer dengan upah
Rp 1.000.000 per bulan. Pada umumnya tenaga kerja tersebut berasal dari
daerah sekitar lokasi usaha (ada ikatan keluarga atau tetangga). Kecuali
untuk manajer, maka seluruh pekerja tidak diharuskan mempunyai
spesialisasi keahlian atau tingkat pendidikan minimum tertentu selama
mereka mampu mengerjakan tugas yang telah menjadi tanggung jawabnya.
Telur asin dapat dibuat melalui beberapa teknik penggaraman yang secara
umum dibagi menjadi tiga macam proses, yaitu :
Teknik penyuntikan merupakan teknik yang paling mudah dan cepat untuk
menghasilkan telur asin, tetapi cara ini sangat beresiko dalam menghasilkan
telur asin yang baik dan mulus, karena adanya proses pelubangan kulit telur
guna memasukkan cairan garam. Jika pengusaha belum trampil dan belum
menguasai cara ini, maka teknik ini dianjurkan untuk tidak dilakukan.
f. Proses Produksi
Proses produksi telur asin yang dilakukan dalam studi pola pembiayaan ini
adalah proses pemeraman melalui pembungkusan dengan adonan garam dan
tanah liat. Diagram alir proses pembuatan telur asin adalah sebagai berikut:
Penseleksian telur itik dilakukan pada saat pembelian telur di peternak itik
dimana telur dengan kualitas jelek tidak akan diterima/dibeli. Sedangkan
penyeleksian telur di lokasi pabrik dilakukan pada saat akan melakulan
pencampuran dengan adonan. Tingkat kegagalan proses ini sangat rendah,
dimana dari 1000 butir telur hanya terdapat 1 butir yang tidak layak untuk
dijadikan telur asin (satu permil).
b. Pembuatan adonan
Adonan yang digunakan dalam proses pemeraman telur itik adalah campuran
antara garam, tanah liat atau serbuk bata merah. Garam menjadi bahan
pembantu utama karena berfungsi sebagai pencipta rasa asin dan sekaligus
bahan pengawet serta dapat mengurangi kelarutan oksigen (oksigen
diperlukan oleh bakteri), menghambat kerja enzim proteolitik (enzim perusak
protein), dan menyerap air dari dalam telur. Perbandingan kebutuhan bahan
adonan untuk garam dan tanah liat adalah 1 : 3 (Tabel 4.1), kemudian
dilakukan pengadukan hingga rata dan berbentuk seperti bubur kental.
Tabel 4.1.
Komposisi Bahan Penyusun Adonan Pengasin (Kapasitas 150.000 butir)
c. Pemeraman
Proses perendaman dalam adonan pengasin adalah salah satu faktor penentu
derajat keasinan telur asin (Photo 4.2). Proses ini diawali dengan
memasukkan telur itik yang telah diseleksi ke dalam wadah/ember yang
telah berisi adonan. Setelah seluruh lapisan telur tertutup oleh adonan, maka
telur tersebut dipindahkan kedalam kotak kayu yang telah disiapkan untuk
proses pemeraman (Photo 4.3). Pemeraman yang baik adalah selama 10
hari. Namun demikian lamanya proses pemeraman dalam bungkus adonan
akan disesuaikan dengan selera masyarakat yang akan mengkonsumsinya,
d. Pencucian
e. Perebusan
Setelah dilakukan perebusan, telur asin dikeluarkan dari panci perebus dan
dilakukan proses penirisan. Proses ini dilakukan di atas wadah dimana telur
diangin-anginkan hingga kering dan tidak terlalu panas. Proses selanjutnya
adalah pemberian cap merek dagang dan kode produksi.
g. Penyimpanan
Pada tahapan akhir proses produksi, telur asin yang telah diberi cap merek
akan dikemas dalam berbagai macam bentuk pengemas, seperti pengemas
plastik (Photo 4.9). Namun hanya sekitar 25% dari total produksi telur asin
dikemas dalam pengemas plastik tersebut. Selanjutnya untuk keperluan
pengiriman ke konsumen, sebelum dibawa menggunakan mobil pengangkut,
dilakukan pengepakan dan penyimpanan dalam kotak-kotak kayu (Photo
4.10) .
Tidak ada klasifikasi yang jelas untuk membedakan jenis telur asin yang
dijual. Perbedaan harga jual telur asin sangat ditentukan oleh besar kecilnya
telur asin, dimana. perbedaan harga telur asin untuk ukuran besar dan kecil
berkisar antara Rp 100 - Rp 200.
h. Produksi Optimum
i. Kendala Produksi
Faktor kritis industri telur asin ini adalah ketersediaan dan kontinuitas bahan
baku, dimana bila terjadi kegagalan panen pasokan bahan telur itik tidak
akan cukup. Oleh karena itu pengusaha harus mendatangkan telur itik dari
daerah lain.
Pada proses produksi, faktor kritis lain terdapat pada waktu penseleksian
telur, karena mutu telur yang akan diolah merupakan hal dominan dalam
penentuan mutu produk telur asin.
Produk yang dipilih untuk usaha industri telur asin adalah telur asin yang
telah direbus. Industri ini mendapatkan bahan baku dengan cara membeli
telur itik ke peternak secara langsung. Pembelian bahan baku secara
langsung dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan kualitas bahan baku
yang baik serta menjamin kesinambungan ketersediaan pasokan telur itik.
Pada proses produksi, tingkat kerusakan hasilnya pun sangat kecil yaitu
hanya satu per mil per produksi. Sedangkan untuk pasar telur asin,
umumnya pengusaha sudah mempunyai pelanggan yang pasti (captive
market). Dengan demikian usaha industri telur asin ini tingkat resikonya
sangat kecil. Oleh sebab itu, industri telur asin memiliki prospek untuk
dikembangkan.
Produk murabahah juga sebagai upaya untuk mitigasi resiko baik terhadap
usaha maupun nasabah, karena pada produk pembiayaan ini margin secara
pasti ditentukan diawal akad. Di samping itu, pembiayaan murabahah juga
memberi pilihan pada bank maupun nasabah/pengusaha apakah pembiayaan
akan digunakan untuk membiayai seluruh komponen usaha (biaya investasi
dan modal kerja) atau hanya untuk komponen-komponen tertentu, misalnya
untuk pembelian kendaraan atau pembelian bahan baku (telur itik) saja.
1. Harga yang disepakati adalah harga jual, sedangkan harga beli harus
diberitahukan.
2. Kesepakatan margin harus ditentukan satu kali pada awal akad dan
tidak berubah selama periode akad.
3. Jangka waktu pembayaran harga barang oleh nasabah ke bank
/Lembaga Keuangan Syariah (LKS) berdasarkan kesepakatan.
4. Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang
yang telah disepakati kualifikasinya.
5. Dalam hal bank mewakilkan kepada nasabah (wakalah) untuk
membeli barang, maka akad murabahah harus dilakukan setelah
barang secara prinsip menjadi milik bank.
6. Pembayaran secara murabahah dapat dilakukan secara tunai atau
dengan cicilan.
7. Bank dapat meminta nasabah untuk membayar uang muka (urbun)
saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan barang oleh
nasabah. Dalam hal bank meminta nasabah untuk membayar uang
muka maka berlaku ketentuan:
o Jika nasabah menolak untuk membeli barang setelah membayar
uang muka, maka biaya riil bank harus dibayar dari uang muka
tersebut dan bank harus mengembalikan kelebihan uang muka
kepada nasabah. Namun jika nilai uang muka kurang dari nilai
kerugian yang ditanggung oleh bank, maka bank dapat meminta
pembayaran sisa kerugiannya kepada nasabah,
o Jika nasabah batal membeli barang, maka urbun yang telah
dibayarkan nasabah menjadi milik bank maksimal sebesar
kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan
tersebut. Jika urbun tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi
kekurangannya
Tabel 5.1.
Asumsi untuk Analisis Keuangan
Nilai/jumlah
No Asumsi Satuan Alternatif -1 Alternatif � 2
(usaha baru)
(usaha berjalan)
Murabahah (jual Murabahah (jual
1. Produk syariah
beli) beli)
2. Bulan kerja tahun bulan 12 12
Investasi =3 th
3. Jangka waktu pembiayaan tahun Modal kerja = 1th
Modal kerja = 1 th
Produksi telur asin per
4. butir 150.000 150.000
bulan
5. Harga jual telur itik Rp/butir 625 625
Rp /
6 Harga jual telur asin 800 800
butir
7 Margin % 12.5 (flat) 16 (flat)
8 Uang muka % Nol (tidak ada) Nol (tidak ada)
Melalui asumsi produksi sebanyak 5.000 butir per hari dan selama 30 hari
kerja perbulan, maka total produksi telur asin diproyeksikan sebanyak
150.000 butir dengan tingkat kerusakan bahan baku/produksi sebesar 1 o/oo
(satu per mil).
Biaya investasi yang dibutuhkan pada tahap awal industri telur asin ini
meliputi tanah dan bangunan serta prasarana angkutan dan peralatan,
dengan total biaya sebesar Rp 173.525.000. Komponen terbesar adalah
kendaraan (64,83%) untuk pembelian mobil boks, pick-up dan sepeda
motor, kemudian bangunan industri seluas 150.000 m2 (21,61%) serta
peralatan produksi dan pengemas (9,23%), tersaji pada Tabel 5.2.
Selengkapnya ditampilkan pada Lampiran 3.
Tabel 5.2.
Kompisisi Biaya Investasi (Rp)
2. Biaya Operasional
Biaya operasional dalam industri telur asin meliputi biaya tetap dan biaya
variabel. Total biaya operasional per tahun sebesar Rp 1.343.385.000
dengan asumsi bahwa sejak tahun pertama usaha ini sudah dapat beroperasi
dengan kapasitas 100%. Biaya operasional tersebut terdiri dari biaya tetap
Rp 49.920.000,00 dan biaya variabel sebesar Rp 1.293.465.000, tersaji pada
Tabel 5.3. Selengkapnya rincian kebutuhan biaya variabel dan biaya tetap
ditampilkan pada Lampiran 4 dan Lampiran 5.
Tabel 5.3.
Komponen Biaya Operasional (Rp)
Keperluaan dana investasi dan operasional merujuk pada asumsi dari dua
alternatif pembiayaan syariah ditampilkan pada Tabel 5.4.
Total Biaya
Komponen Biaya
No Alternatif 1 Alternatif 2
Proyek
(usaha baru) (usaha berjalan)
1. Biaya Investasi 173.525.000 173.525.000
a. Pembiayaan 70.000.000 0
b. Dana sendiri 103.525.000 173.525.000
2. Biaya Operasional 167.923.125 167.923.125
a. Pembiayaan 140.625.000 140.625.000
b. Dana sendiri 27.298.125 27.298.125
3. Total Biaya Proyek 341.448.125 341.448.125
a. Pembiayaan 210.625.000 140.625.000
b. Dana sendiri 130.823.125 200.823.125
Berdasarkan kapasitas yang ada, produksi telur asin per bulan sebanyak
150.000 butir dengan asumsi kerusakan produk sebesar 1O/oo (satu per
mil). Usaha ini diproyeksikan dapat berproduksi secara optimal sejak tahun
pertama. Dengan harga jual telur sebesar Rp 800 per butir, maka untuk satu
tahun produksi diproyeksikan untuk memperoleh pendapatan sebesar Rp
1.440.000.000, namun dengan asumsi kerusakan yang ada, maka setiap
tahun diperoleh pendapatan sebesar Rp 1.438.560.000. Proyeksi produksi
dan pendapatan usaha serta harga penjualan ditampilkan pada Tabel 5.5 dan
Lampiran 6. Sedangkan diskripsi untuk biaya dan pendapatan dapat dilihat
pada Lampiran 7.
Tabel 5.5.
Proyeksi Produksi dan Pendapatan
Harga
Penjualan Penjualan
No Produk Volume Unit Jual
1 bulan 1 tahun
(Rp)
1 Telur Asin 149.850 butir 800 119.880.000 1.438.560.000
Total 119.880.000 1.438.560.000
Hasil proyeksi laba rugi usaha menunjukkan usaha telur asin telah
menghasilkan laba sejak tahun pertama (kapasitas 100%) sebagaimana
ditambilkan pada Tabel 5.6. Selengkapnya proyeksi rugi laba usaha
ditampilkan pada Lampiran 8.a dan Lampiran 9.a.
Tabel 5.6.
Proyeksi Pendapatan dan Laba Rugi Usaha
Tahun
No Uraian
1 2 3
1 Total Penerimaan 1.438.560.000 1.438.560.000 1.438.560.000
Total Pengeluaran 1.409.709.554 1.409.709.554
1.409.709.554
2 a. Alternatif 1 (baru)
b. Alternatif 2 (berjalan) 1.405.881.429 1.383.381.429 1.383.381.429
Laba/Rugi sebelum Pajak
28.850.446 28.850.446 28.850.446
3. a. Alternatif 1 (baru)
b. Alternatif 2 (berjalan) 32.678.571 55.178.571 55.178.571
Pajak (15%)
4. 4.327.567 4.327.567 4.327.567
a. Alternatif 1 (baru)
b. Alternatif 2 (berjalan) 4.901.789 8.276.786 8.276.786
Laba Setelah Pajak
5. 24.522.879 24.522.879 24.522.879
a. Alternatif 1 (baru)
b. Alternatif 2 (berjalan) 27.776.786 46.901.786 46.901.786
Profit on Sales
6. 1.70% 1.70% 1.70%
a. Alternatif 1 (baru)
b. Alternatif 2 (berjalan) 1.93% 3.26% 3.26%
Keterangan : Produksi telur terjual per tahun = 1.798.200 butir
Untuk aliran kas (cash flow) dalam perhitungan ini dibagi dalam dua aliran,
yaitu arus masuk (cash inflow) dan arus keluar (cash outflow). Arus masuk
diperoleh dari penjualan telur asin selama satu tahun. Untuk arus keluar
meliputi biaya investasi, biaya variabel, biaya tetap, termasuk angsuran
pembiayaan dan pajak penghasilan.
Pada analisa kelayakan dapat juga memakai beberapa indikator yang umum
digunakan pada perhitungan konvensional. Indikator tersebut meliputi IRR
(nternal Rate of Return), Net B/C Ratio (Net Benefit-Cost Ratio), PBP (Pay
Back Period). Nilai IRR bisa menjadi indikator untuk mengukur kelayakan
usaha, semakin tinggi nilai IRR maka usaha tersebut semakin berpeluang
untuk menciptakan keuntungan. Meskipun demikian, indikator tersebut
hanya sebagai alat bantu untuk menilai kelayakan suatu usaha. Besaran
margin ataupun bagi hasil, harus ditetapkan atas dasar kesepakatan kedua
belah pihak (shahibul maal dan mudharib).
i. Perolehan Margin
Pola pembiayaan syariah yang digunakan dalam pembiayaan usaha telur asin
adalah murabahah (jual beli). Pada kesempatan ini ditampilkan 2 (dua)
contoh alternatif pembiayaan yaitu untuk usaha baru (start up) dan usaha
yang sudah berjalan (running). Perhitungan secara rinci, dapat dilihat pada
Lampiran 8.c dan Lampiran 9.c.
Untuk tingkat margin pada contoh pembiayaan alternatif pertama bagi usaha
baru ditetapkan sebesar 12,5% per tahun dan selama tiga tahun proyek
margin yang diperoleh sebesar Rp. 78.984.375. Sedangkan untuk alternatif
kedua bagi usaha yang sudah berjalan tingkat margin ditetapkan sebesar
16% per tahun dan besar perolehan margin selama satu tahun adalah
Rp.22.500.000. Tingkat margin ini diberlakukan flat (tetap) per tahun,
selama umur proyek yang disepakati. Perbedaan tingkat margin karena
mempertimbangkan pada alternatif pertama ada pembiayaan modal kerja
dan investasi sehingga membutuhkan waktu lebih panjang. Oleh karena itu,
tingkat margin yang diberikan direkomendasikan lebih rendah dari usaha
yang sudah berjalan.
Hambatan dan kendala yang dihadapi oleh pengusaha telur asin adalah
cukup lamanya rentang waktu penerimaan hasil penjualan telur asin, karena
sistem pembayaran hasil penjualan telur asin baru diterima 30 hari sejak
proses produksi dilakukan, sedangkan pembelian bahan baku telur itik tawar
dari peternak dilakukan secara tunai setiap dua kali seminggu. Kondisi ini
mengharuskan pengusaha untuk mencadangkan dana pembelian telur itik
tawar untuk jangka satu setengah bulan yang jumlahnya cukup besar.
Kabupaten Indramayu dan Cirebon dikenal sebagai daerah sentra padi dan
peternakan itik. Sebagian besar penduduk bermata pencaharian di bidang
ini, baik sebagai pengusaha ataupun menjadi buruh tani atau peternak.
Keberadaan industri telur asin meningkatkan nilai tambah telur-telur itik
yang dihasilkan di daerah yang bersangkutan. Adanya industri telur asin ini
juga mendorong berkembangnya usaha peternakan itik petelur, sehingga
peningkatan permintaan telur asin akan meningkatkan pula produk telur itik.
Dari segi pemenuhan gizi masyarakat telur asin dapat menjadi salah satu
sumber protein yang dapat dijadikan pengganti daging. Dengan harga yang
murah dan rasa yang lezat, telur asin akan memiliki pasar yang luas yang
tidak saja ditujukan bagi masyarakat menengah kebawah melainkan juga
bagi masyarakat menengah ke atas.
b. Dampak Lingkungan
Proses produksi dalam industri telur asin akan menghasilkan limbah padat
dan limbah cair. Limbah padat umumnya berupa sisa-sisa telur yang tidak
ikut diproduksi atau sisa-sisa pecahan telur akibat proses produksi yang tidak
ditangani dengan hati-hati. Selain itu ada pula limbah padat yang berasal
dari sisa-sisa adonan pengasin yang dibuang setelah proses pengasinan.
Limbah-limbah padat ini umumnya tidak berbahaya bagi lingkungan.
Penanganan limbah ini cukup sederhana, yaitu dengan cara menguburkannya
di dalam tanah dimana untuk bahan organik akan terurai menjadi bahan-
bahan anorganik unsur hara tanah.
Limbah cair yang dihasilkan dari air sisa pencucian telur yang mengandung
sabun pada umumnya langsung dibuang ke saluran air (sungai) tanpa
pengolahan terlebih dahulu. Dalam jangka waktu yang lama limbah sabun ini
dikhawatirkan dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan yang besar,
karena itu tindakan pengolahan limbah secara sederhana sepertinya sudah
menjadi keharusan. Pembuatan bak penampung limbah cair sederhana dapat
menjadi salah satu alternatif penanganan limbah cair yang dihasilkan dari
industri telur asin.
b. Saran
1. Berdasarkan potensi bahan baku, prospek pasar, tingkat teknologi
proses, dan aspek finansial, industri telur asin ini, layak untuk dibiayai.
2. Untuk menjamin kelancaran pengembalian pembiayaan, pihak
perbankan seyogyanya juga turut berpartisipasi dalam pembinaan
usaha ini, khususnya pada aspek keuangan, dan manajemen
pembukuan.