Anda di halaman 1dari 7

BAB 1

PENDAHULUAN
Sampai saat ini penyakit infeksi masih merupakan masalah kesehatan utama di dunia,
terutama di negara tropis dan sedang berkembang, termasuk di Indonesia. Di negara beriklim
tropis dan subtropis, dengan curah hujan dan kelembaban tinggi penyakit bakteri masih
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup serius. Hingga saat ini penyakit yang
disebabkan oleh bakteri sangat banyak dan mereka membuktikan mengancam nyawa ketika
mereka menginfeksi sistem pernapasan dan merusak kesehatan pencernaan. Mereka ada di manamana pada tanah, limbah radioaktif, air, biomassa dan bahkan bahan organik. Bakteri menghuni
tubuh berbagai bentuk kehidupan, seperti tumbuhan dan hewan. Salah satu dari penyakit yang
disebabkan oleh bakteri dan berasal dari hewan adalah leptospirosis.
Leptospirosis adalah penyakit akibat bakteri Leptospira sp. yang dapat ditularkan dari
hewan ke manusia atau sebaliknya (zoonosis). Leptospirosis dikenal juga dengan nama Penyakit
Weil, Demam Icterohemorrhage, Penyakit Swineherd's, Demam pesawah (Ricefield fever),
Demam Pemotong tebu (Cane-cutter fever), Demam Lumpur, Jaundis berdarah, Penyakit
Stuttgart, Demam Canicola, penyakit kuning non-virus, penyakit air merah pada anak sapi, dan
tifus anjing.
Penyakit ini paling sering ditularkan dari hewan ke manusia ketika orang dengan luka
terbuka di kulit melakukan kontak dengan air atau tanah yang telah terkontaminasi air kencing
hewan - bakteri juga dapat memasuki tubuh melalui mata atau selaput lendir. Penyakit ini
ditularkan melalui kencing Tikus, Leptospirosis popular disebut penyakit kencing tikus.
Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1886 oleh Adolf Weil dengan gejala panas
tinggi disertai beberapa gejala saraf serta pembesaran hati dan limpa. Penyakit dengan gejala
tersebut di atas oleh Goldsmith (1887) disebut sebagai Weil's Disease.[rujukan?] Pada tahun 1915
Inada berhasil membuktikan bahwa "Weil's Disease" disebabkan oleh bakteri Leptospira
icterohemorrhagiae.
Leptospirosis ini menjadi masalah kesehatan masyarakat, dimana kesehatan lingkungannya
kurang diperhatikan terutama pembuangan sampah, kuman leptospira akan mudah berkembang
dan sehubungan dengan itu leptospirosis sering disebut penyakit pedesaan.

Leptospirosis merupakan salah satu penyakit yang dapat terjadi setelah banjir. Lebih
tepatnya, penyakit menular ini adalah penyakit hewan yang dapat menjangkiti manusia, termasuk
penyakit zoonosis yang paling sering terjadi di dunia. .International Leptospirosis Society
menyatakan Indonesia sebagai negara insiden leptospirosis tinggi dan peringkat tiga di dunia
untuk mortalitas. Leptospirosis seringkali tidak terdiagnosis karena gejala klinis tidak spesifik,
dan sulit dilakukan konfirmasi diagnosis tanpa uji laboratorium. Kejadian luar biasa leptospirosis
dalam dekade terakhir di beberapa negara telah menjadikan leptospirosis sebagai salah satu
penyakit yang termasuk the emerging infectious diseases.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi

Leptospirosis adalah penyakit akibat bakteri Leptospira sp. yang dapat ditularkan dari
hewan ke manusia atau sebaliknya (zoonosis).[1] Leptospirosis dikenal juga dengan nama
Penyakit Weil, Demam Icterohemorrhage, Penyakit Swineherd's, Demam pesawah (Ricefield
fever), Demam Pemotong tebu (Cane-cutter fever), Demam Lumpur, Jaundis berdarah, Penyakit
Stuttgart, Demam Canicola [2], penyakit kuning non-virus, penyakit air merah pada anak sapi, dan
tifus anjing[1]
Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1886 oleh Adolf Weil dengan gejala panas
tinggi disertai beberapa gejala saraf serta pembesaran hati dan limpa.

[3]

Penyakit dengan gejala

tersebut di atas oleh Goldsmith (1887) disebut sebagai Weil's Disease. Pada tahun 1915 Inada
berhasil membuktikan

bahwa "Weil's

Disease" disebabkan oleh bakteri

Leptospira

icterohemorrhagiae. [3]

2.2 Epidemiologi
Di Indonesia penyakit demam banjir sudah sering dilaporkan di daerah Jawa Tengah seperti
Klaten, Demak atau Boyolali. Angka kematian akibat leptospirosis tergolong tinggi, mencapai 540%. Infeksi ringan jarang terjadi fatal dan diperkirakan 90% termasuk dalam kategori ini. Anak
balita, orang lanjut usia dan penderita immunocompromised mempunyai resiko tinggi terjadinya
kematian.
Penderita berusia di atas 50 tahun, risiko kematian lebih besar, bisa mencapai 56 persen.
Pada penderita yang sudah mengalami kerusakan hati yang ditandai selaput mata berwarna
kuning, risiko kematiannya lebih tinggi lagi. Paparan terhadap pekerja diperkirakan terjadi pada
30-50% kasus. Kelompok yang berisiko utama adalah para pekerja pertanian, peternakan,
penjual hewan, bidang agrikultur, rumah jagal, tukang ledeng, buruh tambang batubara, militer,

tukang susu, dan tukang jahit. Risiko ini berlaku juga bagi yang mempunyai hobi melakukan
aktivitas di danau atau sungai, seperti berenang atau rafting. Penelitian menunjukkan pada
penjahit prevalensi antibodi leptospira lebih tinggi dibandingkan kontrol. Diduga kelompok ini
terkontaminasi terhadap hewan tikus. Tukang susu dapat terkena karena terkena pada wajah saat
memerah susu. Penelitian seroprevalensi pada pekerja menunjukan antibodi positif pada rentang
8-29%.
Meskipun penyakit ini sering terjadi pada para pekerja, ternyata dilaporkan peningkatan
sebagai penyakit saat rekreasi. Aktifitas yang beresiko meliputi perjalanan rekreasi ke daerah
tropis seperti berperahu kano, mendaki, memancing, selancar air, berenang, ski air, berkendara
roda dua melalui genangan, dan kegiatan olahraga lain yang berhubungan dengan air yang
tercemar. Berkemah dan bepergian ke daerah endemik juga menambahkan resiko.

2.3 Etiologi
Penyakit yang terdapat di semua negara dan terbanyak ditemukan di negara beriklim tropis ini,
disebabkan oleh Leptospira interrogans dengan berbagai subgrup yang masing - masing terbagi
lagi atas serotipe bisa terdapat pada ginjal atau air kemih binatang piaraan seperti anjing, lembu,
babi,kerbau dan lain - lain, maupun binatang liar seperti tikus, musang, tupai dan sebagainya.
Genus leptospira terdiri dari 2 kelompok atau kompleks, yang patogen L.interrogans, dan yang
non pathogen atau saprofit L.biflexs kelompok patogen terdapat pada manusia dan hewan.
Kelompok yang patogen atau L.interrogans terdiri dari sub grup yang masing - masingnya
terbagi lagi atas berbagai serotype (serovar) yang jumlahnya sangat banyak. Saat ini telah
ditemukan 240 serotipe yang tergabung dalam 23 serogrup.
Bila terkena bahan kimia atau dimakan oleh fagosit, bakteri dapat kolaps menjadi bola berbentuk
kubah dan tipis. Pada kondisi ini, Leptospira tidak memiliki aktifitas patogenik Leptospira dapat
hidup dalam waktu lama di air, tanah yang lembap, tanaman dan lumpur.

2.4 Cara Penularan


Leptospirosis merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui air (water borne disease)
[4][3]

. Urin (air kencing) dari individu yang terserang penyakit ini merupakan sumber utama

penularan, baik pada manusia maupun pada hewan

[5]

. Kemampuan Leptospira untuk bergerak

dengan cepat dalam air menjadi salah satu faktor penentu utama ia dapat menginfeksi induk
semang (host) yang baru
daerah banjir

[6]

. Hujan deras akan membantu penyebaran penyakit ini, terutama di

[7]

. Gerakan bakteri memang tidak memengaruhi kemampuannya untuk memasuki

jaringan tubuh namun mendukung proses invasi dan penyebaran di dalam aliran darah induk
semang [6].
Kuman Leptospira biasanya memasuki tubuh lewat luka atau lecet kulit, dan kadangkadang lewat selaput di dalam mulut, hidung dan mata. Berbagai jenis binatang bisa mengidap
kuman Leptospira di dalam ginjalnya. Penyampaiannya bisa terjadi setelah tersentuh air kencing
hewan itu atau tubuhnya. Tanah, lumpur atau air yang dicemari air kencing hewan pun dapat
menjadi sumber infeksi. Makan makanan atau minum air yang tercemar juga kadang-kadang
menjadi penyebab penyampaiannya.
Di Indonesia, penularan paling sering terjadi melalui tikus pada kondisi banjir. Keadaan
banjir menyebabkan adanya perubahan lingkungan seperti banyaknya genangan air, lingkungan
menjadi becek, berlumpur, serta banyak timbunan sampah yang menyebabkan mudahnya bakteri
Leptospira berkembang biak. Air kencing tikus terbawa banjir kemudian masuk ke tubuh
manusia melalui permukaan kulit yang terluka, selaput lendir mata dan hidung. Sejauh ini tikus
merupakan reservoir dan sekaligus penyebar utama Leptospirosis
inang alami dan memiliki daya reproduksi tinggi.

[8]

karena bertindak sebagai

2.5 Patofisiologi dan Patogenesis


Leptospira masuk dan beredar ke dalam pembuluh limfatik dan darah dalam
hitungan menit. Setelah leptospira masuk ke dalam tubuh, terjadi respons imun
balik seluler maupun humoral (membentuk antibody spedifik) yang bertujuan
menghilangkan leprospira. Terdapat tujuh antigen leptospira yaitu p32, p37, 041,
p45, p48, p62, p78, yang memicu respons humoral. Di antara semuanya, p32
merupakan antigen yang paling poten dalam menimbulkan respons humoral,
sedangkan p37 tidak selalu diekspresikan oleh strain leptospira. IgM merupakan
respons humoral utama terhadap lipopolisakarida dalam fase akut dan konvalesen.
Sedangkan, IgG bersifat spesifik terhadap protein leptospira. Pertumbuhan
leptospira yang lambat menyebabkan periode inkubasi berlangsung 2-26 hari (2-4
minggu) dan biasanya 3-14 hari.
Fase leprospiremia berlangsung 4-7 hari dan selanjutnya leptospira hanya
ditemukan di ginjal, otak, dan bilik anterior mata. Leptospira dapat dijumpai di
dalam urin mulai dari hitungan hari sampai bertahun-tahun kemudian. Adapun
leptospira yang dijumpai di urin adalah mikroorganisme yang terisolasi dari system

inmun dan mencapai convulated tubules. Fase ini disebut fase leptospiruria yang
berlangsung 1-4 minggu.
Selama leptospiremmia, leptospira mengeluarkan toxin yang dapat merusak
endotel kapiler menyebabkan vaskulitis. Kemudian, terdapat pula perbedaan antara
derajat kerusakan histologist dengan derajat disfungsi organ. Sebagai contoh,
leptospirosis ringan menyebabkan lesi histologist ringan di ginjal dan hati dengan
kerusakan fungsional organ yang nyata. Hal ini menunjukan bahwa kerusakan
bukan terjadi pada struktur organ, melainkan akibat kerusakan kapiler. Dalam kasus
yang ringan (sekitar 90%), infeksi terjadi unifasik yaitu gejala muncul dan berkurang
3-7 hari dengan pemberian antibiotic atau tanpa inervensi sama sekali. Sedangkan
dalam kasus yang sedang hingga berat, infeksi terjadi bifasik dimana sebelum
penyembuhan sebenarnya terdapat remisi transien. Pada fase kedua, muncul gejala
ikterik. Biasanya, tanpa intervensi, infeksi ini dapat menyebabkan kematian pasien
dalam waktu 10 hari. Angka mortalitas akibat leptospirosis sekitar 5-40% dengan
resiko tertinggi pada orang berusia tua dan imunodefisiensi.

Anda mungkin juga menyukai