PENDAHULUAN
Sampai saat ini penyakit infeksi masih merupakan masalah kesehatan utama di dunia,
terutama di negara tropis dan sedang berkembang, termasuk di Indonesia. Di negara beriklim
tropis dan subtropis, dengan curah hujan dan kelembaban tinggi penyakit bakteri masih
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup serius. Hingga saat ini penyakit yang
disebabkan oleh bakteri sangat banyak dan mereka membuktikan mengancam nyawa ketika
mereka menginfeksi sistem pernapasan dan merusak kesehatan pencernaan. Mereka ada di
mana-mana pada tanah, limbah radioaktif, air, biomassa dan bahkan bahan organik. Bakteri
menghuni tubuh berbagai bentuk kehidupan, seperti tumbuhan dan hewan. Salah satu dari
penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan berasal dari hewan adalah leptospirosis.
Leptospirosis adalah penyakit akibat bakteri Leptospira sp. yang dapat ditularkan dari
hewan ke manusia atau sebaliknya (zoonosis). Leptospirosis dikenal juga dengan nama
Penyakit Weil, Demam Icterohemorrhage, Penyakit Swineherd's, Demam pesawah (Ricefield
fever), Demam Pemotong tebu (Cane-cutter fever), Demam Lumpur, Jaundis berdarah,
Penyakit Stuttgart, Demam Canicola, penyakit kuning non-virus, penyakit air merah pada
anak sapi, dan tifus anjing.
Penyakit ini paling sering ditularkan dari hewan ke manusia ketika orang dengan luka
terbuka di kulit melakukan kontak dengan air atau tanah yang telah terkontaminasi air
kencing hewan - bakteri juga dapat memasuki tubuh melalui mata atau selaput lendir.
Penyakit ini ditularkan melalui kencing Tikus, Leptospirosis popular disebut penyakit
kencing tikus.
Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1886 oleh Adolf Weil dengan gejala
panas tinggi disertai beberapa gejala saraf serta pembesaran hati dan limpa. Penyakit dengan
gejala tersebut di atas oleh Goldsmith (1887) disebut sebagai Weil's Disease.[rujukan?] Pada
tahun 1915 Inada berhasil membuktikan bahwa "Weil's Disease" disebabkan oleh bakteri
Leptospira icterohemorrhagiae.
Leptospirosis ini menjadi masalah kesehatan masyarakat, dimana kesehatan
lingkungannya kurang diperhatikan terutama pembuangan sampah, kuman leptospira akan
mudah berkembang dan sehubungan dengan itu leptospirosis sering disebut penyakit
pedesaan.
1
Leptospirosis merupakan salah satu penyakit yang dapat terjadi setelah banjir. Lebih
tepatnya, penyakit menular ini adalah penyakit hewan yang dapat menjangkiti manusia,
termasuk penyakit zoonosis yang paling sering terjadi di dunia. .International Leptospirosis
Society menyatakan Indonesia sebagai negara insiden leptospirosis tinggi dan peringkat tiga
di dunia untuk mortalitas. Leptospirosis seringkali tidak terdiagnosis karena gejala klinis
tidak spesifik, dan sulit dilakukan konfirmasi diagnosis tanpa uji laboratorium. Kejadian luar
biasa leptospirosis dalam dekade terakhir di beberapa negara telah menjadikan leptospirosis
sebagai salah satu penyakit yang termasuk the emerging infectious diseases.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Leptospirosis adalah penyakit akibat bakteri Leptospira sp. yang dapat ditularkan dari
hewan ke manusia atau sebaliknya (zoonosis).[1] Leptospirosis dikenal juga dengan nama
Penyakit Weil, Demam Icterohemorrhage, Penyakit Swineherd's, Demam pesawah (Ricefield
fever), Demam Pemotong tebu (Cane-cutter fever), Demam Lumpur, Jaundis berdarah,
Penyakit Stuttgart, Demam Canicola
[2]
[3]
Penyakit
dengan gejala tersebut di atas oleh Goldsmith (1887) disebut sebagai Weil's Disease. Pada
tahun 1915 Inada berhasil membuktikan bahwa "Weil's Disease" disebabkan oleh bakteri
Leptospira icterohemorrhagiae.
2.2 Epidemiologi
PERSON (ORANG)
Umur
Penyakit leptospirosis jarang terjadi pada bayi dan anak remaja karena kenyataannya
mereka paling sedikit terpapar. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa
diakibatkan pekerjaannya yang lebih banyak terpapar oleh hewan yang terinfeksi dan
lingkungan yang terkontaminasi.
Jenis kelamin
Laki-laki memiliki resiko yang lebih besar untuk terinfeksi leptospirosis. Hal ini
diakibatkan karena laki-laki memiliki pekerjaan yang lebih terpapar oleh hewan yang
terinfeksi dan lingkungan yang terkontaminasi. Sebagian besar kasus terjadi pada
laki-laki usia pertengahan, mungkin usia ini adalah faktor resiko tinggi tertular
penyakit ini. Laki-laki memiliki risiko terkena leptospirosis sebesar 3,59 kali
dibandingkan perempuan.
3
Pekerjaan
Berdasarkan hasil penelitian, petani dan peternak lebih memiliki resiko yang besar
untuk terpapar penyakit ini. Ini disebabkan penderita leptospirosis waktu
menggunakan sumber air bersih untuk pertanian telah tercemar dengan bakteri
leptospirosis atau perilaku kebiasaan membersihkan kaki, tangan, dan tubuh lainnya
tidak menggunakan sabun setelah kontak dengan air yang tergenang dan telah
terkontaminasi dengan bakteri leptospirosis.
Leptospirosis disebut juga penyakit pekerjaan, karena sering menyerang petani,
pekerja pembersih selokan, pemburu bebek liar, para dokter hewan, pekerjaan rumah
potong, pekerja perkebunan, dan para wisatawan pendaki gunung.
PLACE (TEMPAT)
Di negara subtropik, infeksi leptospira jarang ditemukan, iklim yang sesuai untuk
perkembangan leptospira adalah udara yang hangat, tanah yang basah dan pH alkalis.
Keadaan yang demikian dapat dijumpai di Negara tropik sepanjang tahun. Di negara beriklim
tropik, kejadian leptospirosis lebih banyak 1000 kali dibandingkan dengan negara subtropik
dengan risiko penyakit lebih berat. Angka insiden leptospirosis di negara tropik basah 520/100.000 penduduk per tahun. Leptospirosis tersebar di seluruh dunia termasuk Indonesia.
Di Indonesia leptospirosis tersebar antara lain di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah
Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat,
Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan
Kalimantan Barat. Bakteri leptospira mampu bertahan hidup lama pada air tergenang seperti
di kolam renang, di lubuk sungai dan di tanah lembab, tanah rawa dan lumpur di
pertambangan dan pertanian/perkebunan.
TIME (WAKTU)
Pada musim penghujan, peluang terjadinya banjir akan lebih besar sehingga frekuensi
penyakit leptospirosis tidak sulit untuk ditemukan. Hujan deras akan membantu penyebaran
peyakit ini. Karena kondisi lingkungan yang banjir akan mempercepat proses penularan
bakteri leptospira melalui air. Kemampuan leptospira untuk bergerak dengan cepat dalam air
menjadi salah satu factor penentu utama ia dapat menginfeksi induk semang (host) yang baru.
Selain itu, berdasarkan hasil penelitian lama surutnya banjir juga memberikan peluang
pada bakteri leptospira untuk menginfeksi manusia. Jumlah penderita leptospirosis meningkat
setelah banjir terlebih lama surutnya air sampai 3 hari atau lebih. Pada pasca banjir perlu
diwaspadai terutama sehabis membersihkan sisa-sisa banjir atau mencebur air genangan
4
tanpa alas kaki, air genangan tersebut telah tercemar air kencing binatang terutama tikus yang
mengandung bakteri leptospira yang merupakan sumber penularan.
[6]
[7]
kemampuannya untuk memasuki jaringan tubuh namun mendukung proses invasi dan
penyebaran di dalam aliran darah induk semang [6].
Kuman Leptospira biasanya memasuki tubuh lewat luka atau lecet kulit, dan kadangkadang lewat selaput di dalam mulut, hidung dan mata. Berbagai jenis binatang bisa
mengidap kuman Leptospira di dalam ginjalnya. Penyampaiannya bisa terjadi setelah
tersentuh air kencing hewan itu atau tubuhnya. Tanah, lumpur atau air yang dicemari air
kencing hewan pun dapat menjadi sumber infeksi. Makan makanan atau minum air yang
tercemar juga kadang-kadang menjadi penyebab penyampaiannya.
Di Indonesia, penularan paling sering terjadi melalui tikus pada kondisi banjir. Keadaan
banjir menyebabkan adanya perubahan lingkungan seperti banyaknya genangan air,
lingkungan menjadi becek, berlumpur, serta banyak timbunan sampah yang menyebabkan
mudahnya bakteri Leptospira berkembang biak. Air kencing tikus terbawa banjir kemudian
masuk ke tubuh manusia melalui permukaan kulit yang terluka, selaput lendir mata dan
hidung. Sejauh ini tikus merupakan reservoir dan sekaligus penyebar utama Leptospirosis
[8]
karena bertindak sebagai inang alami dan memiliki daya reproduksi tinggi
2.4 Patofisiologi
Leptospira masuk dan beredar ke dalam pembuluh limfatik dan darah dalam hitungan
menit. Setelah leptospira masuk ke dalam tubuh, terjadi respons imun balik seluler maupun
humoral (membentuk antibody spedifik) yang bertujuan menghilangkan leprospira. Terdapat
tujuh antigen leptospira yaitu p32, p37, 041, p45, p48, p62, p78, yang memicu respons
humoral. Di antara semuanya, p32 merupakan antigen yang paling poten dalam menimbulkan
respons humoral, sedangkan p37 tidak selalu diekspresikan oleh strain leptospira. IgM
merupakan respons humoral utama terhadap lipopolisakarida dalam fase akut dan
konvalesen. Sedangkan, IgG bersifat spesifik terhadap protein leptospira. Pertumbuhan
leptospira yang lambat menyebabkan periode inkubasi berlangsung 2-26 hari (2-4 minggu)
dan biasanya 3-14 hari.
Fase leprospiremia berlangsung 4-7 hari dan selanjutnya leptospira hanya ditemukan
di ginjal, otak, dan bilik anterior mata. Leptospira dapat dijumpai di dalam urin mulai dari
hitungan hari sampai bertahun-tahun kemudian. Adapun leptospira yang dijumpai di urin
6
adalah mikroorganisme yang terisolasi dari system inmun dan mencapai convulated tubules.
Fase ini disebut fase leptospiruria yang berlangsung 1-4 minggu.
Selama leptospiremmia, leptospira mengeluarkan toxin yang dapat merusak endotel
kapiler menyebabkan vaskulitis. Kemudian, terdapat pula perbedaan antara derajat kerusakan
histologist dengan derajat disfungsi organ. Sebagai contoh, leptospirosis ringan menyebabkan
lesi histologist ringan di ginjal dan hati dengan kerusakan fungsional organ yang nyata. Hal
ini menunjukan bahwa kerusakan bukan terjadi pada struktur organ, melainkan akibat
kerusakan kapiler. Dalam kasus yang ringan (sekitar 90%), infeksi terjadi unifasik yaitu
gejala muncul dan berkurang 3-7 hari dengan pemberian antibiotic atau tanpa inervensi sama
sekali. Sedangkan dalam kasus yang sedang hingga berat, infeksi terjadi bifasik dimana
sebelum penyembuhan sebenarnya terdapat remisi transien. Pada fase kedua, muncul gejala
ikterik. Biasanya, tanpa intervensi, infeksi ini dapat menyebabkan kematian pasien dalam
waktu 10 hari. Angka mortalitas akibat leptospirosis sekitar 5-40% dengan resiko tertinggi
pada orang berusia tua dan imunodefisiensi.
2.5 Patogenesis
Patogenesis leptospirosis belum dimengerti sepenuhnya. Bakteri leptospira masuk ke
dalam tubuh pejamu melalui luka iris/luka abrasi pada kulit, kunjungtiva atau mukosa utuh
yang melapisi mulut, faring, esofagus, bronkus, alveolus dan dapat masuk melalui inhalasi
droplet infeksius dan minum air yang terkontaminasi. Meski jarang, pernah dilaporkan
penetrasi bakteri leptospira melalui kulit utuh yang lama terendam air, saat banjir. Bakteri
leptospira yang tidak virulen gagal bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan
dari aliran darah setelah 1 atau 2 hari infeksi.
Organisme virulen mengalami multiplikasi di darah dan jaringan, dan bakteri leptospira
dapat diisolasi dari darah dan cairan serebrospinal pada hari ke-4 sampai 10 hari perjalanan
penyakit. Bakteri leptospira merusak dinding pembuluh darah kecil, sehingga menimbulkan
vaskulitis disertai kebocoran dan ekstravasasi sel. Patogenitas bakteri yang penting adalah
perlekatannya pada permukaan sel dan toksisitas selular.
Fase Imun sering disebut fase kedua atau leptospirurik karena sirkulasi antibodi dapat
dideteksi dengan isolasi kuman dari urin, dan mungkin tidak dapat didapatkan lagi dari darah
atau cairan serebrospinalis. Fase ini ditandai dengan peningkatan titer antibody, dapat timbul
demam yang mencapai suhu 40oC disertai menggigil dan kelemahan umum. Terdapat rasa
sakit menyeluruh diotot-otot leher terutama diotot bagian betis. Terdapat perdarahan berupa
epistaksis, gejala kerusakan pada ginjal dan hati, uremia dan ikterik. Perdarahan paling jelas
terlihat pada fase ikterik, pupura, petechiae, epistaksis, perdarahan gusi merupakan manifetasi
perdarahan yang paling sering. Fase ini terjadi pada 0-30 hari akibat respon pertahanan tubuh
terhadap infeksi. Gejala tergantung organ tubuh yang terganggu seperti selaput otak, hati,
mata atau ginjal.
Fase Penyembuhan Fase ini terjadi pada minggu ke 2 -4 dengan patogenesis yang
belum jelas. Gejala klinis pada penelitian ditemukan berupa demam dengan atau tanpa
muntah, nyeri otot, ikterik, sakit kepala, batuk, hepatomegali, perdarahan dan menggigil serta
splenomegali.
Jika yang diserang:
Mata
Pada fase akut dapat ditemukan dilatasi pembuluh darah konjungtiva, perdarahan
subkonjungtiva, dan retinal vasculitis. Sedangkan pada fase imun, sering ditemukan
iridosiklitis.
Saluran cerna
Gejala klinik pada saluran cerna termasuk ikterus, hepatitis, kolesistitis, pankreatitis, dan
perdarahan saluran cerna. Terdapat peningkatan ringan kadar enzim transaminase dan
gamma-GT, namun pada anak yang menderita ikterus kadar enzim transaminase dapat
normal; sedangkan bilirubin pada Weil disease dapat mencapai 30 mg/dl. Pada
leptospirosis yang disertai keluhan nyeri perut, mual dan muntah perlu dipikirkan adanya
pankreatitis.
Paru
Gejala klinik dapat berupa batuk, hemoptisis, dan pneumonia. Pada pemeriksaan foto
toraks dapat ditemukan infiltrat unilateral atau bilateral, dan efusi pleura. Gangguan
10
pernafasan dapat berkembang menjadi adult respiratory distress syndrome (ARDS) yang
memerlukan tindakan intubasi dan ventilator.
Sistem kardio-vaskular
Vaskulitis akibat leptospira dapat menimbulkan syok hipovolemik dan pembuluh darah
yang kolaps. Komplikasi pada jantung terjadi pada kasus berat. Dapat timbul miokarditis,
arteritis koroner, dan pada beberapa pasien ditemukan friction rubs. Pada pemeriksaan
EKG dapat dijumpai kelainan berupa blok AV derajat 1, inversi gelombang T, elevasi
segmenST, dan disritmia.
Ginjal
Kelainan ginjal dapat bervariasi selama perjalanan penyakit. Pada urinalisis dapat
ditemukan piuria, hematuria, dan proteinuia yang steril. Nekrosis tubulus akut dan nefritis
interstisial merupakan 2 kelainan ginjal klasik pada leptospirosis. Nekrosis tubulus akut
dapat disebabkan langsung oleh leptospira, sedangkan nefritis terjadi lebih lambat yang
diduga berhubungan dengan komplek antigen - antibodi pada fase imun. Fungsi ginjal
yang semula normal dapat menjadi gagal ginjal yang memerlukan dialisis. Hipokalemia
sekunder dapat terjadi akibat rusaknya tubulus. Hiperkalemia yang berhubungan dengan
asidosis metabolik dan hiponatremia telah dilaporkan pada kasus leptospirosis. Gagal
ginjal akut yang ditandai oleh oliguria atau poliuria dapat timbul 410 hari setelah gejala
timbul.
Hati
Jaundis, pembesaran hati (hepatomegali), dan tanda koagulopati
pada fase leptospiremia. Limfosit predominan terjadi pada hari ke-4. Hitung jenis
mencapai puncak antara hari ke-5 sampai hari ke-10. Meskipun lebih dari 80% ditemukan
organisme pada biakan likuor serebrospinal pada kasus meningitis, hanya setengah dari
kasus tersebut terdapat tanda rangsang meningeal
Perdarahan
Perdarahan dapat terjadi pada 39% pasien yang berupa epistaksis, perdarahan gusi,
hematuria, hemoptisis, perdarahan paru dan pembesaran limpa (splenomegali).
Otot
Miositis sering timbul pada minggu pertama dan berakhir hingga minggu ketiga atau
keempat dari perjalanan penyakit. Perdarahan pada otot, sebagian pada dinding abdomen
dan ekstremitas bawah menyebabkan nyeri yang hebat dan diyakini sebagai penyebab
akut abdomen.
Leptospirosis dapat diisolasi dari darah selama 24-48 jam setelah timbul jaundis. Pada 30
persen pasien terjadi diare atau kesulitan buang air besar (konstipasi), muntah, lemah, dan
kadang-kadang penurunan nafsu makan. Kadang-kadang terjadi perdarahan di bawah kelopak
mata dan gangguan ginjal pada 50 persen pasien, dan gangguan paru-paru pada 20-70 persen
pasien.
Gejala juga ditentukan oleh serovar yang menginfeksi. Sebanyak 83% penderita infeksi L.
icterohaemorrhagiae mengalami ikterus, dan 30 persen pada L. pomona. Infeksi L.
grippotyphosa umumnya menyebabkan gangguan sistem pencernaan. Sedangkam L. pomona
atau L. canicola sering menyebabkan radang selaput otak (meningitis).
Sindrom Weil adalah bentuk Leptospirosis berat ditandai jaundis, disfungsi ginjal,
nekrosis hati, disfungsi paru-paru, dan diathesis perdarahan
[5]
fase awal dan meningkat pada fase kedua, tetapi bisa memburuk setiap waktu
[14]
. Kriteria
penyakit Weil tidak dapat didefinisikan dengan baik. Manifestasi paru meliputi batuk,
kesulitan bernapas, nyeri dada, batuk darah, dan gagal napas. Disfungsi ginjal dikaitkan
dengan timbulnya jaundis 4-9 hari setelah gejala awal
[14]
lebih mudah terkena gagal ginjal, perdarahan dan kolap kardiovaskular. Kasus berat dengan
12
gangguan hati dan ginjal mengakibatkan kematian sebesar 20-40 persen yang akan meningkat
pada lanjut usia.
Menurut berat ringannya, leptospirosis dibagi menjadi ringan dan berat, tetapi untuk
pendekatan diagnosis klinis dan penanganannya, penyakit ini dibagi menjadi leptospirosis
anikterik (non ikterik) dan leptospirosis ikterik
-
Leptospirosis anikterik.
Leptospirosis timbul mendadak dengan gejala:
Demam ringan atau tinggi yang umumnya bersifat remiten; Nyeri kepala;
Menggigil; Mialgia; Mual; muntah dan anoreksia; Nyeri kepala dapat berat, mirip
yang terjadi pada infeksi dengue, disertai nyeri retro-orbital dan fotopobia; Nyeri
otot terutama di daerah betis sehingga pasien sukar berjalan, punggung dan paha.
Nyeri ini diduga akibat kerusakan otot sehingga kreatinin fosfokinase akan
meningkat, dan pemeriksaan kreatinin fosfokinase dapat membantu diagnosis
klinik leptospirosis.
Manifestasi
klinik
terpenting
leptospirosis
anikterik
adalah
meningitis
Leptospirosis ikterik:
13
Ikterus umumnya dianggap sebagai indikator utama leptospirosis berat. Gagal ginjal akut,
ikterus dan manifestasi perdarahan merupakan gambaran klinik khas penyakit Weil. Pada
leptospirosis ikterik, demam dapat persisten sehingga fase imun menjadi tidak jelas atau
nampak overlapping dengan fase leptospiremia. Ada tidaknya fase imun juga dipengaruhi
oleh jenis serovar dan jumlah bakteri leptospira yang menginfeksi, status imunologik dan
nutrisi penderita serta kecepatan memperoleh terapi yang tepat. Leptospirosis adalah
penyebab tersering gagal ginjal akut.
Perbedaan gambaran klinik leptospirosis anikterik dan ikterik
Sindrom, fase
Leptospirosis anterik
Manifestasi klinik
Demam tinggi, nyeri kepala,
mialgia, nyeri perut, mual,
Specimen laboratorium
muntah,
conjungtiva
Darah, LCS
suffusion
Demam ringan, nyeri kepala,
muntah
urin
Leptospirosis ikterik
Demam tinggi, nyeri kepala, Darah,
Fase leptosperemia dan fase mialgia, ikterik gagal ginjal,
pertama
imun (sering menjadi 1 atau hipotensi,
manifestasi
overlapping) terdapat periode pendarahan,
asimptomatik (1-3hari)
LCSminggu
leukositosis
2.7 Diagnosis
Diagnosis Leptospirosis dapat ditegakkan atas dasar pemeriksaan klinis dan laboratorium.
Diagnosis leptospirosis dapat dibagi dalam 3 klasifikasi yaitu:
Suspek, bila ada gejala klinis, tanpa dukungan uji laboratorium. Diagnosis menurut Faine
dengan menggunakan nilai skor berdasarkan gejala klinis dan data epidemiologi,
sekarang tidak dianjurkan lagi, karena pasien dengan nilai skor rendah, pemeriksaan
kultur dapat positif atau sebaliknya.
Probable, bila gejala klinis sesuai leptospirosis dan hasil tes serologi penyaring yaitu
dipstick, lateral flow, atau dri dot positif.
Definitif, bila:
1) Ditemukan kuman leptospira atau antigen kuman leptospira dengan pemeriksaan
mikroskopik, kultur, inokulasi hewan atau reaksi polimerase berantai.
2) Gejala klinis sesuai dengan leptospirosis dan didukung dengan hasil uji MAT serial
yang menunjukkan adanya serokonversi atau peningkatan titer 4 kali atau lebih, atau
IgM ELISA positif.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah:
1. Pemeriksaan fisik
Gejala klinik menonjol yaitu: ikterik, demam, mialgia, nyeri sendi serta conjungtival
suffusion. Conjungtival suffusion dan mialgia merupakan gejala klinik yang paling sering
ditemukan. Conjungtival suffusion bermanifestasi bilateral di palpebra pada hari ke 3
selambatnya hari ke 7 terasa sakit dan sering disertai perdarahan konjungtiva unilateral
ataupun bilateral yang disertai fotofobia dan injeksi faring; faring terlihat merah dan bercakbercak. Mialgia dapat sangat hebat, pemijatan otot betis akan menimbulkan nyeri hebat dan
hiperestesi kulit.
15
Kelainan fisik lain yang ditemukan yaitu: hepatomegali, splenomegali, kaku kuduk, rangsang
meningeal, hipotensi, ronki paru dan adanya diatesis hemoragi. Diatesis hemoragi timbul
akibat proses vaskulitis difus di kapiler disertai hipoprotrombinemia dan trombositopenia, uji
pembendungan dapat positif. Perdarahan sering ditemukan pada leptospirosis ikterik dan
manifestasi dapat terlihat sebagai petekie, purpura, perdarahan konjungtiva, dan ruam kulit.
Ruam kulit dapat berwujud eritema, makula, makulopapula ataupun urtikaria generalisata
maupun setempat pada badan, tulang kering atau tempat lain.
2. Pemeriksaan Laboratorium umum
1)
Pemeriksaan darah
Pada pemeriksaan darah rutin dijumpai leukositosis, normal atau menurun,
hitung jenis leukosit, terdapat peningkatan jumlah netrofil. Leukositosis dapat
mencapai 26.000 per mm3 pada keadaan anikterik.
Masa perdarahan dan masa pembekuan umumnya normal, begitu juga fragilitas
osmotik eritrosit keadaannya normal. Masa protrombin memanjang pada
sebagian pasien namun dapat dikoreksi dengan vitamin K. Trombositopenia
ringan 80.000 per mm3 sampai 150.000 per mm3 terjadi pada 50 % pasien dan
berhubung dengan gagal ginjal, dan pertanda penyakit berat jika hitung trombosit
sangat rendah yaitu 5000 per mm 3. Laju endapan darah meningi, dan pada kasus
berat ditemui anemia hipokromia mikrositik akibat perdarahan yang biasa terjadi
pada stidium lanjut perjalanan penyakit.
terjadi juga nekrosis tubulus akut. Oliguria: produksi urin kurang dari 600
mL/hari; terjadi akibat dehidrasi, hipotensi.
3) Pemeriksaan fungsi hati
Pada umumnya fungsi hati normal jika pasien tidak ada gejala ikterik. Ikterik
disebabkan karena bilirubin direk meningkat. Gangguan fungsi hati ditunjukkan
dengan meningkatnya serum transaminase (serum glutamic oxalloacetic
transaminase = SGOT dan serum glutamic pyruvate transaminase = SGPT).
Peningkatannya t idak pasti, dapat tetap normal ataupun meningkat 2 3 kali
nilai normal. Berbeda dengan hepatitis virus yang selalu menunjukkan
peningkatan bermakna SGPT dan SGOT. Kerusakan jaringan otot menyebabkan
kreatinin fosfokinase juga meningkat. Peningkatan terjadi pada fase-fase awal
perjalanan penyakit, rata-rata mencapai 5 kali nilai normal. Pada infeksi hepatitis
virus tidak dijumpai peningkatan kadar enzim kreatinin fosfokinase.
3. Pemeriksaan Laboratorium khusus
1) Pemeriksaan langsung:
a) Pemeriksaan mikroskopik dan immunostaining
Pemeriksaan langsung dapat mendeteksi kuman leptospira dalam darah, cairan
prtoneal dan eksudat pleura dalam minggu pertama sakit, khususnya antara
hari ke 3 7, dan di dalam urin pada minggu ke dua, untuk diagnosis definitif
leptospirosis.
b) Pemeriksaan molekuler
Pemeriksaan molekuler dengan reaksi polimerase berantai untuk deteksi DNA
kuman leptospira spesifik dapat dilakukan dengan memakai primer khusus
untuk memperkuat semua strain patogen. Spesimen dari 2 ml serum, 5 mL
darah tanpa antikoagulan dan 10 mL urin.
c) Biakan
17
2.8 Tatalaksana
18
Pemberian antibiotik :
Prokain penisilin 6 8 juta unit sehari yang diberikan 4 kali sehari intramuskular
Ampisilin 1 gram yang diberikan 4 kali sehari intravena
Amoksisilin 1 gram yang diberikan 4 kali sehari intravena
Antibiotik pada anak:
Prokain penesilin 50.000 IU/kg BB; maksimal 2 juta IU sehari yang diberikan 4 kali
sehari intramuskular
Doksisiklin pada anak >8 tahun: 2 mg/kgBB; maksimal 100 mg sehari yang diberikan
2 kali sehari per oral.
Pananganan khusus:
Hiperkalemia : Merupakan keadaan yang harus segera ditangani, karena
menyebabkan cardiac arrest;
Asidosis metabolik;
Hipertensi: perlu diberikan anti hipertensi.;
Gagal jantung: pembatasan cairan, digitalis dan diuretik;
Perdarahan diatasi dengan transfusi.
Diagnosis is suspect (hanya didukung oleh gejala klinis&riwayat pajanan) Demam,
cojunctival suffusion, nkaku&nyeri otot (betis dan paha) Ikterik, sakit kepala,
menggigil, oliguria,anuria kaku kuduk, dll. Ditambah: riwayat pajanan dengan
hewan/lingkungan terkontaminasi urin hewan faktor resiko transmisi leptospirosis.
Diagnosis Probable: Diagnosis suspect didukung tes serologi penyaringan positif.
Diagnosis is Confirmed: Peningkatan titer serial 4 atau serokonversi MAT atau ELISA
IgM (+) Azotemia
20
2.9 Pencegahan
a. Jalur sumber infeksi
1) Melakukan tindakan isolasi atau membunuh hewan yang terinfeksi.
2) Memberikan antibiotik pada hewan yang terinfeksi, seperti penisilin, ampisilin,
atau dihydrostreptomycin, agar tidak menjadi karier kuman leptospira. Dosis dan
cara pemberian berbeda - beda, tergantung jenis hewan yang terinfeksi.
3) Mengurangi populasi tikus dengan beberapa Cara seperti penggunaan racun tikus,
b. Jalur penularan
Penularan dapat dicegah dengan:
1) Memakai pelindung kerja (sepatu, sarung tangan, pelindung mata, apron,
masker).
2) Mencuci luka dengan cairan antiseptik, dan ditutup dengan plester kedap air.
3) Mencuci atau mandi dengan sabun antiseptik setelah terpajan percikan urin,
tanah, dan air yang terkontaminasi.
21
23
BAB III
SIMPULAN
Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri dari genus Leptospira yang
patogen. Penyakit ini merupakan zoonosis, tersebar luas di seluruh dunia terutama di daerah
tropis termasuk Indonesia. Titik sentral pcnyebab leptospirosis adalah urin hewan terinfeksi
Leptospira yang mencemari lingkungan.
Gejala klinis penyakit ini sangat bervariasi dari ringan hingga berat bahkan dapat
menyebabkan kematian penderitanya. Gejala klinis yang sering timbul adalah nyeri kepala,
myalgia, demam, muntah, mual, menggigil, ikterik, heptomegali, perbesaran kelenjar limfa,
dilatasi pembuluh darah conjunctiva.
Diagnosis pada leptospirosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, yaitu pasien
dalam kondisi kesadaran yang bervariasi, mual, muntah, demam. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan conjungtiva suffusion dan mialgia yang paling sering ditemukan. Pada hasil
laboratorium ditemukan peningkatan titer 4 kali atau lebih atau IgM ELISA positif, atau
adanya serokonversi.
Prinsip penatalaksanaan pada pasien leptospirosis meliputi koreksi terhadap kondisi
lingkungan dan proteksi diri sendiri serta pengobatan terhadap infeksi bakteri leptospirosis.
Pemberian suntikan Benzyl (cristal) Penisilin akan efektif jika secara dini pada hari ke 4-5
sejak mulai sakit atau sebelum terjadi jaundice dengan dosis 6-8 megaunit secara i.v, yang
dapat secra bertahap selama 5-7 hari. Penderita yang alergi terhadap penicilline dapat
diberikan antibiotik lain yaitu etrasiklin atau Erythromycine, tetapi kedua antibiotik tersebut
kurang efektif dibanding Penisilin. Tetrasiklin tidak dapat diberikan jika penderita mengalami
gagal ginjal. Tetrasiklin dapat diberikan secepatnya dengan dosis 250 mg setiap 8 jam i.m
atau i.v selama 24 jam, kemudian 250-500 mg setiap 6 jam secara oral selama 6 hari.
Erythromycine diberikan dengan dosis 250 mg setiap 6 jam selama 5 hari. Terapi dengan
antibiotika (streptomisin, khlortetrasiklin, atau oksitetrasiklin), apabila dilakukan pada awal
perjalanan penyakit biasanya berhasil. Pemberian (oksitetrasiklin, atau oksitetrasiklin) apabila
dilakukan pada awal perjalanan penyakit, banyak berhasil.
24
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
25
26