Anda di halaman 1dari 14

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi
Herpes zoster adalah radang kulit akut dan setempat ditandai adanya rasa nyeri radikuler
unilateral serta timbulnya lesi vesikuler yang terbatas pada dermatom yang dipersarafi serabut
spinal maupun ganglion serabut saraf sensorik dari nervus kranialis. Infeksi ini merupakan
reaktivasi virus varisela zoster dari infeksi endogen yang menetap dalam bentuk laten setelah
infeksi primer oleh virus.
1.2 Epidemiologi
Herpes zoster dapat muncul disepanjang tahun karena tidak dipengaruhi oleh musim dan
tersebar merata di seluruh dunia, tidak ada perbedaan angka kesakitan antara laki-laki dan
perempuan, angka kesakitan meningkat dengan peningkatan usia. Di negara maju seperti
Amerika, penyakit ini dilaporkan sekitar 6% setahun, di Inggris 0,34% setahun sedangkan di
Indonesia lebih kurang 1% setahun.
Herpes zoster terjadi pada orang yang pernah menderita varisela sebelumnya karena
varisela dan herpes zoster disebabkan oleh virus yang sama yaitu virus varisela zoster. Setelah
sembuh dari varisela, virus yang ada di ganglion sensoris tetap hidup dalam keadaan tidak aktif
dan aktif kembali jika daya tahan tubuh menurun. Lebih dari 2/3 usia di atas 50 tahun dan kurang
dari 10% usia di bawah 20 tahun. Kurnia Djaya pernah melaporkan kasus hepes zoster pada bayi
usia 11 bulan.
1.3 Etiologi
Virus Varicella zoster merupakan virus penyebab varisela dan herpes zoster. Varicella
zoster merupakan virus golongan herpesvirus. Inang dari virus ini hanya terbatas pada manusia
dan primata. Stuktur partikel virus (virion) berukuran 120-300 nm. Virion terdiri dari
glikoprotein, kapsid, amplop (selubung) virus, dan nukleokapsid yang melindungi bagian inti
berisi DNA genom utas ganda. Bagian nukleokapsid berbentuk ikosahedral, berdiameter 100-110
nm, dan terdiri dari 162 protein yang disebut kapsomer. Virus ini akan mengalami inaktivasi

pada suhu 56-60C dan menjadi tidak berbahaya apabila bagian amplop (selubung) dari virus ini
rusak. Penyebaran virus ini dapat terjadi melalui pernapasan.

Gambar 1. Struktur virus Varicella zoster


1.4 Patogenesis
Setelah infeksi primer virus varicella zoster, virus tersebut berdiam di ganglion posterior
susunan saraf tepi dan ganglion cranialis. Pada orang dengan imunokompeten, infeksi biasanya
mempengaruhi satu dermatom, dan pada orang dengan imunokompromise, infeksi mengenai
beberapa

dermatom.

Penurunan

imunitas

spesifik

terhadap

virus

karena

HIV,keganasan,kemoterapi, atau penggunaan lama kortikosteroid dapat mengaktivasi kembali


infeksi virus, yang mengenai lokasi setingkat dengan daerah persarafan ganglion yang
terkena.Reaktivasi ini menyebabkan peradangan pada ganglion yang menimbulkan kerusakan
neuron dan sel-sel pendukungnya. Virus juga terbawa ke axon ke area kulit yang dipersarafi
ganglion yang terkena, menyebabkan peradangan lokal.
Infeksi primer dari VZV ini pertama kali terjadi di daerah nasofaring. Disini virus
mengadakan replikasi dan dilepas ke darah sehingga terjadi viremia permulaan yang sifatnya
terbatas dan asimptomatik. Keadaan ini diikuti masuknya virus ke dalam Reticulo Endothelial
System (RES) yang kemudian mengadakan replikasi kedua yang sifat viremia nya lebih luas dan
simptomatik dengan penyebaran virus ke kulit dan mukosa. Sebagian virus juga menjalar melalui
serat-serat sensoris ke satu atau lebih ganglion sensoris dan berdiam diri atau laten didalam
neuron. Virus berdiam diri di ganglion posterior saraf tepid an ganglion kranialisSelama antibodi
yang beredar didalam darah masih tinggi, reaktivasi dari virus yang laten ini dapat dinetralisir,
tetapi pada saat tertentu dimana antibodi tersebut turun dibawah titik kritis maka terjadilah
reaktivasi dari virus sehingga terjadi herpes zoster.
Herpes Zoster Ophtalmicus (HZO) terjadi sekitar 10-15% dari kasus Zoster. HZO
terjadi karena virus menginvasi ganglion Gasserian. Untuk alasan yang belum jelas, keterlibatan

cabang ophtalmicus (N. V1) 5 kali lebih sering daripada keterlibatan dari cabang maksilaris (N.
V2) atau cabang mandibularis (N. V3).
1.5 Manifestasi klinis
Daerah yang sering terkena adalah daerah torakal, walaupun daerah-daerah lain tidak
jarang. Frekuensi penyakit ini pada pria dan wanita sama, sedangkan mengenai umur lebih sering
pada orang dewasa.
Gejala prodromal herpes zoster biasanya berupa rasa sakit dan parestesi pada dermatom
yang terkena. Gejala ini terjadi beberapa hari menjelang timbulnya erupsi. Gejala konstitusi,
seperti sakit kepala, malaise, dan demam, terjadi pada 5% penderita (terutama pada anak-anak)
dan timbul 1-2 hari sebelum terjadi erupsi.
Gambaran yang paling khas pada herpes zoster adalah erupsi yang lokalisata dan
unilateral. Jarang erupsi tersebut melewati garis tengah tubuh. Umumnya lesi terbatas pada
daerah kulit yang dipersarafi oleh salah satu ganglion saraf sensorik. Erupsi mulai dengan
eritema makulopapular. Dua belas hingga dua puluh empat jam kemudian terbentuk vesikula
yang dapat berubah menjadi pustula pada hari ketiga. Seminggu sampai sepuluh hari kemudian,
lesi mengering menjadi krusta. Krusta ini dapat menetap menjadi 2-3 minggu.Keluhan yang
berat biasanya terjadi pada penderita usia tua. Pada anak-anak hanya timbul keluhan ringan dan
erupsi cepat menyembuh. Rasa sakit segmental pada penderita lanjut usia dapat menetap,
walaupun krustanya sudah menghilang. Frekuensi herpes zoster menurut dermatom yang
terbanyak pada dermatom torakal (55%), kranial (20%), lumbal (15%), dan sakral (5%).
Menurut lokasi lesinya, herpes zoster dibagi menjadi:
a. Herpes zoster oftalmikus
Herpes zoster oftalmikus merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai bagian
ganglion gasseri yang menerima serabut saraf dari cabang ophtalmicus saraf trigeminus (N.V),
ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit. Infeksi diawali dengan nyeri kulit pada satu sisi
kepala dan wajah disertai gejala konstitusi seperti lesu, demam ringan. Gejala prodromal
berlangsug 1 sampai 4 hari sebelum kelainan kulit timbul. Fotofobia, banyak kelar air mata,
kelopak mata bengkak dan sukar dibuka.

Gambar 2. Herpes zoster oftalmikus sinistra.


2. Herpes zoster fasialis
Herpes zoster fasialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai bagian
ganglion gasseri yang menerima serabut saraf fasialis (N.VII), ditandai erupsi herpetik unilateral
pada kulit.

Gambar 3. Herpes zoster fasialis dekstra.


3. Herpes zoster brakialis
Herpes zoster brakialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus
brakialis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Gambar 4. Herpes zoster brakialis sinistra.


4.Herpes zoster torakalis
Herpes zoster torakalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus

torakalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Gambar 5. Herpes zoster torakalis sinistra.


5. Herpes zoster lumbalis
Herpes zoster lumbalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus
lumbalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
6. Herpes zoster sakralis
Herpes zoster sakralis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus
sakralis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Gambar 6. Herpes zoster sakralis dekstra.


Gambaran perkembangan rash pada herpes zoster diawali dengan: Munculnya lentinglenting kecil yang berkelompok.
1. Lenting-lenting tersebut berubah menjadi bula-bula.

2. Bula-bula terisi dengan cairan limfe, bisa pecah.


3. Terbentuknya krusta (akibat bula-bula yang pecah).
4. Lesi menghilang.

Gambar 7. Sekelompok vesikel-vesikel dalam bentuk variasi

Gambar 8. vesikel berumbilikasi dan membentuk krusta

Gambar 9. Sekelompok vesikel vesikel berkonfluens pada kasus inflamasi berat

Gambar 10. Vesikel pecah menjadi krusta dan mungkin dapat menjadi scar jika inflamasi berat
1.6 Diagnosis
Diagnosis herpes zoster pada anamnesis didapatkan keluhan berupa neuralgia beberapa
hari sebelum atau bersama-sama dengan timbulnya kelainan kulit.3 Adakalanya sebelum timbul
kelainan kulit didahului gejala prodromal seperti demam, pusing dan malaise.9 Kelainan kulit
tersebut mula-mula berupa eritema kemudian berkembang menjadi papula dan vesikula yang
dengan cepat membesar dan menyatu sehingga terbentuk bula. Isi vesikel mula-mula jernih,
setelah beberapa hari menjadi keruh dan dapat pula bercampur darah. Jika absorbsi terjadi,
vesikel dan bula dapat menjadi krusta.
Dalam stadium pra erupsi, penyakit ini sering dirancukan dengan penyebab rasa nyeri
lainnya, misalnya pleuritis, infark miokard, kolesistitis, apendisitis, kolik renal, dan sebagainya.4
Namun bila erupsi sudah terlihat, diagnosis mudah ditegakkan. Karakteristik dari erupsi kulit
pada herpes zoster terdiri atas vesikel-vesikel berkelompok, dengan dasar eritematosa, unilateral,
dan mengenai satu dermatom.
Secara laboratorium, pemeriksaan sediaan apus tes Tzanck membantu menegakkan
diagnosis dengan menemukan sel datia berinti banyak. Demikian pula pemeriksaan cairan
vesikula atau material biopsi dengan mikroskop elektron, serta tes serologik.4,9 Pada
pemeriksaan histopatologi ditemukan sebukan sel limfosit yang mencolok, nekrosis sel dan
serabut saraf, proliferasi endotel pembuluh darah kecil, hemoragi fokal dan inflamasi bungkus
ganglion. Partikel virus dapat dilihat dengan mikroskop elektron dan antigen virus herpes zoster
dapat dilihat secara imunofluoresensi.

Apabila gejala klinis sangat jelas tidaklah sulit untuk menegakkan diagnosis. Akan tetapi
pada keadaan yang meragukan diperlukan pemeriksaan penunjang antara lain:
1.

Isolasi virus dengan kultur jaringan dan identifikasi morfologi dengan mikroskop

elektron.
2.

Pemeriksaan antigen dengan imunofluoresen

3.

Test serologi dengan mengukur imunoglobulin spesifik.

1.7 Diagnosis Banding


a. Herpes simpleks
Herpes simpleks ditandai dengan erupsi berupa vesikel yang bergerombol, di atas dasar
kulit yang kemerahan. Sebelum timbul vesikel, biasanya didahului oleh rasa gatal atau seperti
terbakar yang terlokalisasi, dan kemerahan pada daerah kulit. Herpes simpleks terdiri atas 2,
yaitu tipe 1 dan 2. Lesi yang disebabkan herpes simpleks tipe 1 biasanya ditemukan pada bibir,
rongga mulut, tenggorokan, dan jari tangan. Lokalisasi penyakit yang disebabkan oleh herpes
simpleks tipe 2 umumnya adalah di bawah pusat, terutama di sekitar alat genitalia eksterna.
b. Varisela
Gejala klinis berupa papul eritematosa yang dalam waktu beberapa jam berubah menjadi
vesikel. Bentuk vesikel ini seperti tetesan embun (tear drops). Vesikel akan berubah menjadi
pustul dan kemudian menjadi krusta. Lesi menyebar secara sentrifugal dari badan ke muka dan
ekstremitas.
c. Impetigo vesiko-bulosa
Terdapat lesi berupa vesikel dan bula yang mudah pecah dan menjadi krusta. Tempat
predileksi di ketiak, dada, punggung dan sering bersamaan dengan miliaria. Penyakit ini lebih
sering dijumpai pada anak-anak.
1.8 Penatalaksaan
Tujuan utama terapi herpes zoster pada orang dewasa usia lanjut adalah selain
mempercepat proses penyembuhan juga untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri akut dan
mencegah terjadinya neuralgia pasca herpes. Pemberian obat antivirus merupakan salah satu dari
beberapa intervensi untuk mempercepat proses penyembuhan dan mempersingkat lamanya nyeri.

1.8.1 Pengobatan Umum

Selama fase akut, pasien dianjurkan tidak keluar rumah, karena dapat menularkan kepada
orang lain yang belum pernah terinfeksi varisela dan orang dengan defisiensi imun. Usahakan
agar vesikel tidak pecah, misalnya jangan digaruk dan pakai baju yang longgar. Untuk mencegah
infeksi sekunder jaga kebersihan badan.
1.8.2 Pengobatan Khusus
a. Obat Antivirus
Biasanya, semakin cepat terapi antivirus dimulai, semakin pendek juga durasi munculnya
herpes zoster dan semakin menurnkan kaparahan dari neuralgia pascaherpetik. Terapi yang ideal
ialah terapi dimulai 72 jam dari onset gejala. 8 Beberapa panduan menyarankan untuk meresepkan
obat antivirus berdasarkan usia (50 tahun) dan penemuan klinis (beratnya nyeri akut, beratnya
ruam) sehingga aturan 50-50-50 dapat digunakan sebagai panduan terapi:

Terapi diberikan 50 jam atau kurang sejak onset ruam

Usia pasien 50 tahun atau lebih

Jumlah lesi 50 atau lebih

Tiga antivirus oral yang tersedia untuk terapi herpes zoster :


Tabel 1. Obat antivirus oral dan pemakaiannya
Obat
Asiklovir
Famsiklovir
Valasiklovir

Dosis (per hari)


5 x 800 mg
2 x 500 mg
3 x 1000 mg

Lama (hari)
7-10
7*
7*

Efek antiviral langsung terhadap virus varicella. Analog nukleosid awalnya difosforilasi
oleh tiramidin kinase virus untuk membentuk nukleosid trifosfat. Molekul ini dapat menghambat
polymerase virus herpes simplex 30-50 kali lebih besar dibandingkan potensi DNA-
polymerase manusia.

Algoritma terapi

Terapi penunjang:

Jaga ruam agar tetap bersih dan kering

Untuk

rasa

tidak

nyaman:

kompres

dingin/lotio

kalamin/anestetik topikal

Anjuran memakai pakaian dari serat alami yang longgar

Edukasi mengenai penyakit herpes zoster

Catatan:
Acyclovir topikal tidak dianjurkan
Terapi antivirus oral tidak dianjurkan pada herpes zoster
dengan kehamilan

Bagan 1. Algoritma terapi pada herpes zoster


Indikasi obat antiviral ialah herpes zoster oftalmikus dan pasien dengan defisiensi
imunitas. Jika lesi baru masih tetap timbul obat tersebut masih dapat diteruskan dan dihentikan
sesudah 2 hari sejak lesi baru tidak timbul lagi.
b. Analgetik
Analgetik diberikan untuk mengurangi neuralgia yang ditimbulkan oleh virus herpes
zoster. Obat yang biasa digunakan adalah asam mefenamat. Dosis asam mefenamat adalah 1500
mg/hari diberikan sebanyak 3 kali, atau dapat juga dipakai seperlunya ketika nyeri muncul.
c. Kortikosteroid

Indikasi pemberian kortikostreroid ialah untuk Sindrom Ramsay Hunt. Pemberian harus
sedini mungkin untuk mencegah terjadinya paralisis. Yang biasa diberikan ialah prednison
dengan dosis 320 mg/hari, setelah seminggu dosis diturunkan secara bertahap. Dengan dosis
prednison setinggi itu imunitas akan tertekan sehingga lebih baik digabung dengan obat
antivirus.
d. Pengobatan topikal
Pengobatan topikal bergantung pada stadiumnya. Jika masih stadium vesikel diberikan
bedak dengan tujuan protektif untuk mencegah pecahnya vesikel agar tidak terjadi infeksi
sekunder. Bila erosif diberikan kompres terbuka. Kalau terjadi ulserasi dapat diberikan salap
antibiotik. Bila terjadi infeksi sekunder dapat diberikan antibiotic lokal misalnya salep
kloramfenikol 2%.
Pada HZO dibutuhkan pengobatan yang agresif dan monitoring karena kemungkinan
keterlibatan infeksi mata. Keterlibatan infeksi pada mata terjadi pada setengah dari herpes zoster
ophtalmicus. Secara sederhana, keterlibatan mata ditandai dengan adanya vesikel pada ujung
hibung karena keterlibatan cabang nasociliar (hukum Hutchinson).
e. Pengobatan neuralgia pasca herpetic
Obat yang direkomendasikan di antaranya gabapentin dosisnya 1.800 mg 2.400 mg per
hari. Hari pertama dosisnya 300 mg sehari diberikan sebelum tidur, setiap 3 hari dosis dinaikkan
300 mg sehari sehingga mencapai 1.800 mg sehari.
Segera konsultasi dengan ahli yang tepat jika ditemukan gejala yang berkaitan dengan
meningitis (herpes zoster oftalmikus), gigi (zoster cabang maksilaris), infeksi telinga atau
ketulian

(sindrom

Ramsay

Hunt),

infeksi

orofaring

(zoster

pharyngis/laryngis),

meningoencephalitis, and encephalomyelitis; dan ketika terdapat komplikasi motorik ataupun


kandung kemih, paru, serta traktus gastrointestinalis.
1.9 Komplikasi
a. Neuralgia paska herpetik
Neuralgia paska herpetik (PHN) adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas
penyembuhan. Neuralgia ini dapat berlangsung selama berbulan-bulan sampai beberapa tahun.
Keadaan ini cenderung timbul pada umur diatas 40 tahun, persentasenya 10-15 % dengan gradasi

nyeri yang bervariasi. Semakin tua umur penderita maka semakin tinggi persentasenya. Pada
HZO, kejadian PHN lebih sering daripada manifestasi zoster yang lain.
b. Infeksi sekunder
Pada penderita tanpa disertai defisiensi imunitas biasanya tanpa komplikasi. Sebaliknya
pada yang disertai defisiensi imunitas, infeksi H.I.V., keganasan, atau berusia lanjut dapat
disertai komplikasi. Vesikel sering manjadi ulkus dengan jaringan nekrotik.
c. Kelainan pada mata
Keterlibatan mata dapat mengancam penglihatan jika tidak terdeteksi dan diterapi dengan
tepat. Adanya edem orbita adalah emergensi ophtalmologi dan pasien harus dirujuk ke spesialis
mata. Iritis, iridocyclitis, glaucoma, dan ulkus kornea dapat terjadi pada kasus ini. Keterlibatan
hanya di daerah dibawah fisura palpebra inferior tanpa disertai keterlibatan dari kelopak atas dan
nasal menunjukkan tidak adanya komplikasi pada mata karena daerah kelopak bawah diinervasi
oleh nervus maksillaris superior.
d. Sindrom Ramsay Hunt
Sindrom Ramsay Hunt terjadi karena gangguan pada nervus fasialis dan otikus ganglion
genikulatum), sehingga memberikan gejala paralisis otot muka (paralisis Bell), kelainan kulit
yang sesuai dengan tingkat persarafan, tinitus, vertigo, gangguan pendengaran, nistagmus,
nausea, dan gangguan pengecapan.
e. Paralisis motorik
Paralisis motorik dapat terjadi pada 1-5% kasus, yang terjadi akibat perjalanan virus
secara kontinuitatum dari ganglion sensorik ke sistem saraf yang berdekatan. Paralisis ini
biasanya muncul dalam 2 minggu sejak munculnya lesi. Berbagai paralisis dapat terjadi seperti:
di wajah, diafragma, batang tubuh, ekstremitas, vesika urinaria dan anus. Umumnya akan
sembuh spontan.
1.10 Prognosis
Terhadap penyakitnya pada dewasa dan anak-anak umumnya baik, tetapi usia tua risiko
terjadinya komplikasi semakin tinggi, dan secara kosmetika dapat menimbulkan makula
hiperpigmentasi atau sikatrik. Dengan memperhatikan higiene & perawatan yang teliti akan
memberikan prognosis yang baik & jaringan parut yang timbul akan menjadi sedikit.
1.11 Pencegahan

Telah dilaporkan suatu uji klinik besar mengenai vaksin herpes zoster untuk orang dewasa
berusia di atas 60 tahun untuk meningkatkan imunitas yang sudah menurun. Dikatakan vaksin
tersebut sangat efektif menurunkan jumlah kasus herpes zoster dan kejadian NPH. Vaksin ini
merupakan imunisasi aktif untuk meningkatkan resistensi infeksi. Vaksin mengandung
mikroorganisme atau komponen sel yang dilemahkan, yang berfungsi sebagai antigen. Hal ini
dapat merangsang produksi antibodi dengan protektif spesifik.
Herpes zoster muncul ketika titer antibodi varicella dan imunitas selular spesifik varicella
menurun sampai ke level dimana mereka tidak lagi efektif dalam mencegah invasi virus.
Kaitannya dalam hal ini, pemberian vaksin varicella pada individu yang titer antibodi dan
imunitas selularnya menurun dapat menurunkan risiko perkembangan herpes zoster. Pencegahan
dengan vaksinasi ini dianjurkan untuk lanjut usia karena pada usia lanjut terdapat penurunan dari
imunitas selular. Pada bulan oktober 2006, US Centers for Disease Control and Prevention
(CDC) merekomendasikan vaksin zoster diberikan pada orang yang berusia 60 tahun ke atas,
terutama mereka yang memiliki riwayat terinfeksi dengan virus zoster. Akan tetapi, vaksin ini
merupakan kontraindikasi untuk pasien yang mendapat terapi kortikosteroid jangka panjang,
pasien yang mendapat kemoterapi, atau terapi radiasi untuk tumor atau keganasan hematopoetik. 8

DAFTAR PUSTAKA

1.

Djuanda Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelaamin. Fakultas Kedokteran Indonesia. 2009

2.

Arvin AM. Wolf MH. Varicella Zoster. [Cited 3 Juni 2011.Updated 31 Maret 2011]
Available from http://id.wikipedia.org/wiki/Virus_varicella-zoster

3.

Anonim. Herpes Zoster. [Cited 3 Juni 2011. Updated 25 Maret 2011]. Available from
http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/23/basics/pathophysiology.html)
Indrarini, Soepardiman L. Penatalaksaan Infeksi Virus Varisela-Zoster pada Bayi dan

4.

Anak. Media Dermato-Venereologica Indonesiana. Volume 27. Jakarta: Perdoski, 2000; 65s71s.
5.

Niode NJ, Suling PL. Insiden Herpes Zoster Pada Anak di Poliklinik Kulit dan Kelamin
RSUP
Manado. Perkembangan Penyakit Kulit dan Kelamin di Indonesia Menjelang Abad 21.
Perdoski.
Surabaya: Airlangga University Press, 1999 ; 215.

6.

Stankus SJ, Dlugopolski M, Packer D. Management of Herpes Zoster and Post Herpetic
Neuralgia.

eMedicine

World

Medical

Library:

http://www.emedicine.com/info_herpes_zoster.htm [diakses pada tanggal 17 Juni 2010].


7.

Handoko RP. Penyakit Virus. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ke-4. Jakarta:
Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2005; 110-2.

8.

Pusponegoro, Erdina HD. Herpes zoster (shingles, cacar ular). [Cited 3 Juni 2011. updated
agustus

2009]

Available

from

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/29_171Herpeszoster.pdf/29_171Herpeszoster.html
9.

Eastern JS, Elston DM. Herpes Zoster. [ Cited 3 Juni 2011. Updated 11 mei 2011]. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/1132465

Anda mungkin juga menyukai