Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
I. PENDAHULUAN
Rasionalisasi
Leukemia akut adalah keganasan primer di sumsum tulang , pada
anak
limfoblas .Di Indonesia saat ini terdapat sekitar 80.000.000 anak dibawah usia 15
tahun. Diperkirakan ada sekitar 3000 kasus LLA baru anak setiap tahunnya.
Mostert dkk tahun 2006 di Yogyakarta melaporkan bahwa dari semua penderita
LLA, 35 % menolak pengobatan, 23% mengalami kematian yang berhubungan
dengan pengobatan, 22% mengalami perburukan atau kekambuhan dan 20 %
mengalami event- free survival. Temuan ini kurang lebihnya juga menggambarkan
situasi di Indonesia secara umum.
Sebagai negara yang berkembang Indonesia menghadapi masalah yang
sama dengan negara berkembang yang lain, seperti sistem pelaporan yang masih
belum baik, malnutrisi, infeksi, biaya protokol pengobatan dan pengobatan suportif
yang minimal. Di negara berkembang, banyak faktor berpengaruh negatif terhadap
hasil pengobatan LLA anak . Infeksi menjadi penyebab utama dari kematian pada
keganasan. Meskipun banyak kemajuan pada pengobatan antineoplastik, infeksi
masih menjadi komplikasi yang bermakna. Penderita mengalami berbagai keadaan
klinis keganasan dan imunodefisiensi akibat pengobatan ataupun karena proses
penyakitnya sendiri. Infeksi menjadi penyebab kematian dan kesakitan pada anak
dengan kanker, contohnya leukemia dapat mengganggu fungsi normal imunitas.
Obat yang digunakan untuk pengobatan leukemia bersifat mielosupresif dan toksik
pada epitel mukosa sehingga penderita berisiko terjadi infeksi bakteri dan
atau
jamur.
Infeksi merupakan penyulit utama pada anak-anak dengan leukemia akut dan
menyebabkan kematian. Prevalensi infeksi pada penderita dikarenakan penggunaan
obat sitotoksik, kortikosteroid, antibiotik spektrum luas, lama rawat inap di rumah
sakit, gangguan pada imunitas seluler dan humoral, neutropenia, dan disfungsi
neutrophil.Meskipun didapatkan fakta bahwa infeksi parasit di usus lebih sering dan
masih menjadi masalah di negara berkembang, beberapa penelitian menemukan
bahwa tidak didapatkan infeksi parasit pada anak-anak dengan leukemia selama
pengobatan. Penemuan ini tidak dapat meyingkirkan kemungkinan terjadi infeksi
parasit pada saat diagnosis. Pengobatan dengan mebendazole dapat diindikasikan
sebelum memulai pemberian steroid.
Selain infeksi, malnutrisi juga mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadaphasil
pengobatanLLA.Malnutrisi
dapat
terjadi
pada
semua
fase
dosis
bolus)
dan
pengobatan
kombinasi
kemoterapi.Dosis
kemoterapi yang tinggi sering menyebabkan mukositis oral yang nyeri sehingga
mengurangi
asupan
gizi
sampai
beberapa
minggu.Efek pengobatan
pada
terjadi
peningkatan
sensitivitas
terhadap
rasa
pahit;
fenomena
terjadi
keseimbangan
energi
yang
negatif
dan
kekurangan
mikronutrien.Sebagai contoh, lebih dari 2/3 remaja LLA mengkonsumsi kurang dari
80% kebutuhan diet harian.
2
Demam dan netropenia pada penderita kanker merupakan keadaan gawat darurat
dan membutuhkan evaluasi rawat inap dan pengobatan antibiotik spektrum luas.
Pendekatan yang agresif disarankan karena 60% dari demam netropeniini
disebabkan oleh infeksi bakteri baik dengan atau tanpa bakteriemia.
Meskipun pendekatan ini mengurangi angka kematian, penderita dapat mengalami
efek yang tidak diinginkan seperti toksisitas anti mikroba, infeksi nosokomial,
superinfeksi jamur serta dampak psikologis dan finansial dari pengobatan di rumah
sakit. Santolaya dan kawan-kawan melaporkan pada penelitian prospektif,
multisenter,dengan tujuan mengevaluasi faktor risiko yang berhubungan dengan
infeksi bakterial pada anak-anak dengan kanker, netropeni dan demam. Pendekatan
yang selektif pada anak-anak dengan demam netropenia akan bermanfaat pada
populasi anak dengan kanker dan pada sistem pemeliharaan kesehatan pada
negara berkembang dan maju. Khususnya bagi penderita yang tinggal jauh dari
rumah sakit (perjalanan lebih dari 1 jam), antibiotik oral spektrum luas harus tersedia
di rumah dan harus segera diberikan bila penderita panas (contoh: ciprofloxacin).
Kemoterapi masih menjadi pengobatan satu-satunya penderita anak-anak
dengan LLA meskipun biayanya cukup tinggi.Beberapa negara menyediakan
protokol
untuk
menghemat
biaya
dengan
tetap
mempertimbangkan
hasil
mengevaluasi penggunaan
berupa antara lain : laporan evaluasi penggunaan protokol LLA Indonesia 2006
pada forum Kongres Nasional Ikatan Dokter Anak Indonesia dari masing-masing
institusi pendidikan dokter spesialis anak di seluruh Indonesia, rapat kerja untuk
mengevaluasi program UKK Hematologi Onkologi dan pertemuan khusus
membahas evaluasi penggunaan protokol LLA Indonesia 2006 sehingga disepakati
hasil evaluasi/penyempurnaan protokol LLA Indonesia 2006
Protokol LLA Indonesia-2013.
disebut sebagai
II. TUJUAN
Tujuan pembuatan panduan protokol pengobatan LLA Indonesia 2013 ini adalah :
A. Tujuan umum
1. Menyediakan panduan pengobatanLLA anak di Indonesia.
2. Melakukan evaluasi penggunaan protokol LLA Indonesia 2013
3. Meningkatkan keberhasilan pengobatan penderita LLA anak di Indonesia
B. Tujuan khusus
1. Untuk mengevaluasi hasil pemeriksaan sel blast darah tepi pada hari ke 8 setelah
mulai pengobatan dengan protokol LLA Indonesia 2013 .
2. Mengevaluasi dan menganalis hasil (event free survival rate/EFS) antara
Kelompok Risiko Biasa / standard risk (RB) dan Risiko Tinggi / high risk (RT)
pasien anak dengan LLA yang mendapat pengobatan dengan protokol ini.
4. Mengevaluasi efek samping penggunaan kemoterapi pada berbagai tahap dari
protokol LLA Indonesia 2013 .
5. Mengevaluasi dan menganalisis angka kekambuhan penderita LLA .
6. Mengevaluasi dan menganalisis putus obat (drop out)penderita LLA.
7. Mengevaluasi dan menganalisis penyebab kematian penderita LLA .
Kriteria diagnosis
Diagnosis LLA berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium berupa
karakteristik morfologi dan pemeriksaan sitokimia dari aspirasi sumsum tulang.
Pemeriksaan morfologi menggunakan klasifikasi FAB ( French American British ).
Persentase sel
Skor
Nucleous
Nucleoli
Tidak dimasukkan kriteria bila : a. kriteria Intermedia, b. inti membran regular> 75%
dan , c . <50% besar sel, ukuran yang heterogen memberikan nilai + dan
Dari definisi tersebut, bila total skor 0 sampai +2 ditetapkan sebagi diagnosis L1,
sedangkan skor -1 sampai -4 adalah L2.
prominent. Vakuola yang prominent banyak terlihat pada L1 dan L2. Saat diagnosis
ditegakkan lakukan komunikasi yang baik, informasi benar dan tepat tentang
penyakit yang diderita pasien kepada orang tua. Edukasi kepada orang tua juga
dilakukan agar paham terhadap kondisi keadaaan sakit yang diderita pasien.
7
Tidak didapatkan infiltrasi sel leukemi pada bagian organ tubuh yang lain.
e. Kambuh/relap (Relapse) :
Lebih dari 20% blast diantara 200 sel inti pada sumsum tulang
Lebih dari 1000 sel blast/m3 pada pemeriksaan darah tepi setelah 1 minggu
mulai terapi pada LLA kelompok risiko biasa (RB)
Pasien dengan B-sel leukemia/limfoma (FAB morfologi L-3) harus diterapi dengan
protokol khusus.
-
Remisi hematologi jika sel blast ditemukan kurang dari 5% pada sumsum
tulang. Persentase ini dihitung dari 200 sel berinti.
Remisi komplit :terjadiremisi hematologi dan tidak adanya sel leukemia pada
darah tepi, cairan serebrospinal dan bagian tubuh.
V. PENGOBATAN
I. Persiapan sebelum mengawali pemberian sitostatika.
Untuk mencegah akan kerusakan ginjal lebih lanjut karena pengrusakan oleh sel
leukemia selama induksi :
Awal terdiagnosis:hidrasi yang adekuat dengan mempertahankan diuresis 1-2
ml/kg/jam
-
Untuk pasien dengan jumlah leukosit > 100.000 /mm3 atau sudah terjatanda
sindrom lisis tumor (lihat lampiran hiperleukositosis)
ada
trombositopenia
disertai
dengan
tanda
perdarahan
mutlak
Jika
trombositopenia
berkepanjangan,
dapat
diberikan
transfusi
10
Transfusi plasma segar beku menjadi pilihan bila ada perdarahan yang disebabkan
karena faktor koagulasi, yang dibuktikan dengan pemanjangan darijalur
intrinsik dan atau ekstrinsik dari pemeriksaan faal hemostasis.
-Nutrisi
Direkomendasikan untuk pemberian nutrisi yang adekuat sebelum memulai
kemoterapi terutama pada kasus malnutrisi, intake kalori harus dipastikan,
jangan ragu menggunakan NGT (nasogastric tube). (lihat lampiran nutrisi)
- Pengendalian infeksi
Wajib mencuci tangan sebelum dan sesudah memeriksa pasien.
Periksa rutindan menjaga kebersihan mulut dan mandi sikat gigi,hindari
terjadinya luka dan perdarahan gusi dengan jangan menggosok gigi terlalu
keras.
Tidak diperlukan profilaksis antibiotik,maupun anti jamur (utamanya derivat azol
; flukonazol,itrakonazol) maupun dekontaminasi usus. Jika terdapat sepsis,
pemberian sitostatika menunggu perbaikan keadaan umum minimal 3x24
jam dengan pemberian antibiotika intravena, jika infeksi ringan, pemberian
sitostatika bersamaan dengan antibiotika.
Oral Hygiene : sikat gigi, kumur dengan antiseptik apapun. Kontrol ke dokter
gigi untuk perawatan gigi /kebersihan mulut/ bebas dari fokus infeksi pada
saat sakit dan tiap 6 bulan.
Konsul sejawat ahli THT untuk mencari fokus infeksi
Parasit : obat cacing (mebendazol 500 mg dosis tunggal atau 2x100 mg
selama 3 hari; albendazol 200 mg dosis tunggal; pirantel pamoat 10-12,5
mg/kgBB) dapat diberikan pada anak yang baru didiagnosis.
Pengobatan cotrimoxasolprofilaksis (dosis 4mg/kg trimethoprim dan 20mg/kg
sulfamethoxazole) dosis 2 kali per hari selama 3 hari per minggu merupakan
rekomendasi kuat untuk mencegah infeksi dari
jerovecii,diberikan segera
12
RISIKO BIASA
Fase Induksi
Minggu
MTX IT
Window
ww
60/40 mg/m2 po
Blas LCS
40 mg/m2
Prednison
* Bila BMP tidak remisi, induksi dilanjutkan sesuai denganminggu ke-5 protokol RT
Bila tidak dijumpai sel blast pada pemeriksaan liquor , terapi intratekal hanya
menggunakan MTX, Bila dijumpai sel blast pada pemeriksaan liquor,menggunakan
MTX tripledrug (MTX/deksametason/ara-C ), 2x seminggu dilakukan sampai
negatif 3x berturut-turut
Apabila terjadi relaps CNS akan dikelola secara khusus.
SIKO TINGGI
13
nduksi
Minggu
MTX IT
Prednison
40 mg/m2
60/40 mg/m2 po
DNR 30 mg/m2 infus
Blas LCS
BMP
Vinkristin (VCR) :
- Dosis 1,5 mg/m2 (dosis mak 2mg) IV pada hari 7, 14, 21, 28, 35 dan 42 (dalam
10 ml NaCl 0,9% secara bolus IV pelan dalam 5 menit).
Daunorubisin (DNR)intravena :
- untuk risiko biasa diberikan 2 x selama induksi yaitu hari ke 21 dan ke 28
dengan dosis 30 mg/m2.
- untuk pasien risiko tinggi dosis 30 mg/m2 , diberikan 4 kali pada hari ke-21, 28,
35,dan ke 42( DNR dilarutkan dalam NaCl 0,9 % 100 cc diberikan secara drip
IV dalam 1 jam ). Bila tidak tersedia adanya DNR, dapat diganti dengan
Daunorubicin dengan dosis 20 mg/m2.
- Pada risiko biasa dan risiko tinggi diberikan mulai hari ke 1 minggu ke 4 hingga
akhir minggu ke 5 (untuk RB), minggu ke enam untuk RT
- Diberikan 3 kali selang sehari dalam seminggu, sehingga total pemberian
dalam 2 minggu adalah 6 kali, dan 9 x untuk penderita RT
- Dosis 7500 Unit/m2 subkutan maksimal 2 mL per lokasi suntikan. Sebaiknya
meggunakan paronal karena waktu paruh dan keefektivan (toksisitas) berbeda
dengan merk lain dari Asparaginase.
- Bisa diberikan secara iv dalam 100 ml cairan diberikan dalam 1-2 jam, atau i.m
dengan kompres es 15 menit sebelum injeksi, atau setelah L-Asp diaspirasi
dalam syringe, ditambahkan 0,5 1 ml lidocain dalam syringe yang sama (tidak
dikocok agar tidak tercampur), kemudian berikan im pelahan-lahan.
- Dalam kasus alergi L-Asp, harus diberikan L-Asp dari Erwinia dengan dosis
20000 IU/m2/dosis.
- Risiko hipersensitif/anafilkasis terhadap L-Asp umumnya tidak terjadi pada
pemberian awal / fase induksi, tapi lebih sering bila diberikan pada fase
reinduksi.
- Jika ada trombositopenia dalam
Umur
Dosis
< 1 tahun
6 mg/kali
1 tahun
8 mg/kali
2 tahun
10mg/kali
3 tahun
12mg/kali
15
P)kreatinin
serum,
jika
ada
sindroma
tumor
lisis
terapkan
dan
sekitarnya dengan jumlah netrofil 500-1000dan tidak ada fokus infeksi, pasien
tidak pada kondisi sakit akut, tunggu beberapa jam kemudian cek CRP dan
kultur darah ulang. Jika tidak didapatkan fokus infeksi tapi panas,segera
Berikan antibiotika spektrum luas.
- Pasien dengan jumlah netrofil < 500,
17
sehingga sitostatika : PRED, VCR, dan L-Asp diberikan dengan dosis penuh,
mungkin DNR bisa ditunda sementara.
2.Konsolidasi
RISIKO BIASA
Minggu
10
MTX IT
Leukovorin 15 mg/m2/kali
6 MP 50 mg/m2/po
RISIKO TINGGI
18
11
12
Minggu
MTX IT
Leukovorin 15 mg/m2/kali
10
11
12
13
Siklofosfamid
Dosis
< 1 tahun
6 mg/kali
1 tahun
8 mg/kali
2 tahun
10mg/kali
3 tahun
Cyclophosphamide
12mg/kali
Dosis 1000 mg/m2, diberi awal minggu ke 9 dan 13, tanpa dibarengi dengan
pemberian Mesna
20
3. Intensifikasi
RISIKO TINGGI
Minggu
14
16
MTX IT
VCR 1,5 mg/m2 IV
15
17
18
Prednison 40 mg/m2 po
DNR 30 mg/m2 infus
Citarabin 75 mg/m2 IV
Vincristine :
-
Dosis 1,5 mg/m2 (dosis mak 2mg) IV pada awal minggu 14,15,16,17 (dalam 10
ml cairan normal saline secara IV pelan dalam 5 menit).
Daunorubicin (DNR)intravena :
-
Citarabine
-
Dosis : 75 mg/m2, diberikan pada minggu ke 15 dan 17, 3 kali dalam seminggu.
21
Pada fase ini mulai diberikan cotrimoksazol profilkasis dengan dosis 2-3
mg/kgbb/dosis (maksimal 2 x 80 mg/hari) diberi 3 kali seminggu.
MTX i.t
- MTX it triple drug diberikan pada minggu ke 15 dan 17 (cara pemberian dan
pedoman pemberian intratekal ini sama seperti pada fase induksi dan
konsolidasi).
4. Rumatan (Maintenance)
- Untuk risiko biasa (RB), fase rumatan dimulai pada minggu ke 13 dan berakhir
pada minggu 110, sementara yang risiko tinggi (RT) dimulai minggu ke 18,
dan akan berakhir pada minggu ke 118
- Agar mendapat outcome yang baik , pemberian dosis yang tepat pada fase
rumatan merupakan hal yang esensi. Bergantung pada kondisi sensitifitas
anak terhadap kemoterapi.
- Persyaratan untuk mengawali rumatan.
kondisi umum baik.
tidak ada infeksi.
Hematologi baik,
6 MP dan MTX
-
Diberi 1 kali sehari (dosis tunggal) terutama dimalam hari saat perut kosong
(setidaknya 30 menit sebelum atau 60 menit setelah makan malam) dan
bukan dengan susu.
Disarankan pemberian MTX p.o malam hari. Hentikan pemberian obat ini bila
terjadi kenaikan SGOT/SGPT > 10 kali nilai normal. Pengobatan dengan MTX
ini juga harus dihentikan bila ada pneumonia.
Deksametason
-
Catatan Penting :
-
Pada pengobatan fase rumatan ini, leukopenia (lekosit < 2000/mm3 ) dapat
berkaitan dengan sensitivitas individu terhadap kemoterapi, infeksi, efek
samping cotrimoksazol, atau kondisi relaps hematologi.
23
Pada
untuk melihat
Jika nilai lekosit sudah > 2000/mm3, 6-MP dan MTX dimulai dengan dosis
normal dan 2 minggu kemudian dibericotrimoksazol. Ketika nilai lekosit
dibawah 1000/mm3cotrimoksazol dan sitostatika harus dihentikan sampai nilai
lekosit kembali 2000/mm3.
Pada infeksi berat atau kecurigaan infeksi berat maka pengobatan fase
rumatan untuk sementara dihentikan.
24
disertai
dimasukkan
selang
minggu.MTX
yang
Catatan :
25
Perubahan obat harus dihindari, misal jika vincristine diberikan secara intratekal,
pasien akan menderita atau meninggal karena mielopati dan deserebrasi.
Vincristine jangan pernah ada di ruang lumbal pungsi.
26
juga mempunyai
aktivitas yang kuat pada sel yang tumbuh cepat . Akibatnya, pertumbuhan sel
rambut, kuku, gastrointestinal dan sel darah akan lebih cepat terhenti oleh obat
sitostatika daripada sel tubuh lainnya, disamping itu sitostatika
memiliki efek
2. Deksametason
Bekerja dengan cara mengikat reseptor sel intrasitoplasma , selanjutnya
memblok secara ireversibel fase G1 dan interfase pada sel limfoid. Untuk
mematikan reseptor sel dibutuhkan beberapa hari.Deksametason dapat
menembus sawar darah otak (blood brain barrier) dan efektif pada
sistem
saraf pusat.
Efek samping :sebagian besar menunjukkan efek glukokortikoid, sedikit
mineralokortikoid.
lemak.Menambah
Mempengaruhi
metabolisme
gluconeogenesis
protein.Inhibisipadaaksis
karbohidrat,
(hiperglikemia)
dan
protein
dan
katabolisme
hypothalamus-pituitary-adrenal.Imunosupresi.
27
adipositas,
osteoporosis,
sindroma
cushing,
hipertensi,
hiperglikemia,
3. L-Asparaginase
Efek :split L-Asparagin pada L-Asparaginase dan ammonia.
Efek samping : reaksi alergi, demam, menggigil, mual, muntah, koagulopati,
gangguan fungsi liver, hipobetalipoproteinemia, non-ketosis hiperglikemia.
Peringatan : Pengobatan sebaiknya tidak
sensibilitas). Jika ternyata tidak dapat dihindari, maka dosisnya dimulai dari
dosis rendah.
Bila
diberikan
sesaat
sebelum atau
bersamaan
dengan
VCR
akan
4. Methotrexate
Efek : antifolat antimetabolit (, antagonis asam folat ).
28
terlindung dari cahaya.Jika MTX tablet tidak tersedia dapat diganti MTX iv.
5. 6-Mercaptopurine
Efek : purin antimetabolit.
Efek samping :gangguan fungsi hati, leukopenia, trombositopenia, anoreksia,
mual, muntah, stomatitis, imunosupresi.
Penyimpanan dan stabilitas: tablet disimpan pada suhu kamar.
6. Citarabine
Efek : antimetabolit, antagonis piridin, inhibitor kompetitif polimerase DNA, efek
sitotoksik pada fase G1 siklus sel.
Efek samping : leukopenia, mual, muntah, trombositopenia, demam, stomatitis,
diare, gangguan fungsi hati, imunoseupresi.
Penyimpanan dan stabilitas : botol Ara-C disimpan pada suhu kamar. Setelah
dilarutkan, larutan harus disimpan pada suhu kamar, harus diberikan dalam
waktu 48 jam.
7. Doxorubicin, Daunorubicin
Efek : inhibisi mitosis
Efek samping : mielosupresi, mual, muntah, diare, stomatitis, alopesia, gagal
jantung (decompensatio cordis), kardiomiopati.
Penyimpanan dan stabilitas : vial injeksi disimpan pada suhu kamar, stabil
dalam gelap 48 jam.
8. Cyclophosphamide
Efek samping : mielosupresi, perdarahan sistitis (dicegah dengan pemberian
Mesna), kardiomiopati, SIADH , stomatitis, mual, muntah dan alopesia.
.
29
Penyimpanan dan stabilitas : dalam bentuk tablet dan bubuk injeksi disimpan
pada suhu kamar sebaiknya dalam suhu 25 0C dan tidak lebih dari 300C.
Persiapan : larutkan bubuk dengan sterile water injection atau dekstrose 5%
untuk mencapai konsentrasi 20 mg/ml. Disimpan selama 24 jam pada suhu
kamar atau hingga 6 hari pada suhu 4-10 0C.
30
VII.ANALISIS STATISTIKA
1.
3.
31
Daftar pustaka
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
32
25. Ribeiro RC, Pui CH. Saving the children improving childhood cancer treatment in developing
countries. N Engl J Med 2005; 352: 21: 2158-2160.
26. Ugrasena IDG, Sutaryo, Supriadi E, Vroling L, Cloos J, Hooijberg JH, Veerman AJP. High
frequency of the 3R/3R polymorphism in the thymidylate synthease enhancer region in
Indonesian childhood acute lymphoblastic leukemia. Pediatr Indones 2006; 46: 103-1123.
27. Veerman AJP, Sutaryo, Sumadiono. Commentary. Twinning: A regarding scenario for
development of oncology services in transitional countries. Pediatr Blood Cancer 2005; 45:
103-106.
28. Ito C, Evans WE, McNinch L, Coustan-Smith E, Mahmoud H, Pui CH, Campana D.
Comparative cytotoxicity of dexamethasone and prednisolone in childhood acute lymphoblastic
leukemia. J Clin Oncol 1996;14:2370-76.
29. Ahmed SF, Tucker P, Mushtaq T, Wallace AM, William DM, Hughes IA. Short-term effects on
linear growth and bone turnover in children randomized to receive prednisolone or
dexamethasone. Clin Endocrinol 2002;57(2):185-91.
30. Belgaumi AF, Al-Bakrah M, Al-Mahr M, Al-Jefri A, Al-MUsa A, Saleh M, et al. Dexamethasoneassociated toxicity during induction chemotherapy for childhood acute lymphoblastic leukemia
is augmented by concurrent use of daunomycin. Cancer 2003;97(11):2898-903.
31. Ulrike NG, Elvira A, Gudrun F, Dirk S, Rosmarie S, Christiane S, Ralf J. Thromboembolic
events in children with acute lymphoblastic leukemia (BFM protocols): prednisone versus
dexamethasone administration. Blood 2003;101(7):2529-33.
32. Vienna , Murao, Ramos, Oliviera, De-Carvalho, DE-Baltos, et al. Malnutrition as a prognostic
factor in lymphoblastic leukemia: a multivariate analysis. Arch Dis Child 1994; 71(4): 304-310.
33. Pui CH, Sandlund JT, Pei D, Rivera GK, Howard SC, Ribeiro RC, et al. Results of therapy for
acute lymphoblastic leukemia in black and white children. JAMA 2003; 290(15): 2001-2007.
34. Shu XO, Linet MS, Steinburg M, Wen WQ, Buckley JD, Neglia JP, et al. Breats feeding and risk
of childhood leukemia. J Natl Cancer Inst 1999; 91: 1765-1772.
35. Veerman AJ, Hahlen K, Kamps WA, Van Leeuwen EF, De Vaan GA, Solbu G, et al. High cure
rate with a moderately intensive treatment regimen in non-high risk childhood acute
lymphoblastic leukemia. Results of protocol ALL VI from the Dutch Childhood Leukemia Group.
J Clin Oncol 1996;114:911-8.
36. Schwartz CL, Thompson EB, Gelber RD, Young ML, Chilton D, Cohen HJ, Sallon SE.
Improved response with higher corticosteroid dose in children with acute lymphoblastic
leukemia. J Clin Oncol 2001;19:1040-6.
37. Igarashi S, Manabe A, Ohara A, Kumagai M, Saito T, Okimoto Y, et al. No advantage of
dexamethasone over prednisolone for the outcome of standard and intermediate risk
childhood acute lymphoblastic leukemia in the Tokyo Chldrens Cancer Study Group L95-14
Protocol. J Clin Oncol 2005;23(27):6489-98.
38. Mitchell CD, Richards SM, Kinsey SE, Lilleymen J, Vora A, Eden TOB. Benefit of
dexamethasone compared with prednisolone for childhood acute lymphoblastic leukemia:
resuls of the UK Medical Research Council ALL97 randomized trial. BJH 2005;129:734-45.
39. Arico M, Valsecchi MG, Conter V, Rizzari C, Pession A, Messina C, et al. Improved outcome in
high-risk childhood acute lymphoblastic leukemia defined by prednisone poor response treated
with double Berlin-Frankfurt-Muenster protocol II. Blood 2002;100:420-6.
40. Bostrom BC, Sensel MS, Harland NS, Gaynon PS, La MK, Johnston LK, et al. Dexamethasone
versus prednisone and daily oral versus weekly intravenous mercaptopurine for patients with
standard risk acute lymphoblastic leukemia: a report from the Childrens Cancer Group. Blood
2003;101:3809-17.
41. Mostert S, Gundy GM, Sutaryo, Sitaresmi MN, Veerman AJ. Influence of socioeconomic status
on childhood acute lymphoblastic leukemia treatment in Indonesia. Pediatrics 2006 Oct 30
42. Aapro M., Crawford J., Kamioner D. Prophylaxis of chemotherapy-induced febrile neutropenia
with granulocyte colony-stimulating factors: where are we now?. Support Care Cancer (2010)
18:529541
43. Baglin TP., Gray JJ., Marcus RE., Wreghitt TG. Antibiotic resistant fever associated with herpes
simplex virus infection in neutropenic patients with haematological malignancy. J Clin Pathol
1989; 42:12558
44. Carcillo J. Whats new in the pediatric intensive care medicine. Pediatr Crit Care Med.
2006;34:S183-190
45. Celkan T., Ozkan A., Apak H., Diren S., Can G., Yuksel L, et al. Bacteremia in childhood
cancer. J Trop Pediatr. 2002;48:373-7
33
46. Danilatou V., Mantadakis E., Galanakis E., Christidou A., Stiakaki E., Kalmanti M. Three cases
of viridans group streptococcal bacteremia in children with febrile neutropenia and literature
review. Scand J Infect Dis. 2003;35:873-6.
47. DeSancho MT., Rand JH. Bleeding and thrombotic complications in critically ill patiensts with
cancer. Crit Care Clin. 2001:17:599-622.
48. Freifeld AG., Bow EJ., Sepkowitz KA., Boeckh MJ., Ito JI., Mullen CA., Raad II., et al.
Clinical Practice Guideline for the Use of Antimicrobial Agents in Neutropenic Patients with
Cancer: 2010 Update by the Infectious Diseases Society of America. Clinical Practice
Guideline.CID 2011:52 (15 February); e56-93
49. Friese CR. Chemotherapy-induced neutropenia: Important new data to guide nursing
assessment and management. Adv Stud Nurs. 2006;4(2):21-25.
50. Gabay M., Tanzi M. Guidelines for the Management of Febrile Neutropenia. Pharmacy Practice
News. Desember 2009. 9-17
51. Goad KE., Gralnick HR. Coagulation disorders in cancer. Hematol Oncol Clin North Am.
1996;10:457
52. Goldstein B., Giroir B., Randolph A. International Consensus Conference on Pediatric Sepsis.
International pediatric sepsis consensus conference: definitions for sepsis and organ
dysfunction in pediatrics. Pediatr Crit Care Med 2005;6(1):28.
53. Greenberg D., Moser A., Yagupsky P., Peled N., Hofman Y., Kapelushnik J., Leibovitz E.
Microbiological spectrum and susceptibility patterns of pathogens causing bacteraemia in
paediatric febrile neutropenic oncology patients: comparison between two consecutive time
periods with use of different antibiotic treatment protocols. Int J Antimicrob Agents.
2005;25:469-73
54. Hughes WT., Armstrong D., Bodey GP., Bow EJ., Brown AE., Calandra T, et al. Guidelines for
the use of antimicrobial agents in neutropenic patients with cancer. Clin Infect Dis.
2002;34:730-51
55. Jaksic B., Martinelli G., Perez-Oteyza J., Hartman CS., Leonard LB., Tack KJ. Efficacy and
safety of linezolid compared with vancomycin in a randomized, double-blind study of febrile
neutropenic patients with cancer. Clin Infect Dis. 2006;42:597-607.
56. Johnson MJ. Bleeding, clotting, and cancer. Clin Oncol (R Coll Radiol). 1997;9:294-301
57. Lai HP., Hsueh PR., Chen YC., Lee PI., Lu CY., Lu MY, et al. Bacteremia in hematological and
oncological children with febrile neutropenia: experience in a tertiary medical center in Taiwan.
J Microbiol Immunol Infect. 2003;36:197-202.
58. Lehrnbecher T., Phillips R., Alexander S., Alvaro F., Carlesse F., Fisher B. Guideline for the
Management of Fever and Neutropenia in Children With Cancer and/or Undergoing
Hematopoietic Stem-Cell Transplantation. J Clin Oncol 30.1-12
59. Liang DC., Chen SH., Lean SF. Role of granulocyte colonystimulating factor as adjunct therapy
for septicemia in children with acute leukemia. Am J Hematol. 1995;48:76-81.
60. Link H., Bhme A., Cornely OA., Hffken K., Kellner O., Kern WV, et al. Antimicrobial therapy of
unexplained fever in neutropenic patients. Ann Hematol. 2003;82 Suppl 2:S105-17.
61. Lucas KG., Brown AE., Armstrong D., Chapman D., Heller G. The identification of febrile,
neutropenic children with neoplasic disease low risk of bacteremia and complications of sepsis.
Cancer. 1996;77:791-9.
62. Lyman GH., Lyman CH., Agboola O, for the ANC Study Group. Risk Models for Predicting
Chemotherapy-Induced Neutropenia. The Oncologist 2005;10:427437
63. Maschmeyer G., Ostermann H., Wendt S., Richter G. Guidelines of the infectious diseases
working party of the German Society of Hematology and Oncology. Ann Hematol. 2003;82
Suppl 2:S105-17
64. Meckler G., Lindemulder S. Fever and Neutropenia in Pediatric Patients with Cancer. Emerg
Med Clin N Am 27 (2009) 525544
65. Mendes AVA., Sapolnik R., Mendona N. New guidelines for the clinical management of
febrile neutropenia and sepsis in pediatric oncology patients.J Pediatr (Rio J). 2007;83(2
Suppl):S54-63
66. Naurois J.D., Novitzky-Basso I, Gill M.J., Marti F.M., Cullen M.H., Roila F. On behalf of the
ESMO Guidelines Working Group. Management of febrile neutropenia: ESMO Clinical Practice
Guidelines. Annals of Oncology 21 (Supplement 5): 2010;v252v256
67. Renoult E., Buteau C., Turgeon N., Moghrabi A., Duval M., Tapiero B. Is routine chest
radiography necessary for the initial evaluation of fever in neutropenic children with cancer?
Pediatr Blood Cancer. 2004;43:224-8
34
68. Rotstein C., Bow EG., Laverdiere M. Randomized placebo-controlled trial of uconazole
prophylaxis for neutropenic patients: benet based on purpose and intensity of cytotoxic
therapy. Clin InfectDis 1999; 28:33140
69. Ruhnke M., Bhme A., Buchheidt D., Donhuijsen K., Einsele H., Enzensberger R, et al.
Diagnosis of invasive fungal infections in hematoloy and oncology. Guidelines of the Infectious
Diseases Working Party (AGIHO) of the Germany Society of Hematology and Oncology
(DGHO). Ann Hematol. 2003;82 Suppl 2:S141-8.
70. Sachdeva RC., Jefferson LS., Coss-Bu J., Brody BA. Resource consumption and the extent of
futile care in a pediatric intensive care setting. J Pediatr. 1996;128:742-7
71. Santolaya ME., Rabagliati R., Bidart T., Paya E., Guzman AM., Morales R, et al. Consenso
manejo racional del paciente con cncer, neutropenia y fiebre: rational approach towards the
patient with cancer, fever and neutropenia. Rev Chilena Infectol. 2005;22 Supl 2:S79-S113
72. Segal BH., Almyroudis NG., Battiwalla M., Herbrecht R., Perfect JR., Walsh TJ, et al.
Prevention and early treatment of invasive fungal infection in patients with cancer and
neutropenia and in stem cell transplant recipients in the era of newer broad-spectrum antifungal
agents and diagnostic adjuncts. Clin Infect Dis. 2007;44:402-9.
73. Sharma A., Lokeshwar N. Febrile Neutropenia in Haematological Malignancy. J Postgrad Med.
2005;Vol 51; suppl 1; S42-S48
74. Veyradier A., Jenkins CS., Fressinaud E., Meyer D. Acquired von Willebrand syndrome: from
pathophysiology to management. Thromb Haemost. 2000;84:175-82
75. Winston DJ., Hathorn JW., Schuster MG., Schiller GJ., Territo MC. A multicenter, randomized
trial of fluconazole versus amphotericin B for empiric antifungal therapy of febrile neutropenic
patients with cancer. Am J Med. 2000;108:282-9.
35
36