Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Cerebral palsy (CP) telah dibicarakan kurang lebih sekitar 150 tahun yang
lalu. Pada tahun 1843, seorang ahli bedah asal Inggris bernama William Little
mendeskripsikan tentang sebuah penyakit yang menjelaskan tentang Deformitas
pada

rangka

tubuh

manusia.1 Kemudian

pada

tahun

1862 ia

mulai

mendeskripsikan penyakit yang mulai menyerang pada anak-anak di tahun


pertama kehidupan, yang meyebabkan kekakuan otot tungkai dan lengan. Little
mengungkapkan bahwa keadaan tersebut dihasilkan dari kurangnya suplai oksigen
selama kelahiran. Kekurangan suplai oksigen tersebut berujung pada rusaknya
jaringan otak yang sensitif mengendalikan fungsi pergerakan.1,2
Sigmund Freud menentang pendapat tersebut. Dalam penelitiannya, Freud
mengungkapkan bahwa penyakit tersebut sudah terjadi pada awal kehidupan,
sehngga kesulitan persalinan hanyalah salah satu keadaan yang menimbulkan efek
labih buruk.1Sampai saat ini terdapat beberapa kemungkinan yang dapat
menyebabkan cerebral palsy, kebanyakan masih belum diketahui.
Cerebral palsy merupakan penyebab gangguan perkembangan yang
berhubungan dengan ketidakmampuan dan kerusakan motor seumur hidup.
Gangguan ini diakibatkan oleh cedera otak sebelum kelahiran ataupun pada masa
awal kelahiran yang menyebabkan perubahan hubungan saraf dan berujung pada
abnormalitas kontrol serta kekuatan tungkai.3Berbagai macam penelitian
menemukan bahwa prevalensi dari cerebral palsy kira-kira 2/1.000 populasi.3,4
1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Cerebral palsi (CP) adalah terminologi yang digunakan untuk
mendeskripsikan kelompok penyakit kronik yang mengenai pusat pengendalian
pergerakan dengan manifestasi klinis yang tampak pada beberapa tahun pertama
kehidupan dan secara umum tidak akan bertambah memburuk pada usia
selanjutnya. Istilah cerebral ditujukan pada kedua belahan otak, atau hemisfer, dan
palsi mendeskripsikan bermacam penyakit yang mengenai pusat pengendalian
pergerakan tubuh. Jadi, penyakit tersebut tidak disebabkan oleh masalah pada otot
atau jaringan saraf tepi, melainkan, terjadi perkembangan yang salah atau
kerusakan pada area motorik otak yang akan mengganggu kemampuan otak untuk
mengontrol pergerakan postur secara adekwat.5
Menurut International Workshop on Definition and Classification of CP
2007,

CP

digambarkan

sebagai

sekelompok

gangguan

permanen

dari

perkembangan gerakan dan postur tubuh, yang menyebabkan keterbatasan


aktivitas, yang dikaitkan dengan gangguan non-progresif yang terjadi di
perkembangan otak janin. Gangguan motorik pada CP sering disertai dengan
gangguan sensibilitas, persepsi, kognitif, komunikasi dan perilaku, epilepsi, dan
dengan masalah muskuloskeletal sekunder.6
Variasi beratnya penyakit dapat terlihat dari gejala-gejala yang muncul dari
CP. Penderita CP menunjukkan kesulitan dalam fungsi motorik halus, misalnya
2

menulis; masalah keseimbangan dan berjalan; atau mengenai gerakan involunter,


seperti tidak dapat mengontrol gerakan menulis atau selalu mengeluarkan air liur.
Tiap penderita CP, menunjukkan gejala yang berbeda. CP bukan penyakit menular
atau bersifat herediter.5,7
B. Epidemiologi
Serangan CP diperkirakan ditemukan pada 2 neonati tiap 1.000 kelahiran.
Collaborative Perinatal Project, dimana sekitar 45.000 anak secara teratur
dipantau sejak dalam kandungan hingga umur 7 tahun, melaporkan bahwa angka
prevalensi CP sekitar 4/1.000 bayi lahir hidup.3,7
Asosiasi CP dunia memperkirakan >500.000 penderita CP di Amerika.
Disamping peningkatan dalam prevensi dan terapi penyakit penyebab CP, jumlah
anak-anak dan dewasa yang terkena CP tampaknya masih tidak banyak berubah
atau mungkin lebih meningkat sedikit selama 30 tahun terakhir.5,7
C. Klasifikasi Klinis
CP dapat diklasifikasikan berdasarkan gejala dan tanda klinis neurologis.
Hingga saat ini, CP diklasifikasikan berdasarkan kerusakan gerakan yang terjadi
dan dibagi dalam 4 kategori, yaitu:
1. CP Spastik2,5
Merupakan bentukan CP terbanyak (70-80%), otot mengalami kekakuan
dan secara permanen akan menjadi kontraktur. Jika kedua tungkai mengalami
spastisitas, pada saat seorang berjalan, kedua tungkai tampak bergerak kaku dan
lurus. Gambaran klinis ini membentuk karakteristik berupa ritme berjalan yang
dikenal dengan gaya jalan gunting.
3

Gejala spastik hemiplegia dapat disertai tremor hemiparesis, yakni anak


tidak dapat mengendalikan gerakan tungkai pada satu sisi tubuh. Gangguan
gerakan berat akan terjadi apabila tremor memberat.
CP spastik dibagi dalam jumlah ekstremitas yang terkena, yaitu:
a. Monoplegi
Bila hanya mengenai 1 ekstremitas saja, biasanya lengan.
b. Diplegia
Keempat ekstremitas terkena, tetapi kedua kaki lebih berat daripada kedua
lengan.
c. Triplegia
Bila mengenai 3 ekstremitas, yang paling banyak adalah mengenai kedua
lengan dan 1 kaki.
d. Quadriplegia
Keempat ekstremitas terkena dengan derajat yang sama.
e. Hemiplegia
Mengenai salah satu sisi dari tubuh dan lengan terkena lebih berat.
2. CP Atetoid/diskinetik7
Lebih sedikit dibandingkan dengan spastic cerebral palsy. Terjadi pada
sekitar 10-20% penderita CP. Terjadi kerusakan pada ganglia basalis.
Karakteristiknya seperti gerakan menulis yang tidak terkontrol dan perlahan.
Gerakan abnormal ini mengenai, tangan, kaki, lengan, atau tungkai dan pada
sebagian besar kasus, otot muka dan lidah, menyebabkan anak tampak
menyeringai dan selalu mengeluarkan air liur. Gerakan meningkat selama periode
peningkatan stres dan hilang pada saat tidur. Disartria juga merupakan gejala yang
tampak pada CP tipe ini.
3. CP Ataksid8
4

Kasus ini jarang dijumpai, hanya sekitar 5-10% penderita CP. Melibatkan
keseimbangan dan persepsi dalam. Gejala-gejala ini melibatkan tonus otot yang
menurun serta koordinasi gerakan yang buruk, termasuk tremor.

Penderita

berjalan tidak stabil, dengan gaya berjalan kaki terbuka lebar, dengan posisi kedua
kaki yang saling berjauhan.
4. CP campuran
Kasus ini terjadi dimana seseorang mempunyai gejala lebih dari 1 dari 3
tipe diatas sebelumnya. Kombinasi paling umum adalah atetoid dan spastic CP,
meskipun tidak menutup kemungkinan kombinasi dari tipe-tipe lain.8
Dari defisit neurologis, CP terbagi atas 2:5
1. Tipe Piramidal
Gejala yang hampir selalu ada pada tipe ini adalah tonus yang meningkat
(hipertoni), hiperfleksi yang disertai klonus, cenderung timbul kontraktur, serta
refleks patologis. Gangguan bicara juga dapat terjadi pada tipe ini.
2. Tipe ekstrapiramidal
Salah satu karakteristik khas pada tipe ini adalah gerakan involunter. Tipe
ini sering disertai gangguan emosional dan retardasi mental. Pada tipe ini
kontraktur jarang ditemukan.

3. Tipe campuran
Gejala yang muncul adalah campuran dari gejala-gejala 2 tipe diatas.
Klasifika
Minimal
si

Perkembangan
Normal,
Morikhanya

Gejala
Kelainan tonus sementara

Penyakit Penyerta
Gangguan komunikasi

terganggu secara
Kualitatif

Refleks primitif menetap terlalu


Lama

Gangguan belajar
Spesifik

Kelainan postur ringan


Gangguan gerak motorik kasar
& halus, misalnya clumpsy
Ringan

Berjalan umur 24 bulan

Beberapa kelainan pada


pemeriksan neurologis
Perkembangan refleks primitif
Abnormal
Respon postular terganggu
Gangguan motorik, misalnya
Tremor
Gangguan koordinasi

Sedang

Berat

Berjalan umur 3 tahun,

Berbagai kelainan neurologis

Retardasi mental

kadang memerlukan

Refleks primitif menetap dan

Gangguan belajar dan

Bracing

Kuat

Komunikasi

Tidak perlu alat khusus

Respon postural terlambat

Kejang

Tidak bisa berjalan,

Gejala neurologis dominan

atau berjalan dengan


alat bantu

Refleks primitif menetap

Tabel 1. Klasifikasi CP berdasarkan derajat penyakit


Dikutip dari Buku ajar neurologi anak IDAI 1999, hal 116

D. Penyakit Lain Yang Berhubungan dengan CP2


Banyak penderita CP menderita penyakit-penyakit penyerta lainnya.
Kelainan yang mempengaruhi otak dan menyebabkan gangguan fungsi motorik
6

dapat menyebabkan kejang dan mempengaruhi perkembangan intelektual


sesorang, atensi terhadap dunia luar, aktivitas dan perilaku, serta penglihatan dan
pendengaran. Penyakit-penyakit tersebut adalah:
1. Gangguan mental
Sepertiga anak CP memiliki gangguan intelektual ringan, sepertiga dengan
gangguan sedang hingga berat dan sepertiga lainnya normal. Gangguan mental
sering dijumpai pada anak dengan klinis spastik quadriplegia.
2. Kejang atau epilepsi
Setengah dari seluruh anak menderita kejang. Selama kejang, aktivitas
elektrik dan pola normal dan teratur di otak mengalami gangguan. Pada penderita
CP dan epilepsi, gangguan tersebut akan tersebar ke seluruh otak dan
menyebabkan gejala pada seluruh tubuh, seperti kejang tonik-klonik atau mungkin
hanya pada satu bagian otak dan menebabkan gejala kejang parsial. Kejang tonikklonik secara umum menyebabkan penderita menjerit dan diikuti dengan
hilangnya kesadaran, twitching kedua tungkai dan lengan, gerakan tubuh konvulsi
dan hilangnya kontrol kandung kemih. Kejang parsial diklasifikasikan menjadi
simpleks atau kompleks. Pada tipe simpleks, penderita menunjukkan gejala yang
terlokalisir, misalnya kejang otot, gerakan mengunyah, mati rasa atau rasa gatal.
Pada

tipe

kompleks,

penderita

dapat

mengalami

halusinasi,

berjalan

sempoyongan, gerakan tanpa tujuan, atau mengalami gangguan kesadaran atau


kebingungan.
3. Gangguan Pertumbuhan

Sindroma gagal tumbuh sering terjadi pada CP derajat sedang hingga


berat, terutama tipe quadriparesis. Gagal tumbuh secara umum adalah istilah
untuk

mendeskripsikan

anak-anak

yang

terhambat

pertumbuhan

dan

perkembangannya walaupun cukup mendapat asupan makanan. Pada bayi-bayi


terhambatnya laju pertumbuhan terlihat dari kenaikan berat badan yang sangat
kecil; pada anak kecil, dapat tampak terlalu pendek; pada remaja, tampak sebagai
kombinasi antara terlalu pendek dan tidak tampak tanda maturasi seksual. Gagal
tumbuh dapat disebabkan karena beberapa sebab, termasuk nutrisi yang buruk dan
kerusakan

otak

yang

berfungsi

untuk

mengontrol

pertumbuhan

dan

perkembangan. Sebagai tambahan, otot tungkai yang mengalami spastisitas


mempunyai kecenderungan lebih kecil dibanding normal. Hal tersebut tampak
nyata pada sebagian besar penderita dengan spastik hemiplegia, karena tungkai
pada sisi yang sakit tidak dapat tumbuh secepat sisi yang normal. Kondisi tersebut
juga mengenai tangan dan kaki karena gangguan penggunaan otot tungkai (disuse
atrophy).
4. Gangguan penglihatan dan pendengaran
Banyak anak CP menderita strabismus, dimana mata tidak tampak
segaris karena ada perbedaan pada otot mata kanan dan kiri. Pada
perkembangannya, hal ini akan menimbulkan gejala penglihatan ganda. Jika tidak
segera dikoreksi akan menimbulkan gangguan penglihatan berat pada satu mata
dan sebenarnya dapat diintervensi dengan kemampuan visus tertentu, misalnya
membatasi jarak pandang. Pada beberapa kasus, terapi bedah direkomendasikan
untuk koreksi strabismus. Anak dengan hemiparesis dapat mengalami hemianopia,
8

dimana terjadi kecacatan visus atau kebutaan yang mengenai lapangan pandang
abnormal pada satu sisi. Pada beberapa penyebab, seperti kernikterus, post
meningitis,

dapat

meningkatkan

gangguan

pendengaran.

Skrining

direkomendasikan untuk mencegah terjadinya gangguan pendengaran.


5. Sensasi dan persepsi abnormal
Sebagian penderita CP mengalami gangguan kemampuan untuk
merasakan sensasi. Misalnya, sentuhan dan nyeri. Mereka juga mengalami
stereognosia, yakni kesulitan merasakan dan mengidentidikasi objek melalui
sensasi raba.
E. Patofisiologi CP
1. Penyebab CP
CP bukan merupakan satu penyakit dengan satu penyebab. CP
merupakan grup penyakit dengan masalah mengatur gerakan, tetapi dapat
mempunyai penyebab yang berbeda. Untuk menentukan penyebab CP, harus
dicari mengenai hal seperti bentuk CP, riwayat kesehatan ibu dan anak, dan
onset penyakit.10
Di USA, sekitar 10-20% CP disebabkan karena penyakit setelah lahir
(prosentase tersebut akan lebih tinggi pada negara-negara yang belum
berkembang). CP dapatan juga dapat merupakan hasil dari kerusakan otak pada
bulan-bulan pertama atau tahun-tahun pertama kehidupan yang merupakan sisa
dari infeksi otak, misalnya meningitis bakteri atau encephalitis virus, atau
merupakan hasil dari trauma kepala yang sering akibat kecelakaan lalu lintas,
jatuh atau penganiayaan anak.11

Penyebab CP kongenital, pada satu sisi lainnya, tampak pada saat


dilahirkan. Pada banyak kasus, penyebab CP kongenital sering tidak diketahui.
Diperkirakan terjadi kejadian spesifik pada masa kehamilan atau sekitar
kelahiran dimana terjadi kerusakan pusat motorik pada otak yang sedang
berkembang. Beberapa penyebab CP kongenital adalah :10
a. Infeksi selama kehamilan.
Rubella dapat menginfeksi ibu hamil dan fetus dalam uterus, akan
menyebabkan kerusakan sistim saraf yang sedang berkembang. Infeksi
lain yang dapat menyebabkan cedera otak fetus meliputi cytomegalovirus
dan toxoplasmosis. Pada saat ini sering dijumpai infeksi maternal lain
yang dihubungkan dengan CP.
b. Ikterus neonatorum.
Pigmen bilirubin, yang merupakan komponen yang secara normal
dijumpai dalam jumlah kecil dalam darah, merupakan hasil produksi dari
pemecahan eritrosit. Jika banyak eritrosit mengalami kerusakan dalam
waktu yang singkat, misalnya dalam keadaan Rh/ABO inkompatibilitas,
bilirubin indirek akan meningkat dan menyebabkan ikterus. Ikterus berat
dan tidak diterapi dapat merusak sel otak secara permanen.

10

c. Kekurangan oksigen berat (hipoksik iskemik) pada otak atau trauma


kepala selama proses persalinan.
Asfiksia sering dijumpai pada bayi-bayi dengan kesulitan persalinan.
Asfiksia menyebabkan rendahnya suplai oksigen pada otak bayi pada
periode lama, anak tersebut akan mengalami kerusakan otak yang dikenal
hipoksik iskemik encephalopathi. Angka mortalitas meningkat pada
kondisi asfiksia berat, tetapi beberapa bayi yang bertahan hidup dapat
menjadi CP, dimana dapat bersama dengan gangguan mental dan
kejang.4
Kriteria yang digunakan untuk memastikan hipoksik intrapartum sebagai
penyebab CP:12
1) Metabolik asidosis pada janin dengan pemeriksaan darah arteri
tali pusat janin, atau neonatal dini pH=7 dan BE=1 2mmol/L.
2) Neonatal encephalopathy dini berat sampai sedang pada bayi >34
minggu gestasi
3) Tipe CP spastik quadriplegia atau diskinetik
4) Tanda hipoksik pada bayi segera setelah lahir atau selama persalinan
5) Penurunan detak jantung janin cepat, segera dan cepat memburuk
segera setelah tanda hipoksik terjadi dimana sebelumnya diketahui
dalam batas normal
6) Apgar score 5 menit = 0-6
7) Multi sistim tubuh terganggu segera setelah hipoksik
8) Imaging dini abnormalitas cerebral
Pada masa lampau, banyak penelitian yang menunjukkan meningkatnya
kasus CP karena

asfiksia

atau

komplikasi

selama

persalinan,

sedangkan penyebab lain belum dapat diidentifikasi. Tetapi penelitian


yang ekstensif oleh NINDS (National Institute of Neurological Disorders

11

and Stroke) menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil bayi dengan


asfiksia berkembang menjadi encephalopathi segera setelah lahir. Riset
juga menunjukkan bahwa sebagian besar bayi yang menderita asfiksia
tidak berkembang menjadi CP atau kelainan neurologis lainnya.
Komplikasi persalinan termasuk asfiksia diperkirakan sekitar 6% dari
kasus CP kongenital.10
d. Stroke.
Kelainan koagulasi pada ibu atau bayi dapat menyebabkan stroke pada
fetus atau bayi baru lahir. Perdarahan di otak terjadi pada beberapa kasus.
Stroke yang terjadi pada fetus atau bayi baru lahir, akan menyebabkan
kerusakan jaringan otak dan menyebabkan masalah neurologis. Karena
insiden infark cerebri yang tidak dapat dijelaskan sering tampak pada
pemeriksaan neuroimaging pada anak dengan CP hemiplegi, diagnostik
test untuk penyakit koagulasi perlu dipertimbangkan. 9
Faktor-faktor yang menyatakan penyebab selain hipoksik intrapartum
sebagai penyebab CP:12
1) Pada pemeriksaan analisis gas darah arteri umbilikalis <1mmol/L atau
pH>7
2) Bayi dengan kelainan kongenital mayor atau multiple atau kelainan
metabolik
3) Infeksi SSP atau sistemik
4) Pada
pemeriksaan
imaging
neurologis
5)
6)
7)
8)
9)

dini

tampak

kelainan

misalnya ventrikulomegali, porencephali, multikistik

encephalomalacia
Bayi dengan tanda hambatan pertumbuhan intrauterin
Penurunan detak jantung bervariasi sejak persalinan
Mikrocephali
Ekstensif chorioamnionitis
Kelainan kongenital koagulasi pada anak

12

10) Adanya

faktor

resiko

antenatal

lain

untuk

CP,

misalnya

prematuritas, kehamilan ganda, penyakit autoimun


11) Adanya faktor resiko postnatal untuk CP, misalnya post natal
encephalitis, hipotensi memanjang, atau hipoksik karena penyakit
respirasi
12) Saudara kandung CP, terutama jika mempunyai tipe CP yang sama.
2. Faktor resiko CP13
Faktor-faktor resiko yang menyebabkan kemungkinan terjadinya
CP semakin besar antara lain adalah:
a. Letak sungsang.
b. Proses persalinan sulit.
Masalah vaskuler atau respirasi bayi selama persalinan merupakan tanda
awal yang menunjukkan adanya masalah kerusakan otak atau otak bayi
tidak

berkembang

secara

normal.

Komplikasi

tersebut

dapat

menyebabkan kerusakan otak permanen.


c. Apgar score rendah.
Apgar score yang rendah hingga 10-20 menit setelah kelahiran.
d. BBLR dan prematuritas.
Resiko CP lebih tinggi diantara bayi dengan berat lahir <2500gram dan
bayi lahir dengan usia kehamilan <37 minggu. Resiko akan meningkat
sesuai dengan rendahnya berat lahir dan usia kehamilan.
e. Kehamilan ganda.
f. Malformasi SSP.
Sebagian besar bayi-bayi yang lahir dengan CP memperlihatkan
malformasi SSP yang nyata, misalnya lingkar kepala abnormal
(mikrosefali). Hal tersebut menunjukkan bahwa masalah telah terjadi
pada saat perkembangan SSP sejak dalam kandungan.
g. Perdarahan maternal atau proteinuria berat pada saat masa akhir
kehamilan.

13

Perdarahan vaginal selama bulan ke-9 hingga ke-10 kehamilan dan


peningkatan jumlah protein

dalam

urine

berhubungan

dengan

peningkatan resiko terjadinya CP pada bayi


h. Hipertiroidism maternal, mental retardasi dan kejang.
i. Kejang pada bayi baru lahir.
F. Diagnosis CP5
1. Gejala awal
Tanda awal CP biasanya tampak pada usia <3 tahun, dan orang
tua sering mencurigai ketika kemampuan perkembangan motorik tidak
normal.

Bayi

dengan

CP sering mengalami kelambatan perkembangan,

misalnya tengkurap, duduk, merangkak, tersenyum atau berjalan.


Sebagian mengalami abnormalitas tonus otot. Penurunan tonus
otot/hipotonia menyebabkan bayi tampak lemah dan lemas, kadang floppy.
Peningkatan tonus otot/hipertonia menyebabkan bayi tampak kaku.

Pada

sebagian kasus, bayi pada periode awal tampak hipotonia dan selanjutnya
berkembang menjadi hipertonia setelah 2-3 bulan pertama. Anak-anak CP
mungkin menunjukkan postur abnormal pada satu sisi tubuh.
2. Pemeriksaan fisik
Dalam menegakkan diagnosis CP perlu melakukan pemeriksaan
kemampuan motorik bayi dan melihat kembali riwayat medis mulai dari riwayat
kehamilan, persalinan dan kesehatan bayi. Perlu juga dilakukan pemeriksaan
refleks dan mengukur perkembangan lingkar kepala anak.
Refleks adalah gerakan dimana tubuh secara otomatisasi bereaksi
sebagai respon terhadap stimulus spesifik. Sebagai contoh, jika bayi baru lahir
menekuk kepalanya maka kaki akan bergerak ke atas kepala, dan bayi secara
otomatis akan membentangkan lengannya, yang dikenal dengan refleks moro,
yang tampak seperti gerakan akan memeluk. Secara normal, refleks tersebut
akan menghilang pada usia 6 bulan, tetapi pada penderita CP, refleks tersebut

14

akan bertahan lebih lama. Hal tersebut merupakan salah satu dari beberapa
refleks yang harus diperiksa.
Perlu juga memeriksa penggunaan tangan, kecenderungan untuk
menggunakan tangan kanan atau kiri. Jika dokter memegang obyek didepan dan
pada sisi dari bayi, bayi akan mengambil benda tersebut dengan tangan yang
cenderung dipakai, walaupun obyek didekatkan pada tangan yang sebelahnya.
Sampai usia 12 bulan, bayi masih belum menunjukkan

kecenderungan

menggunakan tangan yang dipilih. Tetapi bayi dengan spastik hemiplegia,


akan menunjukkan perkembangan pemilihan tangan lebih dini, sejak tangan pada
sisi yang tidak terkena menjadi lebih kuat dan banyak digunakan.
Langkah selanjutnya dalam diagnosis CP adalah menyingkirkan
penyakit lain yang menyebabkan masalah pergerakan. Yang terpenting, harus
ditentukan bahwa kondisi anak tidak bertambah memburuk. Walaupun gejala
dapat berubah bersama waktu, CP sesuai dengan definisinya tidak dapat menjadi
progresif. Jika anak secara progresif kehilangan kemampuan motorik, ada
kemungkinan terdapat masalah yang berasal dari penyakit lain, misalnya
penyakit genetik, penyakit muskuler, kelainan metabolik, tumor SSP. Penelitian
metabolik dan genetik tidak rutin dilakukan dalam evaluasi anak dengan CP.
Riwayat medis anak, pemeriksaan diagnostik khusus, dan, pada sebagian
kasus,

pengulangan

pemeriksaan

akan

sangat berguna untuk konfirmasi

diagnostik dimana penyakit lain dapat disingkirkan.


3. Pemeriksaan neuroradiologik
Pemeriksaan khusus neuroradiologik untuk mencari kemungkinan
penyebab CP perlu dikerjakan, salah satu pemeriksaan adalah CT scan kepala,
yang merupakan pemeriksaan imaging untuk mengetahui struktur jaringan otak.

15

CT scan dapat menjabarkan area

otak

yang kurang

berkembang,

kista

abnormal, atau kelainan lainnya. Dengan informasi dari CT scan, dokter dapat
menentukan prognosis penderita CP.
MRI kepala, merupakan teknik imaging yang canggih, menghasilkan
gambar yang lebih baik dalam hal struktur atau area abnormal dengan lokasi
dekat dengan tulang dibanding dengan CT scan kepala. Dikatakan bahwa
neuroimaging direkomendasikan dalam evaluasi anak CP jika etiologi tidak
dapat ditemukan.
Pemeriksaan ketiga yang dapat menggambarkan masalah dalam
jaringan otak adalah USG kepala. USG dapat digunakan pada bayi sebelum
tulang kepala mengeras dan UUB tertutup. Walaupun hasilnya kurang akurat
dibanding CT dan MRI, teknik tersebut dapat mendeteksi kista dan struktur
otak, lebih murah dan tidak membutuhkan periode lama pemeriksaannya.
4. Pemeriksaan lain
Pada akhirnya, klinisi mungkin akan mempertimbangkan kondisi lain
yang berhubungan dengan CP, termasuk kejang, gangguan mental, dan visus atau
masalah pendengaran untuk menentukan pemeriksaan penunjang

yang

dibutuhkan.
Jika dokter menduga adanya penyakit kejang, EEG harus dilakukan.
EEG akan membantu dokter untuk melihat aktivitas elektrik otak dimana akan
menunjukkan penyakit kejang.
Pemeriksaan intelegensi harus dikerjakan untuk menentukan derajat
gangguan mental. Kadangkala intelegensi anak sulit ditentukan dengan
sebenarnya karena keterbatasan pergerakan, sensasi atau bicara, sehingga anak
CP mengalami kesulitan melakukan tes dengan baik.

16

Jika diduga ada masalah visus, dokter harus merujuk ke optalmologis


untuk dilakukan pemeriksaan; jika terdapat gangguan pendengaran, dapat dirujuk
ke otologist.
Identifikasi kelainan penyerta sangat penting sehingga diagnosis dini
akan lebih mudah ditegakkan. Banyak kondisi diatas dapat diperbaiki dengan
terapi spesifik, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup penderita CP.
5. Kriteria diagnosis
Terdapat kriteria untuk menegakkan diagnosis CP, yaitu dengan
membagi kelainan motorik atas 6 kategori:
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Posture and movement pattern


Oropharyngeal problems
Strabismus
Tone of muscle
Evaluational maldevelopment
Relfexes (meningkatnya refleks tendon/menetapnya refleks Babinski)
Menurut Levine disimpulkan bahwa:

a. Diagnosis CP dapat ditegakkan, jika minimum terdapat 4 abnormalitas


dari 6 kategori diatas.
b. Dengan kriteria diatas dapat dibedakan apakah ini CP atau bukan.
c. Apakah terdapat hanya 1 kategori kelainan motorik diatas, bukan suatu
diagnostik, hanya kecurigaan CP.

G. Tatalaksana CP
1. Masalah utama penderita CP 14
Masalah utama yang dijumpai dan dihadapi pada anak yang menderita
CP antara lain:
a. Kelemahan dalam mengendalikan otot tenggorokan, mulut dan
lidah akan menyebabkan anak tampak selalu berliur.

17

Air liur dapat menyebabkan iritasi berat kulit dan menyebabkan


seseorang sulit diterima dalam kehidupan sosial dan pada akhirnya
menyebabkan

anak

akan terisolir dalam kehidupan kelompoknya.

Walaupun sejumlah terapi untuk mengatasi drooling telah dicoba


selama bertahun-tahun, dikatakan tidak ada satupun yang selalu
berhasil. Obat yang dikenal dengan antikholinergik dapat menurunkan
aliran saliva tetapi dapat menimbulkan efek samping yang bermakna,
misalnya mulut kering dan digesti yang buruk. Pembedahan, walaupun
kadang-kadang

efektif,

akan

membawa

komplikasi,

termasuk

memburuknya masalah menelan. Beberapa penderita berhasil dengan


teknik biofeedback yang dapat memberitahu penderita saat drooling
atau mengalami kesulitan untuk mengendalikan otot yang akan
membuat mulut tertutup. Terapi tersebut tampaknya akan berhasil jika
penderita mempunyai usia mental 2-3 tahun, dimana dapat dimotivasi
untuk mengendalikan drooling, dan dapat mengerti bahwa drooling
akan menyebabkan seseorang secara sosial sulit diterima.
b. Kesulitan makan dan menelan, yang dipicu oleh masalah motorik pada
mulut, dapat menyebab gangguan nutrisi yang berat.
Nutrisi yang buruk, pada akhirnya dapat membuat seseorang rentan
terhadap infeksi dan menyebabkan gagal tumbuh. Untuk membuat
menelan lebih mudah, disarankan untuk membuat makanan semisolid,
misalnya sayur dan buah yang dihancurkan. Posisi ideal, misalnya
duduk saat makan atau minum dan menegakkan leher akan menurunkan
resiko tersedak. Pada kasus gangguan menelan berat dan malnutrisi,
klinisi dapat merekomendasikan penggunaan selang makanan, yang

18

digunakan untuk memasukkan makanan dan nutrien ke saluran


makanan, atau gastrostomy, dimana dokter bedah akan meletakkan
selang langsung pada lambung.
c. Inkontinensia urin
Inkontinentia urin adalah komplikasi yang sering terjadi. Inkontinentia
urin ini disebabkan karena penderita CP kesulitan mengendalikan otot
yang

selalu

menjaga

supaya

kandung

kemih

selalu

tertutup.

Inkontinentia urin dapat berupa enuresis, dimana seseorang tidak dapat


mengendalikan urinasi selama aktivitas fisik (stress inkontinensia), atau
merembesnya urine dari kandung kemih. Terapi medikasi yang dapat
diberikan untuk inkontinensia meliputi olah raga khusus, biofeedback,
obat- obatan,

pembedahan

atau

alat

yang

dilekatkan

dengan

pembedahan untuk mengganti atau membantu otot.


CP tidak dapat disembuhkan, terapi yang dilakukan ditujukan untuk
memperbaiki kapabilitas anak. Dalam perkembangannya, hingga saat ini tujuan
terapi pada CP adalah mengusahakan penderita dapat hidup mendekati
kehidupan normal dengan mengelola problem neurologis yang ada seoptimal
mungkin. Disini tidak ada terapi standar yang berlaku untuk semua penderita
CP. Klinisi diharapkan dapat bekerja sama dalam tim, untuk mengidentifikasi
kebutuhan khusus masing-masing anak dan kelainan-kelainan yang ada dan
kemudian menentukan terapi individual yang cocok untuk setiap penderita.
Beberapa pendekatan tatalaksana yang direncanakan meliputi obatobatan untuk mengontrol kejang dan spasme otot, penyangga khusus untuk
kompensasi keseimbangan otot, pembedahan, peralatan mekanis untuk

19

membantu kelainan yang timbul, konseling emosional dan kebutuhan


psikologis, dan fisik, okupasi, bicara dan terapi perilaku.
2. Tim terapi cerebral palsy5,10
Tim Penanganan CP adalah multidisipliner dan anggota tim terapi CP
berdasarkan profesionalisme dengan berbagai spesialisasi, antara lain:
a. Dokter.
Misalnya spesialis anak, spesialis saraf anak atau psikiatri anak, dilatih
untuk membantu memantau dan memperbaiki kecacatan perkembangan
anak. Klinisi tersebut, sering menjadi pemimpin tim, bekerja untuk
membuat kesimpulan/rangkuman semua nasihat profesional dari seluruh
anggota tim hingga dicapai kesepakatan rencana terapi, implementasi
terapi, dan mengikuti perkembangan penderita selama beberapa tahun.
b. Orthopedist
Dokter spesialisasi dalam bidang tulang, otot, tendon, dan bagian
lain dari sistem skeletal tubuh. Orthopedis dilibatkan untuk menentukan
prediksi, diagnosis atau terapi masalah otot yang berkaitan dengan CP.
c. Terapis fisik
Membuat dan mengimplementasikan program latihan khusus untuk
memperbaiki gerakan dan kekuatan.
d. Terapis okupasi
Merupakan orang yang dapat membantu kemampuan pemahanan
penderita untuk kehidupan sehari-hari, sekolah dan bekerja.
e. Pelatih bicara dan bahasa
Spesialisasi dalam diagnosis dan terapi masalah komunikasi.
f. Pekerja sosial
Bertugas untuk membantu penderita dan keluarga yang hidup dalam
komunitas dan program edukasi.
g. Psikolog

20

Psikolog dibutuhkan agar dapat membantu penderita dan keluarga


menghadapi tekanan khusus dan kebutuhan dari penderita CP. Pada
banyak kasus, psikolog dapat mengatur terapi dengan memodifikasi
perilaku yang tidak membantu atau destruktif.
h. Guru
Seseorang yang dapat berperan penting jika terdapat gangguan
mental atau gangguan proses belajar.
Penderita, keluarga dan pengasuh merupakan kunci dari
keberhasilan terapi, mereka seharusnya terlibat jauh pada semua tingkat
rencana, pembuatan keputusan, dan mengaplikasikan terapi. Penelitian
menunjukkan

bahwa

dukungan

keluarga

dan determinasi personal

adalah dua dari prediktor-prediktor yang sangat penting untuk mencapai


kemajuan jangka panjang.
Yang sering dijumpai, klinisi dan keluarga hanya terfokus
terutama pada gejala individual, terutama kemampuan berjalan, padahal
yang terpenting adalah membantu individu untuk bertumbuh menjadi
dewasa dan memiliki kebebasan maksimun dalam bersosialisasi.
3. Terapi spesifik CP5
a. Terapi fisik, perilaku, dan lainnya
Tujuan dari Terapi CP adalah untuk meningkatkan kemampuan
perkerakan, berbicara, ataupun kemampuan mengerjakan tugas sederhana.
Terapi CP ditujukan pada perubahan kebutuhan penderita sesuai dengan
perkembangan usia.
Terapi fisik selalu dimulai pada usia tahun pertama kehidupan, segera
setelah diagnostik ditegakkan. Program terapi fisik menggunakan gerakan
spesifik mempunyai 3 tujuan utama yaitu mencegah kelemahan atau
kemunduran

fungsi

otot

yang apabila berlanjut

akan

menyebabkan

21

pengerutan otot (disuse atrophy) dan yang kedua adalah menghindari


kontraktur, dimana otot akan menjadi kaku yang pada akhirnya akan
menimbulkan posisi tubuh abnormal.
Kontraktur adalah satu komplikasi

yang

sering

terjadi.

Pada

keadaan normal, dengan panjang tulang yang masih tumbuh akan menarik
otot tubuh dan tendon pada saat berjalan dan berlari dan aktivitas sehari-hari.
Hal ini memastikan bahwa otot akan berkembang dalam kecepatan yang
sama. Tetapi pada anak dengan CP, spastisitas akan mencegah peregangan
otot dan hal tersebut akam menyebabkan otot tidak dapat berkembang
cukup pesat untuk mengimbangi kecepatan tumbuh tulang. Kontraktur dapat
mengganggu keseimbangan dan memicu hilangnya kemampuan yang
sebelumnya. Dengan melakukan terapi fisik saja atau dengan kombinasi
penopang khusus (alat orthotik), kita dapat mencegah komplikasi dengan cara
melakukan peregangan pada otot yang spastik. Sebagai contoh, jika anak
mengalami spastik pada otot hamstring, terapis dan keluarga seharusnya
mendorong anak untuk duduk dengan kaki diluruskan untuk meregangkan
ototnya.
Tujuan ketiga dari program terapi fisik adalah meningkatkan
perkembangan motorik anak. Cara kerja untuk mendukung tujuan tersebut
dengan teknik Bobath. Dasar dari
primitif akan

tertahan

pada

program

anak

CP

tersebut

adalah

refleks

yang menyebabkan hambatan

anak untuk belajar mengontrol gerakan volunter. Terapis akan berusaha untuk
menetralkan refleks tersebut dengan memposisikan anak pada posisi yang
berlawanan. Sebagai contoh, jika anak dengan CP normalnya selalu

22

melakukan fleksi pada lengannya, terapis seharusnya melakukan gerakan


ekstensi berulang kali pada lengan tersebut.
Pendekatan kedua untuk terapi fisik

adalah

membuat

pola,

berdasarkan prinsip bahwa kemampuan motorik seharusnya diajarkan dalam


ururtan yang sama supaya berkembang secara normal. Pada pendekatan
kontrovesial tersebut, terapis akan membimbing anak sesuai dengan gerakan
sepanjang alur perkembangan motorik normal. Sebagai contoh, anak belajar
gerakan dasar seperti menarik badannya pada posisi duduk dan merangkak
sebelum anak mampu berjalan.
Terapi fisik hanya merupakan satu elemen dari program perkembangan
bayi selain, meliputi usaha untuk menyediakan satu lingkungan yang
bervariasi dan dapat menstimulasi perkembangan motorik anak. Anak CP juga
membutuhkan pengalaman baru dan interaksi dengan lingkungan disekitarnya
dalam upaya pembelajaran. Program stimulasi dapat memberikan pengalaman
yang bervariasi pada anak yang secara fisik tidak memungkinkan untuk
bereksplorasi.
Pada saat anak CP mencapai usia sekolah, penekanan terapi bergeser dari
perkembangan motorik dini. Usaha sekarang ditujukan pada persiapan anak
untuk masuk sekolah, membantu anak untuk membangun aktivitas harian
rutin, dan memaksimalkan kemampuan anak untuk berkomunikasi.
Terapi fisik saat ini dapat membantu anak CP mempersiapkan sekolah
dengan meningkatkan kemampuan untuk duduk, bergerak leluasa atau dengan
kursi roda, atau melakukan tugas misalnya menulis. Pada terapi okupasi,
terapis bekerja dengan anak untuk mengembangkan kemampuan makan,
berpakaian, atau menggunakan kamar mandi. Hal ini akan menurunkan
kebutuhan pada pengasuh dan mempertinggi kepercayaan pada diri sendiri.

23

Untuk anak yang mengalami kesulitan berkomunikasi, terapi wicara bekerja


untuk mengidentifikasi kesulitan spesifik dan membawa mereka dalam
program latihan, menggunakan alat komunikasi khusus, misalnya komputer
dengan suara.
Terapi perilaku merupakan salah satu jalan untuk meningkatkan
kemampuan anak. Terapi ini, menggunakan teori dan teknik psikologi, yang
dapat melengkapi terapi fisik, bicara dan okupasi. Sebagai contoh, terapi
perilaku meliputi menyembunyikan boneka dalam kotak dengan harapan anak
dapat belajar bagaimana meraih kotak dengan menggunakan tangan yang
lebih lemah. Seperti anak belajar untuk berkata dengan huruf depan b dapat
menggunakan balon untuk menciptakan kata tersebut. Pada kasus yang lain,
terapis dapat mencoba menghindari perilaku yang tidak menguntungkan atau
perilaku merusak, misalnya menarik rambut atau menggigit, dengan
menunjukkan hadiah pada anak yang menunjukkan aktivitas yang baik.
Pada saat anak CP tumbuh lanjut, kebutuhan mereka untuk dan tipe
terapi dan pelayanan bantuan lain akan berlanjut dan berubah. Terapi fisik
berkelanjutan berdasarkan masalah pergerakan dan disuplementasi dengan
latihan vokal, rekreasi dan program yang menyenangkan, dan edukasi khusus
jika diperlukan. Konseling untuk perubahan emosi dan psikologis

dapat

dibutuhkan pada setiap usia, tetapi paling sering pada masa remaja.
Tergantung pada kemampuan fisik dan intelektual, orang dewasa mungkin
membutuhkan pengasuh yang peduli, akomodasi hidup, transportasi atau
pekerjaan.
Dengan tanpa memandang usia dan bentuk terapi yang digunakan,
terapi tidak berhenti saat penderita keluar dari ruangan terapi. Pada
kenyataannya, sebagian besar pekerjaan sering dilakukan di rumah. Terapis

24

berfungsi sebagai pelatih, menyiapkan orang tua dan penderita dengan


strategi dan melatihnya dimana dapat membantu meningkatkan penampilan di
rumah, sekolah dan dimasyarakat.

b. Terapi medikamentosa14
Untuk penderita CP yang disertai kejang, dokter dapat memberi obat anti
kejang yang terbukti efektif untuk mencegah terjadinya kejang ulangan.
Obat yang diberikan secara individual dipilih berdasarkan tipe kejang, karena
tidak ada satu obat yang dapat mengontrol semua tipe kejang. Bagaimanapun
juga, orang yang berbeda walaupun dengan tipe kejang yang sama dapat
membaik dengan obat yang berbeda, dan banyak orang mungkin
membutuhkan terapi kombinasi dari dua atau lebih macam obat untuk
mencapai efektivitas pengontrolan kejang.
Tiga macam obat yang sering digunakan untuk mengatasi spastisitas
pada penderita CP adalah:
1) Diazepam
Obat ini bekerja sebagai relaksan umum otak dan tubuh.
Pada anak usia <6 bulan tidak direkomendasikan, sedangkan pada
anak usia >6 bulan diberikan dengan dosis 0,12 0,8 mg/KgBB/hari
per oral dibagi dalam 6 8 jam, dan tidak melebihi 10 mg/dosis.
2) Baclofen
Obat ini bekerja dengan menutup penerimaan signal dari medula
spinalis yang akan menyebabkan kontraksi otot.
Dosis obat yang dianjurkan pada penderita CP adalah sebagai berikut:
i.
2 7 tahun: Dosis 10 40 mg/hari per oral, dibagi dalam 3 4
dosis. Dosis dimulai 2,5 5 mg per oral 3 kali per hari,
kemudian dosis dinaikkan 5 15 mg/hari, maksimal 40 mg/hari

25

ii.

8 11 tahun: Dosis 10 60 mg/hari per oral, dibagi dalam 3


-4 dosis. Dosis dimulai 2,5 5 mg per oral 3 kali per hari,

iii.

kemudian dosis dinaikkan 5 15 mg/hari, maksimal 60 mg/hari.


> 12 tahun: Dosis 20 80 mg/hari per oral, dibagi dalam 3 -4
dosis. Dosis dimulai 5 mg per oral 3 kali per hari, kemudian

dosis dinaikkan 15 mg/hari, maksimal 80 mg/hari


3) Dantrolene
Obat ini bekerja dengan mengintervensi proses kontraksi otot
sehingga kontraksi otot tidak bekerja. Dosis yang dianjurkan dimulai
dari 25 mg/hari, maksimal 40 mg/hari
Obat-obatan tersebut akan menurunkan spastisitas untuk periode
singkat, tetapi untuk penggunaan jangka waktu panjang belum sepenuhnya
dapat dijelaskan. Obat- obatan tersebut dapat menimbulkan efek samping,
misalnya mengantuk, dan efek jangka panjang pada sistem saraf yang
sedang berkembang belum jelas. Satu solusi untuk menghindari efek
samping adalah dengan mengeksplorasi cara baru untuk memberi obat- obat
tersebut.
Penderita dengan CP atetoid kadang-kadang dapat diberikan obat-obatan
yang dapat membantu menurunkan gerakan-gerakan abnormal. Obat yang
sering digunakan termasuk golongan antikolinergik, bekerja dengan
menurunkan aktivitas acetilkoline yang merupakan bahan kimia messenger
yang akan menunjang hubungan antar sel otak dan mencetuskan terjadinya
kontraksi otot. Obat-obatan antikolinergik meliputi trihexyphenidyl,
benztropine dan procyclidine hydrochloride.
Adakalanya, klinisi menggunakan alkohol atau menginjeksi alkohol
kedalam otot untuk menurunkan spastisitas untuk periode singkat. Teknik
tersebut sering digunakan klinisi saat hendak melakukan koreksi

26

perkembangan kontraktur. Alkohol yang diinjeksikan kedalam otot akan


melemahkan otot selama beberapa minggu dan akan memberikan waktu
untuk melakukan bracing terapi. Pada banyak kasus, teknik tersebut dapat
menunda kebutuhan untuk melakukan pembedahan.
c.

Terapi Bedah15
Pembedahan sering direkomendasikan jika terjadi kontraktur berat

dan menyebabkan masalah pergerakan berat. Dokter bedah akan mengukur


panjang otot dan tendon, menentukan dengan tepat otot mana yang
bermasalah. Menentukan otot yang bermasalah merupakan hal yang sulit,
berjalan dengan cara berjalan yang benar, membutuhkan lebih dari 30 otot
utama yang bekerja secara tepat pada waktu yang tepat dan dengan
kekuatan yang tepat. Masalah pada satu otot dapat menyebabkan cara
berjalan abnormal. Lebih jauh lagi, penyesuaian tubuh terhadap otot yang
bermasalah dapat tidak tepat. Alat baru yang dapat memungkinkan dokter
untuk melakukan analisis gait (gaya jalan). Analisis gait menggunakan
kamera yang merekam saat penderita berjalan, komputer akan menganalisis
tiap bagian gait penderita. Dengan menggunakan data tersebut, dokter akan
lebih baik

dalam melakukan upaya intervensi dan mengkoreksi masalah

yang sesungguhnya. Mereka

juga menggunakan analisis

gait

untuk

memeriksa hasil operasi.


Oleh karena pemanjangan otot akan menyebabkan otot tersebut lebih
lemah, pembedahan untuk koreksi kontraktur selalu diamati selama
beberapa bulan setelah operasi. Karena hal tersebut, dokter berusaha untuk
menentukan semua otot yang terkena pada satu waktu jika memungkinkan
atau jika lebih dari satu produser pembedahan tidak dapat dihindarkan,

27

mereka dapat mencopba untuk menjadwalkan operasi yang terkait secara


bersama-sama.
Teknik kedua pembedahan, yang dikenal dengan selektif dorsal root
rhizotomy, ditujukan untuk menurunkan spastisitas pada otot tungkai
dengan menurunkan jumlah stimulasi yang mencapai otot tungkai melalui
saraf. Dalam prosedur tersebut, dokter berupaya melokalisir dan memilih
untuk memotong saraf yang terlalu dominan yang mengontrol otot tungkai,
walaupun disini terdapat kontroversi dalam pelaksanaannya.
Teknik pembedahan eksperimental meliputi stimulasi kronik cerebellar
dan stereotaxic thalamotomy. Pada stimulasi kronik cerebellar, elektroda
ditanam pada permukaan cerebelum yang merupakan bagian otak yang
bertanggung jawab dalam koordinasi gerakan, dan digunakan untuk
menstimulasi saraf-saraf cerebellar, dengan harapan bahwa teknik tersebut
dapat menurunkan spastisitas dan memperbaiki fungsi motorik, hasil dari
prosedur invasif tersebut masih belum jelas. Beberapa penelitan melaporkan
perbaikan spastisitas dan fungsi, sedang lainnya melaporkan hasil
sebaliknya.
Stereotaxic thalamotomy meliputi pemotongan bagian thalamus, yang
merupakan bagian yang melayani penyaluran pesan dari otot dan organ
sensoris. Hal ini efektif hanya untuk menurunkan tremor hemiparesis.
H. Prognosis CP16
Beberapa faktor sangat menentukan prognosis CP, tipe klinis
CP, derajat keterlambatan yang tampak pada saat diagnosis ditegakkan,
adanya refleks patologis, dan yang sangat penting adalah derajat defisit
intelegensi, sensoris, dan emosional. Tingkat kognisi sulit ditentukan pada anak
kecil dengan gangguan motorik, tetapi masih mungkin diukur. Tingkat kognisi

28

sangat berhubungan dengan tingkat fungsi mental yang akan sangat menentukan
kualitas hidup seseorang.
Anak-anak dengan hemiplegia tetapi tidak menderita masalah utama
lainnya selalu dapat berjalan pada usia 2 tahun; kegunaan short brace hanya
dibutuhkan sementara saja. Adanya tangan yang kecil pada sisi yang
hemiplegi, dengan kuku ibu jari yang lebih runcing dibanding dengan kuku
lainnya, dapat diasosiasikan dengan disfungsi sensoris parietalis dan defek
sensori tersebut akan membatasi kemampuan fungsi motorik halus pada
tangan tersebut. 25% anak dengan hemiplegia akan mengalami hemianopsia,
karena hal ini anak sebaiknya diberi tempat duduk dikelas untuk
memaksimalkan fungsi visus. Kejang dapat merupakan masalah yang terjadi
pada anak yang hemiplegik.
Lebih dari 50% anak-anak dengan spastik diplegia dapat belajar
berjalan tesering pada usia 3 tahun, tetapi tetap menunjukkan gait abnormal, dan
beberapa kasus membutuhkan alat bantu. Aktivitas tangan secara umum akan
terkena dengan derajat yang berbeda, walaupun kerusakan yang terjadi minimal.
Abnormal gerakan ekstraokuler relatif sering dijumpai.
Anak dengan spastik quadriplegia, 25% membutuhkan perawatan total;
paling banyak hanya 3% yang dapat berjalan, biasanya setelah usia 3 tahun.
Fungsi intelektual sering seiring dengan derajat CP dan terkenanya otot
bulbar akan menambah kesulitan yang sudah ada. Hipotonia trunkus, dengan
refleks patologis atau kekakuan yang persisten merupakan gambaran yang
menunjukkan buruknya keadaan. Mayoritas anak-anak tersebut memiliki
limitasi intelektual.
Sebagian besar anak yang tidak memiliki masalah lain yang serius
yang berhubungan dengan spastisitas tipe atetoid kadang-kadang dapat berjalan.

29

Keseimbangan dan penggunaan kemampuan tangan tampaknya masih sulit.


Sebagian besar anak-anak yang baru duduk pada usia 2 tahun dapat belajar
berjalan. Sebaliknya, anak-anak yang masih menunjukkan moro refleks,
tonik neck refleks asimetrik, kecenderungan ekstensi, dan tidak menunjukkan
refleks parasut tidak mungkin dapat belajar berjalan; sebagian dari mereka yang
tidak dapat duduk pada usia 4 tahun dapat belajar berjalan.
I. Pencegahan CP17
Beberapa penyebab CP dapat dicegah atau diterapi, sehingga kejadian
CP pun bisa dicegah. Adapun penyebab CP yang dapat dicegah atau diterapi
antara lain:
1. Pencegahan terhadap cedera kepala dengan cara menggunakan alat
pengaman pada saat duduk di kendaraan dan helm pelindung kepala saat
bersepeda, dan eliminasi kekerasan fisik pada anak. Sebagai tambahan,
pengamatan optimal selama mandi dan bermain.
2. Penanganan ikterus neonatorum yang cepat dan tepat pada bayi baru
lahir dengan fototerapi, atau jika tidak mencukupi dapat dilakukan
transfusi tukar. Inkompatibilitas faktor rhesus mudah diidentifikasi
dengan pemeriksaan darah rutin ibu dan bapak. Inkompatibilitas tersebut
tidak selalu menimbulkan masalah pada kehamilan pertama, karena
secara umum tubuh ibu hamil tersebut belum memproduksi antibodi yang
tidak diinginkan hingga saat persalinan. Pada sebagian besar kasus-kasus,
serum khusus yang diberikan setelah kelahiran dapat mencegah produksi
antibodi tersebut. Pada kasus yang jarang, misalnya jika pada ibu hamil
antibodi tersebut berkembang selama kehamilan pertama atau produksi
antibodi tidak dicegah, maka perlu pengamatan secara cermat

30

perkembangan bayi dan jika perlu dilakukan transfusi ke bayi selama


dalam kandungan atau melakukan transfusi tukar setelah lahir.
3. Rubella, atau campak jerman, dapat dicegah dengan memberikan
imunisasi sebelum hamil.

31

Anda mungkin juga menyukai