Anda di halaman 1dari 38

PRAKTEK KERJA PROFESI

MAHASISWA APOTEKER UNIVERSITAS ANDALAS


DI RSUD ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI

CASE REPORT STUDI KELAS INTERNE


Anemia et causa gastropati NSAID, Melena dan AKI RIFLE I

Oleh:
Ersa Yuliza, S. Farm (1441012011)
Sujia Nospiatdi, S.Farm (1441012051)

PROGRAM PROFESI PENDIDIKAN APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2015

BAB I
TINJAUAN PENYAKIT
Human Immunodeficiency Virus (HIV/AIDS)
1. Definisi
AIDS (acquired Immunodeficiency syndrome) dapat diartikan sebagai kumpulan
gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi
oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang termasuk famili retroviridae.
AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.
Klasifikasi Infeksi HIV berdasarkan gambaran klinik (WHO 2006)
Fase klinik
1
2
3
4

Klasifikasi berkaitan dengan manifestasi klinik


Tanpa gejala
Ringan
Lanjut
Parah

Uraian:
Fase 1
Tanpa gejala, limfadenopati (gangguan kelenjar,/pembuluh limpfa) menetap dan
menyeluruh.
Fase 2
Penurunana berat badan (< 10%), tanpa seba. Infeksi saluran pernafasan atas
(sinusitis, tonsillitis, otitis media, pharyngitis) berulang. Herpes zoster, infeksi sudut
bibir, ulkus mulut beulang, popular eruptions, seborrhoeik dermatitis, infeksi jamur
pada kuku.
Fase 3
Penurunan berat badan (> 10%) tanpa sebab. Diare kronik tanpa sebab sampai >
1 bulan. Demam menetap (intermiten atau tetap > 1 bulan). Kandidatas oral menetap.
Tuberkulosis pulmonial (barua), plak putih pada mulut, infeksi bakteri berat (misalnya
penemonia, empyema (nanah dirongga tubuh terutama pleura, abses pada otot skelet,

infeksi sendi atau tulang), meningitis, bakteremia, gangguan inflamasi berat pada
pelvic, acute necrozin ulcerative stomatitis, gingivitis atau perodontitis anemia yang
penyebabnya tidak diketahui (< 8 g/dl0, neurtopenin (< 0,5 x 109/I dan atau
trombositopenia kronik (> 50 x 109/I).
Fase 4
Gejala menjadi kurus (HIV wasting syndrome), Penemocystis penemonia
(pneumonia karena Pnemocystis carinii), penmonia bakteri berulang, infeksi herpes
simplex kronik (orolabial, genital atau anorektal > 1 bulan) Oesophageal candidiasis (or
candidiasis of tachea, bronchi or lugs), TBC ekstrapilmonal, Kaposi sarcoma, Infeksi
sitomegalovirus (retinitis atau di organ lain) toksoplasma di SSP, HIV ensefalopati,
Extrapulmonary cryploccosis temasuk meningitis, Disseminated non-tuberculous
mycobacteria

infection,

profressive

multifocal

leukoencephalapathy,

choronic

cryptosporidiosis, choric isosporiasis, dissmenated mycosis (coccidomycosis atau


histoplasmosis), septisemia berulang, (termasuk non-typhoidal Salmonella), limfoma
(sebral atau non-Hidogkin sel B), invase cervical carcinoma, atypical disseminated
leishmaniasis,

symptomatic

HIV-associated

nephropathy

atau

HIV-associated

cardiomyopathy.
2.

Etiologi dan patogenesis


Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus penyebab AIDS.

Virus ini termaksuk dalam retrovirus anggota subfamili lentivirinae. Ciri khas morfologi
yang unik dari HIV adalah adanya nukleoid yang berbentuk silindris dalam virion
matur. Virus ini mengandung 3 gen yang dibutuhkan untuk replikasi retrovirus yaitu
gag, pol, env. Terdapat lebih dari 6 gen tambahan pengatur ekspresi virus yang penting
dalam patogenesis penyakit. Satu protein replikasi fase awal yaitu protein Tat, berfungsi
dalam transaktivasi dimana produk gen virus terlibat dalam aktivasi transkripsional dari
gen virus lainnya. Transaktivasi pada HIV sangat efisien untuk menentukan virulensi
dari infeksi HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk ekspresi protein struktural virus. Rev
membantu keluarnya transkrip virus yang terlepas dari nukleus. Protein Nef
menginduksi produksi khemokin oleh makrofag, yang dapat menginfeksi sel yang lain
(Brooks, 2005).

Gambar 2.1. Struktur anatomi HIV (TeenAIDS, 2008).


Gen HIV-ENV memberikan kode pada sebuah protein 160-kilodalton (kD) yang
kemudian membelah menjadi bagian 120-kD(eksternal) dan 41-kD (transmembranosa).
Keduanya merupakan glikosilat, glikoprotein 120 yang berikatan dengan CD4 dan
mempunyai peran yang sangat penting dalam membantu perlekatan virus dangan sel
target (Borucki, 1997).
Setelah virus masuk dalam tubuh maka target utamanya adalah limfosit CD4
karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Virus ini
mempunyai kemampuan untuk mentransfer informasi genetik mereka dari RNA ke
DNA dengan menggunakan enzim yang disebut reverse transcriptase. Limfosit CD4
berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya
fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang progresif (Borucki, 1997).
Setelah infeksi primer, terdapat 4-11 hari masa antara infeksi mukosa dan
viremia permulaan yang dapat dideteksi selama 8-12 minggu. Selama masa ini, virus
tersebar luas ke seluruh tubuh dan mencapai organ limfoid. Pada tahap ini telah terjadi
penurunan jumlah sel-T CD4. Respon imun terhadap HIV terjadi 1 minggu sampai 3
bulan setelah infeksi, viremia plasma menurun, dan level sel CD4 kembali meningkat
namun tidak mampu menyingkirkan infeksi secara sempurna. Masa laten klinis ini bisa
berlangsung selama 10 tahun. Selama masa ini akan terjadi replikasi virus yang
meningkat. Diperkirakan sekitar 10 milyar partikel HIV dihasilkan dan dihancurkan
setiap harinya. Waktu paruh virus dalam plasma adalah sekitar 6 jam, dan siklus hidup

virus rata-rata 2,6 hari. Limfosit T-CD4 yang terinfeksi memiliki waktu paruh 1,6 hari.
Karena cepatnya proliferasi virus ini dan angka kesalahan reverse transcriptase HIV
yang berikatan, diperkirakan bahwa setiap nukleotida dari genom HIV mungkin
bermutasi dalam basis harian (Brooks, 2005).
Akhirnya pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan penyakit klinis
yang nyata seperti infeksi oportunistik atau neoplasma. Level virus yang lebih tinggi
dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut. HIV yang dapat
terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut dan lebih virulin
daripada yang ditemukan pada awal infeksi (Brooks, 2005).
Infeksi oportunistik dapat terjadi karena para pengidap HIV terjadi penurunan
daya tahan tubuh sampai pada tingkat yang sangat rendah, sehingga beberapa jenis
mikroorganisme

dapat

menyerang

bagian-bagian

tubuh

tertentu.

Bahkan

mikroorganisme yang selama ini komensal bisa jadi ganas dan menimbulkan penyakit
(Zein, 2006).
3.

Cara penularan
HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial

mengandung HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu ibu (KPA,
2007).
Penularan HIV dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu : kontak seksual,
kontak dengan darah atau sekret yang infeksius, ibu ke anak selama masa kehamilan,
persalinan dan pemberian ASI (Air Susu Ibu). (Zein, 2006).
1. Seksual
Penularan melalui hubungan heteroseksual adalah yang paling dominan dari
semua cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama
senggama laki-laki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki. Senggama
berarti kontak seksual dengan penetrasi vaginal, anal (anus), oral (mulut) antara
dua individu. Resiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal yang tak
terlindung dari individu yang terinfeksi HIV.
2. Melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar dengan virus HIV.
3. Melalui jarum suntik atau alat kesehatan lain yang ditusukkan atau tertusuk ke dalam
tubuh yang terkontaminasi dengan virus HIV, seperti jarum tato atau pada pengguna
narkotik suntik secara bergantian. Bisa juga terjadi ketika melakukan prosedur

tindakan medik ataupun terjadi sebagai kecelakaan kerja (tidak sengaja) bagi petugas
kesehatan.
4. Melalui silet atau pisau, pencukur jenggot secara bergantian hendaknya dihindarkan
karena dapat menularkan virus HIV kecuali benda-benda tersebut disterilkan
sepenuhnya sebelum digunakan.
5. Melalui transplantasi organ pengidap HIV
6. Penularan dari ibu ke anak
Kebanyakan infeksi HIV pada anak didapat dari ibunya saat ia dikandung, dilahirkan
dan sesudah lahir melalui ASI. 7. Penularan HIV melalui pekerjaan: Pekerja
kesehatan dan petugas laboratorium.
Terdapat resiko penularan melalui pekerjaaan yang kecil namun defenitif, yaitu
pekerja kesehatan, petugas laboratorium, dan orang lain yang bekerja dengan
spesimen/bahan terinfeksi HIV, terutama bila menggunakan benda tajam (Fauci,
2000).
Tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa air liur dapat menularkan infeksi
baik melalui ciuman maupun pajanan lain misalnya sewaktu bekerja pada pekerja
kesehatan. Selain itu air liur terdapat inhibitor terhadap aktivitas HIV (Fauci,2000).
Menurut WHO (1996), terdapat beberapa cara dimana HIV tidak dapat
ditularkan antara lain:
1. Kontak fisik
Orang yang berada dalam satu rumah dengan penderita HIV/AIDS, bernapas
dengan udara yang sama, bekerja maupun berada dalam suatu ruangan dengan
pasien tidak akan tertular. Bersalaman, berpelukan maupun mencium pipi, tangan
dan kening penderita HIV/AIDS tidak akan menyebabkan seseorang tertular.
2. Memakai milik penderita
Menggunakan tempat duduk toilet, handuk, peralatan makan maupun peralatan
kerja penderita HIV/AIDS tidak akan menular.
3. Digigit nyamuk maupun serangga dan binatang lainnya.
4. Mendonorkan darah bagi orang yang sehat tidak dapat tertular HIV.
4.

Patofisiologi
Dalam tubuh odha, partikel virys bergabung DNA sel pasien, sehingga satu kali

orang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua oran yang

terinfeksi HIV, sebaian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50%
berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir
semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan ejala AIDS, dan kemudian meninggal.
PErjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai
dengan perusakn system kekebalan tubuh yang juga bertahap.
Infeksi HIV akan memperlihatkan gejala tertentu.Sebagian memperlihatkan
gejala khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi
adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar ketah bening, ruam diare,atau
batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik (tanpa gejala). Masa
tanpa gejala ini umumnya berlangsung 8-10 tahun. TEtapi ada sekelompok kecil orang
yang perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat sekitar 2 tahun, dan ada yang pejalanan
penyakitnya lambat (non-progressor).
Seiring

dengan

makin

memburuknya

kekebalan

tubuh,

odha

mulai

menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat bada menurun,


demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberculosis, infeksi
jamur, herpes dll.
Tanpa pengobatan ARV, walaupun selama beberapa tahun tidak menunjukkan
gejala, secara bertahap system kekebalan tubuh orang yang teinfeksi HIV akan
memburuk, dan akhirnya menunjukkan gejala klinik yang makin berat, pasien masuk
tahap AIDS. JAdi yang disebut laten secara klinik (tanpa gejala), sebetulnya bukan laten
bila ditinjau dari sudut penyakit HIV. Manisfestasi dari awal kerusakansistem kekbalan
tubuh adalah kerusakan mikro arsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV
yang luas jaringan limfoid,yang dapat dilihat dengan pemeriksaan hibridisasi in situ.
Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah
tepi.
Pada sewaktu seseorang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak
menjunjukan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel setiap
hari. Replikasi yang cepat ini disetai denga mutasi HIV dan seleksi, muncul HIV yang
resisten. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi,

untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4


sekitar 10o sel setiap harinya.
Perjalanan penyakit lebih progesif pda pengguna narkotika. LEbih dari 80%
pengguna narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung juga adalah
penyakit yang dijumpai pada odha yang tertular dengan cara lain. Lamanya penggunaan
jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan tuberculosis. Makin lama
seseorang menggunakan narkotika suntikan, makin mudah terkena pneumonia dan
tuberculosis. Infeksi secara bersamaan ini akan menimbulkan efek yang buruk. Infeksi
oleh kuman penyakit lain akan menyebabkan virus HIV membelah dengan lebih cepat
sehingga jumlahnya akan meningkat pesat. Selain itu juga dapat menyebabkan
reakttivasi virus di dalam limfosit T. Akibatnya perjalanan penyakit biasanya lebih
progesif.
Perjalan penyakit HIV yang progesif pada pengguna narkotika ini juga tercermin
dari hasil penelitian di RS dr. Cipto MAngunkusumo pada 57 pasien HIV asimptomatik
yang berasal dari pengguna narkotika, denga kadar CD4 lebih dari 200 sel/mm 3.
Ternyata 56,14 % mempunyai jumlah virus dalam darah (viral load) yang melebihi
55.00 kopi/ml, artinya penyakit infeksi HIV nya progesif, walaupun kadar CD4 relatif
masih cukup baik.
5. Tes HIV (ilmu Penyakit Dalam, jilid III 2006)
Beberap jenis pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnose infeksi
HIV. Secara garis besar dapat dibagi menjadi pemeriksaan serologic untuk mendeteksi
adanya antibody terhadap HIV dan pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan virus
HIV. Deteksi adanya virus HIV dalam tubuh dapat dilkukan dengan isolasi dan biakan
virus, deteksi antigen, dan deteksi materi genetic dalam darah pasien.
Pemeriksaan yang lebih mudah dilaksanankan adalah pemeriksaan terhadap
antibody HIV. Sebagai penyaring biasanya digunakan teknik ELISA (enzyme-linked
immunosorbent assay), aglutinasi atau dot-blot immunobinding assay. Metode yang
biasanya digunakan di Indonesia adalah ELISA.

Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan ters terhadap antibody HIV ini
yaitu adalnya masa jendela. Masa jendela adalah waktu sejak tubuh terinfeksi HIV
sampai mulai timbulnya antibody yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan. Antibodi
mulai terbentuk pada 4-8 minggu setelah infeksi. Jadi jika pada masa ini hasil tes HIV
pada seseorang yang sebenarnya sudah terinfeksi HIV dapat memberikan hasil yang
negative. Untuk itu jika kecerigaan akan adanya resiko terinfeksi cukup tinggi, perlu
dilakukan pemeriksaan ulangan 3 bulan kemudian.
WHO menganjurkan pemakaian salah satu dari 3 strategi pemeriksaan antibody
terhadap HIV dibawah ini tergantung tujuan penyaringan keadaan populasi dan keadaan
pasien
Tabel strategi Pemeriksaan anti-HIV
Tujuan pemeriksaan
Keamanaan transfuse

Prevalensi infeksi HIV


Semua

dan tranplantasi

Strategi Pemeriksaan
I

Prevelansi

Surveillance

>10 %

Diagnosis

10 %

II

Bergejala infeksi

>30%

HIV/AIDS

30 %

Tanpa gejala

>10 %

II

10 %

III

Strategi I, hanya dilakukan 1 kali pemeriksaan. Bila pemeriksaan reaktif, maka


dianggap sebagi kasus terinfeksi HIV dan bila hasil pemeriksaan non-reaktif
dianggap tidak terinfeksi HIV. Reagensia yang dipakai untuk pemeriksaan pada

stratefi ini harus memiliki sensitivitas yang tinggi (>99%).


Strategi II, menggunakan 2 kali pemeriksaan jika serum pada pemeriksaan
pertama memberikan hasil reaktif. Jika hasil pemeriksaan pertama hasilnya nonreaktif, maka dilaporkan hasil tesnya negative. Pemeriksaan pertama
menggunakan reagensia dengan sensitivitas tertinggi dan pada pemeriksaan
kedua dipakai regiagensia yang lebih specific serta berbeda jenis antigen atau
tekniknya dari yang dipakai pada pemeriksaan pertama. Bila hasil pemeriksaan

kedua juga reaktif, maka disimpulkan sebagai terinfeksi HIV. NAmun jika
pemeriksaan yang kedua adlah non-reaktif, maka pemeriksaan harus diulang
dengan ke-2 metode. Bila hasil tetap tidak sama, maka dapat dilaporkan sebagai

indeterminate.
Strategi III, menggunakan 3 kali pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan pertama,
kedua dan ketiga reaktif, maka dapat disimpulkan bahwa pasien tersebut
memang terinfeksi HIV. Bila hasil pemeriksaan tidak sama, misalnya hasil tes
pertama reaktif, kedua reaktif dan ketiga non-reaktif atau pertama reaktif, kedua
dan ketiga non-reaktif maka keadaan ini disebut sebagai equivocal atau
indeterminate bila pasien yang diperiksa memiliki riwayat pemaparan terhadap
HIV atau beresiko tinggi tertular HIV. Sedangkan bila hasil seperti yang disebut
sebelumnya terjadi pada orang tanpa riwayat pemaparan terhadap HIV atau tidak
beresiko tertular HIV, maka hasil pemeriksaan dilaporkan sebagai non-reaktif.
Perlu diperhatikan juga bahwa pada pemeriksaan ketiga dipakai reagensia yang
berbeda asal antigen atau tekniknya, serta memiliki spesifikasi yang lebih tinggi.
Jika pemeriksaan penyaring menyatakan hasil yang reaktif, pemeriksaan dapat

dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi untuk memastikan adanya infeksi HIV,


yang paling sering dipakai saat ini adalah tekhnik Westren Blot (WB)>
Seseorang yang menjalani test HIV untuk memerlukan diagnosi harus
mendapatkan konseling pratest. Hal ini harus dilakukan agar ia dapat informasi
sejelasnya mengenai HIV sehingga dapat mengambil keputusan yang terbaik untuk
dirinya serta lebih siap menerima hasil tesnya nanti. Untuk keperluan survey tidak
diperlukan konseling pra test karena orang yang dites tidak akan diberitahu hasil tesnya.
Untuk memberitahu hasil tes juga diperlukan konseling pasca test, baik hasil tes
positif atau pun negative. Jika hasilnya posotif akan diberikan informasi mengenai
pengobatan untuk memperpanjang masa tanpa gejala serta cara penularan. Jika hasil
negative, konseling tetap perlu dilakukan untuk memberikan inforrmasu bagaimana
mempertahankan prilaku yang tidak beresiko.
6. Diagnosa
Metode umum untuk menetapkan HIV adalah Enzyme-Linked Immunosorbent
Assay (ELISA), yang mendeteksi antibody terhadap HIV-1 dengan sensitivitas

dan spesifitas yang tinggi. Psositif paslsu dapat terjadi pada perempuan yang
telah melahirkan beberapa kali., pada yang mendapatkan vaksin hepatitis B,
HIV, influenza, atau rabies, penerima transfuse darah berulang., dan penderita
gagal ginjal atau hati., atau sedang menjalani hemodialisis kronik,. NEgatif
palsu dapat terjadi bila pasien baru terinfeksi, dan test dilakukan sebelum
pembentukan antibody yang adekuat. Waktu minimum untuk terbentuknya

antibody 3-4 minggu dari awal terpapar.


ELISA positif diulang bila salah satu keduanya reaktif, test konfirmasi dilakukan
untuk diagnose akhir. Ui Western volt adalah yang paling umum dilkukan untuk

tets konfirmasi.
Test beban virus menghitung virema dengan mengukur jumlah virus RNA,
polymerase

Chain

Reaction

(RT-PCR,

branched

DNA (bDNA),

dan

Transcription-Mediated Amplification. Setiap penggujian mempunyai batas


terrendah sensitivitas masing-masing dan hasilnya dapat bervariasi dari satu cara
ke car alain., sehingga direkomendasikan untuk menggunakan cara yang sama

pada satu pasien.


Beban virus dapat digunakan sebagai factor prognosis untuk memonitor

perkembangan penyakit dan efek terapi.


Jumlah limfosit CD4 dalam darah adalah tanda pengganti perkembangan
penyakit. Normal CD4 berkisar antara 500-1600 sel/mikroliter atau 40-70% dari
seluruh limfosit.

7.

Gejala Klinis
Menurut KPA (2007) gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala mayor (umum

terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi):


Gejala mayor:
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
e. Demensia/ HIV ensefalopati

Gejala minor:
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan

b. Dermatitis generalisata
c. Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang
d. Kandidias orofaringeal
e. Herpes simpleks kronis progresif
f. Limfadenopati generalisata
g. Retinitis virus Sitomegalo
Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER) (2008),
gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase.
a. Fase awal
Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda
infeksi. Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit kepala,
sakit tenggorokan, ruam dan pembengkakan kelenjar getah bening. Walaupun tidak
mempunyai gejala infeksi, penderita HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada orang
lain.
b. Fase lanjut
Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau lebih.
Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun tubuh, penderita
HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti pembesaran kelenjar
getah bening (sering merupakan gejala yang khas), diare, berat badan menurun, demam,
batuk dan pernafasan pendek.
c. Fase akhir
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah
terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada
penyakit yang disebut AIDS.

8. Terapi
sasaran terapi adalah mencapai efek penekanan maksimum replikasi HIV.
Sasaran sekunder adalah peningkatan limfosit CD4

dan perbaikan kualitas

hidup. Sasaran akhir adalah penurunan mortalitas dan morbiditas.

Pendekatan umum terapi infeksi HIV.


Pengukuran periodic, teratur tingkat RNA HIV di plasma dan hhitung CD4
untuk menentukan kemajuan terapi dan mengawali atau memodifikasi regimen
terapi.
Penentuan terapi harus secara individual berdasarkan CD4 dan beban virus.
Penggunaan kombinasi ARV poten untuk menekan replikasi HIV sampai

dibawah tingkat sensitivitas penetapan virus HIV membatasi kemampuan


memilih variant HIV yang resisten terhadap ARV, yaitu faktor utama yang
membatasi kemampuan ARV menghambat replikasi virus dan menghambat

perbaikan.
Setiap ARV digunakan dalam kombinasi harus selalu digunakan sesuai dengan

regimen dosis.
Setiap orang yang terinfeksi HIV, bahkan dengan beban virus di bawah batas
yang dapat terdeteksi, harus dipertimbangkan dapat menularkan dan harus diberi
konsultasi untuk menghindari perilaku seks dan pengguanaan obat yang
berikatan dengan penularan HIV dan infeksi pathogen lain.
Terapi direkomendasikand pada seluruh penderita HIV dapat dilihat pada table

berikut:
Rekomendasi untuk memulai terapi dengan Antiretroviral (ARV) pada remaja dan
dewasa berdasarkan fase klinik dan tanda imunologi.
Fase klinik WHO
1
2

Test CD4 tidak tersedia


Tidak di terapi
Tidak di terapi

Terapi

Terapi bila CD 4 < 200


Pertimbangan terapi bila CD4 < 350 sel/mm3acd

Terapi

dan terapi bila CD4 turun < 200 sel/mm3e


Terapi tanpa memperhitungkan nilai CD 4

Test CD4 tersedia

Nilai hituung CD4 yang disarnkan untuk membantu menetapkan kebutuhan


terapi segera seperti TB pulmonal dan bakteri berat yang mungkin terjadi pada

tiap tingkat CD4.


Total limfosit 1200/mm dapat mengatikan hitung CD4 bila nilai CD4 tidak ada

atau infeksi HIV ringan. Ini tidak berguna pada pasien tanpa gejala.
Pemberian terapi ARV direkomendasikaan untuk seluruh pasien HIV dengan
nilai CD4 < 350 sel/mm3 dan TBC pulmonal atau infeksi bakteri berat.

Tepatnya nilai CD4 > 200/mm3 pada infeksi HIV belum ditetapkan.

Terapi farmakologi

Terapi dengan kombinasi ARV menghambat replikasi virusa adalah strategi

sukses pada terapi HIV, ada tiga golongan obat ARV yaitu:
1. Reverse Transcripse Inhibitor (RTI)
a. Analog nukleosida (NARTI)
Analog nukleotida (NtARTI)
b. Non nukleosida (NNRTI)
2. HIV Protease inhibitor (PI)
3. Fusion inhibitor
Bila terjadi kegagalan terapi yang dapat disebabkan oleh resistensi atau pasien
tidak dapat menoleransi reaksi obat yang tidak diinginkan maka terapi harus di

tukar.
Regimen yang direkomendasikan dan perubahan terapi dilihat di table 1.
Tabel 1. Rekomendasi regimen lini pertama terapi perubahan terapi ke lini kedua
infeksi HIV pada orang dewasa

Regimen lini pertama


Standar

Regimen lini kedua


Rti
AZT atau d4T + 3TC + NVP atau ddI + ABC atau
TDF + ABC atau
EFV
TDF + 3TC ( AZT)
PI/r
TDE + 3 TC + NVP atau ETV
ddI + ABC atau
ddI + 3TC ( AZT)
ABC + 3 TC + NVP atau EFV

Alternatif

Pi

ddI + 3 TC ( AZT)

atau
TDF + 3 TC ( AZT)
AZT atau d4T + 3 TC + TDF atau EFV atau NVP ddI
ABC

3TC lamivudin, ABC abavir, AZT zidovudin (dikenal dengan ZDV), d4T
stavudin, ddI didanosin, NFV nelfinaver, NNRTI non-nucleoside reverse
transcriptase inhibitor, NRTI nucleoside reverse transcriptase inhibitor, NVP
nevirapin, PI protease inhibitor, /r: ritonavir dosis rendah, TDF tenofovir
disoprosil fumarat.

BAB II
ILUSTRASI KASUS

2.1

IDENTITAS PASIEN

DATA UMUM
No.MR
Nama Pasien
Jenis Kelamin
Umur

: 39.88.49
: Tn.A.G

Dokter
: dr. K, Sp.PD
Farmasis : Ersa Yuliza, S.Farm

: Laki-laki
: 79 tahun

Sujia Nospiatdi, S.Farm


Ruangan : Kelas II.4
Agama
: Islam

KELUHAN UTAMA
Tidak nafsu makan sejak 2 minggu
BAB tidak lancar
Pusing sejak 3 hari yang lalu.
Mengaku sering pingsan di rumah
Riwayat Penyakit Sekarang
BAB hitam seperti aspal dan berdarah

Badan terasa letih, lemah


Riwayat Penyakit Terdahulu
Riwayat penyakit hipertensi

: disangkal

Riwayat penyakit diabetes melitus : disangkal


Riwayat penyakit rheumatik

: Sejak 3 tahun yang lalu pasien mengaku sering


mengkonsumsi obat reumatik dari toko jamu
dipasar (Montalin), karena pasien mengalami
keluhan sakit disend-sendi.

Riwayat Penggunaan obat


Pasien mengkonsumsi obat asam urat yang dibeli di toko jamu.

Jamu Montalin

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit hipertensi

: disangkal

Riwayat penyakit diabetes melitus : disangkal


Riwayat penyakit jantung

: disangkal

Riwayat penyakit ginjal

: disangkal

Riwayat penyakit kuning

: disangkal

Riwayat penyakit paru

: disangkal

Kemungkinan Diagnosa
Anemia et causa gastropati NSAID + AKI RIFLE I (injury)
DIAGNOSA
B. PEMERIKSAAN
1.

Pemeriksaan Fisik di Poliklinik RSAM


Pada tanggal 08-01-2015

Tekanan darah

: 120/80 mmHg

Nadi

: 70 x / menit

Suhu

: 36 C

Pernapasan

: 20

TKK

: 14,1

KU

: Sedang

Diagnosa sementara dari IGD RSAM :

Anemia et causa NSAID + Melena + AKI RIFLE I.


Suspect CKD Stage V

2. Hasil laboratorium
Hasil pemeriksaaan labor di kelas Interne RSAM
Test
WBC
RBC
HCT
HGB
Ureum
Kreatinin

Normal
5-10 x 103/ L
4,5-5,5x106/ L
40-48 %
13-16 g/dL
20-40 mg/dL
0,5-1,5 mg/dL

Tanggal
15,36+
1,34

25,05
1,99
17,7
5,5
191
1,9

3,8
154,7
3,6

Gula darah

129 mg/dL

puasa 2 jpp
PLT
LED
NEUT%
SGOT

150-400 x103 /uL


< 10
50-70%
0-37 U/L

SGPT

0-41 U/L

710+

268
14
11

Pemeriksaan Feses :
Tanggal: 09/01/2015
Fisik
Bab cair berwarna hitam
Sedimen
Eritrosit

: +3 >20/ LPB

Leukosit

: 0-1

Epitel

:+

Bakteri

:+

Pemeriksaan Urin :
Blood

: (+) 10 RBC/uL

Warna

: Kuning muda

Kimia urin
Eritrosit

: 0-2

Leukosit

: 0-1

Epitel

:+

pH

: 6,0

Hb

:+

Bj

: 1, 015

3. Monitoring Vital Sign


TANGGAL
08 Januari 2015
09 Januari 2015
10 Januari 2015

11 Januari 2015
12 Januari 2015
13 Januari 2015

JAM
(wib)
10.00
13.00
17.00
06.00
16.00
06.00
17.00
23.00
01.00
02.00
06.00
06.00
06.00

TEKANAN DARAH
(mmHg)
140/60
120/60
140/90
100/70
150/90
100/50
80/p
100/60
110/80
90/70
110/80
90/60

NADI
(x/menit)
80
64
72
87
80
81
87

PERNAFASAN
(x/menit)
10
16
20
21
20
20
20

SUHU
(oC)
36
36,5
36,9
36,6
36,2
36,5
36,5

60
78
82

20
22
24

36
36,7
36,5

FOLLOW UP
1.

08 Januari 2015
Pasien datang ke IGD RSUD dr. Ahmad Mochtar dengan:
Tekanan darah
: 120/80 mmHg

Nadi

: 70 x / menit

Suhu

: 36 C

Pernapasan

: 20

Terapi obat yang diberikan saat di IGD


- Inj. Transamin 3x1 amp/iv
- Inj. Vit K 3x1 1 amp/iv
- Inj. Cefriaxon 2x1
- Inj . Ranitidin 2x1 amp/iv

Terapi obat yang diberikan saat di kelas Interne RSUD dr. Ahmad mochtar
NAMA OBAT
NaCl 0.9 %
RL
Kalnex
Vitamin K
Omeprazol
Sukralfat
Citrosol
Ca Glukonas

REGIMEN

20
tetes/menit
3x1inj.
3x1 inj.
2x1 inj.
3x1

8/1

9/1

10/1

11/1

12/1

13/1

I
3

III

BAB III
TINJAUAN OBAT
1. NaCl 0,9%
Komposisi

: Setiap liter larutan mengandung:


Natrium klorida, NaCl
9,0 g
Air untuk Injeksi ad.
1000 mL
Osmolaritas : 308 mOsm/l
Setara dengan ion-ion :
Na+ : 154 mEq/l
Cl- : 154 mEq/l

Sediaan

: Larutan infus

Indikasi

: .

Dosis

: Dewasa 10-40 mg/hari, maksimal 80 mg/hari,anak-anak


0,25 mg /kg/hari sampai dengan maksimum 40 mg/hari.
Pasien lanjut usia 10-15 mg sehari dalam dosis terbagi.

Kontra indikasi

: Pasien koma, penderita psikotik dan gangguan mental,


penderita gangguan pernapasan, reaksi hipersensitivitas
terhadap klobazam, trimester pertama kehamilan, myastenia
gravis.

Efek samping

: Mengantuk,sedasi, pusing, penglihatan kabur, kurang


koordinasi,

lekas

marah,koma,

gangguan

pernapasan

keletihan, konstipasi, hilang nafsu makan, mual, mengantuk,


Interaksi Obat

bingung.
Simetidin

dapat

klobazam,meningkatkan

mengurangi
waktu

paruh

klirens
dan

plasma
kosentrasi

klobazam.Alkohol dan antikonvulsan dapat menambah


terjadinya depresi sistem saraf pusat.Alkohol dan obat lain
nya yang dapat memperlambat sistem saraf pusat dapat
berinteraksi deng klobazam untuk meningkatkan efek
depresan SSP
Perhatian

Hati-hati pemberian pada lanjut usia atau pasien yang


lemah, gagal fungsi ginjal, hati, dan pasien yang sedang
menjalankan terapi dengan obat sistem depresan
Jangan menjalankan mesin kendaraan selama minum obat
ini.
Hindari pemakaian jangka lama, karena menyebabkan
toleransi dan ketergantungan fisik.
Klobazam diekresikan melalui air susu .

2. LAPIBION
Komposisi

: Vit B1 100 mg, Vit B6 200 mg, Vit B12 200 mg, Vit E 30
mg

Kelas terapi

: Multi vitamin

Mekanisme kerja

: Membantu sel tubuh menghasilkan energi, metabolisme


karbohidrat, membantu produksi sel darah merah.

Sediaan

: Tablet

Indikasi

: Neuritis, neuroparalisis, neuralgia, lumbago, parestesia,


asthenia,

neuropati,

lelah,

polineuropati,

diabetikum,

morning sickness.
Dosis

: 1 tablet per hari

3. RINGER LAKTAT
Komposisi

Na lactate 3,1 g, NaCl 6 g, KCl 0.3 g, CaCl 2 0.2 g, air untuk


injeksi ad 1000 mL

Kelas terapi

Elektrolit

Mekanisme kerja

Merupakan larutan isotonik natrium klorida, kalium klorida,


kalsium klorida, dan natrium laktat yang komposisinya mirip
dengan cairan ektra seluler, terdistribusi kedalam cairan
intravaskuler dan intersisial.

Sediaan

Infuse cairan 500 ml

Indikasi

Mengembalikan keseimbangan elektrolit pada dehidrasi.

Dosis

Infus IV dosis sesuai dengan kondisi penderita.

Kontra indikasi

Hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati, laktat


asidosis.

Efek samping

Panas, infeksi pada tempat penyuntikan, thrombosis vena

atau flebitis yang meluas dari tempat penyuntikan,


Interaksi Obat

ekstravasasi.
Larutan yang mengandung fosfat

Perhatian

Komposisi

Ceftriakson 1 gram/vial

Kelas terapi

Generasi ketiga cephalosporin

Mekanisme kerja

Menghambat sintesis dinding sel bakteri sehingga bakteri

4. CEFTRIAXONE

akan mengalami lisis


Sediaan

Injeksi

Indikasi

Pengobatan infeksi saluran nafas bagian bawah, Otitis media


bakteri akut, Infeksi kulit dan struktur kulit, Infeksi tulang
dan sendi, Infeksi intra abdominal, Infeksi saluran urin,
Penyakit inflamasi pelvic (PID), Gonorrhea, Bakterial

Dosis

septicemia dan meningitis


Dewasa : I. M.; I. V. Usual dosis I. M.; I. V. : 1-2 g setiap
12-24 jam tergantung tipe dan keparahan infeksi.

Kontra indikasi

Hipersensitif terhadap seftriakson, komponen lain dalam


sediaan

Efek samping

dan

sefalosporin

lainnya.

Neonatus

Hyperbilirubinemia.
Kulit : Rash (2%), Saluran cerna : diare (3%), Hepar :
peningkatan transaminase (3,1%-3,3%), Hematologi :
eosinophillia (6%); thrombositosis (5%); leukopenia (2%),
Lokal : Nyeri selama injeksi (I.V 1%); rasa hangat, tightnes

Interaksi Obat

selama injeksi (5%-17%) diikuti injeksi I.M.


Chephalosporin : menigkatkan efek antikoagulan dari
derivat kumarin(Dikumarol dan Warfarin)
Umurn urikosurik: (Probenesid, Sulfinpirazon) dapat
menurunkan ekskresi sefalosporin, monitor efek toksik.

Perhatian

Penyesuaian dosis untuk pasien dengan penurunan fungsi


ginjal.

Penggunaan

dalam

waktu

lama

mengakibatkan

superinfeksi.
Pasien dengan riwayat alergi terhadap penisilin khususnya
reaksi IgE (anafilaktik, urtikaria)

5. SUKRALFAT
Komposisi

Sukralfat

Kelas terapi

Obat untuk saluran cerna

Mekanisme kerja

Sukralfat bekerja dengan cara melindungi mukosa dari


serangan asam pepsin pada tukak lambung dan duodenal
setelah membentuk kompleks dengan eksudat yang bersifat
protein seperti albumin dan fibrinogen pada lokasi tukak.
Pada kondisi yang lebih ringan, Sukralfat membentuk
viscous

sehingga

memberikan

perlindungan

pada

permukaan mukosa lambung dan duodenum.


Sediaan

Tablet, sirup

Indikasi

Pengobatan jangka pendek (s/d 8 minggu) ulkus gaster,


ulkus duodenum, gastritis kronik.

Dosis

Dosis dewasa
Pengobatan Tukak duodenal : 1 gram per oral sehari empat
kali atau 2 gram sehari dua kali selama 4-8 minggu.
Perawatan Tukak duodenal : 1 gram per oral sehari dua kali.
Perawatan Tukak peptik : 1 gram per oral sehari dua kali.
Perawatan Tukak peptik : 1 gram per oral sehari dua kali.

Profilaksis tukak akibat stres : 1 gram secara nasogastrik


atau per oral setiap 6 jam.
Kontra indikasi

Hipersensitif terhadap sukralfat.

Efek samping

Konstipasi, diare, mual,gangguan di lambung, pruritis, ruam,

Interaksi Obat

pusing, mengantuk, vertigo, nyeri punggung, sakit kepala.


Absorpsi obat berikut berkurang bila digunakan bersamaan:
Ciprofloxacin,

Cimetidine,

Ranitidin,

Digoxin,

Ketoconazole, Teofilin, Fenitoin, Tetrasiklin.


Penggunaan

obat-obatan

tersebut

di

atas

sebaiknya

dilakukan pada 2 jam sebelum atau sesudah pemberian


Sukralfat
Perhatian

Antasida dapat digunakan sebagai tambahan pada terapi


dengan Sukralfat untuk mengurangi rasa sakit, tetapi
sebaiknya tidak diminum dalam waktu 30 menit sebelum
atau setelah pemberian sukralfat.
Penderita gagal ginjal kronis dan pasien dialisis dapat
meningkatkan risiko akumulasi dan toksisitas aluminium.

Informasi pasien

Diminum dalam keadaan perut kosong, 1 jam sebelum


makan atau 2 jam setelah makan dan sebelum tidur malam.

6. OMEPRAZOLE
Komposisi

Omeprazole

Kelas terapi

Obat untuk saluran cerna

Mekanisme kerja

Omeprazol merupakan penghambat pompa proton yang


selektif dan irreversible.Omeprazol menekan sekresi asam
lambung dengan menghambat sistem enzim HidrogenKalium

ATPase

pada

permukaan

sel

parietal.Efek

penghambatan ini terkait dengan dosis. Penghambat pompa


proton dapat meningkatkan risiko infeksi gastrointestinal
karena efek penekanan sekresi asam

Sediaan

Injeksi

Indikasi

Benign gastric, tukak duodenal, tukak akibat NSAID, erosi


esofagitis,

Zollinger-Ellison

syndrome,

Gastro-

oesophumural Reflux Disease, dispepsia akibat asam,


Dosis

gastritis kronis.
Dosis dewasa (peroral)
Tukak duodenal, 20 mg sekali sehari selama 4-8 minggu.
Eradikasi Helicobacter pylori : Dual therapy, 40 mg per hari
dikombinasikan dengan Clarithromycin selama 14 hari,
dilanjutkan dengan dosis 20 mg selama 14 hari.
Triple therapy, 20 mg sehari 2 kali selama 10 hari,
dikombinasikan dengan Clarithromycin 500 mg dan
Amoxicillin 1000 mg, dilanjutkan dengan dosis 20 mg
selama 18 hari.
Hipersekresi : dosis awal, 60 mg sekali sehari, dapat
ditingkatkan sampai 120 mg 3 kali sehari. Pemberian dosis
lebih dari 80 mg/ hari harus diberikan dalam dosis terbagi.
Gastric ulcer : 40 mg per oral sekali sehari selama 4-8
minggu.
Gastroesophumural reflux disease, 20 mg sekali sehari
hingga 4 minggu.
Stress ulcer, profilaksis, dosis awal 40 mg per oral atau
nasogastric. Stress ulcer, penjagaan, 20-40 mg per oral atau

Kontra indikasi

nasogastric sekali sehari.


Hipersensitif terhadap Omeprazol.

Efek samping

Efek samping yang paling sering muncul yaitu sakit kepala,


diare dan kemerahan pada kulit. Efek samping yang lain
meliputi gatal, pusing, konstipasi, mual, muntah, kembung,

Interaksi Obat

nyeri pada perut / abdomen, mulut kering


Omeprazol memperpanjang eliminasi Diazepam, Warfarin
dan Fenitoin atau obat lain yang mengalami metabolisme
oleh

cytochrome

P-450-mediated

oxidation

di

hati.

Omeperazol mengurangi absorpsi Ketoconazol, Itraconazol,

dimana absorpsinya tergantung pada pH asam lambung.Pada


penggunaan bersama Voriconazol, konsentrasi plasma kedua
obat ini dapat meningkat dan direkomedasikan untuk
Perhatian

mengurangi dosis omeprazol.


Gunakan dengan hati-hati pada pasien

hipokalemia dan

gangguan hati.
Penggunaan Omeprazol jangka panjang dapat menyebabkan
risiko atrofik gastritis
Informasi pasien

Diminum segera sebelum makan, lebih baik di pagi hari.


Omeprazole harus diminum hingga habis meskipun pasien
sudah merasa lebih baik kondisinya
Dosis terbagi jangan sampai lebih dari 80 mg perhari.
Simpan pada suhu ruangan dan jangan sampai terkena
cahaya

7. PARACETAMOL
Komposisi

Paracetamol

Kelas terapi

Alnalgesik non narkotik

Mekanisme kerja

Bekerja

langsung

pada

pusat

pengaturan

panas

di

hipotalamus dan menghambat sintesa prostaglandin di


Sediaan

sistem saraf pusat.


Tablet

Indikasi

Sebagai antipiretik/analgesik, termasuk bagi pasien yang


tidak tahan asetosal.
Sebagai analgesik, misalnya untuk mengurangi rasa nyeri
pada sakit kepala, sakit gigi, sakit waktu haid dan sakit pada
otot.menurunkan demam pada influenza dan setelah
vaksinasi.

Dosis

Dewasa : 3-4 kali sehari 1-2 tablet. Anak berusia 6-12


tahun : -1 tablet tiap 4-6 jam. Anak berusia 2-5 tahun : -

Kontra indikasi

tablet tiap 4-6 jam.


Hipersensitif parasetamol dan defisiensi glokose-6-fosfat
dehidroganase.Tidak

Efek samping

boleh

digunakan

pada

penderita

dengan gangguan fungsi hati.


Efek samping dalam dosis terapi jarang; kecuali ruam kulit,
kelainan darah, kerusakan hati pernah dilaporkan setelah

Interaksi Obat

penggunaan jangka panjang.


Alkohol, antikonvulsan, isoniazid: meningkatkan resiko
hepatotoksis, Antikoagulan oral: dapat meningkatkan efek
warfarin,

Perhatian

Informasi pasien

Fenotiazin

sehingga

kemungkinan

terjadi

hipotermia parah
Pasien alkoholik.
Jika nyeri atau demam sudah lebih dari 3 hari, hubungi
dokter
Pengaruh hasil lab:
Menyebabkan hasil positif palsu pada tes urin asam 5
hidroksiindoleasetik

8. LODIA (LOPERAMIDE HCL)


Komposisi

Loperamide HCl

Kelas terapi

Obat untuk saluran cerna

Mekanisme kerja

Memperlambat gerakan intestinal dan mempengaruhi


perpindahan air dan eleltrolit melewatiusus. Menghambat
gerakan peristaltik dengan mempengaruhi peredaran dan
gerakan longitudinal dari otot pada dinding usus.
Memperpanjang waktu transit bahan makanan yang ada di
usus, mengurangi tinja, meningkatkan viskositas fecal dan
kepadatan massa dan mencegah kehilangan elektrolit dan
cairan.

Sediaan

Tablet 2 mg

Indikasi

Mengontrol dan mengatasi gejala diare akut nonspesifik atau


diare kronik

Dosis

Pemberian dosis untuk anak-anak umur 2-12 tahun


Umur (berat)
2-5 tahun (13-20 kg)
6-8 tahun (20-30 kg)
8-12 tahun (>30 kg)

Dosis (setiap 24 jam)


1 mg 3 kali sehari
2 mg 2 kali sehari
2 mg 3 kali sehari

Pemberian dosis untuk anak-anak 6-12 tahun


Umur
(berat)
<6
umur
(21.4 kg)

Dosumur
Jangan diberikan tanpa perintah dari dokter
2 mg setelah buang air besar yang pertama,

6-8

umur diikuti 1 mg setelah buang air besar

(21.8-26.8

selanjutnya (jangan gunakan lebih dari 4 mg

kg)

selama 24 jam )
2 mg setelah buang air besar yang pertama,

9-11

umur diikuti 1 mg setelah buang air besar

(27.3-43.2

selanjutnya (jangan gunakan lebih dari 6 mg

kg)

selama 24 jam )
2 mg setelah buang air besar yang pertama,

12 umur

diikuti 1 mg setelah buang air besar


selanjutnya (jangan gunakan lebih dari 8 mg
selama 24 jam )

Dosis untuk diare kronis


Untuk diare kronik : 2-4 tablet/hari dalam dosis terbagi.
Maksimal : 8 tablet/hari. Hentikan bila tidak ada perbaikan
setelah 48 jam.
Dosis untuk diare akut
Oral : maksimum 16 mg sehari
Dosis untuk diare non spesifik :
awal 2 tablet/hari. Dosis biasa : 2-4 tablet 1-2 kali/hari.
Maksimal : 8 tablet/hari.
Kontra indikasi

Bayi dan kontipasi

Efek samping

Mulut kering, nyeri perut, lelah, ruam kulit, megakolon

Interaksi Obat

toksik, pusing.
-

Perhatian

Anafilaksis, dehidrasi pada anak-anak, kekurangan cairan


dan elekrolit
Pasien dengan gangguan hati karena adanya metabolisme
lintas pertama di hati.

Informasi pasien

Penggantian cairan dan elektrolit sebaiknya diberikan sesuai


kebutuhan, terutama pada kasus diare berat.
Pasien diminta untuk memeriksakan diri ke dokter jika
selama 2 hari pemakaian Loperamid masih mengalami diare
atau gejala bertambah buruk, timbul demam, pembengkakan
perut.

9. VITAMIN K
Komposisi

: Vitamin k

Kelas terapi

: Vitamin

Mekanisme kerja

: Pada orang normal vitamin K tidak mempunyai aktivitas


farmakodinamik, tetapi pada penderita defisiensi vitamin K,
vitamin ini berguna untuk meningkatkan biosintesis
beberapa faktor pembekuan darah yang berlangsung di hati.
Sebagai hemostatik, vitamin K memerlukan waktu untuk
dapat

menimbulkan

efek,

sebab

vitamin

harus

merangsang pembentukan faktor- faktor pembekuan darah


Sediaan

lebih dahulu.
: Injeksi 10 mg/ml

Indikasi

: Digunakan untuk mencegah atau mengatasi perdarahan


akibat defisiensi vitamin K.

Dosis

: 3 x 1 hari injeksi 5-10 mg dosis tunggal IM

Kontra indikasi

: Neonates, bayi dan hamil tua

Interaksi Obat

Vit k melawan efek antikoagulan cumarin dan fenidion

Perhatian

Defisiensi vit. K dapat terjadi akibat gangguan absorbsi


vit.K, berkurangnya bakteri yang mensintesis Vit. K pada
usus dan pemakaian antikoagulan tertentu. Pada bayi baru
lahir hipoprotrombinemia dapat terjadi terutama karena
belum adanya bakteri yg mensintesis vit. K

10. ASAM TRANEKSAMAT


Komposisi

Asam traneksamat

Kelas terapi

Antifibrinolotik

Mekanisme kerja

Aktivitas antiplasminik :

Asam Traneksamat menghambat aktivitas dari aktivator


plasminogen dan plasmin. Aktivitas plasminik dari Asam
Traneksamat telah dibuktikan dengan berbagai percobaan 'In
vitro' penentuan aktivitas plasmin dalam darah dan aktivitas
plasma setempat, setelah diberikan pada tubuh manusia.

Aktivitas hemostatis :

Asam Traneksamat mencegah degradasi fibrin, pemecahan


trombosit, peningkatan kerapuhan vaskular dan pemecahan
faktor koagulasi. Efek ini terlihat secara klinis dengan
berkurangnya jumlah perdarahan, berkurangnya waktu
perdarahan dan lama perdarahan.
-

Aktivitas anti alergi dan anti peradangan :

Asam Traneksamat bekerja dengan cara menghambat


produksi Kinin dan senyawa peptida aktif lainnya yang
berperan dalam proses inflamasi dan reaksi-reaksi alergi.

Sediaan

Ampul 5 ml

Indikasi

Edema

angioneurotik

herediter,

perdarahan

abnormal

sesudah operasi, perdarahan akibat pencabutan gigi pada


penderita

hemofilia.

Fibrinolisis

lokal

epistaksis,

prostatektomi, konisasi servikal.


Dosis

Dewasa : 1-2 kapsul 3-4 kali/hari. Tablet : 1 tablet 3-4


kali/hari. Ampul 250 mg : 1-2 ampul/hari IV atau 1-2 dosis
terbagi IM atau 2-10 ampul dengan infus drip. Ampul 500
mg : 2.5-5 mL IV/IM terbagi dalam 1-2 dosis. Selama atau
pasca operasi : 5-25 mL dengan infus bila perlu.

Kontra indikasi

Pasien dengan riwayat tromboembolik


Penderita

yang

hipersensitifitas

terhadap

salah

satu

komponen obat ini.


Efek samping

Gangguan saluran cerna, mual, muntah, pusing, eksantema,


sakit kepala, pemberian injeksi IV secara cepat dapat
menyebabkan pusing dan hipotensi.

Interaksi Obat

Larutan injeksi Asam traneksamat tidak ditambahkan pada


transfuse untuk injeksi yang mengandung penicillin

Perhatian

Insufisiensi ginjal, hematuria karena gangguan pada


parenkim ginjal, hamil dan laktasi.

11. CURVIT SYRUP


Komposisi

Vitamin B1 3 mg, vit B2 2 mg, vit B6 5 mg, vit B12 5


mcg, beta carotene 4 mg, dekpantenol 3 mg, Curcuminoid
2 mg, Ca gluconate 300 mg.

Kelas terapi

: Suplemen

Sediaan

: Syrup

Indikasi

: Vitamin untuk penambah nafsu makan dan stamina,


menambah defisiensi Ca

Dosis

: sirup dws 1 sdt 3x/hari, sirup anak 6-12 thn 1 sdt 2x/hari

12. Corti Forte


Komposisi

Cotrimoxazole Tablet/Kaplet Forte


Tiap tablet/kaplet forte mengandung Trimethoprim 160 mg
dan Sulfamethoxazole 800 mg

Kelas terapi

Anti infeksi

Mekanisme kerja

Cotrimoxazole adalah antibiotik yang merupakan kombinasi


Sulfamethoxazole dan Trimethoprim dengan perbandingan 5
: 1. Kombinasi tersebut mempunyai aktivitas bakterisid yang
besar karena menghambat pada dua tahap sintesis asam
nukleat

dan

mikroorganisme.

protein

yang

Cotrimoxazole

sangat

esensial

mempunyai

untuk

spektrum

aktivitas luas dan efektif terhadap bakteri gram-positif dan


gram-negatif,

misalnya

Streptococci,

Staphylococci,

Pneumococci, Neisseria, Bordetella. Klebsiella, Shigella dan


Vibrio cholerae. Cotrimoxazole juga efektif terhadap bakteri
yang resisten terhadap antibakteri lain seperti H. influenzae,
E. coli. P. mirabilis, P. vulgaris dan berbagai strain
Staphylococcus.
Sediaan

Indikasi

Kaplet
-

Infeksi saluran kemih dan kelamin yang disebabkan


oleh E. coli. Klebsiella sp, Enterobacter sp,
Morganella morganii, Proteus mirabilis, Proteus

vulgaris.
Otitis media akut yang disebabkan Streptococcus

pneumoniae, Haemophilus influenzae.


Infeksi saluran pernafasan bagian atas dan bronchitis
kronis yang disebabkan Streptococcus pneumoniae,

Dosis

Haemophilus influenzae.
Enteritis yang disebabkan Shigella flexneri, Shigella

sonnei.
Pneumonia yang disebabkan Pneumocystis carinii.
Diare yang disebabkan oleh E. coli.

- Dosis yang umum diberikan adalah :


-

Bayi usia 6 minggu 6 bulan

: 120 mg, 2 kali

sehari.
Anak usia 6 bulan 6 tahun

: 240 mg, 2 kali

sehari.
Anak usia 6 12 tahun

: 480 mg, 2 kali

sehari.
Dewasa dan anak diatas 12 tahun

: 960 mg, 2 kali

sehari.
Kontra indikasi

Penderita dengan gangguan fungsi hati yang parah,


insufisiensi ginjal, wanita hamil, wanita menyusui, bayi
prematur atau bayi berusia dibawah 2 bulan. Penderita
anemia megaloblastik yang terjadi karena kekurangan folat.
Penderita yang hipersensitif/alergi terhadap trimetoprim dan

obat-obat golongan sulfonamide


Efek samping

jarang terjadi pada umumnya ringan, seperti reaksi


hipersensitif/alergi, ruam kulit, sakit kepala dan gangguan
pencernaan misalnya mual, muntah dan diare.
Leukopenia,

trombositopenia,

aplastik, diskrasia
Walaupun

agranulositosis,

anemia

darah.

sifatnya

jarang

dapat

terjadi

reaksi

hipersensitivitas yang fatal pada kulit atau darah seperti


sindrom

Steven

Johnson,

toxic

epidermal,

necrosis

fulminant, hepatic necrosis dan diskrasia darah lainnya.


Interaksi Obat

Kotrimoksazol dapat menambah efek dari antikoagulan dan


memperpanjang

waktu

paruh

Fenitoin

juga

dapat

mempengaruhi besarnya dosis obat-obat hipoglikemia.


Pernah dilaporkan adanya megaloblastik anemia apabila
kotrimoksazol diberikan bersama-sama dengan obat yang
dapat

menghambat

pembentukan

folat

misalnya

Pirimetamin.
Pemberian kotrimoksazol bersama dengan diuretik terutama
Tiazid

dapat

meningkatkan

kemungkinan

terjadinya

trobositopenia.
Perhatian

Pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal, dosis harus


dikurangi untuk mencegah terjadinya akumulasi obat.
Selama pengobatan dianjurkan untuk banyak minum
(minimal 1,5 liter sehari) untuk mencegah kristaluria.
Pada penggunaan jangka panjang sebaiknya dilakukan
pemeriksaan darah secara periodik karena kemungkinan
terjadi diskrasia darah.
Hentikan penggunaan Cotrimoxazole bila sejak awal

penggunaan ditemukan ruam kulit atau tanda-tanda efek


samping lain yang serius.

BAB V
PEMBAHASAN

Pada kasus ini, pasien datang ke IGD pada tanggal 13 januari 2014 dengan
keluhan demam sejak 4 hari yang lalu. Berdasarkan hasil laboratorium di Pakan Kamis
diketahui bahwa dalam hemoglobin, leukosit, trombosit pasien rendah. Dari IGD pasien
diberikan terapi infus RL, sukralfat sirup, ranitidin dan neurodex injeksi. Pasien masuk
IGD dengan tekanan darah 130/70 mmHg, nadi 70 x / menit, suhu 36 C, pernapasan 20
x/menit dan di diagnosa sementara fatigue, anorexia dan febris hari ke lima.Kemudian
pasien di rujuk ke kelas interne, dengan penambahan terapi curvit syrup, lodia, dan
paracetamol. Pemberian parasetamol sudah tepat karena suhu badan pasien tinggi tetapi
dengan sifatnya yang menyebabkan hepatotoksik dapat memperparah kondisi pasien.
Sehingga pemilihan curvit syrup sudah tepat sebagai hepatoprotektor. Kemudian
pemberian clobazam pada pasien pada tanggal 18 Februari sudah sangat tepat karena
pasien sudah tidak tidur selama 3 hari dan pasien sering berhalusinasi. Clobazam
merupakan golongan benzodiazepine dan dapat mengatasi keadaan ansietas dan
psikoneurotik yang disertai ansietas.
Pada tanggal 17 Februari pemberian lodia dihentikan. Kemudian pasien pada
tanggal 19 Februari di konsul ke psikiatri dengan diagnosa suspect infeksi oportunistik.
Pemberian cotrimoksazol pada pasien merupakan terapi yang tepat karena
cotrimoksazol merupakan antibiotik yang dapat menyerang beberapa infeksi termasuk
infeksi opurtunistik pada ODHA. Pada tanggal 21 Februari pasien diberikan sukralfat
tablet, vitamin K, kalnex dan omeprazol injeksi karena dari sonde pasien keluar darah
dan pada malam harinya pasien meninggal.
Pemberian terapi sudah tepat, tetapi ada penyakit yang tidak di terapi yaitu HIV.
Hal ini di karenakan pasien sudah meninggal. Sehingga pemberian terapi tidak dapat
diberikan.

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa :
1. Pasien didiagnosa ODHA (HIV)

2. Obat-obat yang diberikan kepada pasien semuanya tepat indikasi, namun


3.

ada penyakit yang belum di terapi.


Ada beberapa obat jika penggunaan jangka waktu lama dapat
memperparah kondisi pasien seperti parasetamol tetapi telah di atasi
dengan pemberian curvit.

Dari kasus ini disarankan untuk :


1. Pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja dan dewasa muda
2. Program penyuluhan sebaya untuk bebagai kelompok sasaran
3. Program layanan pengobatan infeksi menular seksual
4. Program pengadaan tempat-tempat untuk tes HIV dan konseling.
5. Meningkatkan keimanan dan ketaqwaan melalui ajaran agama
6. Menghindari berganti-ganti pasangan dan jarum suntik

DAFTAR PUSTAKA
Anomin. 2002. AHFS Drug Information. 2008
Adam, John MF. HIV/AIDS. Dalam : Sudoyo Aru W, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus
dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, Edisi IV. Jakarta : FK-UI, 2006. H:
1825-1830

Brooks, Geo. F., Butel, Janet S., dan Morse, Stephen A., 2005. AIDS dan Lentivirus.
Dalam: Sjabana, Dripa, ed. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Salemba Medika;
292-300.
Depkes RI. 2001. Pelayanan Informasi Obat. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.
Dipiro, J., Talbert, R., & Yee, G. 2008. Pharmacoterapy A Pathophiysiology Approach,
Ed 7

th

. United states : Mc Graw Hill Companies, Inc.

Fauci, Anthony S., dan Lane, H. Clifford, 2005. Human Immunodeficiency Virus
Disease: AIDS and Related Disorders. In: Kasper, Dennis S., ed. Harrisons
Principles of Internal Medicin 16th edition. United States of America: Mc Graw
Hill;1076, 2372-2390.
Tarto, D.S 2003. A to Z Drug Facts. Fransisco : Facts and Compatison

Anda mungkin juga menyukai