Anda di halaman 1dari 50

1

BAB II
KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DAN KINERJA GURU

A. Landasan Teologis
Hakikat teoritis dari teori kepemimpinan yang akan penulis kupas terutama
didasarkan pada inti kepemimpinan yang tersurat dalam Alquran. Pemikiran ini
dilandasi keyakinan, bahwa manusia ditakdirkan sebagai khalifah di muka bumi
untuk mengatur alam semesta yang disediakan Allah SWT, untuk kemaslahatan
manusia di masa depan ,Sebagaimana termaktub dalam Alquran Surat
Albaqoroh ayat 30

) )


( 30


Artinya: Dan(ingatlah) ketika tuhanmu berfirman kepada para malaikat."Aku
hendak menjadikan khalifah di bumi." Mereka berkata, "Apakah
engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan
darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan
nama-Mu?"Dia berfirman, "Sungguh, Aku mengetahui ap yang tidak
kamu ketahui."
Prinsipnya

semua manusia adalah khalifah ( pemimpin ) dalam

kepemimpinan dengan kata kata kunci mengambil keputusan ( visi, misi dan
program ), menginformasikan dan mengkomunikasikan, serta menggerakan
berbagai kekuatan sumber daya supaya mau dan mampu beradministrasi atau
bermanajemen untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di masa depan di
dunia dan akhirat kelak. Kepemimpinan semacam ini berlaku untuk semua
manusia, minimal memimpin dirinya sendiri. ( Meirawan, 2010: 2 )
Adapun prinsip-prinsip kepemimpinan yang harus diteladani sebagaimana
dicontohkan Nabi Muhamad SAW, adalah kepemimpinan yang sidik ( benar
dalam ucapan dan perbuatan ); tablig ( menyampaikan apa yang terkandung
dalam Alquran,Hadist dan Assunah,serta undang-undang dan peraturan yang
berlaku dengan sebaik-baiknya); amanah(dapat dipercaya baik ucapan maupun

tindakan ); patonah ( jujur dan tidak menghianati ); sajaah (berani karena benar
dalam menyampaikan pendapat dan keyakinan).
Begitupun dalam sebuah hadist diterangkan bahwa:
Setiap orang dari kamu adalah pemimpin dan kamu bertanggung jawab
terhadap kepemimpinan itu
- H.R. Tirmizi, Abu dawud, Shahih Bukhari dan Musli
Nabi Muhammad bersabda:
Hendaklah kamu berpegang pada kebenaran, karena sesungguhnya
kebenaran itu memingpin pada kebaikan, dan kebaikan itu, membawa ke
surga (kebahagiaan); dan hendaklah tetap seseorang itu bersifat benar dan
memilih kebenaran hingga dia tertulis Allah sebagai orang orang yang
sangat benar; dan hendaklah kamu jauhi kedustaan, karena sesungguhnya
kedustaan, karena sesungguhnya kedustaan itu memimpin pada
kedurhakaan, dan kedurhakaan membawa ke neraka (kehancuran); dan
janganlah sesorang tetap berdusta dan memilih kedustaan tertulis di sisi
Allah sebagai pendusta
- Hr. Bukhari Muslim
Berpijak dari Landasan Teologis di atas maka pemimpin merupakan motor
penggerak, penentu arah kebijakan sekolah, yang akan menentukan bagaimana
tujuan-tujuan sekolah dan pendidikan pada umumnya di realisasikan. Sehubungan
dengan itu kepemimpinan yang efektif yaitu harus mampu memberdayakan semua
aspek dalam organisasi untuk melaksanakan tugasnya dengan baik, lancar dan
produktif juga dapat menyelesaikan tugas dan pekerjaan sesuai dengan waktu
yang telah di tetapkan. Dan yang terpenting adalah bagaimana seorang pemimpin
itu dalam menjalankan kepemimpinannya
B. Landasan Filosofi
Ada beberapa landasan filosofi yang mendasari kepemimpinan kepala
sekolah,diantaranya adalah kontruktivisme. Dalam konteks filsafat pendidikan
kontruktivisme adalah suatu aliran yang memberikan kebebasan terhadap manusia
yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk
menemukan keinginan atau kebutuhannya tersebut dengan bantuan fasilitasi orang
lain. Menurut aliran ini menekankan bahwa pengetahuan bukanlah seperangkat

fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia
harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman
nyata.
Dari uraian diatas maka sangat jelas untuk menjadi seorang pemimpin harus
dapat mengkontruksi pengetahuanya menjadi pengalaman yang nyata .Penguasaan
terhadap seluruh kompetensi yang disyaratkan pada seorang pemimpin
dilaksanakan dilapangan sehingga pengalaman akan membentuk pengetahuan
baru yang lebih epektif dalam menjalankan kepemimpinanya, dan pemimpin
sebagai penggerak sebuah organisasi akan berjalan dengan adanya kreatifisme
dari seorang pemimpin sehingga apa yang menjadi tujuan organisasi akan tercapai
dengan kerjasama pemimpin dengan seluruh unsur yang ada dalam organisasi
tersebut
Ada lima elemen kepemimpinan kontruktivisme. Pertama, energi emosional
dalam bentuk keinginan untuk menggunakan emosi secara jujur dan terbuka
dalam pekerjaan mereka dengan guru yang lain, siswa dan komunitas. Kedua,
kemampuan untuk memelihara pembelajaran dan perkembangan. Ketiga, dialog
satu sama lain di mana setiap orang saling mendengarkan titik pandang mereka.
Keempat, mutualitas yang dipertimbangkan dalam refleksi yang digunakan dalam
mengambil keputusan. Kelima, perubahan kolaboratif yang melibatkan orang lain
dalam transformasi sekolah. Elemen-elemen kepemimpinan itu terwujud dalam
berbagai bentuk kepemimpinan. Bentuk-bentuk kepemimpinan itu antara lain
terlihat dari autoritas yang melekat pada posisi dalam organisasi, kemampuan
untuk menguasai informasi, wewenang untuk mengontrol pekerjaan dan ganjaran
yang dihasilkannya, kepemimpinan koersif, kepemimpinan untuk menjalin
kerjasama dan jaringan kerja, kemampuan untuk mengontrol agenda organisasi,
kepemimpinan untuk mengontrol nilai-nilai yang diyakini oleh organisasi, dan
kepemimpinan pribadi yang mencakup karisma, keahlian, visi dan keutamaan
yang melekat dalam pribadi seseorang. Elemen-elemen dan bentuk-bentuk
kepemimpinan ini digunakan di dalam sekolah oleh seorang guru sebagai
pemimpin konstruktivis dalam tujuh ranah kepemimpinan untuk menciptakan
kondisi bagi perubahan yang sistemik.

Ranah pertama adalah kepemimpinan dalam kerjasama dan jaringan kerja.


Kepemimpinan ini dibangun dalam kerjasama dan jaringan kerja yang didesain
secara ekologis di kalangan orang-orang yang memiliki kompetensi yang
berkaitan dengan masalah yang dihadapi di sekolah. Kerjasama dan jaringan ini
menjadi energi yang hidup bagi organisasi sekolah.
Ranah kedua adalah kepemimpinan dalam tanggungjawab pribadi. Tanggung
jawab pribadi mencakup energi emosional dan kepemimpinan pribadi. Tanggung
jawab pribadi digunakan oleh seorang pemimpin konstruktivis untuk mencapai
tujuan yang ditetapkan bersama orang lain. Mereka saling bersinergi untuk
mengembangkan organisasi dan meningkatkan kesempatan bagi pembaharuan
diri partisipan secara individual.
Ranah ketiga adalah kepemimpinan dalam memelihara hubungan dan
perkembangan dengan orang lain. Hal ini terwujud dalam peran guru sebagai
pemimpin konstruktivis bersama guru yang lain sebagai otonomi kolektif untuk
menentukan tujuan umum dan bekerja sebagai kolega untuk mencapai tujuan
sekolah. Kepemimpinan ini semakin jelas terlihat ketika mereka mendesain dan
memfasilitasi kesempatan di mana para partisipan bekerja sama untuk belajar dan
mengembangkan diri dan membangun pengetahuan khusus dan keahlian mereka.
Ranah keempat adalah kepemimpinan dalam informasi dan pengetahuan
khusus. Kepemimpinan ini dibagi dalam dialog di mana terjadi pertukaran
pengetahuan dan informasi. Di sini terjadi pembelajaran yang saling
menguntungkan dan perkembangan makna. Kepemimpinan yang dimiliki oleh
seorang

pemimpin

konstruktivis

ini

berguna

untuk

membangun

dan

mempertahankan organisasi yang sehat. Organisasi yang sehat dapat menghadapi


secara positip berbagai macam pengaruh lingkungannya
Ranah kelima adalah kepemimpinan untuk melihat keseluruhan dan bagianbagian. Kepemimpinan ini diperlihatkan oleh seorang pemimpin konstruktivis
ketika ia dapat melihat berbagai titik pandang yang diungkapkan dalam interaksi
para partisipan satu sama lain dalam sistem dan merefleksikannya kembali dalam
organisasi. Di sini seorang pemimpin konstruktivis

memenuhi kebutuhan

organisasi akan makna dan pemahaman kolektif atas keseluruhan sistem dan

sekaligus memberi kesempatan kepada setiap individu untuk mengidentifikasi


peran mereka dalam keseluruhan sistem.
Ranah keenam adalah kepemimpinan dalam status dan posisi di sekolah.
Seorang pemimpin konstruktivis yang mempunyai status dan posisi di kelas dan
sekolah, baik sebagai kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru, dan konselor
dapat mengunakan status dan posisi tersebut untuk memperoleh perhatian dari
orang lain dan menyediakan waktu dan ruang untuk keterlibatan mereka dalam
komunitas belajar.
Ranah ketujuh adalah

kepemimpinan dalam membangun kerjasama.

Kepemimpinan ini diperlihatkan oleh seorang pemimpin konstruktivis dengan


menunjukkan kemampuan untuk fleksibel, menghadapi konflik, mempertahankan
fokus pada tujuan bersama, membagi tanggungjawab dan mencari konsensus
dalam kerjasama dengan orang lain.
Aliran filsafat pendidikan konstruktivisme, berimplikasi pada pemimpin yang
bertindak tidak ada keraguan, bertindak melalui proses yang benar dan bertahap,
tidak keluh kesah bahkan bersifat progresif mengarah pada apencapaian tujuan
strategis yang kan dicapai organisai. Sealnjutnya memperhitungkan setiap
tindakan secara matang, dengan mengendalaikan resiko yang muncul dalam
interaksi organisasi. Melalukan negoisasi untuk bekerja dalam sebuah tim dengan
network pada pemangku kepentingan dan mampu merekonstruksi pengalaman
dan pengetahuan serta nilai yang diperoleh dalam proses pendidikan pada nilainilai baru yang sesuai dengan situasi dan kondisi.

C. Landasan Teoritis.
1.

Kepemimpinan Kepala Sekolah


1.
Hakikat Kepemimpinan Kepala Sekolah
Kepemimpinan Kepala Sekolah, sebagaimana yang dikemukakan oleh
Wahjosumidjo, (2002: 3), tentang peranan kepemimpinan kepala sekolah :
Studi keberhasilan sekolah menunjukan bahwa kepala sekolah adalah orang
yang menentukan fokus dan suasana sekolah. Oleh sebab itu dikatakan pula
bahwa keberhasilan sekolah, adalah sekolah yang memiliki pemimpin yang
berhasil. Dan pemimpin sekolah adalah mereka yang dilukiskan sebagai

orang yang memiliki harapan tinggi terhadap staf dan para siswa, pemimpin
sekolah adalah mereka yang banyak mengetahui tentang tugas-tugas mereka,
dan yang menentukan suasana untuk sekolah mereka.
Kepala Sekolah adalah seseorang yang memimpin, dengan jalan
memprakarsai tingkah laku sosial dengan mengatur, menunjukan, mengorganisir
atau mengontrol usaha atau upaya orang lain. Secara teoritis, kepemimpinan
menurut Siagian (1998: 24) sebagai berikut : kemampuan dan keterampilan
seseorang yang menduduki jabatan sebagai pemimpin satuan kerja untuk
mempengaruhi prilaku orang lain, terutama bawahannya, untuk berfikir dan
bertindak sedemikian rupa sehingga melalui perilaku yang positif ia memberikan
sumbangsih nyata dalam pencapaian tujuan organisasi.
Selanjutnya Suradinata (1997: 11) mengemukakan pengertian tentang
kepemimpinan Kepala Sekolah sebagai berikut : kepemimpinan Sekolah adalah
kemauan seorang pemimpin untuk mengendalikan, memimpin, mempengaruhi
pikiran, perasaan, atau tingkah laku orang lain untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan sebelumnya.
Pendapat-pendapat mengenai kepemimpinan Kepala Sekolah tersebut pada
dasarnya mengandung kesamaan, dimana kepemimpinan merupakan aktivitas
seseorang dalam organisasi yang mempunyai jabatan untuk mempengaruhi orang
lain sebagai bawahannya, dengan harapan orang lain tersebut dapat mengetahui
perintah dan petunjuknya sebagai langkah dalam mencapai tujuan organisasi.
Jelasnya kepemimpinan merupakan kemampuan pimpinan mengetahui
bawahannya.
Dalam manajemen modern seorang pemimpin adalah juga harus berperan
sebagai pengelola. Kepala sekolah dituntut untuk mampu memimpin sekaligus
mengorganisir dan mengelola pelaksanaan program belajar mengajar yang
diselenggarakan di sekolah, program pelayanan kepada semua pihak yang
berkepentingan, terutama siswa dan orang tua siswa.
Dalam pelaksanaannya, tugas dan pekerjaan kepala sekolah merupakan
pekerjaan berat, yang menuntut kemampuan ekstra. Dinas Pendidikan telah
menetapkan bahwa kepala sekolah harus mampu melaksanakan pekerjaannya
sebagai educator; manajer; administrator; supervisor; leader, inivator dan
motivator (EMASLIM).
a. Kepala Sekolah sebagai Educator (Pendidik)

Wahjosumidjo, (1999: 122), mengemukakan bahwa: pendidik, adalah orang


yang medidik. Sedang mendidik diartikan memberikan latihan (ajaran, pimpinan)
mengenai akhlaq dan kecerdasan pikiran, sehingga pendidikan dapat diartikan
proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam
usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan.
Dalam melakukan fungsinya sebagai educator (pendidik), kepala sekolah
harus memiliki strategi yang tepat untuk meningkatkan profesionalisme tenaga
kependidikan di sekolahnya. Untuk kepentingan tersebut, kepala sekolah harus
berusaha menanamkan, memajukan dan meningkatkan sedikitnya empat macam
nilai, yakni pembinaan mental, moral, fisik dan artistik.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kepala sekolah sebagai pendidik
adalah orang yang harus mampu memberikan perubahan pada guru, staf tata
laksana juga para siswa baik kecerdasan, keterampilan, mental, moral. Dan yang
lebih penting bagi kepala sekolah sebagai pendidik yaitu harus mampu
memberikan suri tauladan untuk lingkungannya. Kepala sekolah dibantu oleh para
wakil kepala harus mampu merencanakan berbagai program pembinaan mental,
moral, fisik dan artistik.
b.

Kepala Sekolah sebagai Manajer


Manajemen pada hakekatnya suatu proses, dikatakan suatu proses
dikarenakan semua manajer dengan ketangkasannya dan keterampilan yang
dimilikinya mengusahakan dan mendayagunakan berbagai kegiatan yang saling
berkaitan untuk mencapai tujuan.
Dalam rangka melakukan peran dan fungsinya sebagai manajer, kepala
sekolah harus memiliki strategi yang tepat untuk memberdayakan tenaga
kependidikan melalui kerjasama, memberi kesempatan kepada para tenaga
kependidikan untuk meningkatkan profesinya, dan mendorong keterlibatan
seluruh tenaga kependidikan dalam berbagai kegiatan yang menunjang program
sekolah.
Dalam hal ini kepala sekolah harus mewujudkan situasi yang kondusif di
lingkungan sekolahnya semua warga sekolah mempunyai kesadaran untuk terlibat
dalam kegiatan-kegiatan sekolah yang menuju untuk meningkatkan mutu.
Langkah kepala sekolah seperti demikian merupakan salah satu upaya
menerapkan prinsip Mutu Total Pendidikan. Asas keunggulan, bertolak dari
anggapan bahwa setiap tenaga kependidikan membutuhkan kenyamanan serta

harus memperoleh kepuasan dan memperoleh penghargaan pribadi. Kepuasan


mengandung makna penerimaan keadaan seperti adanya, sehingga ketidakpuasan
merupakan sumber motivasi yang dapat menggerakkan tenaga kependidikan
untuk menutupi ketidakpuasan tersebut dan mencapai kepuasan yang diinginkan.
Oleh karena itu, kepala sekolah harus berusaha untuk mengembangkan budaya
kerja dan ketidakpuasan kreatif. Kebutuhan untuk berprestasi harus menjadi
budaya di lingkungan sekolahnya. Dengan catatan bahwa kepala sekolah harus
mampu menghimpun gagasan bersama serta membangkitkan tenaga kependidikan
untuk berfikir kreatif dalam melaksanakan tugasnya. Kepala sekolah harus
menyadari bahwa tenaga kependidikan tidak ingin dipisahkan dari tanggung
jawabnya. Oleh karena itu, kapala sekolah harus berusaha untuk menjadikan
tenaga kependidikan sebagai pengurus upaya-upaya pengembangan sekolah. Hal
ini penting untuk menumbuhkan rasa kepemilikan pada tenaga kependidikan
terhadap sekolah tempat mereka melaksanakan tugas.
Dengan kemampuan manajerialnya yaitu kemampuan merencanakan,
mengorganisasikan, melaksanakan semua sumber melalui pendelegasian dan
mengevaluasi serta melakukan penyempurnaan semua kegiatan di sekolah yang
dipimpinnya, kepala sekolah diharapkan dapat menggerakan semua personil untuk
berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan yang memiliki nilai
keunggulan yang tinggi.
c. Kepala Sekolah sebagai Administrator
Kepala sekolah sebagai administrator memiliki hubungan yang sangat erat
dengan berbagai aktivitas pengelolaan administrasi yang bersifat pencatatan,
penyusunan dan pendokumenan seluruh program sekolah. Kepala sekolah harus
memiliki kemampuan untuk mengelola administrasi kurikulum, peserta didik,
personalia, sarana dan prasarana, kearsipan serta keuangan. Kegiatan tersebut
perlu dilakukan secara efektif dan efisien agar menunjang produktivitas sekolah.
Untuk itu, kepala sekolah harus mampu menjabarkan kemampuan di atas dalam
tugas-tugas operasional sebagai berikut.
d.

Kepala Sekolah sebagai Supervisor


Kegiatan utama pendidikan di sekolah dalam rangka mewujudkan tujuannnya

adalah kegiatan pembelajaran, sehingga seluruh aktivitas organisasi bermuara


pada pencapaian efisiensi dan efektivitas pembelajaran. Oleh karena itu salah satu

tugas kepala sekolah adalah sebagai supervisor, yaitu mensupervisi pekerjaan


yang dilakukan oleh tenaga kependidikan. Salah satu bagian pokok dalam
supervisi tersebut adalah mensupervisi guru dalam melaksanakan kegiatan
pembelajaran, supervisi semacam itu biasanya disebut supervisi akademik.
e.

Kepala Sekolah sebagai Leader


Kepala Sekolah sebagai leader harus mampu memberikan petunjuk dan
pengawasan, meningkatkan kemauan tenaga kependidikan, membuka komunikasi
dua arah, dan mendelegasikan tugas. Wahjosumijo (1999:110) mengemukakan
bahwa kepala sekolah sebagai leader harus memiliki karakter khusus yang
mencangkup kepribadian, keahlian dasar, pengalaman dan pengetahuan
profesional, serta pengetahuan administarsi dan pengawasan.
f.

Kepala Sekolah sebagai Innovator


Sebagai implementasi manajemen berbasis sekolah, maka kepala sekolah
banyak dituntut dengan inovasi-inovasinya dalam meminij sekolah yang
dipimpinnya. Kepala sekolah sebagai innovator akan tercermin dari cara-cara ia
melakukan pekerjaannya secara konstruktif, kreatif, delegatif, integratif, rasional
dan objektif, pragmatis, keteladanan, disiplin, serta adaptable dan fleksibel.
g.

Kepala Sekolah sebagai Motivator


Kepala Sekolah sebagai motivator, harus memiliki strategi yang tepat untuk
memberikan motivasi kepada para tenaga kependidikan dalam melakukan
berbagai tugas dan fungsinya.
Mulyasa, (2003: 121) mengemukakan beberapa prinsip yang dapat
diterapkan kepala sekolah untuk mendorong tenaga kependidikan agar mau dan
mampu meningkatkan profesionalismenya. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
1) Para tenaga kependidikan akan bekerja lebih giat apabila kegiatan yang
dilakukan menarik, dan menyenangkan.
2) Tujuan kegiatan perlu disusun dengan jelas dan diinformasikan kepada
para tenaga kependidikan, sehingga mereka mengetahui tujuan dia
bekerja para tenaga kependidikan juga dapat dilibatkan dalam
penyusunan tujuan tersebut.
3) Para tenaga kependidikan harus selalu diberi tahu tentang hasil dari
setiap pekerjaannya.

4) Pemberian hadiah lebih baik dari pada hukuman, namun sewaktu-waktu


hukuman juga diperlukan.
5) Usahakan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kependidikan dengan
jalan memperhatikan kondisi fisiknya, memberikan rasa aman,
menunjukan bahwa kepala sekolah memperhatikan mereka, mengatur
pengalaman sedemikian rupa sehingga pegawai pernah memperoleh
kepuasan dan penghargaan.
Dari uraian di atas jelas bahwa kepala sekolah harus mampu memberikan
pelayanan yang optimal yang dapat mendorong kepada tenaga kependidikan agar
mereka dapat meningkatkan profesionalismenya. Dengan demikian kepala
sekolah harus lebih dulu selalu berusaha meningkatkan profesionalismenya.
2.
Kompetensi Kepala Sekolah
Berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13
Tahun 2007 tentang Kompetensi Kepala Sekolah, setiap kepala sekolah harus
memenuhi lima aspek kompetensi, yaitu kepribadian, sosial, manajerial, supervisi,
dan kewirausahaan.
a. Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian kepala sekolah dapat dilihat dari kepribadian kepala
sekolah menyangkut ahlak yang mulia, mengembangkan budaya dan tradisi ahlak
mulia, menjadi teladan bagi komunitas disekolah, memiliki integritas kepribadian
sebagai pemimpin, memiliki keinginan yang kuat dalam dalam mengembangkan
diri sebagai kepala sekolah, bersikap terbukadalam melaksanakan tugas pokok
dan fungsi , mengendalikan diri dalam menghadapi masalah dalam pekerjaan
sebagai kepala sekolah serta memiliki bakat dan minat jabatan sebagai pemimpin
pendidikan.
b. Kompetensi Manajerial
Kompetensi manajerial kepala sekolah dapat dilihat dari kemampuanya
menyusun perencanaan sekolah untuk berbagai tingkatan perencanaan:,
menguasai teori perencanaan dan seluruh kebijakan pendidikan nasional sebagai
landasan dalam perencanaan sekolah, baik perencanaan strategis, perencanaan
orpariosanal, perencanaan tahunan, maupun rencana angaran pendapatan dan
belanja sekolah, mampu mengembangkan organisasi sekolah sesuai dengan
kebutuhan, memimpin guru dan staf dalam rangka pendayagunaan sumber daya

10

manusia secara optimal, mengelola guru dan staf dalam rangka pendayagunaan
sumber daya manusia secara optimal, mengelola sarana dan prasarana sekolah
dalam rangka pendayagunaan secara optimal, mengelola hubungan sekolah
masyarakat dalam rangka pencarian dukungan ide, sumber belajar, dan
pembiayaan sekolah, mengelola kesiswaan, terutama dalam rangka penerimaan
siswa baru, penempatan siswa, dan pengembangan kapasitas siswa, mengelola
pengembangan kurikulum dan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan arah dan
tujuan pendidikan nasional, mengelola keuangan sekolah sesuai dengan prinsip
pengelolaan yang akuntabel, transparan, dan efisien, mengelola ketatausahaan
sekolah dalam mendukung kegiatan-kegiatan sekolah, mengelola unit layanan
khusus sekolah dalam mendukung kegiatan pembelajaran dan kegiatan kesiswaan
di sekolah, menerapkan prinsip-prinsip kewirausahaan dalam menciptakan inovasi
yang berguna bagi pengembangan sekolah, menciptakan budaya dan iklim kerja
yang kondusif bagi pembelajaran siswa, mengelola sistem informasi sekolah
dalam mendukung penyusunan program dan pengambilan keputusan, Terampil
dalam

memanfaatkan

kemajuan

teknologi

informasi

bagi

peningkatan

pembelajaran dan manajemen sekolah, Terampil mengelola kegiatan produksi/jasa


dalam mendukung sumber pembiayaan sekolah dan sebagai sumber belajar
sisiwa, melaksana-kan pengawasan terhadap pelaksana-an kegiatan sekolah sesuai
standar pengawasan yang berlaku:
c.

Kompetensi Supervisi
Kompetensi supervise kepala sekolah dapat dilihat dari beberapa indicator

kemampuan antara lain; Mampu melakukan supervisi sesuai prosedur dan teknikteknik yang tepat, mampu melakukan monitoring, evaluasi dan pelaporan program
pendidikan sesuai dengan prosedur yang tepat.
d.

Kompetensi Sosial
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk individu sekaligus social, dari

sejak lahir, dari sejak lahir hingga meninggal manusia perlu dibantu atau
kerjasama dengan manusia lain, Segala kebahagiaan yang dirasakan manusia
adalah berkat bantuan dan kerjasama dengan manusia lain. Seiring pemikiran itu
kepala sekolah dituntut memiliki kompetensi social dalam menjalankan tugasnya,

11

kompetensi social kepala sekolah meliputi; terampil bekerja sama dengan orang
lain berdasarkan prinsip yang saling menguntungkan dan memberi manfaat bagi
sekolah: mampu berpartisipasi dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, memiliki
kepekaan sosial terhadap orang atau kelompok lain.
e.

Kompetensi Kewirausahaan
Kepala sekolah wajib memiliki kompetensi kewirahusahaan, kewirausahaan

tersebut dalam makna untuk kepentingan pendidikan yang bersifat social bukan
untuk kepantingan komersial. Kewirausahaan dalam bidang pendidikan yang
diambilnya adalah karakteristik (sifat), seperti inovatif,bekerja keras, motivasi
yang kuat, pantang menyerah dan selalu mencari solusiterbaik dan memiliki naluri
kewirausahaan, dalam mengembangkan dan mencapai tujuan sekolah.
Kompetensi kewirausahaan kepala sekolah dapat dilihat dari kemampuan
kepala sekolah dalam menciptakan inovasi yang berguna bagi pengembangan
sekolah, bekerja kerasuntuk mencapai keberhasilan sekolah sebagai organisasi
pembelajar yang efektif, memiliki motivasi yang kuat untuk sukses, pantang
menyerah dan selalu mencari solusi terbaik, dan memiliki naluri kewirausahaan
dalam mengelola potensi bisnis.
2.

Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah


Seorang pemimpin dapat melakukan berbagai cara dalam kegiatan

mempengaruhi atau memberi motivasi orang lain atau bawahan agar melakukan
tindakan-tindakan yang selalu terarah terhadap pencapaian tujuan organisasi. Cara
ini mencerminkan sikap dan pandangan pemimpin terhadap orang yang
dipimpinnya, dan merupakan gambaran gaya kepemimpinannya.
Kepala sekolah sebagai seseorang yang diberi tugas untuk memimpin
sekolah, bertanggung jawab atas tercapainya tujuan, peran, dan mutu pendidikan
di sekolah. Dengan demikian agar tujuan sekolah dapat tercapai, maka kepala
sekolah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya memerlukan suatu gaya dalam
memimpin, yang dikenal dengan gaya kepemimpinan kepala sekolah.
Menurut Purwanto, gaya kepemimpinan adalah suatu cara atau teknik
seseorang dalam menjalankan suatu kepemimpinan. Selanjutnya dikemukakan

12

bahwa gaya kepemimpinan dapat pula diartikan sebagai norma perilaku yang
digunakan seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku
orang lain seperti yang ia lihat. Dalam hal ini usaha menselaraskan persepsi
diantara orang yang akan mempengaruhi perilaku dengan yang akan dipengaruhi
menjadi amat penting kedudukannya.
Kepala sekolah dalam melakukan tugas kepemimpinannya mempunyai
karakteristik dan gaya kepemimpinan untuk mencapai tujuan yang diharapkannya.
Sebagai seorang pemimpin, kepala sekolah mempunyai sifat, kebiasaan,
temperamen,watak dan kebiasaan sendiri yang khas, sehingga dengan tingkah
laku dan gayanya sendiri yang membedakan dirinya dengan orang lain. Gaya atau
tipe hidupnya ini pasti akan mewarnai perilaku dan tipe kepemimpinannya.
Ada banyak teori gaya kepemimpinan yang bisa diterapkan kepala sekolah.
Bila ditelaah dari perkembangan teori, ada banyak teori kepemimpinan yang bisa
ditelaah untuk mengkaji masalah kepemimpinan.
Teori kepemimpinan yang pertama-tama dikembangkan adalah teori sifat
atau trait theory. Pada dasarnya teori sifat memandang bahwa keefektifan
kepemimpinan itu bertolak dari sifat-sifat atau karakter yang dimiliki seseorang.
Keberhasilan kepe-mimpinan itu sebagian besar ditentukan oleh sifat-sifat
kepribadian tertentu, misalnya harga diri, prakarsa, kecerdasan, kelancaran
berbahasa, kreatifitas termasuk ciri-ciri fisik yang dimiliki seseorang. Pemimpin
dikatakan efektif bila memiliki sifat-sifat kepribadian yang baik. Sebaliknya,
pemimpin dikatakan tidak efektif bila tidak menunjukkan sifat-sifat kepribadian
yang baik
Penelitian tentang kepemimpinan berdasarkan trait theory ini telah banyak
dilakukan. Stogdil membedakan tiga karakteristik yang menunjukkan pemimpin
yang efektif, yaitu (1) kepribadian, (2) kemampuan, dan (3) ketrampilan sosial
(Feldmon & Arnold, 1983). Pada perkembangan selanjutnya, oleh Bass dan
Stogdil, diklasifikasi menjadi dua, yaitu traits yang antara lain mencakup karakter
tegas, bekerja sama, berpengaruh, memiliki keyakinan diri, energik, dan
bertanggung jawab, dan skill yang antara lain mencakup pandai, kreatif, lancar

13

berbicara, memiliki kemampuan konseptual dan ketrampilan sosial. Dari sejumlah


traits tersebut, selanjutnya diklasifikasi menjadi lima dimensi besar, yaitu
surgence, agreeableness, conscientiousness, emotional stability, dan intellectance
(Lunenburg & Ornstein, 2000).
Berdasarkan beberapa hasil studi, ditemukan keterbatasan trait theory yakni
terlalu

menekankan

pada

karakter

personal

pemimpin.

Keberhasilan

kepemimpinan tidak semata-mata ditentukan oleh karakter personal, tetapi justru


banyak ditentukan dari apa yang dilakukan pemimpin. Keefektifan kepemimpinan
banyak tergantung pada perilaku yang diterapkan pemimpin dalam situasi
organisasi. Untuk itu, muncul teori-teori yang bertolak dari pendekatan perilaku
yang dikenal dengan istilah behavior theory.
Teori kepemimpinan berdasarkan pendekatan perilaku tersebut tidak
didasarkan pada sifat atau ciri-ciri kepribadian seseorang, tapi lebih cenderung
berdasarkan perilaku atau proses kepemimpinan yang ditunjukkan dalam
organisasi yang dipimpin. Kualitas kepemimpinan tidak dinilai dari karakter
personal, tapi lebih ditekankan pada fungsi, peranan, atau perilaku yang
ditampilkan dalam kelompok. Salah satu teori kepemimpinan yang dikembangkan
berdasarkan perilaku adalah teori kepemimpinan dua dimensi (two dimensional
theory).
Berdasarkan teori kepemimpinan dua dimensi, gaya kepemimpinan itu
mengacu pada dua sisi, yaitu sisi tugas atau hasil, dan sisi hubungan manusia atau
proses. Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas (task oriented) adalah
gaya kepemimpinan yang lebih menekankan pada tugas atau pencapaian hasil.
Gaya kepemimpinan ini ditandai dengan penekanan pada penyusunan rencana
kerja, penetapan pola, penetapan metode dan prosedur pencapaian tujuan.
Sedangkan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan manusia
(people oriented) adalah gaya kepemimpinan yang meneknakan pada hubungan
kemanusiaan dengan bawahan. Gaya kepemimpinan ini ditandai dengan

14

penekanan pada hubungan kesejawatan, saling mempercayai, saling menghargai,


dan kehangatan hubungan antar anggota (Owens, 1991).
Banyak ahli yang mengkaji teori kepemimpinan dua dimensi dengan istilah
yang berbeda-beda. Cartwright dan Zander menggunakan istilah pencapaian
tujuan (goal achievement), dan pertahanan kelompok (group maintenance).
Halpin dan Winner mengemukakan dengan istilah struktur inisiasi (initiating
structure) dan konsiderasi (consideration). Danil Cartz menyebut dengan istilah
orientasi pada produksi (production oriented) dan orientasi pada pekerja
(employee oriented). Likert menyebut dengan istilah berpusat pada tugas (job
centered) dan berpusat pada pekerja (employee centered). Blake dan Mouton
menggunakan istilah perhatian pada aspek hasil (concern for production) dan
perhatian pada aspek manusia (concern for people) (Owens, 1991).
Semua istilah dimensi kepemimpinan tersebut, oleh Hoy dan Miskel (1987)
diklasifikasi menjadi dua, yaitu perhatian pada organisasi (concern for
organization) dan perhatian pada hubungan individual (concern for individual
relationship). Ada beberapa ciri perilaku yang menunjukkan gaya kepemimpinan
yang berorientasi pada tugas dan hubungan manusia. David dan Sheasor
mengemukakan empat ciri, yaitu memberikan dukungan, menjalin interaksi,
merancang tugas-tugas dan menetapkan tujuan (Hoy dan Miskel, 1987). Dua
komponen menunjukkan perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada tugas,
yaitu

merancang

tugas-tugas

dan

menetapkan

tujuan.

Dua

komponen

menunjukkan perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan manusia,


yaitu memberikan dukungan dan menjalin interaksi. Di sisi lain, Halpin
mengemukakan delapan komponen. Empat komponen menunjukkan perilaku
kepemimpinan yang berorientasi pada tugas, yaitu menetapkan peranan,
menetapkan prosedur kerja, melakukan komunikasi satu arah, dan mencapai
tujuan organisasi. Empat komponen menunjukkan perilaku yang berorientasi pada
hubungan manusia, yaitu menjalin hubungan akrab, menghargai anggota, bersikap
hangat dan menaruh kepercayaan kepada anggota (Hoy dan Miskel, 1987).

15

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat digaris bawahi karakteristik


perilaku gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas adalah melakukan
komunikasi satu arah, menyusun rencana kerja, merancang tugas-tugas,
menetapkan prosedur kerja, dan menekankan pencapaian tujuan organisasi.
Sedangkan karakteristik perilaku gaya kepemimpinan yang berorientasi pada
hubungan manusia adalah menjalin hubungan yang akrap, menghargai anggota,
bersikap hangat, dan menaruh kepercayaan kepada anggota.
Berdasarkan dua orientasi kepemimpinan tersebut, selanjutnya gaya
kepemimpinan bisa diklasifikasi menjadi empat, yaitu: (1) task oriented
leadership, yakni gaya kepemimpinan yang berorientasi tinggi pada tugas, dan
rendah pada hubungan manusia, (2) relationship oriented leadership, yakni gaya
kepemimpinan yang berorientasi tinggi pada hubungan manusia, tetapi rendah
pada tugas, (3) integrated leadership, yakni gaya kepemimpinan yang
beroirientasi tinggi pada tugas dan hubungan manusia, dan (4) impoverished
leadership, yakni gaya kepemimpinan yang berorientasi rendah pada tugas dan
hubungan manusia (Rossow, 1990). .Pada perkembangan selanjutnya, diketahui
bahwa tidak setiap organisasi bisa digunakan pendekatan kepemimpinan yang
sama. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa orientasi kepemimpinan
yang menekankan pada orang cenderung lebih efektif. Beberapa penelitian lain
menunjukkan bahwa orientasi kepemimpinan yang menekankan pada tugas justru
lebih efektif (Feldmon & Arnold, 1983; Hoy & Miskel, 1987; Gorton, 1991). Hal
ini disebabkan oleh karakteristik organisasi yang berbeda.
Berdasarkan

landasan

tersebut,

lalu

dikembangkan

pendekatan

kepemimpinan baru yang dikenal dengan pendekatan kepemimpinan situasional.


Kepemimpinan yang efektif adalah kepemimpinan yang bisa menyesuaikan
dengan kondisi dan situasi organisasi. Beberapa komponen yang perlu
dipertimbangkan adalah keadaan bawahan, tuntutan pekerjaan, dan lingkungan
organisasi itu sendiri (Newell, 1978).

16

Menurut Drs. Jimmy L. Gaol, dalam bukunya Materi Pokok Manajemen


Kepegawaian membagi gaya kepemimpinan sebgaiberikut:
1) Gaya Kharismatis
2) Gaya Paternalistis dan Maternalistis
3) Gaya Militeristis
4) Gaya Otokratis
5) Gaya Laissez Faire
6) Gaya Populistis
7) Gaya Administratif
8) Gaya demokratis
Gaya pemimpin kharismatis ini memiliki daya tarik dan pembawaan yang
luar biasa, sehingga ia mempunyai pengikut yang jumlahnya sangat besar. Dia
dianggap mempunyai kekuatan ghaib dan kemampuan-kemampuan yang super
human, yang diperolehnya dari kekuatan yang Maha Kuasa. Totalitas kepribadian
pemimpin itu memancarkan mengaruh daya tarik yang teramat besar. Ciri-ciri
Pemimpin Kharismatik. Berdasarkan buku Gelagat Organisasi oleh Stephan P.
Robbin ( 2000 ), ciri-ciri Pemimpin Karismatik adalah seperti berikut:

1) Yakin diri ; Mereka mempunyai keyakinan diri yang sepenuhnya terhadap


penilaian yang dibuat serta keupayaan diri mereka sendiri.
2) Satu Visi : Mereka komited kepada visi dan sanggup mengambil risiko
demi mencapai visi tersebut. Ini merupakan satu objektif yang ideal yang
bertujuan untuk memperbaiki keadaan di masa hadapan berbanding
keadaan semasa.
3) Keupayaan untuk menyampai visi tersebut: Mereka boleh menjelaskan
serta menyampaikan visi mereka dalam bentuk yang mudah difahami oleh
orang lain. Kaedah penyampaian ini menunjukkan bahawa pemimpin
tersebut sedar akan keperluan para pekerja. Ini boleh dijadikan suatu
faktor motivasi.
4) Penegasan terhadap visi tersebut : Para pemimpin berkarisma dianggap
sangat komited, sanggup menghadapi risiko diri yang tinggi, sanggup

17

membelanjakan kos yang tinggi serta melakukan pelbagai pengorbanan


untuk mencapai visi tersebut.
5) Gelagat luar biasa: Mereka yang berkarisma mempunyai gelagat yang
dianggap oleh orang ramai sebagai sesuatu yang baru, tidak konvensional,
serta menentang kebiasaan. Bila pemimpin-pemimpin tersebut telah
mengecapi kejayaan, kelakuan tersebut akan menimbulkan kejutan dan
seterusnya dipuji oleh para pengikutnya.
6) Dianggap sebagai agen perubahan: Para pemimpin yang berkarisma
dianggap sebagai agen perubahan radikal dan bukannya penjaga status
quo semata-mata.
7) Sensitif terhadap persekitaran: Para pemimpin ini berupaya melakukan
penilian realistik berkenaan konstrain persekitaran dan sumber-sumber
yang diperlukan untuk melakukan perubahan tersebut.
8) Menyelesaikan masalah secara luar norma ( tidak konvensional ).
Pemimpin Karismatik menyelesaikan masalah tidak mengikut norma tetap
masih berkesan.
Gaya Paternalistis, Gaya kepemimpinan yang kebapakan, dengan sifat-sifat
antara lain sebagai berikut: Dia menganggap bawahannya sebagai manusia yang
tidak atau belum dewasa
1) Dia bersikap terlalu melindungi
2) Jarang dia memberi kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil
keputusan sendiri
3) Dia hampir tidak pernah memberikan kesempatan kepada bawahannya
untuk berinisiatif
4) Dia tidak memberikan atau hampir tidak pernah memberikan kesempatan
kepada bawahannya untuk mengembagkan fantasinya
5) Selalu bersikap maha tahu dan maha besar
Gaya kepemimpinan yang maternalistis juga mirip dengan gaya yang
paternalistis, hanya dengan perbedaan, adanya sikap over protective atau terlalu
melindungi yang lebih menonjol dan disertai kasih sayang yang berlebih-lebihan.

18

Gaya Militeristis, gaya kepemimpinan ini berbeda sekali dengan seorang


pemimpin militer (seorang tokoh militer). Adapun sifat-sifat pemimpin yang
militeristis antara lain:
1) Lebih banyak menggunakan sistem perintah atau komando terhadap
bawahannya
2) Menghendaki kepatuhan mutlak dari bawahannya
3) Menyenangi formalitas dan upacara-upacara ritual yang berlebih-lebihan
4) Menurut adanya disiplin kerasdan kaku dari bawahannya
5) Tidak menghendaki saran-saran dan kritikan-kritikan dari bawahannya
6) Komunikasi hanya berlangsung searah saja
Gaya Otokratis, berasal dari perkataan autos berarti sendiri dan kratos berarti
kekuasaan, kekuatan. Jadi otokrat berarti penguasa absolut. Kepemimpinan
otokratis itu mendasarkan diri pada kekuasaan lain dan paksaan yang selalu harus
dipatuhi. Pimpinannya selalu berperan sebagai pemain tunggal atau one man
show. Setiap perintah dan kebijakan ditetapkan tanpa berkonsultasi dengan
bawahannya dantidak pernah memberikan informasi mendetail mengenai rencana
dan tindakan yang harus dilakukan. Semua pujian dan kritikan terhadap segenap
bawahannya diberikan atas pertimbangan pemimpin sendiri. Cirri dari tipe
kepemimpinan ini adalah :
1) Menganggap bahwa organisasi adalah milik pribadi
2) Mengandalkan kepada kekuatan / kekuasaan
3) Menganggap dirinya paling berkuasa
4) Jauh dari para bawahan.
5) Mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi.
6) Menganggap bahwa bawahan adalah sebagai alatsemata-mata.
7) Tidak mau menerima kritik, saran dan pendapat dari orang lain karena dia
menganggap dialah yang paling benar.
8) Selalu bergantung pada kekuasaan formal
9) Dalam menggerakkan bawahan mempergunakan pendekatan (Approach)
yang mengandung unsur paksaan dan ancaman.
10) Keras dalam mempertahankan prinsip.

19

Dari sifat-sifat yang dimiliki oleh tipe kepemimpin otokritas tersebut diatas
dapat diketahui bahwa tipe ini tidak menghargai hak-hak dari manusia, karena tipe
ini tidak dapat dipakai dalam organisasi modern.
Gaya Laissez Faire ,Pada gaya kepemimpinan laissez faire ini pada
hakekatnya bukanlah seorang pemimpin dalam pengertian yang sebenarnya.
Karena semua pekerjaan dan tanggung jawab diserahkan kepada bawahannya
tanpa terkontrol, tanpa disiplin dan masing-masing bekerja sendiri dengan irama
dan tempatnya masing-masing mau menang sendiri. Dia tidak mempunyai
kewibawaan dan tidak bisa mengontrol anak buahnya dalam melaksanakan
koordinasi kerja, dan tidak berdaya sama untuk menciptakan suasan kerja yang
kooperatif, sehingga organisasi yang dipimpinnya menjadikacau balau atau kocarkacir.
Gaya Populistis, Professor Peter Worsley dalam bukunya The Third World
mendefinisikan kepemimpinan populistis sebagai kepemimpinan yang dapat
membangunkan solidaritas rakyat dan sikap yang berhati-hati terhadap
penindasan, penghisapan, dan penguasaan kekuatan-kekuatan asing (luar negeri).
Kepemimpinan ini berpegang teguh pada nilai-nilai masyarakat yang tradisional,
lebih banyak dan kurang mempercayai batuan serta dukungan kekuatan-kekuatan
luar negeri (asing)
.Gaya

Administratif,

kepemimpinan

gaya

administratif

ialah

kepemimpinan yang mampu menyelenggarakan administrasi yang efektif.


Sedangkan para pemimpinnya terdiri dari pribadi-pribadi yang mampu
menggerakkan dinamika modernisasi dan pembangunan. Dengan demikian dapat
dibangun sistem administrasi dan birokrasi yang efisien untuk memerintah, untuk
menetapkan integritas bangsa pada khususnya dan usaha-usaha pembangunan
pada umumnya. Dengan kepemimpinan administratif ini diharapkan adanya
perkembangan teknis yaitu teknologi, industri dan manajemen modern dari
perkembangan sosial di tengah masyarakat. Perilaku kepemimpinan ini
menunjukkan ciri ciri (karakteristik) sebagai berikut :
1) Bekerja dengan asumsi bahwa oraang lain dapat bekerja, saama abaiknya
dengan dirinya. Oleh karena itu setiap orang yang memiliki dan

20

memperlihatkan potensi sesuai dengan bidangnya perlu diberikan


kesempatan memimpin
2) Cenderung mementingkan kualitas dalam melaksanakan tugas, karena
mempersyaratkan standar yang tinggi pada hasil yang hendak dicapai.
Kualitas kemampuan dan hasilnya lebih diutamakan dari pada aspek
aspek lainnya dalam berkerja
3) Berdisiplin dalam melaksanakan tugas tugas, sehingga dapat
meyakinkan dan bahkan disegani oleh orang orang yang dipimpin.
Disiplin dipandang sebagai penunjang utama terhadap kualitas kerja dan
hasilnya.
4) Berusaha menunjukkan partisipasi aktif orang orang yang dipimpin
dengan kemampuan yang memberikan motivasi yang memadukan
kepentingan individu dengan kepentingan bersama/organisasi.
5) Memiliki semangat, moral, loyalitas dan dedikasi kerja yang tinggi,
sehingga menjadi teladan bagi orang orang yang dipimpinnya.
6) Mampu menunjukkan kesediaan berkerja keras, tanpa menekan dan
memaksa orang orang yang dipimpinnya. Kesediaan berkerja keras itu
tumbuh berdasarkan kesadaran dan dilakukan secara ikhlas dan sukarela.
Pemimpin memandang orang oraang yang dipimpinnya sebagai temaan
aatau partner kerja, dan bukan sebagai bawahan atau anak buah, sehingga
sama sama harus mampu berkerja keras untuak mencapai tujuan
organisasinya.
7) Mampu menumbuhhkan rasa aman, karena dalam menunjukkan hubungan
manusiawi yang efektif memperlakukan orang lain sebagai orang dewasa
yang matang dan bertanggung jawab. Perlakuan seperti itu tidak berbeda
dalam menghadapi anggota lama maupun anggota baru.
8) Efisien dan efektif dalam berkerja. Oleh karena itu cenderug memiliki
dorongan yang besar untuk memberikan latihan latihan agar setiap orang
mempunyai peluang untuk mempunyai peluang untuk mampu pula
berkerja vsecara efektif dan efisien.
9) Mempunyai perhatian yang positif dalam menyelesaikan konflik konflik
yang timbul. Konflik dipandang sebagai kejadian yang wajar dalam
bergaul dan bekerja, karena manusia memang berbeda kepentingannya.
Konflik harus diselesaikan agar kerja sama dapat diwujudkan dan

21

dikembangkan secara maksimal. Dalam menyelesaikan konflik dan


perselisihan, selalu berlaku obyektif dan tidak memihak atau tidak senang
menekan salah satu pihak. Oleh karena itu pemimpin juga memilii
kemampuan yang positif dalam menyelesaikan dan mempertemukan
perbedaan pendapat. Kemampuan itu merupakan dukungan yang positif
terhadap kemampuan menetapkan keputusan pada waktu yang tepat, cepat
dan bermutu.
10) Terbuka terhadap kritik dan saran saran, untuk memperbaiki kekeliruan
dan kesalahan kesalahan dalam melaksanakan kepemimpinan.
11) Mampu memisahkan masalah masalah yang perlu dan tidak peerlu di
dalam musyawarah atau rapat rapat. Dengan demikian mampu pula
memisahkan kegiatan kegiatan sesuai dengan prioritas sangat penting,
penting, dan kurang/tidak penting.
Gaya Demokratis, kepemimpinan demokratis memberikan bimbingan yang
efsien kepada para bawahannya. Terdapat koordinasi pekerjaan dari semua
bawahan, bersedia mengakui keahlian para spesialis dalam bidangnya masingmasing dan mampu memanfaatkan bawahannya seefektif mungkin pada saat-saat
dan kondisi yang tepat. Dengan demikian pemimpin demokratis bisa berfungsi
sebagai katalisator untuk mempercepat dinamisme dan kerja sama demi mencapai
tujuan-tujuan daripada organisasi dengan cara yang paling cocok dengan jiwa dan
situasinya. Gaya kepemimpinan demokratis berciri:
1) Wewenang pimpinan tidak mutlak. Yaitu keputusan pimpinan bisa
dipengaruhi oleh masukan dari bawahan, bukan sebagai bentuk
interferensi, dalam hal ini lebih ditekankan dari asas musyawarah
2) Pimpinan

melimpahkan

sebagian

wewenang

kepada

bawahan

Tidak semua keputusan bergantung pada pimpinan semata. Bawahan


memiliki wewenang untuk membuat keputusan, namun masih berada
dalam batas sewajarnya
3) Keputusan dibuat bersama antara pimpinan dan bawahan, setiap keputusan
yang diambil tidak hanya berasal dari pimpinan mutlak, namun telah
dimusyawarahkan terlebih dahulu bersama bawahannya.
4) Kebijakan dibuat bersama antara pimpinan dan bawahan

22

5) Komunikasi berlangsung timbal balik, komunikasi antara pimpinan dan


bawahan berlangsung dengan baik, tanpa adanya rasa takut atau canggung
karena jabatan
6) Pengawasan dilakukan secara wajar, pemimpin tidak melakukan
pengawasan kegiatan secara over atau over protective, sehingga tidak ada
tekanan pada bawahan saat melakukan kegiatannya, bawahan pun
menjunjung tinggi kepercayaan yang diberikan atasannya
7) Prakarsa datang dari pimpinan maupun bawahan, pemrakarsa dari suatu
kegiatan yang bermanfaat bagi organisasi tersebut tidak hanya berasal dari
pimpinan, bawahan pun diberikan hak yang seluas-luasnya untuk
memprakarsai sesuatu yang berdampak positif bagi organisasi tersebut.
8) Banyak kesempatan bagi bawahan untuk mengeluarkan pendapat
Bawahan bebas untuk berpendapat sesuai dengan asas demokrasi.
9) Tugas diberikan bersifat permintaan, tugas yang diberikan pimpinan bisa
berasal dari permintaan bawahan yang tentunya berdampak positif bagi
organisasi tersebut.
10) Pujian dan kritik seimbang, pimpinan dan bawahan tidak selalu saling
memuji atau mengkritik, kedua-duanya berjalan seimbang sesuai dengan
kebutuhan organisasi tersebut.
11) Pimpinan mendorong prestasi bawahan
12) Kesetiaan bawahan secara wajar, bawahan tidak bersifat sebagai budak
yang selalu manut pada atasannya, namun bawahan tetap memiliki rasa
hormat yang tinggi pada atasannya.
13) Memperhatikan perasaan bawahan, pemimpin bersikap mengayomi
kepada bawahan, sehingga pemimpin mengerti apa masalah yang ada pada
bawahan, sehingga pemimpin bisa mengambil kebijakan dengan segera
14) Suasana saling percaya, menghormati dan menghargai, suasana yang
selalu harmonis dalam lingkungan organisasi
15) Tanggung jawab dipikul bersama, kelebihan yang paling utama, yaitu
saling yaitu saling bekerja sama dalam mencapai tujuan organisasi.

23

Selanjutnya ada banyak teori kepemimpinan yang mempertimbangkan faktor


situasi organisasi. Beberapa teori yang cukup dominan, antara lain sistem
manajemen yang dikembangkan Likert, teori kepemimpinan tiga dimensi yang
dikembangkan Reddin, teori kepemimpinan kontingensi yang dikembangkan
Fiedler, teori kontingensi normatif yang dikembangkan oleh Vroom dan Yetton,
teori substitutes yang dikembangkan oleh Kerr dan Jermier, teori path goal yang
dikembangkan House, dan teori kepemimpinan situasional yang dikembangkan
oleh Hersey dan Blanchard (Owens, 1981; Hoy & Miskel, 2005).
Hersey Blanchard menyatakan studi-studi empirik cenderung menunjukkan
bahwa tidak ada gaya kepemimpinan normative atau terbaik. Pemimpin yang
efektif mengadaptasi perilaku mereka untuk memenuhi kebutuhan pengikut
mereka dan lingkungan. Apabila para pengikut mereka berbeda, maka mereka
harus diperlakukan secara berbeda pula. Oleh karena itu, efektivitas bergantung
pada pemimpin, pengikut, dan variable situasi lainnya : E = f (p, p, s). dengan
demikian setiap orang yang berkepentingan atas keberhasilannya sendiri sebagai
seorang pemimpin, maka ia harus mencurhkan pikiran serius terhadap
pertimbangan-pertimbangan perilaku dan lingkungan ini. (Hersey : 1995 h:123).
Paragraf ini akan menjelaskan apa yang dimaksud situasi di atas. Dalam membagi
gaya kepemimpinan Hersey dan Blanchard membagi gaya kepemimpinan ke
dalam empat gaya.
Berdasarkan tingkat kematangannya menurut Hersey and Blanchard ada 4
jenis karyawan, yaitu : (1) karyawan tidak mampu dan tidak mau; (2) karyawan
yang tidak mampu tapi mau; (3) karyawan yang mampu tetapi tidak mampu; (4)
karyawan yang mampu dan mau Ada empat kematangan karyawan, yaitu:
(a) Mengarahkan (telling)
Gaya kepemimpinan yang mengarahkan, merupakan respon kepemimpinan
yang perlu dilakukan oleh manajer pada kondisi karyawan lemah dalam
kemampuan, minat dan komitmennya. Sementara itu, organisasi menghendaki
penyelesaian tugas-tugas yang tinggi. Dalam situasi seperti ini Hersey and
Blanchard menyarankan agar manajer memainkan peran directive yang tinggi,

24

memberi saran bagaimana menyelesaikan tugas-tugas itu, tanpa mengurangi


intensitas hubungan sosial dan komunikasi antara pimpinan dan bawahan.
(b) Menjual (selling)
Pada kondisi karyawan menghadapi kesulitan menyelesaikan tugas-tugas,
takut untuk mencoba melakukannya, manager juga harus memposisikan struktur
tugas dengan tanggungjawab karyawan. Selain itu, manajer harus menemukan
hal-hal yang menyebabkan karyawan tidak termotivasi, serta masalah-masalah
yang dihadapi karyawan. Pada kondisi karyawan sudah mulai mampu
mengerjakan tugas-tugas dengan baik, akan memicu perasaan timbulnya over
confident. Kondisi ini, memungkinkan karyawan menghadapi permasalahan baru
yang muncul. Masalah-masalah baru yang muncul tersebut, seringkali
menjadikannya putus asa. Oleh karena itu, setelah memberikan pengarahan,
manajer harus memerankan gaya menjual. Dengan mengajukan beberapa
alternatif pemecahan masalah.
(c) Menggalang partisipasi (participation)
Gaya kepemimpinan partisipasi, adalah respon manajer yang harus
diperankan ketika tingkat kemampuan karyawan akan tetapi tidak memiliki
kemauan

untuk

melakukan

tanggungjawab,

karena

ketidakmauan

atau

ketidakyakinan mereka untuk melakukan tugas/tanggung jawab seringkali


disebabkan karena kurang keyakinan. Dalam kasus seperti ini pemimpin perlu
membuka komunikasi dua arah dan secara aktif mendengarkan mendukung usahausaha yang dilakukan para bawahan/pengikutnya.
(d) Mendelegasikan (delegating)
Selanjutnya, untuk tingkat karyawan dengan kemampuan dan kemauan yang
tinggi, maka gaya kepemimpinan yang sesuai adalah gaya delegasi. Dengan
gaya delegasi ini pimpinan sedikit memberi pengarahan maupun dukungan,
karena dianggap sudah mampu dan mau melaksanakan tugas/tanggung jawabnya.
Mereka diperkenankan untuk melaksanakan sendiri dan memutuskannya tentang

25

bagaimana, kapan dan dimana pekerjaan mereka harus dilaksanakan. Pada gaya
delegasi ini tidak terlalu diperlukan komunikasi dua arah.
Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan
adalah cara seorang pemimpin melakukan kegiatannya dalam membimbing,
mengarahkan an mempengaruhi para bawahnnya dalam rangka mencapai tujuan
tertentu Setiap pemimpin tentunya mempunyai gaya tersendiri, oleh karena itu,
seorang pemimpin harus paham betul dengan kondisi bawahanya atau yang
dipimpinnya agar mampu menerapkan gaya yang sesuai dengan apa yang
dipimpinnya dan akhirnya mampu membawa lembaganya ke arah yang lebih
maju.
Sebagaimana telah diuraikan di atas memang tidak mudah untuk menentukan
ciri-ciri dan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh pribadi seorang pemimpin dan tiap
pemimpin yang mempelajarinya memperoleh hasil pengamatan dan mempunyai
pendapat yang tidak sama. Menurut Dr. W. A. Gerungan dalam bukunya yang
berjudul Psikologi Sosial telah menyebut beberapa ciri-ciri yang dimiliki
kebanyakan pemimpin. Bahwa tiap-tiap pemimpin paling sedikit mempunyai tiga
macam ciri, yaitu:
1)

Pengamatan Sosial
Yaitu suatu kemampuan untuk melihat dan mengerti gejala-gejala yang
timbul dalam masyarakat atau penghidupan sehari-hari, khususnya
mengenai perasaan-perasaan, tingkah laku, keinginan-keinginan dan
kebutuhan-kebutuhan para anggota sesama kelompok.

2)

Kecakapan Berfikir Abstrak


Yaitu mempunyai otak yang amat cerdas, artinya memiliki intelejensi yang
tinggi, karena berfikir abstrak sebenarnya merupakan salah satu dari
intelejensi. Kecakapan berfikir abstrak dibutuhkan oleh seorang pemimpin
untuk melihat, menafsirkan dan menilai kegiatan-kegiatan yang dilakukan
di dalam kelompok dan keadaan umum di luar kelompok dalam
hubungannya degan apa yang menjadi tujuan kelompok. Dengan kata lain,

26

seorang pemimpin harus dapat melihat dan menganalisis gejala-gejala


yang timbul dalam masyarakat serta dapat memanfaatkannya untuk
mencapai tujuan kelompok.
3) Keseimbangan Emosi
Orang yang mudah naik darah, suka marah dan membuat keributan,
menandakan emosinya tidak mantap, tidak memiliki keseimbangan
emosional. Jangan memimpin orang lain, menenangkan diri saja tidak
mampu. Seorang pemimpin harus dapat menciptakan rasa tenang dan
aman kepada mereka yang dipimpin. Hal ini hanya mungkin dilakukan,
apabila ia sendiri bersikap tenang dan aman, karena memiliki
keseimbangan emosi.
Pada diri pemimpin haru sada kepribadian yang harmonis, jiwa yang mantap,
emosi yang stabil dan keinsyafan yang mendalam akan aspirasi, perasaan,
kebutuhan dan cita-cita para anggota kelompoknya. Kemantapan bukan berarti
jiwa yang statis dan beku, tetapi suatu keseimbangan yang dapat bergerak ke
mana-mana, dinamis, tetapi dinamika yang stabil. Dengan demikian, maka dapat
disimpulkan bahwa seorang pemimpin itu paling tidak harus mempunyai tiga ciri
tersebut dan memiliki wibawa serta memiliki kemampuan yang baik terhadap
semua lapisan yang dipimpin.

2.

a.

Kinerja Guru
Hakikat Kinerja Guru
Kinerja adalah hasil kerja dari seseorang atau kelornpok organisasi, yang

merupakan penampilan (performance) dari seseorang organisasi tertentu secara


keseluruhan. Fattah (1996:19) menyatakan bahwa Prestasi kerja atau
penampilan kerja (performance) diartikan sebagai ungkapan kemampuan yang
didasari oleh pengetahuan, sikap dan keterampilan dan motivasi dalam
menghasilkan sesuatu. Sedangkan, Prabu (2000:67) mengemukakan bahwa:
Pengertian kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan

27

kuantitas yang dicapai oleh seorang dalam melaksanakan tugasnya sesuai


dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Dari kedua pendapat tadi terlihat bahwa, kinerja menentukan ciri dan
kualitas seseorang atau organisasi, yang dapat menunjukkan keberhasilan atau
ketidakberhasilan orang atau organisasi tersebut. Dengan kata lain kinerja
merupakan penampilan (performance) yang harus selalu dijaga dan dipelihara,
sehingga menjadikan orang/organisasi dapat tampil secara memuaskan. Dengan
demikian penampilan (performance) memiliki arti yang sangat penting dalam
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu organisasi.
Dalam melakukan pekerjaannya seorang pegawai dipengaruhi oleh berbagai
faktor. Salah satu diantaranya seperti yang dikemukakan oleh Prabu (2000:67),
faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja adalah faktor kemauan (ability)
dan faktor motivasi (motivation).
a. Faktor kemampuan. Secara psikologis, kemampuan (ability) pegawai
terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan reality (knowledge
+ skill) artinya pegawai yang memeiliki IQ di atas rata-rata (IQ 110
sampai 120) dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan
terampil dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari, maka ia akan lebih
mudah mencapai kinerja yang diharapkan.
b. Faktor motivasi. Motivasi terbentuk dari sikap (attitude) seorang pegawai
dala menghadapi situasi (situation) kerja. Motivasi merupakan kondisi
yang menggerakan diri pegawai yang terarah untuk mencapai tujuan
organisasi (tujuan kerja).
Berhasil tidaknya seorang pegawai dalam melakukan pekerjaannya akan
terlihat dari kepuasan kerja pegawai itu sendiri. Untuk melihat hasil unjuk kerja
pegawai, pemimpin memerlukan informasi mengenai kepuasan kerja pegawai
untuk mengambil sebuah keputusan lebih lanjut.
Dengan memperhatikan pengertian kinerja yang merupakan penampilan
suatu organisasi serta model penampilan organisasi di atas, maka sekolah sebagai
suatu organisasi yang unik dan kompleks, juga memerlukan penampilan yang
khas, sehingga suasana dan hasil kerja sekolah tersebut dapat menggambarkan
keberhasilannya sesuai dengan tujuan pendidikan pada umumnya dan tujuan
sekolah tersebut pada khususnya.

28

Dalam kaitannya dengan tugas guru yang kesehariannya melaksanakan proses


pembelajaran di sekolah, hasil yang dicapai secara optimal dalam bentuk lancarnya
proses belajar siswa, dan berujung pada tingginya perolehan atau hasil belajar siswa,
semuanya merupakan cerminan kinerja seorang guru. Kinerja guru dalam
melaksanakan tugaskesehariannya tercermin pada peran dan fungsinya dalam proses
pembelajran di kelas atau di luar kelas, yaitu sebagai pendidik, pengajar,dan pelatih.
Dalam menjalankan peran dan fungsinya pada proses pembelajaran di kelas, kinerja
guru dapat terlihat pada kegiatannya merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi
proses pembelajaran yang intensitasnya dilandasi oleh sikap moral dan profesional
seorang guru.
Selanjutnya Byars & Rue dalam Yusrizal (2008: 45) mengemukakan kinerja
dapat dilihat dari hasil pekerjaan seseorang yang meliputi nilai kualitas dan nilai
kuantitas. Kualitas hasil pekerjaan mengacu pada kepuasan sebagai perwujudan
terpenuhinya harapan orang lain terhadap pekerjaan yang telah diselesaikan.
Berdasarkan pemaknaan ini, kinerja yang dilihat berdasarkan kualitas hasil kerja,
lebih lanjut dapat pula diberi arti sebagai efektivitas atau ketepatan kerja, sedangkan
kuantitas hasil pekerjaan jelas tergambar pada volume atau kapasitas pekerjaan yang
telah diselesaikan. Dengan demikian, dalam konteks kuantitas pekerjaan, kinerja
dapat diinterpretasikan sebagai produktivitas kerja.
Wujud atau bentuk kinerja guru tentu tidak sama dengan wujud atau bentuk
kinerja pegawai bank, pegawai administrasi pada sebuah instansi pemerintah,
pegawai pada instansi swasta, dan sebagainya. Secara substantif dapat ditegaskan
bahwa perbedaan pekerjaan dapat menyebabkan wujud kinerja berbeda. Namun
demikian, perbedaan wujud kinerja berdasarkan perbedaan pekerjaan tetap mengacu
pada satu konsep yang disebut ukuran kinerja. Artinya setiap profesi atau pekerjaan
tentu memiliki indikator atau ukuran kinerja masing-masing. Ukuran kinerja disebut
sebagai kriteria. Yang dimaksudkan sebagai alat untuk menggambarkan keberhasilan,
ukuran prediktif untuk menilai efektifitas individu dan organisasi. Berbagai kriteria
yang telah ditetapkan sebagai gambaran kerja dapat disatukan menjadi satu indek
kinerja tunggal, dapat pula masing-masing sebagai kriteria yang independen.
Tindakan pertama menghasilkan multiple criteria. Composit criteria menyatakan

29

apabila komponen-komponen kriteria independen satu dengan yang lain dalam


bentuk kompositnya, akan mengukur salah satu atau sebagian saja.
Uraian diatas menegaskan bahwa wujud kinerja antara satu profesi dengan
profesi lain sangat mungkin berbeda meskipun mengacu pada adanya indikator.
Wujud kinerja dalam konteks karakteristik individu mencakup didalamnya kompetisi
individu

meliputi,

antara

lain

kualifikasi

pendidikan,

pengalaman

dalam

melaksanakan tugas, pendidikan dan pelatihan yang pernah diikuti, kemampuan


komunikasi,dan sebagainya.sementara itu, wujud kinerja dalam bentuk proses
mencakup, antara lain; efektifitas pelaksanaan kegiatan, efisiensi pelaksanaan
kegiatan, dan sebagainya. Adapun wujud kinerja dalam bentuk hasil mencakup antara
lain; pencapaian hasil setelah mengikuti suatu proses yang dapat diketahui
berdasarkan perolehan nilai,peningkatan keterampilan dan kecakapan, dan unjuk
kerja yang dapat dilakukan.Kinerja guru di suatu sekolah akan meningkat apabila

iklim organisasi sekolah tersebut dapat memberikan dorongan semangat yang


tinggi, sehingga mereka tidak merasa dipaksa untuk bekerja melainkan bekerja
seolah-olah bahwa pekerjaannya adalah suatu hal biasa seperti mereka menikmati
hal-hal lain yang disenanginya.

b. Kompetensi Guru
Menurut Broke dan Stone dalam Mulyasa (2008: 25) mengemukakan bahwa
kompetensi guru sebagai .descriptive of qualitative nature of teacher behavior
appears to be entirely meaningful.. Kompetensi guru merupakan gambaran
kualitatif tentang hakekat perilaku guru yang penuh arti. Sementara Charles dalam
Mulyasa mengemukakan bahwa competency as rational performance which
satisfactorily meets the objective for a desired condition (kompetensi merupakan
suatu perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan yang dipercayakan sesuai
dengan kondisi yang diharapkan). Sedangkan dalam Undang-Undang Repubik
Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, dijelaskan bahwa :
Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang
harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan
tugas keprofesionalan.

30

Dalam Undang-Undang tersebut juga diungkapkan bahwa kompetesi guru


meliputi kepribadian, paedagogik, profesional, dan sosial. Sarimaya, Farida dalam
Yamin, Martinis dan Aisyah, (2010:8) menjelaskan keempat kompetensi guru
beserta sub-kompetensi dan indikator esensial, sebagai berikut

a.

Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian merupakan

kemampuan

personal

yang

mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan


berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.
Secara rinci sub kompetensi tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :
1) Sub-kompetensi kepribadian yang mantap dan stabil memiliki
indikator esensial; bertindak sesuai dengan norma hukum; bertindak
sesuai dengan norma sosial; bangga sebagai guru; dan memiliki
kompetensi dalam bertindak sesuai norma.

2) Sub kompetensi kepribadin yang dewasa memiliki indikator esensial;


menampilkan kemandirian dalam bertindak sebagai pendidik dan
memiliki etos kerja sebagai guru.
3) Sub-kompetensi kepribadian yang arif memiliki indikator esensial;
menampilkan tindakan yang didasarkan pada pemanfaatan peserta
didik, sekolah dan masyarakat serta menunjukkan keterbukaan dalam
berpikir dan bertindak.
4) Sub-kompetensi kepribadian yang berwibawa memiliki indikator
esensial; memiliki perilaku yang berpengaruh positif terhadap peserta
didik dan memiliki perilaku yang disegani.
5) Sub-kompetensi akhlak mulia dan dapat menjadi teladan memiliki
indikator esensial; bertindak sesuai norma religious (iman dan taqwa,
jujur dan ikhlas, suka menolong) dan memiliki perilaku yang
dieteladani peserta didik.
6) Sub-kompetensi evaluasi diri dan pengembangan diri memiliki
indicator esensial; memiliki kemampuan untuk berintrospeksi, dan

b.

mampu mengembangkan potensi diri secara optimal.


Kompetensi Paedagogik

31

Kompetensi paedagogik meliputi pemahaman terhadap pesrta didik,


perencanaan dan pelaksanaan pepbelajaran, evaluasi hasil belajar, dan
pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi
yang dimilikinya. Secara rinci setiap sub-kompetensi dijabarkan menjadi
indikator esensial sebagai berikut:

1) Sub-kompetensi memahami peserta didik secara mendalam memiki


indikator esensial; memahami peserta didik engan memamnfaatkan
prinsip-prinsip perkembangan kognitif; memahami peserta didik
dengan

memanfaatkan

prinsip-prinsip

kepribadian;

dan

mengidentifikasi bekal ajar awal peserta didik.


2) Merancang pembelajaran, termasuk memahami lamdasan endidikan
untuk kepentingan pembelajaran. Sub kompetensi ini memiliki
indikator esensial; memahami landasan kependidikan; menerapkan
teori belajar dan pembelajaran;menentukan strategi pembelajaran
berdasarkan karktetistik, kompetensi yang ingin dicapai dan materi
ajar; serta menyusun rancangan pembelajaran berdasarkan strategi
yang dipilih.
3) Sub-kompetensi melaksanakan pembelajaran memiliki indikator
esensial; menata latar (setting) pembelajaran; dan melaksanakan
pembelajaran yang kondusif.
4) Sub-kompetensi merancang dan melaksanakan evaluasi pembelajaran
memiliki indicator esensial; merancang dan melaksanakan evaluasi
(assessment) proses dan hasil belajar secara berkesinambungan
dengan berbagai metode; menganalisis hasil evaluasi dan hasil belajar
untuk menentukan tingkat ketuntasan belajar (mastery learning); dan
memanfaatkan hasil penilaian pembelajaran untuk perbaikan kualitas
program pemebelajaran secara umum.
5) Sub-kompetensi
mengembangkan

peserta

didik

untuk

mengaktulisasikan berbagai potensinya, memiliki indikator esensial;


memfasilitasi peserta didik untuk pengembangan berbagai potensi
akademik; dan memfasilitasi peserta didik untuk mengembangkan
berbagai potensi non akademik.

32

c. Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional merupakan penguasaan materi pembelajaran
secara luas dan mendalam, yang mencakup penguasaan materi
kurikulum mata pelajran di sekolah dan substansi keilmuan yang
menaungi materinya, serta penguasaan terhadap strukturdan metodologi
keilmuan. Setiap sub-kompetensi tersebut memiliki indikator esensial
sebagai berikut:

1) Sub-kompetensi menguasai substansi keilmuan yang terkait dengan


bidang studi memiliki indikator esensial; memahami materi ajar
yang ada dalam kurikulum sekolah; memahami stuktur, konsep, dan
metode keilmuan yang menaungi atau koheren dengan materi ajar;
memahami hubungan konsep antar mata pelajaran yang terkait; dan
menerapkan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari.
2) Sub-kompetensi menguasai struktur dan metode keilmuan memiliki
indikator esensial; menguasai langkah-langkah penelitian dan
kajian kritis untuk memperdalam pengetahuan/materi bidang studi

d.

secara professional dalam konteks global.


Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi dan
bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga
kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Kompetensi ini memiliki sub-kompetensi dengan indikator esensial
sebagai berikut:

1) Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta


didik. Sub-kompetensi ini memiliki indikator esensial; berkomunikasi
secara efektif dengan peserta didik.
2) Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan sesama
pendidik dan tenaga kependidikan.
3) Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan orang tua/
wali peserta didik dengan masyarakat sekitar.

33

c. Hubungan Kompetensi dengan Kinerja Guru


Palan dan kawan-kawan dalam Yamin, Martinis dan Aisyah, (2010:1)
mendefinisikan kompetensi sebagai karakteristik dasar seseorang yang memiliki
hubungan kausal dengan kriteria referensi efektivitas dan/atau keunggulan dalam
pekerjaan atau situasi tertentu.
Karakter dasar diartikan sebagai kepribadian seseorang yang cukup dalam
dan berlangsung lama, yaitu motif, karakteristik pribadi, konsep diri, dan nilainilai seseorang. Kriteria referensi berarti kompetensi dapat diukur berdasarkan
kriteria atau standar tertentu. Hubungan kausal, bahwa keberadaan kompetensi
memprediksi atau menyebabkan kinerja unggul. Kinerja unggul berarti tingkat
pencapaian dalam situasi kerja, sedangkan kinerja efektif adalah batas minimal
level hasil kerja yang diterima.
Atas dasar itu pula kompetensi memiliki lima jenis karakteristik yaitu :

1) Pengetahuan, merujuk pada informasi dan hasil pembelajaran ;


2) Keterampilan atau keahlian, merujuk pada kemampuan seseorang untuk
melakukan pembelajaran ;
3) Konsep diri dan nilai, merujuk pada sikap, nilai-nilai dan citra diri
seseorang ;
4) Karakteristik pribadi, merujuk pada karakteristik fisik dan konsistensi
tanggapan terhadap situasi atau informasi ;
5) Motif, merupakan emosi, hasrat, kebutuhan psikologis, atau dorongandorongan lain yang memicu tindakan.
Menurut Ashan dalam Mulyasa (2003:38) kompetensi juga dapat diartikan
sebagai pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dikuasai seseorang
telah menjadi bagian dari dirinya sehingga dia dapat melakukan perilaku-prilaku
kognitif, afektif, dan psikomotor dengan sebaik-baiknya. Sementara itu menurut
Finch dan Crunkilton dalam Mulyasa, kompetensi adalah penguasaan terhadap
suatu tugas, keterampilan sikap, dan apresiasi yang diperlukan untuk menunjang
keberhasilan.
McShane dan Glinow (2008:36) menjelaskan bahwa :
Competencies adalah keterampilan, pengetahuan, bakat, nilai-nilai,
pengarah, dan karakteristik pribadi lainnya yang mendorong ke arah

34

performansi unggul. lebih lanjut dijelaskan ability atau kemampuan


meliputi bakat alami (natural aptitudes) dan kemampuan yang dipelajari
yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kinerja diartikan
dengan performance yang didasari oleh kompetensi dengan karakteristik yang
telah diuraikan di atas. Performance itu sendiri diartikan sebagai ungkapan
kemampuan yang didasari oleh pengetahuan, sikap dan keterampilan dan
motivasi dalam menghasilkan sesuatu. Maka kinerja diartikan sebagai aplikasi
dari kompetensi.

d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Guru


Indra fachrudi (2000: 52) membagi faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja
kedalam dua kategori yakni:
Faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang berasal
dari dalam diri seseorang yang dapat mempengaruhi kinerja seseorang dalam
menjalankan pekerjaannya, antara lain; motivasi dan minat, bakat, watak,
sifat, usia, jenis kelamin, pendidikan, dan pengalaman , sedangkan faktor
eksternal yaitu faktor yang datang dari luar diri seseorang yang dapat
mempengaruhi kinerjanya, antara lain; lingkungan fisik, sarana dan
prasarana, imbalan, suasana, kebijakan dan sistem administrasi.
Untuk menjelaskan secara detail, maka perlu diuaraikan secara terpisah
berdasarkan teori dari para ahli, sebagai berikut:

1) Faktor Internal
Sebagaimana ditegaskan diatas bahwa faktor internal mencakup beberapa aspek.
Salah satu faktor internal yang dominan mempengaruhi kinerja pekerja termasuk guru
adalah motivasi. Motivasi disini dipahami secara luas termasuk minat guru walaupun
jelas kedua konsep ini memiliki arti tersendiri. Menurut Gomes dalam Johan Martono
(2003:177) menyatakan bahwa performansi kerja akan berkaitan dengan dua faktor
utama, yaitu kesediaan atau motivasi dari pegawai untuk bekerja,
yang menimbulkan usaha pegawai, dan kemampuan pegawai untuk melaksanakan
nya. Dengan demikian, tidak dapat disangkal bahwa motivasi merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi kinerja.

35

Menurut Siagian (2004: 138) motivasi adalah daya pendorong yang


mengakibatkan seorang anggota organisasi mau dan rela untuk mengerahkan
kemampuan dalam bentuk keahlian atau keterampilan, tenaga dan waktunya untuk
menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan
menunaikan kewajibannya dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran
organisasi yang telah ditentukan sebelumnya. Demikian pula Husaini Usman (2009:
250) menyatakan bahwa motivasi kerja dapat diartikan sebagai keinginan atau
kebutuhan yang melatarbelakangi seseorang sehingga ia terdorong untuk bekerja.
Motivasi mencakup upaya, pantang mundur, dan sasaran. Motivasi melibatkan
keinginan seseorang untuk menunjukkan kinerja.

Guru merupakan ujung tombak keberhasilan pendidikan dan dianggap


sebagai orang yang berperanan penting dalam pencapaian tujuan pendidikan yang
merupakan percerminan mutu pendidikan. Keberadaan guru dalam melaksanakan
tugas dan kewajibannya tidak lepas dari pengaruh faktor internal maupun faktor
eksternal yang membawa dampak pada perubahan kinerja guru. Beberapa faktor
yang mempengaruhi kinerja guru yang dapat diungkap tersebut antara lain :

1. Kepribadian dan dedikasi


Setiap guru memiliki pribadi masing-masing sesuai ciri-ciri pribadi yang
mereka miliki. Ciri-ciri inilah yang membedakan seorang guru dari guru lainnya.
Kepribadian sebenarnya adalah suatu masalah abstrak, yang hanya dapat dilihat
dari penampilan, tindakan, ucapan, cara berpakaian dan dalam menghadapi setiap
persoalan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Zakiah Darajat (dalam Djamarah
SB, 1994) bahwa kepribadian yang sesungguhnya adalah abstrak, sukar dilihat
atau diketahui secara nyata, yang dapat diketahui adalah penampilan atau
bekasnya dalam segala segi dan aspek kehidupan misalnya dalam tindakannya,
ucapan, caranya bergaul, berpakaian dan dalam menghadapi setiap persoalan atau
masalah, baik yang ringan maupun yang berat.
Kepribadian adalah keseluruhan dari individu yang terdiri dari unsur psikis
dan fisik, artinya seluruh sikap dan perbuatan seseorang merupakan suatu
gambaran dari kepribadian orang itu, dengan kata lain baik tidaknya citra

36

seseorang ditentukan oleh kepribadiannya. Lebih lanjut Zakiah Darajat (dalam


Djamarah SB, 1994) mengemukakan bahwa faktor terpenting bagi seorang guru
adalah kepribadiannya. Kepribadian inilah yang akan menentukan apakah ia
menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya ataukah akan
menjadi perusak atau penghancur bagi hari depan anak didik, terutama bagi anak
didik yang masih kecil dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa.
Kepribadian adalah suatu cerminan dari citra seorang guru dan akan
mempengaruhi interaksi antara guru dan anak didik. Oleh karena itu kepribadian
merupakan faktor yang menentukan tinggi rendahnya martabat guru. Kepribadian
guru akan tercermin dalam sikap dan perbuatannya dalam membina dan
membimbing anak didik. Semakin baik kepribadian guru, semakin baik
dedikasinya dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai guru, ini
berarti tercermin suatu dedikasi yang tinggi dari guru dalam melaksanakan tugas
dan fungsinya sebagai pendidik. Hal tersebut dipertegas oleh Drosat (1998) bahwa
salah satu dasar pembentukan kepribadian adalah sukses yang merupakan sebuah
hasil dari kepribadian, dari citra umum, dari sikap, dari keterampilan karena ini
semua melumasi proses interaksi-interaksi manusia
Kloges (dalam Suryabrata, 2001) mengemukakan bahwa ada tiga aspek
kepribadian yaitu : (1). Materi atau bahan yaitu semua kemampuan (daya)
pembawaan beserta talent-talentnya (keistimewaan-keistimewaan nya), (2).
Struktur yaitu sifat-sifat bentuknya atau sifat-sifat normalnya. (3). Kualitas atau
sifat yaitu sistem dorongan-dorongan. Sedangkan Menurut Freud (1950),
kepribadian terdiri tiga aspek yaitu :

2. Pengembangan Profesi
Profesi guru kian hari menjadi perhatian seiring dengan perubahan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi yang menuntut kesiapan agar tidak ketinggalan.
Menurut Pidarta (1999) bahwa Profesi ialah suatu jabatan atau pekerjaan biasa
seperti halnya dengan pekerjaan-pekerjaan lain. Tetapi pekerjaan itu harus
diterapkan kepada masyarakat untuk kepentingan masyarakat umum, bukan untuk
kepentingan individual, kelompok, atau golongan tertentu. Dalam melaksanakan

37

pekerjaan itu harus memenuhi norma-norma itu. Orang yang melakukan pekerjaan
profesi itu harus ahli, orang yang sudah memiliki daya pikir, ilmu dan
keterampilan yang tinggi. Disamping itu ia juga dituntut dapat mempertanggung
jawabkan segala tindakan dan hasil karyanya yang menyangkut profesi itu.
Lebih lanjut Pidarta (1997) mengemukakan ciri-ciri profesi sebagai berikut :
(1). Pilihan jabatan itu didasari oleh motivasi yang kuat dan merupakan panggilan
hidup orang bersangkutan, (2). Telah memiliki ilmu, pengetahuan, dan
keterampilan khusus, yang bersifat dinamis dan berkembang terus. (3). Ilmu
pengetahuan, dan keterampilan khusus tersebut di atas diperoleh melalui studi
dalam jangka waktu lama di perguruan tinggi. (4). Punya otonomi dalam
bertindak ketika melayani klien, (5). Mengabdi kepada masyarakat atau
berorientasi kepada layanan sosial, bukan untuk mendapatkan keuntungan
finansial. (6).Tidak mengadvertensikan keahlian-nya untuk mendapatkan klien.
(7). Menjadi anggota profesi. (8).Organisasi profesi tersebut menetukan
persyaratan penerimaan para anggota, membina profesi anggota, mengawasi
perilaku anggota, memberikan sanksi, dan memperjuangkan kesejahteraan
anggota.
Bila diperhatikan ciri-ciri profesi tersebut di atas nampaknya bahwa profesi
guru tidak mungkin dikenakan pada sembarang orang yang dipandang oleh
masyarakat umum sebagai pendidik. Pekerjaan profesi harus berorientasi pada
layanan sosial. Seorang profesional ialah orang yang melayani kebutuhan anggota
masyarakat baik secara perorangan maupun kelompok. Sebagai orang yang
memberikan pelayanan sudah tentu membutuhkan sikap rendah hati dan budi
halus. Sikap dan budi halus ini menjadi sarana bagi terjalinnya hubungan yang
baik yang ikut menentukan keberhasilan profesi.
Pengembangan profesi guru merupakan hal penting untuk diperhatikan guna
mengantisipasi perubahan dan beratnya tuntutan terhadap profesi guru.
Pengembangan profesionalisme guru menekankan kepada penguasaan ilmu
pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Maister
(1997) mengemukakan bahwa profesionalisme bukan sekadar memiliki

38

pengetahuan, teknologi dan manajemen tetapi memiliki keterampilan tinggi,


memiliki tingkah laku yang dipersyaratkan.
Pengembangan profesional guru harus memenuhi standar sebagaimana yang
dikemukakan Stiles dan Horsley (1998) bahwa ada empat standar pengembangan
profesi guru yaitu:

(1)

Standar pengembangan profesi A adalah pengembangan profesi

untuk para guru sains memerlukan pembelajaran isi sains yang diperlukan
melalui perspektif-perspektif dan metode-metode inquiri.;
Standar pengembangan profesi B adalah pengembangan profesi

(2)

untuk guru sains memerlukan pengintegrasian pengetahuan sains,


pembelajaran, pendidikan, dan siswa, juga menerapkan pengetahuan
tersebut ke pengajaran sains;
(3)
Standar pengembangan profesi C adalah pengembangan profesi
untuk para guru sains memerlukan pembentukan pemahaman dan
kemampuan untuk pembelajaran sepanjang masa.;
(4)
Standar pengembangan profesi D adalah program-program profesi
untuk guru sains harus koheren (berkaitan) dan terpadu.
Standar ini dimaksudkan untuk menangkal kecenderungan kesempatan
pengembangan profesi terfragmentasi dan tidak berkelanjutan. Apabila guru di
Indonesia telah memenuhi standar profesional guru sebagaimana yang berlaku di
Amerika Serikat maka kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia semakin baik.
Tuntutan memenuhi standar profesionalisme bagi guru sebagai wujud dari
keinginan menghasilkan guru-guru yang mampu membina peserta didik sesuai
dengan tuntutan masyarakat, disamping sebagai tuntutan yang harus dipenuhi
guru dalam meraih predikat guru yang profesional sebagai mana yang dijelaskan
dalam jurnal Educational Leadership (dalam Supriadi D. 1998) bahwa untuk
menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal yaitu: (1).
Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2). Guru
menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara
mengajarnya kepada siswa, (3). Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar
siswa melalui berbagai cara evaluasi, (4). Guru mampu berfikir sistematis tentang

39

apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, (5). Guru seyogyanya
merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.

3. Kemampuan Mengajar
Untuk

melaksanakan

tugas-tugas

dengan

baik,

guru

memerlukan

kemampuan. Cooper (dalam Zahera, 1997) mengemukakan bahwa guru harus


memiliki kemampuan merencanakan pengajaran, menuliskan tujuan pengajaran,
menyajikan bahan pelajaran, memberikan pertanyaan kepada siswa, mengajarkan
konsep, berkomunikasi dengan siswa, mengamati kelas, dan mengevaluasi hasil
belajar
Kompetensi guru adalah kemampuan atau kesanggupan guru dalam
mengelola pembelajaran. Titik tekannya adalah kemampuan guru dalam
pembelajaran bukanlah apa yang harus dipelajari (learning what to be learnt), guru
dituntut mampu menciptakan dan menggunakan keadaan positif untuk membawa
mereka ke dalam pembelajaran agar anak dapat mengembangkan kompetensinya
(Rusmini, 2003). Guru harus mampu menafsirkan dan mengembangkan isi
kurikulum yang digunakan selama ini pada suatu jenjang pendidikan yang
diberlakukan sama walaupun latar belakang sosial, ekonomi dan budaya yang
berbeda-beda (Nasanius Y, 1998).
Aspek-aspek teladan mental guru berdampak besar terhadap iklim belajar dan
pemikiran pelajar yang diciptakan guru. Guru harus memahami bahwa perasaan
dan sikap siswa akan terlibat dan berpengaruh kuat pada proses belajarnya. Agar
guru mampu berkompetensi harus memiliki jiwa inovatif, kreatif dan kapabel,
meninggalkan sikap konservatif, tidak bersifat defensif tetapi mampu membuat
anak lebih bersifat ofensif (Sutadipura, 1994).
Penguasaan seperangkat kompetensi yang meliputi kompetensi keterampilan
proses dan kompetensi penguasaan pengetahuan merupakan unsur yang
dikolaborasikan dalam bentuk satu kesatuan yang utuh dan membentuk struktur
kemampuan yang harus dimiliki seorang guru, sebab kompetensi merupakan
seperangkat kemampuan guru searah dengan kebutuhan pendidikan di sekolah,
tuntutan masyarakat, dan perkembang-an ilmu pengetahuan dan teknologi.

40

Kompetensi Keterampilan proses belajar mengajar adalah penguasaan


terhadap kemampuan yang berkaitan dengan proses pembelajaran. Kompetensi
dimaksud meliputi kemampuan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
pembelajaran, kemampuan dalam menganalisis, menyusun program perbaikan
dan pengayaan, serta menyusun program bimbingan dan konseling sedangkan
Kompetensi Penguasaan Pengetahuan adalah penguasaan terhadap kemampuan
yang berkaitan dengan keluasan dan kedalaman pengetahuan. Kompetensi
dimaksud meliputi pemahaman terhadap wawasan pendidikan, pengembangan diri
dan profesi, pengembangan potensi peserta didik, dan penguasaan akademik
(Rusmini, 2003).

4. Antar Hubungan dan Komunikasi


Komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia, manusia dapat saling
berhubungan satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari dirumah tangga, di
tempat kerja, di pasar, dalam masyarakat atau dimana saja manusia berada. Tidak
ada manusia yang tidak akan terlibat komunikasi.
Pentingnya komunikasi bagi organisasi tidak dapat dipungkiri, adanya
komunikasi yang baik suatu organisasi dapat berjalan dengan lancar dan berhasil
dan begitu pula sebaliknya. Misalnya Kepala Sekolah tidak menginformasikan
kepada guru-guru mengenai kapan sekolah dimulai sesudah libur maka besar
kemungkinan guru tidak akan datang mengajar. Contoh di atas menandakan
betapa pentingnya komunikasi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Muhammad
A. (2001) bahwa kelupaan informasi dapat memberikan efek yang lebih besar
terhadap kelangsungan kegiatan.
Komunikasi yang efektif adalah penting bagi semua organisasi oleh karena
itu para pemimpin organisasi dan para komunikator dalam organisasi perlu
memahami dan menyempurnakan kemampuan komunikasi mereka (Kohler,
1981). Guru dalam proses pelaksanaan tugasnya perlu memperhatikan hubungan
dan komunikasi baik antara guru dengan Kepala Sekolah, guru dengan guru, guru
dengan siswa, dan guru dengan personalia lainnya di sekolah. Hubungan dan
komunikasi yang baik membawa konsekwensi terjalinnya interaksi seluruh

41

komponen yang ada dalam sistem sekolah. Kegiatan pembelajaran yang dilakukan
guru akan berhasil jika ada hubungan dan komunikasi yang baik dengan siswa
sebagai komponen yang diajar. Kinerja guru akan meningkat seiring adanya
kondisi hubungan dan komunikasi yang sehat di antara komponen sekolah sebab
dengan pola hubungan dan komunikasi yang lancar dan baik mendorong pribadi
seseorang untuk melakukan tugas dengan baik.
Menurut Forsdale (1981) bahwa communication is the process by which a
system is established, maintained, and altered by means of shared signals that
operate according to rules. Sedangkan ahli lain berpendapat bahwa komunikasi
manusia adalah suatu proses melalui mana individu dalam hubungannya, dalam
kelompok, dalam organisasi dan dalam masyarakat menciptakan, mengirimkan,
dan menggunakan informasi untuk mengkoordinasi lingkungannya dan orang lain
(Brent D. Ruben, 1988).
Hubungan sosial antar manusia selalu terjadi di lingkungan kerja. Sebagai
peneliti Terence R. Mitchell 1982 (dalam Junaidin, 2006) menemukan bahwa
orang-orang di dalam organisasi menghabiskan sebagian besar waktunya untuk
interaksi interpersonal. Hubungan yang terjadi antara atasan dengan bawahan,
bawahan dengan bawahan. Di sekolah hubungan dapat terjadi antara kepala
sekolah dengan guru, antara guru dengan guru serta guru dengan siswa. Hubungan
guru dengan siswa lebih sering dilakukan dibandingkan dengan hubungan guru
dengan guru atau hubungan guru dengan kepala sekolah. Setiap hari guru harus
berhadapan dengan siswayang jumlahnya cukup banyak yang terkadang sangat
merepotkan tetapi bagi guru interaksi dengan siswa merupakan hal sangat menarik
dan mengasyikkan apalagi dapat membantu siswa dalam menemukan cara
mengatasi kesulitan belajar siswa.

5. Hubungan dengan Masyarakat


Sekolah merupakan lembaga sosial yang tidak dapat dipisahkan dari
masyarakat lingkungannya, sebaliknya masyarakat pun tidak dapat dipisahkan
dari sekolah sebab keduanya memiliki kepentingan, sekolah merupakan lembaga
formal yang diserahi mandat untuk mendidik, melatih, dan membimbing generasi

42

muda bagi peranannya di masa depan, sementara masyarakat merupakan


pengguna jasa pendidikan itu.
Menurut Pidarta (1999) bahwa suatu sekolah tidak dibenarkan mengisolasi
diri dari masyarakat. Sekolah tidak boleh merupakan masyarakat tersendiri yang
tertutup terhadap masyarakat sekitar, ia tidak boleh melaksanakan idenya sendiri
dengan tidak mau tahu akan aspirasiaspirasi masyarakat. Masyarakat
menginginkan

sekolah

itu

berdiri

di

daerahnya

untuk

meningkatkan

perkembangan putra-putra mereka. Sekolah merupakan sistem terbuka terhadap


lingkungannya termasuk masyarakat pendukungnya. Sebagai sistem terbuka
sudah jelas ia tidak dapat mengisolasi diri sebab bila hal ini ia lakukan berarti ia
menuju ke ambang kematian.
Hubungan sekolah dengan masyarakat merupakan bentuk hubungan
komunikasi ekstern yang dilaksanakan atas dasar kesamaan tanggung jawab dan
tujuan. Masyarakat merupakan kelompok individuindividu yang berusaha
menyelenggarakan pendidikan atau membantu usaha-usaha pendidikan. Dalam
masyarakat terdapat lembaga-lembaga penyelenggaran pendidikan, lembaga
keagamaan, kepramukaan, politik, sosial, olah raga, kesenian yang bergerak
dalam usaha pendidikan. Dalam masyarakat juga terdapat individu-individu atau
pribadi-pribadi yang bersimpati terhadap pendidikan di sekolah.
Sekolah berada ditengah-tengah masyarakat dan dapat dikatakan berfungsi
sebagai pisau bermata dua. Mata yang pertama adalah menjaga kelestarian nilainilai positif yang ada dalam masyarakat, agar pewarisan nilai-nilai masyarakat
berlangsung dengan baik. Mata yang kedua adalah sebagai lembaga yang
mendorong perubahan nilai dan tradisi sesuai dengan kemajuan dan tuntutan
kehidupan serta pembangunan. (Soetjipto dan Rafles Kosasi, 1999).
Hubungan sekolah dengan masyarakat adalah suatu proses komunikasi antara
sekolah dengan masyarakat untuk meningkatkan pengertian masyarakat tentang
kebutuhan serta kegiatan pendidikan serta mendorong minat dan kerjasama untuk
masyarakat dalam peningkatan dan pengembangan sekolah. Hubungan sekolah
dengan

masyarakat

ini

sebagai

usaha

kooperatif

untuk

menjaga

dan

mengembangkan saluran informasi dua arah yang efisien serta saling pengertian

43

antara sekolah, personalia sekolah dengan masyarakat. Hal ini dipertegas Mulyasa
(2003) bahwa Tujuan hubungan sekolah dengan masyarakat dapat ditinjau dari
dua dimensi yaitu kepentingan sekolah dan kebutuhan masyarakat.

6. Kedisiplinan
The Liang Gie (1972) memberikan pengertian disiplin sebagai berikut
Disiplin adalah suatu keadaan tertib di mana orang-orang yang tergabung dalam
suatu organisasi tunduk pada peraturan-peraturan yang telah ada dengan rasa
senang.
Sedangkan Goods (1959) dalam Dictionary of Education mengartikan
disiplin sebagai berikut

1) Proses atau hasil pengarahan atau pengendalian keinginan, dorongan atau


kepentingan guna mencapai maksud atau untuk mencapai tindakan yang
lebih sangkil.
2) Mencari tindakan terpilih dengan ulet, aktif dan diarahkan sendiri,
sekalipun menghadapi rintangan
3) Pengendalian perilaku secara langsung dan otoriter dengan hukuman atau
hadiah.
4) Pengekangan dorongan dengan cara yang tak nyaman dan bahkan
menyakitkan.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa disiplin adalah
ketaatan dan ketepatan pada suatu aturan yang dilakukan secara sadar tanpa
adanya dorongan atau paksaan pihak lain atau suatu keadaan di mana sesuatu itu
berada dalam tertib, teratur dan semestinya serta tiada suatu pelanggaranpelanggaran baik secara langsung maupun tidak langsung.
Tujuan disiplin menurut Arikunto, S. (1993) yaitu agar kegiatan sekolah
dapat berlangsung secara efektif dalam suasana tenang, tentram dan setiap guru
beserta karyawan dalam organisasi sekolah merasa puas karena terpenuhi
kebutuhannya. Sedangkan Depdikbud (1992) menyatakan tujuan disiplin dibagi
menjadi dua bagian yaitu :

44

1) Tujuan Umum adalah agar terlaksananya kurikulum secara baik yang


menunjang peningkatan mutu pendidikan

2) Tujuan khusus yaitu : (a). Agar Kepala Sekolah dapat menciptakan


suasana kerja yang menggairahkan bagi seluruh peserta warga sekolah,
(b). Agar guru dapat melaksanakan proses belajar mengajar seoptimal
mungkin dengan semua sumber yang ada disekolah dan diluar sekolah (c).
Agar tercipta kerjasama yang erat antara sekolah dengan orang tua dan
sekolah dengan masyarakat untuk mengemban tugas pendidikan.
Kedisiplinan sangat perlu dalam menjalankan tugas dan kewajibannya
sebagai pengajar, pendidik dan pembimbing siswa. Disiplin yang tinggi akan
mampu membangun kinerja yang profesional sebab pemahaman disiplin yang
baik guru mampu mencermati aturan-aturan dan langkah strategis dalam
melaksanakan proses kegiatan belajar mengajar. Kemampuan guru dalam
memahami aturan dan melaksanakan aturan yang tepat, baik dalam hubungan
dengan personalia lain di sekolah maupun dalam proses belajar mengajar di kelas
sangat membantu upaya membelajarkan siswa ke arah yang lebih baik.
Kedisiplinan bagi para guru merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam
melaksanakan tugas dan kewajibannya.

7. Kesejahteraan
Faktor kesejahteraan menjadi salah satu yang berpengaruh terhadap kinerja
guru di dalam meningkatkan kualitasnya sebab semakin sejahteranya seseorang
makin tinggi kemungkinan untuk meningkatkan kerjanya. Mulyasa (2002)
menegaskan bahwa terpenuhinya berbagai macam kebutuhan manusia, akan
menimbulkan kepuasan dalam melaksanakan apapun tugasnya.
Menurut Supriadi (1999) bahwa tingkat kesejahteraan guru di Indonesia
sangat memprihatinkan, hanya setara dengan kondisi guru di negara miskin di
Afrika. Rendahnya tingkat kesejahteraan tersebut akan semakin tampak bila
dibandingkan dengan kondisi guru di negara lain. Di negara maju, gaji guru
umumnya lebih tinggi dari pegawai yang lain, sementara di Indonesia justru
sebaliknya.

45

Profesionalitas guru tidak saja dilihat dari kemampuan guru dalam


mengembangkan dan memberikan pembelajaran yang baik kepada peserta didik,
tetapi juga harus dilihat oleh pemerintah dengan cara memberikan gaji yang
pantas serta berkelayakan. Bila kebutuhan dan kesejahteraan para guru telah layak
diberikan oleh pemerintah, maka tidak akan ada lagi guru yang membolos karena
mencari tambahan diluar (Denny Suwarja, 2003). Hal itu tersebut dipertegas
Pidarta (1999) yang menyatakan bahwa rata-rata gaji guru di negara ini
belum menjamin kehidupan yang layak. Hampir semua guru bekerja di tempat
lain sebagai sambilan disamping pekerjaannya sebagai guru tetap disuatu sekolah.
Malah ada juga guru-guru yang melaksanakan pekerjaan sambilan lebih dari satu
tempat bahkan ada yang bekerja sambilan tidak di bidang pendidikan. Hal ini bisa
dimaklumi karena mereka ingin hidup layak bersama keluargannya.

8. Iklim Kerja
Sekolah merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai unsur yang
membentuk satu kesatuan yang utuh. Di dalam sekolah terdapat berbagai macam
sistem sosial yang berkembang dari sekelompok manusia yang saling berinteraksi
menurut pola dan tujuan tertentu yang saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
lingkungannya sehingga membentuk perilaku dari hasil hubungan individu
dengan individu maupun dengan lingkungannya.
Menurut Davis, K & Newstrom J.W (1996) bahwa sekolah dapat dipandang
dari dua pendekatan yaitu pendekatan statis yang merupakan wadah atau tempat
orang berkumpul dalam satu struktur organisasi dan pendekatan dinamis
merupakan hubungan kerjasama yang harmonis antara anggota untuk mencapai
tujuan bersama.
Interaksi yang terjadi dalam sekolah merupakan indikasi adanya keterkaitan
satu dengan lainnya guna memenuhi kebutuhan juga sebagai tuntutan tugas dan
tanggung jawab pekerjaannya. Untuk terjalinnya interaksi-interaksi yang
melahirkan hubungan yang harmonis dan menciptakan kondisi yang kondusif
untuk bekerja diperlukan iklim kerja yang baik.

46

Litwin dan Stringer (dalam Sergiovanni, 2001) mengemukakan bahwa Iklim


mempengaruhi kinerja guru. Iklim sebagai pengaruh subyektif yang dapat
dirasakan dari sistem formal, gaya informal pemimpin dan faktor-faktor
lingkungan penting lainnya, yang menyangkut sikap/keyakinan dan kemampuan
memotivasi orang-orang yang bekerja pada organisasi tersebut. Sedangkan
menurut Henry A Marray dan Kurt Lewin (dalam Sutaryadi, 1990) mengatakan
bahwa Iklim kerja adalah seperangkat karakteristik yang membedakan antara
individu satu dengan individu lainnya yang dapat mempangaruhi perilaku
individu itu sendiri, perilaku merupakan hasil dari hubungan antara individu
dengan lingkungannya.
Kinerja merupakan suatu konstruksi multidimensi yang mencakup banyak
faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut terdiri atas faktor intrinsik
guru (personal/individual) atau SDM dan ekstrinsik, yaitu kepemimpinan, sistem,
tim, dan situasional. (Mangkuprwira, Syafri dan Vitayala, Aida dalam Yamin,
Martinis dan Aisyah, (2010: 129). Uraian rincian faktor-faktor tersebut adalah
sebagai berikut :

a) Faktor personal/individual, meliputi unsure pengetahuan, keterampilan


(sklill), kemampuan, kepercayaan diri, motivasi dan komitmen yang
dimiliki oleh tiap individu guru.
b) Faktor kepemimpinan, meliputi aspek kualitas manajer dan team leader
dalam memberikan dorongan, semangat, arahan, dan dukungan kerja pada
guru.
c) Faktor tim, meliputi kualitas dukungan dan semangatyang diberikan oleh
rekan dalam satu tim, kepercayaan terhadap sesama tim, kekompakkan,
dan keeratan anggota tim.
d) Faktor sistem, meliputi system kerja, fasilitas kerja yang diberikan
pimpinan sekolah, proses organisasi (sekolah) dan klutur kerja dalam
organisasi (sekolah).
e) Faktor kontekstual (situasional), meliputi tekanan dan perubahan
lingkungan eksternal dan internal. Sebagaimana gambar pengaruh kinerja
individu dan kelompok terhadap kinerja organisasi (sekolah), di bawah ini
:

47

Kinerja Individual

Faktor Kinerja :
Pengetahuan
Keterampila
n
Motivasi

Kinerja Kelompok

Faktor Kinerja :
Keeratan tim
Kepemimpina
n
Kekompakkan
Peran Tim

Kinerja organisasi

Faktor Kinerja :
Lingkungan
Kepemimpinan
Struktur
organisasi
Pilihan strategi
Teknologi
Kultur organisasi
Proses organisasi

Gambar 2.1 Pengaruh Kinerja Individu dan Kelompok Terhadap


Kinerja Organisasi (Sekolah)
Sumber : Mangkuprwira, Syafri dan Vitayala, Aida dalam Yamin, Marinis dan
Aisyah, (2010:129).
Seperti terlihat dalam gambar tersebut, kinerja individu dipengaruhi oleh
faktor-faktor pengetahuan, keterampilan, motivasi, den peran individu yang
bersangkutan. Kinerja individu ini akan mempengaruhi kinerja kelompok dan
akhirnya kinerja ini akan mempengaruhi kinerja organisasi. Kinerja kelompok
juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terkait dengan karakteristik tim.
Sementara kinerja organisasi dipengaruhi oleh beragam karakteristik organisasi.

D. Hasil Penelitian yang Relevan


Hasil-hasil penelitian sebelumnya yang relevan terhadap permasalahan yang
saya teliti diantaranya:

1. Iim Rohana (2010) dalam tesisnya yang berjudul Pengaruh Peran Kepala
Sekolah sebagai Manajer pada SMK Negeri Se-Kabupaten Kuningan
menyimpulkan bahwa peran interpersonal berpengaruh secara signifikan
terhadap efektivitas sekolah secara langsung sebesar 11,2% dan pengaruh
tidak langsungnya 19,59%. Peran informasional berpengaruh secara

48

signifikan terhadap efektivitas secara langsung sebesar 15,72%, dan peran


interpersonal, informasional serta pembuatan keputusan kepala sekolah secara
signifikan terhadap efektivitas sekolah secara langsung sebesar 57,7% dengan
pengaruh lain yang tidak diteliti 42,3% artinya terdapat pengaruh positif dan
signifikan peran interpersonal kepala sekolah terhadap efektivitas sekolah
terdapat pengaruh positif dan signifikan, peran informasional kepala sekolah
terhadap efektivitas sekolah terdapat pengaruh positif, signifikan peran
pembuatan keputusan kepala sekolah terhadap efektivitas sekolah dan
terdapat pengaruh positif dan signifikan peran interpersonal, informasional
dan signifikan peran interpersonal, informasional dan pembuatan keputusan
kepala sekolah secara bersama-sama terhadap efektivitas sekolah pada SMK
Negeri Kabupaten Kuningan.

2. Suryono (2011) dalam tesinya menyatakan bahwa kapasitas kepemimpinan


kepala sekolah dan iklim organisasi sekolah dalam mengimplementasikan
sekolah efektif yang menyimpulkan untuk mewujudkan sekolah yang efektif
perlu didukung oleh semua pihak, baik kepala sekolah, guru, penjaga sekolah,
komite sekolah dan masyarakat.Kepemimpinan kepala sekolah yang
profesional dan kompeten, iklim organisasi sekolah, staf sekolah yang kreatif
serta lingkungan yang mendukung dalam membuat sekolah tersebut berjalan
seperti yang diharapkan. Tanpa kerjasama yang baik dalam suatu sistem yang
terpadu maka hasilnya akan mengecewakan semua pihak. Dengan demikian
iklim sebagai sebuah organisasi akan benar-benar kondusif bagi terciptanya
pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan sehingga
terwujudnya sekolah efektif.

3. Muhammad Tajudin (2011) karya ilmiah yang berjudul Peranan Kepala


Sekolah menyimpulkan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi di lembaga
pendidikan dalam upaya peningkatan kualitas, faktor yang sangat penting
menentukan keberhasilan tujuan lembaga. Seorang kepala sekolah sebagai
pemimpin dengan setting, latar dan organisasi dalam karakter dan perilaku
orang-orang yang berbeda, maka akan mempengaruhi pola dan perilaku
kepemimpinan yang berbeda pula. Kepala sekolah sebagai aktor perubahan

49

harus menjadi yang terdepan dalam pengambilan resiko, konsisten dan


konsekuen terhadap visi, misi lembaga dan siap untuk menanggung kesalahan
yang diperbuatnya, bahkan kesalahan bawahan sekalipun.

4. Savitri (2012) karya ilmiah yang berjudul Manajemen Kepemimpinan Kepala


Sekolah yang Efektif dalam MBS menyimpulkan bahwa kepala sekolah
merupakan motor penggerak, penentu kebijakan sekolah yang akan
menentukan bagaimana tujuan sekolah dan pendidikan pada umumnya
direalisasikan. Sehubungan dengan MBS, kepala sekolah dituntut untuk
senantiasa meningkatkan efektivitas kinerjanya.Kinerja kepemimpinan kepala
sekolah dalam kaitannya dengan kinerja guru adalah segala upaya yang
dilakukan dengan hasil yang dapat dicapai mewujudkan tujuan pendidikan
secara efektif dan efisien.
Berdasarkan uraian diatas menunjukkan bahwa kepemimpinan kepala sekolah
terhadap pekerjaan merupakan jawaban yang cukup menentukan tingkat kinerja
guru. Sehingga dapat diduga bahwa peran kepala Sekolah pada Sekolah Dasar
Negeri di Kabupaten Bandung, dapat meningkatkan kinerja guru yang rendah.

50

Anda mungkin juga menyukai