Anda di halaman 1dari 7

Denting Denting Luka

Denting piano lamat lamat terdengar. Sayup, saat matahari mulai mulai dihiasi jingga dan
diselimuti awan yang perlahan menghilang dibalik bukit yang menaungi sudut kota tempatku
bertahan sepanjang usia ini. Hampir setiap hari, aku selalu tertegun saat denting denting piano itu
mulai terdengar. Tak peduli hujan, bahkan petir menghantam, pemiliknya selalu setia
melantunkan melodi yang sama setiap harinya. Selama ini tak pernah terhiraukan, karena aku
mengira bahwa itu berasal dari anak anak yang melatih jari jari, yang tak peduli ocehan ibunya
bahwa waktunya tak tepat. Tapi setelah sebulan, dua bulan, bahkan terus berulang hingga
melewati musim kemarau yang meretakkan halaman, aku tak lagi yakin bahwa itu hanya
perbuatan iseng anak kecil.
Dentingnya melantunkan nada nada sendu, mengirimkan melodi aneh yang menegakkan bulu
roma. Tidak menakutkan, hanya saja menyedihkan seperti menjeritkan isak tangis yang tak
mampu diluapkan. Selama ini musik selalu menjadi misteri bagiku, mengingat sedikitpun aku tak
pernah mengerti bagaimana menekan tuts piano, menggesek dawai biola, bahkan memetik senar
gitar pun tak pernah berhasil meskipun tanganku sudah pedih mencoba. Entahlah, aku tak
pernah mampu menafsirkan arti dibalik nada nada yang magis seperti ini.
Sejak merasakan nada aneh itu, aku jadi punya kebiasaan baru. Setiap sore, setidaknya aku
menyempatkan duduk dibawah pohon mangga didepan halaman hanya untuk mendengar lagu
yang akan dimainkan. Setiap sore pun aku berharap akan mendengar nada yang berbeda, entah
sedikit lebih ceria atau lebih bernyawa. Tapi percuma, sepanjang sore pemiliknya akan
memainkan lagu yang sama dan berhenti tepat sebelum masjid memulai tilawah menjelang
maghrib.
Bunda sering dengar orang main piano, nggak?
Bunda menoleh, wajahnya menyiratkan pertanyaan saat mendengar aku mencetuskan pertanyaan
itu.
Memangnya kakak pernah dengar? Bunda kok gak perhatian ya
Keningnya berkerut, menatapku heran. Kemudian menggelengkan kepalanya seperti berpikir
keras, lantas mencolek pinggangku dengan tatapan menyelidik.
Bunda biasa aja deh, kan cuma nanya bunda aja siapa tau bunda juga dengar. Nggak mungkin
kakak sendiri yang bisa dengar, kan?
Bunda tertawa, lantas melanjutkan pekerjaannya sambil melenggang ke dapur.
Kakak kebanyakan nonton film horror mungkin, makanya jadi dengar yang aneh aneh.

Bunda jangan nakutin, deh! Nggak mungkin kakak dengarnya tiap sore kan.. aku
mengerucutkan bibir, berbalik masuk kamar meninggalan bunda yang masih tertawa.
Aku makin penasaran. Tak mungkin itu hanya suara setan hantu atau apapun dedemit yang ada
dikompleks ini. Kalaupun hantu, mungkin dia terobsesi menjadi pianis semacam komposer
seperti Addie ms, tapi bercita rasa internasional seperti Mozart. Atau, sedang ada syuting film
horor disekitar sini. Aku tertawa pelan, menyadari ketololan demi ketololan yang sudah
kupikirkan hanya karena mendengar lagu yang dimainkan setiap sore.

Aku tersedu sepanjang sore. Setiap hari, bulir airmata akan menetes. Sepi sepanjang hari, tanpa
teman. Aku bisa berteman dengan kesepian disaat orang lintang pukang mencari keramaian. Aku
bersahabat dengan kesendirian semenjak hari itu, peristiwa yang menyeretku dalam tangisan
terus menerus hingga mata membengkak, wajah sembab, dan langkah kaki yang terus menerus
terjerembab..
Gila. Mereka menyebutku gila. Kadang aku tertawa melihat mereka yang pura pura mengasihani.
Aku tertawa terbahak bahak saat mereka datang, menampilkan wajah wajah sok suci tak berdosa.
Tahu apa mereka soal kehilangan?
Tahu apa mereka tentang kesendirian?
Tahu apa mereka tentang kebencian?
Tahu apa mereka tentang kerinduan?
Jangan sebut aku membenci tuhan untuk semua yang sudah terjadi, untuk semua air mata yang
menganak sungai, untuk luka yang menggoreskan bilur bilur sembilu jauh di hatiku, tanpa
satupun yang benar benar mengerti bahwa aku butuh bahu. Aku butuh sepasang telinga yang
merelakan untuk kuhujani kata kata, dan belaian hangat untuk menenangkan gejolak rasa di
dada.
Tak pernah.
Jadi silakan saja untuk mengarang cerita tentang sesosok laki laki muda sombong yang ada
dibalik tembok kukuh rumah mewah, di balik kemudi mobil mengkilat, di balik baju baju
mentereng yang tak pernah bau sebab selalu diganti sebelum sempat layu.
Maka aku bosan.
Aku muak dengan manusia yang tampak berwajah malaikat tapi berhati entah apa yang mungkin
lebih hina dari binatang.
Jadi kubiarkan mereka bergunjing. Aku menyingkir.

Gemeretak kerikil yang beradu saat langkahku menjejak jalan menuju halaman selalu membuat
damai. Kering, bernada ceria sepanjang masa. Mungin hanya aku satu satunya yang menganggap
bahwa bunyi kerikil indah seperti simfoni. Karenanya, aku hanya memasang senyum lebar setiap
kali orang melihatku dengan tatapan heran saat kakiku sibuk menggaruk kerikil. Aneh memang,
tapi tentu tak seaneh pemilik rumah bercat biru muda yang sibuk dengan pianonya sepanjang
senja. Hari ini, aku memutuskan untuk menelusuri seisi desa dari jengkal ke jengkal. Mencoba

meraba nada yang sayup sayup sampai ke telinga. Dan, voila! Setelah perjuangan meletihkan
untuk memuaskan dahaga penasaran selama ashar sampai adzan maghrib membuahkan hasil.
Kaos yang basah oleh keringat, dua botol air mineral yang habis diteguk, kuncir rambut yang
berantakan dan kaki yang pegal mengelilingi kampung ini terbayarkan. Sebenarnya kampung ini
tidak terlalu besar, hanya aku saja yang terlalu antusias hingga berlari lari kecil setiap dentingnya
terdengar. Bunyi piano semakin santer terdengar saat aku berjalan kearah barat kampung, yang
lebih banyak di dominasi pepohonan besar dan semak yang tak urung membuat rasa penasaran
dan ketakutanku berlipat ganda. Daerah ini hanya diisi beberapa rumah yang letaknya berjauhan,
dan halaman yang rata rata luasnya separuh lapangan bola. Konon, disini tempat jin buang anak.
Orang sekampung jarang yang melewati daerah ini, karena memang berada disudut dan tidak ada
akses keluar karena berbatas langsung dengan sungai. Jaman sekarang, siapa yang mau mandi
disungai jika ada mesin pompa air dan tidak harus menunjukkan aurat ditempat umum. Nggak
manusia, nggak jin sama saja. Jangan jangan jin juga terlibat pergaulan bebas. Aku terkikik, dan
burung gereja yang sedang pacaran langsung terbang begitu mendengar suara tawaku. Memang
suara pianonya makin terdengar, hanya begitu aku mulai celingukan untuk memastikan rumah
yang mana, mendadak denting halusnya menghilang dan menyisakan desau angin yang
mendadak membuatku merinding. Melodinya lenyap begitu saja, terpotong tanpa sampai
keujung simfoni. Berpatokan pada perasaanku yang tak pernah galau karena jarang terlibat
dengan urusan hati, aku yakin rumah biru yang paling ujunglah yang membuat perkara. Halaman
yang terpangkas rapi dan basah seperti habis disiram membuatku semakin yakin bahwa
penghuninyalah yang rajin duduk menumpulkan ujung kuku dibalik pianonya. Dibandingkan
beberapa rumah sekitarnya, rumah ini yang paling bersih dan terlihat sepeti dihuni.
Aku hanya mengendikkan bahu, dan memutuskan untuk pulang jika tak ingin diomeli bunda jika
beliau tahu anak gadisnya pulang maghrib.

Dahiku mengernyit saat melihat sesosok perempuan yang seperti kebingungan di depan halaman.
Jarang sekali ada penduduk yang melintasi daerah ini sebelumnya, maka aku merasa aman
bersembunyi tanpa merasa terusik oleh teriakan nyaring ibu ibu tetangga yang rutin menggosip.
Tapi sore ini, aku melihatnya. Dan spontan, darahku berdesir dan jantung berdetak lebih cepat
dari biasanya. Air mata yang perlahan menggulir, mengaburkan pandangan saat aku dengan cepat
beranjak menuju jendela untuk memastikan pandangan yang terasa seperti fatamorgana. Kuncir
rambut dan wajah berkeringatnya yang memerah, membuat luka yang sebelumnya hampir
mengering kembali berdarah, dan aku merasa ada lubang besar yang menganga didadaku. Kebas,
saking sakitnya. Kalian tahu bagaimana rasanya?
Aku tersimpuh ditepian jendela, terisak menghadapi kenyataan yang memang begitu lara.
Lupakan semua tanya karena mungkin tuhan mengirimkan jawabannya melalui melodi yang
nyata. Bertahun tahun, kusimpan sendiri semua isak tangis dan menjahit luka yang nganga, tapi

kini semua upaya ku lebur, hancur berkeping hanya karena sesosok gadis yang entah nyata atau
cuma ilusi.
Angin lembut yang seharusnya menentramkan, kini terasa seperti duri duri kecil yang mengoyak
seluruh pertahanan.
Tuhan, cukupkan. Cukup sampai disini. Terimakasih untuk jawaban yang selama ini Kau simpan
dan kau berikan di waktu yang tepat.
Kini aku siap.

Aku bersenandung ceria sambil mengikat tali sepatu. Sepotong donat gula buatan bunda kugigit
saat bergegas menyalami tangan bunda yang halus dan wangi deterjen. Bubuk gula jatuh
mengotori kaus biru kesayangan.
hati hati, sebelum jam lima udah pulang ya. Nanti bunda mau bikin empek empek. Kalo nggak
mau dihabisin sama Dilla, cepat pulangnya.
Aku nyengir kuda.
siap bos, assalamualaikuuum.
Aku berteriak sambil mengayuh sepeda. Jika kemarin aku memutuskan berjalan kaki, hari ini
aku takkan melakukan hal yang sama jika besok masih ingin jalan tanpa merasakan nyeri di otot
kaki. Penampilan boleh urakan, tapi kekuatan masih seperti bayi ninja hatori yang berjalan saja
masih butuh bantuan.
Maka sore ini aku berjudi. Berharap penuh pada keberuntungan yang akan memuaskan rasa
penasaran. Entah kenapa, aku begitu terobsesi pada melodi yang seperti ditiupkan nyawa.
Sekedar ingin tahu cerita apa yang ada dibaliknya. Setiap rasa memiliki cerita, yang selalu
menarik sebab mempermainkan hati manusia.
Kayuhan sepeda memelan begitu aku melintasi jalan yang mulai bersemak dipinggirnya. Daun
daun merunduk, angin yang bertiup pelan dan lembutnya matahari sore tak lagi membuatku
ketakutan. Hanya satu kebingungan, sejak tadi aku tak mendengar bunyi piano. Mungkinkah
pemiliknya bosan?
Kebingunganku berganti keheranan saat semakin dekat, aku melihat sosok lelaki yang berdiri
dihalaman rumah biru. Senyumku melebar saat sekilas menatap rumput dan melihat sepasang
kaki yang berpijak. Bukan jin yang sedang buang anak rupanya. Dia membalas senyumku kaku.
Sepasang mata yang cekung menatapku lekat seperti meneliti setiap senti. Jengah, aku melambai
dan mendekat. Berkaus biru, celana jeans pendek selutut dan sandal jepit yang kutahu harganya
setara lima puluh mangkok bakso bang Atang diperempatan jalan hanya dengan melirik logo

merek yang tertera. Wajahnya, tak pernah kulihat ada garis rahang yang lebuh tajam dari
miliknya selain bintang film barat yang kulupa namanya. Hidungnya tinggi, tak seperti hidungku
yang jika memakai kacamata akan melorot dengan sendirinya. Matanya, lebih coklat dari mata
kucing tetanggaku. Tampan, bahkan lebih tampan dari Restu, mahasiswa kampus teknik yang
kutaksir pada semester tiga. Banyak yang mengatakan bahwa kampus teknik berisi deretan laki
laki yang berwajah pualam. Tapi kali ini, meraka turun level menjadi pembersih patung pualam
di halaman kantor dekan.
Aku nyengir, menepis kekaguman pada lelaki asing dihadapanku.
Hai, orang baru?
Dia memiringkan kepala, melihat lebih dekat.
tidak, sudah lama pindah kesini. kata katanya pelan, bahkan dengung nyamuk terasa lebih
keras daripada suaranya. Senyumnya, tak pernah sampai ke mata.
Piano setiap sore?
Dia tercenung sejenak, dan mengangguk pelan.
Aku mengangguk angguk sementara dia masih menatapku lekat. Jari jari tangannya
mencengkram erat pinggiran pagar kayu. Percakapan pertama didominasi oleh pertanyaan basa
basi, pandangannya yang lekat padaku sementara dia hanya menjawab sedikit, mengangguk dan
menggeleng jika kutanya. Percakapan kedua, baru kutahu namanya Ariz. Seminggu berselang
dari pertemuan pertama ini dia mulai tersenyum sedikit lebih lebar, dan kami masih tetap berdiri
di halaman rumahnya. Beberapa hari setelahnya, dia bertanya mengapa aku tak rutin datang
menemuinya. Aku tergelak, dan mulai bercerita kesana kemari tentang kegiatan kampus yang
menyita perhatian. Senyumnya, masih tetap kosong. Dia memandangku, tapi seperti memandang
orang lain. Riak kerinduan yang ada dimatanya membuatku mengerti tanpa perlu penjelasan.
Beberapa pertemuan, kami sudah duduk di teras rumahnya ditemani cemilan yang diantarkan ibu
ibu tua yang menatapku seperti berterima kasih. Aku bingung dengan tatapannya. Memangnya
apa yang kulakukan sampai beliau menghargaiku sedemikian rupa? Tapi tetap kumakan habis
semua suguhan darinya sendirian.
Piano? Sudah jarang terdengar. Entah angin yang tak lagi mau membawanya, atau pemiliknya
yang tak lagi ingin menangisinya.
Namanya Yasmin. Bisiknya pelan saat aku menelusuri beberapa foto yang terletak diatas meja
didekat piano hitam miliknya. Aku menoleh, dan mendapatinya menghela napas panjang.
Umurnya 19 waktu itu, perawakannya persis seperti kamu. Kuncir kudanya, senyumnya,
matanya. Hampir mirip, bahkan dia juga suka makan apa saja yang dibuatkan. Tanpa protes.
Persis kamu. Matanya bersinar saat berkata pelan.

Aku tertawa pelan. Aku mencoba mendengarkan tanpa menyela satu katapun yang keluar dari
bibirnya. Ini kisahnya. Yang selama ini ku tunggu tanpa perlu kutanya sebab dari senyumnya
yang hampa. Manusia terkadang hanya butuh didengarkan tanpa perlu diberikan ucapan segala
macam. Karena kesediaan untuk mndengarkan tanpa memberikan celaan, hanya dimiliki
beberapa hati yang benar benar peduli.
Dua tahun yang lalu, Yasmin menghilang. Persis menghilang tanpa tau kemana arahnya. Tak
lama, hanya dua hari berikutnya dia kembali. Tapi buatku, aku sudah gila mencarinya kemana
mana. Dia pulang, dan sejak itu tak pernah mengatakan apapun pada kami. Baik padaku maupun
pada ibu yang merawatnya sejak bayi. Kamu tahu? Dia yatim piatu sejak lahir. Bukannya tak
punya, tapi lebih baik baginya untuk menganggap orang tua kandungnya tak pernah ada. Miris
memang, mengingat dia punya ibu angkat, janda yang ditinggal suami karena tak bisa
memberikan anak.meskipun dia kaya.
Pandangannya menerawang jauh. Mencoba mengingat luka lama tanpa membuatnya berdarah
kembali, meski barutnya masih tampak dimana mana.
hampir tiap malam kami mendengar isak tertahan dari kamarnya. Hingga akhirnya, dia pergi.
Pergi begitu saja meninggalkan kami tanpa penjelasan. Tanpa setitikpun celah kebenaran yang
bisa kami ungkap jejaknya. Hanya darah yang mengalir membasahi tapak kaki kami yang tak
lagi sanggup berdiri. Sejak itu aku tantrum. Melempar apa saja pada orang yang menunjukkan
wajah pedulinya. Aku sinis pada setiap orang yang mengirim doa untuknya. Bahkan, aku
mendendam pada diri sendiri karena tak mampu megetahui bebannya selama ini.
Airmatanya tak lagi jatuh satu satu, cengkraman pada pinggiran piano membuat buku buku
jarinya memerah. Aku manatapnya khawatir, aku bisa apa selain mendengarkan. Tapi aku
memutuskan untuk tak bertanya. Dia hanya sedang membiarkan masa lalunya pulang.
Pianonya, dia sibuk memintaku mengajarinya satu lagu yang dia buat sendiri asal asalan
Dia tertawa sambil mengelap airmata.
Dia tak pernah paham soal nada, tapi denngan bodohnya dia membuat lagu yang benar benar
bernyawa setelah dia pergi. Anak aneh.
Ariz meracau, tertawa, kemudian kembali menahan tangis.
Kau tahu, aku tak pernah bisa melupakan raut wajahnya saat pertama kali kucobakan lagunya
pada piano dirumah kami. Rasanya menyakitkan setelah dia pergi. Wajahnya selalu datang tiap
malam, dan aku terluka
Aku menggenggam tangannya, dan tersenyum lirih,
tak perlu dilupakan, kamu hanya sedang membiasakan diri untuk berdamai dengan kenangan.

Dia menatapku lekat, untuk kemudian tergugu lama. Masa lalunya, kini sempurna berada
ditempat yang seharusnya.

Anda mungkin juga menyukai