Anda di halaman 1dari 4

Diagnosis

Ultrasonografi ( US ) abdomen merupakan metode pencitraan non invasif yang sangat


bermanfaat dan merupakan pilihan pertama untuk mendeteksi kolelitiasis dengan ketepatan
mencapai 95%. Kriteria batu kandung empedu pada US yaitu dengan terlihatnya bayangan
akustik ( acoustic shadowing ) dari gambaran opasitas dalam kandung empedu. Sayangnya
manfaat US untuk mendiagnosis batu saluran empedu relatif rendah. Pada penelitian Lesmana
yang mencakup 119 penderita dengan batu saluran empedu sensitivitas US didapatkan 40%,
sedangkan spesifisitasnya 94%. Kekurangan US dalam mendeteksi batu di saluran empedu
disebabkan beberapa hal, antara lain bagian distal saluran empedu dimana umumnya batu
terletak sering sulit diamati akibat tertutup gas duodenum dan kolon.
Endoscopic

retrograde

cholangio

pancreatography

(ERCP)

adalah

modalitas

pemeriksaan lain yang sangat bermanfaat untuk mendeteksi batu saluran empedu. Dilaporkan
sensitivitasnya 90%, spesifisitas 98% dengan akurasi 96%. Kelemahannya prosedur ini bersifat
invasif dan dapat menimbulkan komplikasi pankreatitis dan kolangitis.
Foto polos maupun computed tomography (CT) abdomen bukan merupakan pemeriksaan
yang menjadi pilihan untuk medeteksi batu empedu. Salah satu penyebabnya adalah karena
kebanyakan batu bersifat radiolusen. Magnetic resonance imaging (MRI) dalam bentuk
konvensional juga tidak banyak bermanfaat dalam proses diagnostik. Tetapi magnetic resonance
cholangiopancreatography (MRCP) akhir-akhir ini berkembang pesat dan semakin banyak
digunakan sebagai metode alternatif kolangiografi. MRCP adalah teknik pencitraan non invasive
dengan gema magnet tanpa menggunakan zat kontras, instrumen atau radiasi ion. Dengan
teknologi baru yang makin canggih proses pemeriksaan dapat dilakukan hanya dalam beberapa
menit. Pada MRCP saluran akan terlihat sebagai struktur yang terang karena mempunyai
intensitas sinyal tinggi, sedangkan batu saluran empedu akan terlihat sebagai intensitas sinyal
rendah. Resolusi yang didapatkan terbukti sebanding dengan kolangiografi direk. Studi terbaru
MRCP menunjukkan nilai sensitivitas antara 91-100% dengan spesifisitas hampir 100% pada
pasien dengan batu saluran empedu. Nilai diagnostik yang tinggi membuat teknik ini makin
sering dikerjakan untuk diagnosis atau eksklusi batu di saluran empedu.

Penatalaksanaan
Telah menjadi kesepakatan bahwa batu empedu asimtomatik tidak memerlukan terapi,
meskipun terapi itu bertujuan profilaksis. Alasannya sebagian besar pasien dengan batu
asimtomatik tidak akan mengalami keluhan. Kalaupun nanti timbul keluhan umumnya ringan
sehingga penanganan dapat dilakukan secara elektif.
Adanya episode berulang dari nyeri abdomen atas yang berkaitan dengan batu empedu
merupakan indikasi untuk mendapatkan pengobatan. Pilihan utama pengobatan adalah
kolesistektomi, baik berupa operasi terbuka maupun per laparoskopik. Beberapa tahun terakhir
ini terlihat bahwa teknik kolesistektomi laparoskopik semakin banyak dipilih, sehingga operasi
kolesistektomi terbukapun makin sedikit dilakukan. Kolesistektomi terbuka akhirnya akan
menjadi pilihan jika kolesistektomi laparoskopik gagal atau tidak memungkinkan untuk
dikerjakan. Kolesistektomi laparoskopik tergolong dalam teknik pembedahan invasif minimal
untuk organ dalam rongga abdomen dengan menggunakan pneumoperitoneum, endokamera dan
layar monitor tanpa menyentuh langsung kandung empedu. Keunggulan teknik ini adalah rasa
nyeri minimal, masa pulih lebih cepat, masa rawat yang lebih pendek dan luka parut yang sangat
minimal.
Penentuan waktu operasi pada kasus komplikasi kolesistitis masih saja jadi bahan
perdebatan. Dianggap operasi pada fase akut akan meningkatkan mortalitas sehingga harus
ditunda 6 sampai 8 minggu sesudah infeksi reda. Tetapi beberapa studi prospektif membuktikan
bahwa kolesistektomi dini justru berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas yang lebih rendah,
apalagi saat ini tersedia tindakan laparoskopi yang lebih aman.
Pilihan terapi untuk batu saluran empedu dapat berupa laparotomi, sfingterotomi
endoskopik atau pemasangan stent bilier perendoskopik. ERCP terapeutik dengan melakukan
sfingterotomi endoskopik untuk mengeluarkan batu saluran empedu pertama kali dilakukan
tahun 1974. Sejak itu teknik sfingterotomi endoskopik berkembang pesat dan menjadi standar
baku terapi non operatif untuk batu saluran empedu.
Komplikasi
Komplikasi penyakit batu empedu meliputi kolesistitis akut dan kronik, kolangitis,
pankreatitis akut serta migrasi batu yang terjepit di saluran empedu ( koledokolitiasis ).

Kolesistitis akut biasanya terjadi akibat sumbatan persisten di duktus sistikus yang
mencetuskan proses inflamasi. Pada awalnya terjadi peradangan steril dan baru pada tahap
selanjutnya terjadi superinfeksi bakteri. Komplikasi ini dialami oleh sekitar 15% pasien dengan
batu simtomatik. Gejala klinisnya bisa mirip kolik bilier, tetapi biasanya dengan durasi lebih
lama dan lebih berat, disertai demam, lekositosis, tak jarang juga ada mual maupun muntah. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan nyeri tekan perut kanan atas, sering teraba kandung empedu yang
membesar disertai tanda-tanda peritonitis. Karakteristiknya adalah nyeri subkostal kanan
manakala palpasi dilakukan ketika inspirasi dalam, ini disebut sebagai tanda Murphy.
Koledokolitiasis (batu di saluran empedu) bisa asimtomatik, tetapi kemungkinan untuk
munculnya gejala lebih tinggi secara bermakna dibanding batu di kandung empedu. Gejala yang
paling sering timbul adalah obstruksi saluran empedu ekstra hepatik dengan atau serta kolangitis.
Sumbatan yang berlangsung lama akan berlanjut dengan dilatasi saluran empedu ekstra dan intra
hepatik. Bahkan bila lebih lama lagi akan menimbulkan komplikasi striktura saluran empedu dan
sirosis bilier sekunder.

Referensi
1. Lee SP, Ko CW. Gallstones. Dalam : Yamada T, Alpers D, Owyang C. Gastroenterology, 4th
ed. Philadelphia : Lippincott William and Wilkins 2003; 2177-2200.
2. Lesmana LA. Penyakit batu empedu. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi A. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam, ed 4. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI 2006; 481-484.
3. Konikoff FM, Donovan JM. Gallstone disease : Pathogenesis and treatment. Dalam : Schiff
ER, Sorrell MF, Maddrey WC. Schiffs Diseases of the Liver, ,9 th ed.Philadelphia : Lippincott
William and Wilkins 2003; 651-673.

Anda mungkin juga menyukai