Jepang menduduki Indonesia selama kurang lebih 3,5 tahun. Untuk meraih simpati rakyat Indonesia, Jepang melakukan propaganda tentang Asia Timur Raya. Namun, propaganda itu hanyalah demi kejayaan Jepang belaka. Sebagai konsekuansinya, seluruh sumber daya Indonesia diarahkan untuk kepentingan Jepang. Pers di masa pendudukan jepang semata-mata menjadi alat pemerintah Jepang dan bersifat pro-Jepang. Beberapa harian yang muncul pada masa itu, antara lain: 1. Asia Raya di Jakarta 2. Sinar Baru di Semarang 3. Suara Asia di Surabaya 4. Tjahaya di Bandung Pers nasional masa pendudukan Jepang memang mengalami penderitaan dan pengekangan kebebasan yang lebih daripada zaman Belanda. Namun, ada beberapa keuntungan yang didapat oleh para wartawan atau insan pers di Indonesia yang bekerja pada penerbitan Jepang, antara lain sebagai berikut: 1. Pengalaman yang diperoleh para karyawan pers Indonesia bertambah. Fasilitas dan alat-alat yang digunakan jauh lebih banyak daripada masa pers zaman Belanda. Para karyawan pers mendapat pengalaman banyak dalam menggunakan berbagai fasilitas tersebut. 2. Penggunaan bahasa Indonesia dalam pemberitaan makin sering dan luas. Penjajah Jepang berusaha menghapuskan bahasa Belanda dengan kebijakan menggunakan bahasa Indonesia dalam berbagai kesempatan. Kondisi ini sangat membantu perkembangan bahasa Indonesia yang nantinya juga menjadi bahasa nasional. 3. Adanya pengajaran untuk rakyat agar berpikir kritis terhadap berita yang disajikan oleh sumber-sumber resmi Jepang. Selain itu, kekejaman dan penderitaan yang dialami pada masa pendudukan Jepang memudahkan para pemimpin bangsa memberikan semangat untuk melawan penjajahan.. E. Pers di era demokrasi liberal (1949-1959) Di era domokrasi liberal, landasan kemerdekaan pers adalah Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS 1949) dan Undang-Undang Dasar Sementara (1950). Dalam Konstitusi RIS-yang isinya banyak diambil dari Piagam Pernyataan Hak Asasi Manusia sedunia (Universal Declaration of Human Rights)-pada pasal 19 disebutkan Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Isi pasal ini kemudian dicantumkan kembali dalam Undang-Undang Dasar Sementara (1950). Awal pembatasan terhadap kebebasan pers adalah efek samping dari keluhan wartawan terhadap pers Belandadan Cina. Pemerintah mulai mencari cara membatasi penerbitan itu karena negara tidak akan membiarkan ideologi asing merongrong Undang-Undang Dasar. Pada akhirnya pemerintah melakukan pembreidelan pers dengan tindakan-tindakannya yang tidak terbatas pada pers asing saja. Pertanda akan terjadinya pembatasan terhdap kebebasan pers, terbaca dalam artikelSekretaris Jendral Kementrian Penerangan, Ruslan Abdulgani, yang antara lain:
...khusus di bidang pers beberapa perbatasan perlu dikenakan atas kegiatan-kegiatan
kewartawanan orang-orang asing.... Pernyataan di atas ditindaklanjuti dengan pengesahan Undang-Undang yang mengharuskan para penerbit Belanda membayar tiga kali lipat untuk kertas koran ketimbang pers Indonesia. F. Pers di zaman Orde Lama atau Pers Terpimpin (1956-1966) Lebih kurang 10 hari setelah Dekrit Presiden RI yang menyatakan kembali ke UUD 1945, tindakan tekanan terhadap pers terus berlangsung, yaitu pembreidelan terhadap Kantor berita PIA dan Surat Kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin Po yang dilakukan oleh penguasa perang Jakarta. Upaya untuk membatasi kebebasan pers itu tercermin dari pidato Menteri Muda Penerangan Maladi ketika menyambut HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-14, antara lain ia menanyakan: ...Hak kebebasan individu disesuaikan dengan hak kolektif seluruh bangsa dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Hak berpikir, menyatakan pendapat, dan memperoleh penghasilan sebagaimana yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945 harus ada batasnya: keamanan negara, kepentingan bangsa, moral dan kepribadian Indonesia, serta tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pada awal 1960, penekanan pada kebebasan pers diawali dengan peringatan Menteri Muda Penerangan Maladi bahwa langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat kabar, majalah-majalah, dan kantor-kantor berita yang tidak menaati peraturan yang diperlukan dalam usaha menerbitkan pers nasional. Masih pada tahun 1960, pengusaha perang mulai mengenakan sanksi-sanksi perizinan terhadap pers. Demi kepentingan pemeliharaan ketertiban umum dan ketenangan, penguasa perang mencabut izin terbit Harian Republik. Memasuki tahun 1964 kondisi kebebasan pers semakin memburuk; hal ini digambarkan oleh E.C. Smith dengan mengutip dari Army Handbook bahwa Kementrian Penerangan dan badan-badannya mengontrol semua kegiatan pers. Perusahaan yang hampir-hampir tidak lebih dari sekedar perubahan sumber wewenang karena sensor tetap ketat dan dilakukan secara sepihak. Berdasarkan uraian dia atas, tindakan-tindakan penekanan terhadap kemerdekaan pers oleh penguasa Orde Lama bertambah bersamaan dengan meningkatnya ketegangan dalam pemerintahan. Tindakan-tindakan penekanan terhadap kebebasan pers merosot ketika ketegangan dalam pemerintahan menurun. Lebih-lebih stelah percetakanpercetakan diambil alih oleh pemerintah dan para wartawan diwajibkan untuk berjanji mendukung politik pemerintah, sehingga sangat sedikit pemerintah melakukan tindakan penekanan kepada pers.