Anda di halaman 1dari 21

BAB II

KAJIAN TEORI
2.1 Ekosistem Pantai dan Laut
Wilayah pesisir, adalah dimana daratan bertemu dengan lautan dan air
tawar bertemu dengan air asin. Wilayah ini merupakan system ekologi yang
paling produktif secara beragam dan serta memiliki kompleksitas yang tinggi.
Zona ini berperan sebagai penyangga, pelindung dan penyaring diantara daratan
dan lautan. Sebagai daerah peralihan; perairan pantai mempunyai kekayaan
organisme yang relatif tinggi, sehingga sangat potensial untuk dijaga agar
kondisinya tetap dalam keadaan baik (Edgren, 1993).
Menurut Manengkey (2010), pantai adalah daerah bertemunya daratan dan
lautan. Luas daerah pantai bervariasi tergantung dari jaraknya dan ditentukan oleh
keadaan geografi setempat, vegetasi yang ada, adat istiadat masyarakat dan
budaya. Pantai lazimnya menggambarkan sebagian proses-proses laut seperti
pasang surut ataupun arus.
Pantai merupakan salah satu kawasan hunian atau tempat tinggal paling
penting didunia bagi manusia dengan segala macam aktifitasnya. Awal tahun 1990
diperkirakan 50 %sampai 70 % penduduk di dunia tinggal di daerah pantai. Bila
pada saat itu penduduk didunia berjumlah kurang lebih 5,3 milyar maka 2,65
sampai 3,7 milyar tinggal di pantai (Edgren, 1993).
Pantai merupakan daerah perbatasan antara ekosistem daratan dan laut
yang dipengaruhi oleh siklus harian pasang surut laut. Pantai selalu terpapar
hempasan gelombang dan hembusan angin, sehingga organisme yang hidup di
pantai merupakan organisme yang telah beradaptasi dan memiliki karakteristik
tertentu untuk dapat bertahan didaerah pantai. Pantai berbeda dengan pesisir.
Menurut Soegiarto (1976), wilayah pesisir pada hakekatnya merupakan
pertemuan antara darat dan laut; kearah laut wilayah pesisir mencakup bagianbagian yang masih terpengaruh oleh proses-proses alami seperti sedimentasi dan
aliran air tawar; sedangkan kearah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan
baik kering maupun terendam air yang masing dipengaruhi oleh pasang surut,
angin laut dan kemungkinan perembesan air asin. Wilayah pesisir kearah darat

yang dipengaruhi oleh batas pasang tertinggi dan berfungsi sebagai tanggul
disebut pantai.
Sumberdaya alam laut dan pesisirnya ini mencakup antara lain: bahanbahan mineral pertambangan, perikanan, kehutanan mangrove, terumbu karang,
lamun dan rumput laut. Rheinheimer (1980) dan Kamiyama (2004) dalam
Kunarso (2011) menyebutkan kehadiran bakteri dalam ekosistem perairan laut
berperan aktif sebagai dekomposer dalam proses mineralisasi bahan-bahan
organik. Sebagai hasil mineralisasi adalah unsur-unsur hara yang esensial,
merupakan sumber nutrisi bagi berbagai organisme laut yang sesuai dalam trofik
levelnya. Oleh karena itu, keterkaitan bakteri didalam ekosistem perairan laut
terutama dalam penyedia unsur hara dapat digunakan sebagai indikator kesuburan
perairan.
Perairan wilayah pantai merupakan salah satu ekosistem yang sangat
produktif di perairan laut. Ekosistem ini dikenal sebagai ekosistem yang dinamik
dan unik, karena pada wilayah ini terjadi pertemuan tiga kekuatan yaitu yang
berasal daratan, perairan laut dan udara. Kekuatan dari darat dapat berwujud air
dan sedimen yang terangkut sungai dan masuk ke perairan pesisir, dan kekuatan
dari batuan pembentuk tebing pantainya. Kekuatan dari darat ini sangat beraneka.
Sedang kekuatan yang berasal dari perairan dapat berwujud tenaga gelombang,
pasang surut dan arus, sedangkan yang berasal dari udara berupa angin yang
mengakibatkan gelombang dan arus sepanjang pantai, suhu udara dan curah hujan
(Davies, 1972 dalam Vatria, 2010).
Dalam wilayah pantai ada dua formasi yang berbeda yaitu (a) formasi
pes-capre yang dicirikan dengan bentuk pantai yang landai; dan (b) formasi
baringtonia, yang dicirikan oleh bentuk-bentuk pegunungan (Waryono,2008).
Pantai terdiri atas ekosistem mangrove, ekosistem padang lamun dan ekosistem
terumbu karang. Ketiga ekosistem pantai tersebut memiliki karakteristik dan
peran penting dalam keberlangsungan ekosistem di daratan dan di laut. Selain itu
ketiga ekosistem pantai tersebut memiliki keterkaitan satu sama lain. Berikut
penjelasan mengenai ekosistem pantai.
Ekosistem Mangrove

Mangrove merupakan tumbuhan atau komunitas tumbuhan yang hidup


didaerah pasang surut . Hutan Mangrove adalah sebagai suatu formasi hutan yang
dipengaruhi oleh adanya pasang surut air laut, dengan keadaan tanah yang
anaerobik . Sedangkan Sukardjo dalam Pramudji (2001), mendefinisikan hutan
mangrove sebagai sekelompok tumbuhan yang terdiri atas berbagai macam jenis
tumbuhan dari famili yang berbeda, namun memiliki persamaan daya adaptasi
morfologi dan fisiologi yang sama terhadap habitat yang dipengaruhi oleh pasang
surut. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 201
Tahun

2004,

mangrove

merupakan

sekumpulan

tumbuh-tumbuhan

Dicotyledoneae dan atau Monocotyledoneae terdiri atas jenis tumbuhan yang


mempunyai hubungan taksonomi sampai dengan taksa kelas (unrelated families)
tetapi mempunyai persamaan adaptasi morfologi dan fisiologi terhadap habitat
yang dipengaruhi oleh pasang surut.
Mangrove berperan penting untuk menjadi tempat untuk bereproduksi,
mencari makan dan pertumbuhan bagi berbagai jenis biota. Lingkungan ini juga
menghasilkan detritus yang menyokong keberadaan bahan organik di perairan
sekitar. Mangrove merupakan ekosistem yang sangat spesifik karena pada
umumnya hanya dijumpai di pantai yang berombak relatif kecil, estuaria, laguna,
dan di sepanjang delta (Hogarth, 1999).
Penyusun ekosistem mangrove terdiri dari 2 komponen utama yaitu flora
dan fauna yang ada di dalamnya. Beberapa fauna yang hidup di kawasan
mangrove antara lain berbagai jenis burung, kelelawar, monyet, lutung, ,
garangan, dan ular (Arief, 2003). Fauna molusca yang hidup di mangrove
umumnya didominasi oleh Gastropoda, yaitu sekitar 61 jenis, sedangkan dari
kelas Bivalvia hanya sekitar 9 jenis saja . Dari fauna Gastropoda penghuni
mangrove yang memiliki penyebaran yang sangat luas adalah Littorina scabra,
Terebralia palustris, T. sulcata dan Cerithium patalum. Sedangkan jenis yang
memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan yang sangat ekstrim
adalah Littorina scabra, Crassostrea cacullata dan Enigmonia aenigmatica .
Selanjutnya disebutkan pula bahwa dari sebanyak Gastropoda penghuni hutan
mangrove tersebut beberapa diantaranya dapat dimanfaatkan untuk dikonsumsi
masyarakat sekitar mangrove, antara lain adalah jenis Terebralia palustris dan

Telescopium telescopium. Sedangkan kelas Bivalvia yangdikonsumsi masyarakat


adalah jenis Polymesoda coaxans, Anadara antiquata dan Ostrea cucullata Kelas
Crustacea yang ditemukan pada ekosistem hutan mangrove adalah sebanyak 54
jenis , dan umumnya didominasi oleh jenis kepiting (Brachyura) yang dapat
dikategorikan sebagai golongan infauna, sedangkan beberapa jenis udang
(Macrura) yang ditemukan pada ekosistem mangrove sebagian besar hanya
sebagai penghuni sementara (Pamudji,2001).
Ekosistem hutan mangrove di Indonesia mempunyai keanekaragaman
vegetasi tertinggi di dunia. Sejauh ini di Indonesia tercatat setidaknya 202 jenis
tumbuhan mangrove, meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat,
44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan 1 jenis paku. Dari 202 jenis tersebut, 43
jenis (diantaranya 33 jenis pohon dan beberapa jenis perdu) ditemukan sebagai
mangrove sejati (true mangrove), sementara jenis lain ditemukan disekitar
mangrove dan dikenal sebagai jenis mangrove ikutan (associate mangrove) (Noor,
2006). Hutan mangrove terdiri dari jenis Avicennia, Sonneratia, Rhizophora,
Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Scyphyphora dan Nypa.
Tumbuhan mangrove merupakan tumbuhan yang mampu tumbuh dan
berkembang pada lingkungan pesisir yang berkadar garam sangat ekstrim, jenuh
air, kondisi tanah yang kurang stabil dan anaerob. Beberapa jenis tumbuhan
mangrove mampu mengembangkan mekanisme yang memungkinkan secara aktif
untuk mengeluarkan garam dari jaringan. Sementara itu, organ yang lainnya
memiliki daya adaptasi dengan cara mengembangkan sistem akar napas untuk
memperoleh oksigen dari sistem perakaran yang hidup pada substrat yang
anaerobic (Pramudji, 2001)
Sebagai daerah peralihan antara laut dan daratan, hutan mangrove
mempunyai gradien sifat lingkungan yang sangat ekstrim. Pasang-surut air laut
menyebabkan terjadinya perubahan beberapa faktor lingkungan yang besar,
terutama suhu dan salinitas. Oleh karena itu, hanya beberapa jenis tumbuhan yang
memiliki daya toleransi yang tinggi terhadap lingkungan yang ekstrim tersebut
saja yang mampu bertahan hidup dan berkembang didalamnya. Walaupun habitat
hutan mangrove bersifat khusus, namun masing-masing jenis tumbuhan memiliki
kisaran ekologi tersendiri, sehingga kondisi ini menyebabkan terbentuknya

berbagai macam komunitas dan bahkan permintakatan atau zonasi, sehingga


kompetisi jenis berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya. Misalnya pada tanah
lumpur yang dalam, lembek dan selalu tergenang air akan tumbuh dan didominasi
oleh Rhizophora mucronata dan terkadang tumbuh berdampingan dengan
Avicennia marina. Rhizophora stylosa dan Sonnerafia alba tumbuh pada pantai
yang memiliki tanah pasir atau pecahan terumbu karang,. Sedangkan untuk jenis
Rhizophora apiculata hidup pada daerah transisi.
Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung
kehidupan yang penting di wilayah pesisir dan lautan. Fungsi ekologis
mangrove adalah sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat
pemijahan dan asuhan berbagai macam biota. Fungsi fisik sebagai
penahan erosi yang disebabkan oleh ombak, penahan hempasan angin
topan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, dan
sebagia benteng dari pengaruh banjir daratan . Tipe perakaran beberapa
jenis tumbuhan mangrove (pneumatophore) tersebut juga mampu
mengendapkan lumpur, sehingga memung-kinkan terjadinya perluasan
areal hutan mangrove. Disamping itu, perakaran jenis tumbuhan
mangrove juga mampu berperan sebagai perangkap sedimen dan
sekaligus mengendapkan sedimen, yang berarti pula dapat melindungi
ekosistem padang lamun dan terumbu karang dari bahaya pelumpuran
(Pramudji,2001). Ekosistem mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis
penting seperti, penyedia kayu, daun sebagai bahan baku obat-obatan,
dan sebagainya (Dahuri et al., 1996.)
Padang Lamun
Lamun (seagrass) adalah salah satu tumbuhan laut yang termasuk
tumbuhan sejati karena sudah dapat dibedakan antara batang, daun, dan
akarnya lamun juga merupakan tumbuhan berbunga yang tumbuh di
perairan dangkal dan estuari yang ada di seluruh dunia. Lamun termasuk
dalam kelompok tumbuhan monokotil yang secara utuh memiliki
perkembangan sistem perakaran dan rhizoma yang baik (Kawaroe 2009).
Lamun mempunyai daun-daun panjang, tipis dan seperti pita yang

memiliki saluran-saluran air. Lamun tumbuh dari rhizoma yang


merambat.
Menurut Azkab (2006) Lamun (seagrass) adalah tumbuhan air
berbunga (Anthophyta) yang hidup dan tumbuh terbenam di lingkungan
laut, berpembuluh, berimpang (rhizome), berakar, dan berkembang biak
secara generatif (biji) dan vegetatif. Rimpangnya merupakan batang yang
beruasyang tumbuh terbenam dan menjalar dalam substrat pasir, lumpur
dan pecahan karang. Padang lamun (seagrass bed) adalah hamparan
vegetasi lamun yang menutupi suatu area pesisir/laut dangkal yasng
terbentuk oleh satu jenis lamun (monospecific) atau lebih (mixed
vegetation) dengan kerapatan tanaman yang padat (dense) atau jarang
(sparse). Sedangkan ekosistem lamun (seagrass ecosystem) adalah satu
sistem (organisasi) ekologi padang lamun yang di dalamnya terjadi
hubungan timbal balik antara komponen abiotik (air dan sedimen) dan
biotik (hewan dan tumbuhan).
Spesies lamun di Indonesia diantaranya Enhalus acoroides,
Cymodoceaserrulata,

Cymodocea

rotundata,

Halodulepinifolia,

Halodule univervis, Halophila ovalis, Halophila minor, Halophila


spinulosa, Halophila decipiens, Syringodium isoetifolium, Thallasia
hemprichii dan Thalassodendron ciliatum (Azkab 2006). Spesies tersebut
secara umum memebentuk 3 (tiga) tipe vegetasi padang lamun
(Tomasciket al., 1997) yaitu:
1. Padang lamun vegetasi tunggal (monospesificseagrass beds), dimana hanya
terdapat satu spesies saja.
2. Padang lamun yang berasosiasi dengan dua atau tiga spesies, dimana lebih
sering dijumpai dibandingkan vegetasi tunggal.
3. Padang lamun vegetasi campuran (mixed seagrass beds), umumnya terdiri dari
spesies-spesies Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea
rotundata, Cymodocea serrulata, Syringodium isoetifolium, Halodule
uninervis dan Halophila ovalis.

Padang lamun sangat mirip dan bahkan menyerupai padang


rumput di daratan dan hidup pada kedalaman yang relatif dangkal (1-10
meter) kecuali beberapa jenis seperti Halodule sp., Syringodium sp. dan
Thalassodendrum sp., yang juga di temukan pada kedalaman sampai
dengan 20 meter dengan penetrasi cahaya yang relatif rendah dan
ditemukan jenis Halophila pada kedalaman 90 meter (Den Hartog 1970).
Namun umumnya sebagian besar padang lamun menyebar pada
kedalaman 1 10 meter. Di beberapa perairan dangkal, kita dapat
menyaksikan padang lamun dengan kepadatan yang cukup tinggi yang
memberikan kesan hijau pada dasar perairan (Nybakken 1992).
Parameter lingkungan yang mempengaruhi distribusi dan
pertumbuhan ekosistem padang lamun adalah kecerahan, temperatur,
salinitas, substrat, dan kecepatan arus (Dahuri 2003). Lamun dapat
ditemukan pada berbagai karakteristik substrat. Di Indonesia padang
lamun dikelompokkan kedalam enam katagori berdasarkan karakteristik
tipe substratnya, yaitu lamun yang hidup di substrat berlumpur, lumpur
pasiran, pasir, pasir lumpuran, puing karang, dan batu karang (Kiswara
dan Hutomo 1985).
Padang lamun mempunyai beberapa fungsi ekologis yang sangat
potensial berupa perlindungan bagi invertebrata dan ikan kecil. Daundaun lamun yang padat dan saling berdekatan dapat meredam gerak arus,
gelombang dan arus materi organik yang memungkinkan padang lamun
merupakan kawasan lebih tenang dengan produktifitas tertinggi di
lingkungan pantai di samping terumbu karang. Sejumlah spesies ikan
ekonomis penting menghabiskan sebagian siklus hidup dan sepanjang
hidupnya pada ekosistem padang lamun. Ditemukan juga spesies nonkomersial sebagai sumber makanan penting untuk spesies komersial
sehingga membentuk hubungan trofik yang cukup kompleks (Gillanders,
2006).
Massa daun lamun juga akan menurunkan pencahayaan matahari
di siang hari, melindungi dasar perairan dan memungkinkan pengembangan lingkungan mikro pada dasar vegetasi. Melambatnya pola arus

dalam padang lamun memberi kondisi alami yang sangat di senangi oleh
ikan-ikan kecil dan invertebrata kecil seperti beberapa jenis udang, kuda
laut, bivalve, gastropoda dan echinodermata. Hal terpenting lainnya
adalah daun-daun lamun berasosiasi dengan alga kecil yang dikenal
dengan epiphyte yang merupakan sumber makanan terpenting bagi
hewan-hewan kecil tadi. Epiphyte ini dapat tumbuh sangat subur dengan
melekat pada permukaan daun lamun dan sangat di senangi oleh udangudang kecil dan beberapa jenis ikan-ikan kecil.
Disamping itu padang lamun juga dapat melindungi hewanhewan kecil dari serangan predator. Sangat khas memang pola kehidupan
hewan-hewan kecil ini di padang lamun yang tidak jarang memberikan
konstribusi besar bagi kelangsungan ikan dan udang ekonomis penting
(Karyono 2010). Padang lamun berperan dalam meningkatkan usaha
perikanan masyarakat pesisir, karena secara ekologis memiliki peranan
yang sangat penting yaitu tempat mencari makan (feeding ground),
berpijah (spawning ground), berlindung (shelter), dan pembesaran
(nursery ground) (Aswandy, 2000). Sedangkan menurut Azkab (2006)
Peranan lamun antara lain, sebagai produsen primer; sebagai stabilisator dasar perairan,
sebagai pendaur hara, sebagai sumber makanan dan sebagai tempat asuhan.

Terumbu Karang
Terumbu karang adalah struktur di dasar laut berupa deposit
kalsium karbonat di laut yang dihasilkan terutama oleh hew an karang.
Karang adalah hewan tidak bertulang belakang yang termasuk dalam
Filum Coelenterata (hew an berrongga) atau Cnidaria. Karang (coral)
mencakup karang dari Ordo scleractinia dan Sub kelas Octocorallia
(kelas Anthozoa) maupun kelas Hydrozoa. Lebih lanjut dalam makalah
ini pembahasan lebih menekankan pada karang sejati (Scleractinia). Satu
individu karang atau disebut polip karang memiliki ukuran yang
bervariasi mulai dari yang sangat kecil 1 mm hingga yang sangat besar
yaitu lebih dari 50 cm. Namun yang pada umumnya polip karang
berukuran kecil. Polip dengan ukuran besar dijumpai pada karang yang
soliter.

Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang


sangat produktif dan memiliki keanekaragaman spesies sangat tinggi
(Sverdrup, Duxbury & Duxbury, 2003). Kehadiran ekosistem ini
merupakan ciri utama perairan dangkal di daerah katulistiwa. Terumbu
ini dibangun seluruhnya oleh kegiatan biologis dari hewan karang.
Karang pembentuk terumbu membentuk simbiosis dengan zooxantella
yaitu alga bersel satu yang terdapat dalam endoderma.
Kemampuan karang muda untuk terus hidup memang sangat
tergantung pada kondisi substrat, sebagai contoh: Karang akan tumbuh
lebih baik di substrat yang padat karang lebih mampu bertahan hidup bila
posisi substrat vertikal daripada horizontal karang akan tumbuh lebih
cepat di tempat dangkal tapi yang lebih survive di perairan yang sedikit
lebih dalam (Timotius, 2008).
Terumbu karang merupakan ekosistem yang subur dan kaya akan
makanan sehingga ekosistem ini merupakan habitat yang baik bagi
beberapa biota laut baik vertebrata maupun avertebrata. Avertebrata yang
terdapat dalam ekosistem terumbu karang adalah Filum
Coelenterata, Mollusca,

Echinodermata, Crustacea

Porifera,

dan cacing

(Romimohtarto & Juwana,2001). Beberapa spesies terumbu karang yang


ada di Indonesia diantaranya Favia veroni, Acropora digitifera, Acropora
humilis, Euphyllia glabrescens, Favia maritime, Favites pentagona,
Goniastre

aspera,

Goniastrea

retiformes,

Montipora

capricornis,

Montipora tuberculosa, Oulophyllia bennettae, Porites lichen, Porites


lobata, Symphilla radians, Turbinaria mesenterina. Di habitat aslinya jika
dalam keadaan lestari perpaduan terumbu karang beserta fauna lain
menghasilkan suatu pemandanagn yang sangat indah. Meskipun
demikian, terumbu karang menghadapi sejumlah ancaman serius,
termasuk polusi dari daratan, dampak pemancingan, perubahan iklim,
dan penipisan terumbu, peningkatan keasaman laut, serta kurangnya
kesadaran masyarakat (Nooa goves,2009).
2.2 Penyebab Kerusakan Pantai Dan Laut

Dewasa ini sumberdaya alam dan lingkungan telah menjadi barang langka
akibat

eksploitasi

yang

berlebihan

dan

kurang

memperhatikan

aspek

keberlanjutan. Meskipun secara ekonomi dapat meningkatkan nilai jual, namun di


sisi lain dapat menimbulkan ancaman kerugian ekologi yang jauh lebih besar,
seperti hilangnya lahan, langkanya air bersih, banjir, longsor, dan sebagainya.
Salah satu akibat dari kelangkaan tersebut adalah pemanfaatan sumber daya alam
(SDA) yang kini mulai bergeser dari SDA darat kearah pemanfaatan SDA pesisir
dan laut.
Menurut Supriyanto (2003) dalam Fadilah, dkk (2013)

Faktor yang

menyebabkan kerusakan daerah pantai bisa bersifat alami maupun akibat


antropogenik. Faktor alami berasal dari pengaruh proses hidro-oseanografi yang
terjadi di laut yang dapat menimbulkan hempasan gelombang, perubahan pola
arus, variasi pasang surut, serta perubahan iklim Sekitar 3 (tiga) tahun terakhir
terlihat beberapa kawasan wilayah sepanjang pantai yang mengalami kerusakan,
terutama dalam bentuk fisik seperti perubahan garis pantai, baik berupa abrasi/
erosi maupun akresi/ sedimentasi.
Selain itu menurut Vatria (2010) penyebab terjadinya degradasi
atau kerusakan pantai dan laut yang disebabkan oleh manusai meliputi 3
hal yaitu:
a. pembukaan hutan manggrove untuk dijadikan tambak udang dan
kayunya dijadikan bahan bangunan. Hal yang paling mudah
diungkapkan adalah pada ekosistem pesisir dan mangrove sering terjadi
pemanfaatan kayu berdiameter kurang dari 10 cm yang digunakan untuk
pondasi rumah. Selain bermasalah terhadap regenerasi hutan, juga dapat
menyebabkan terhambatnya proses suksesi hutan mangrove. Hal ini
menyebabkan terjadi abrasi, dan hilangnya beberapa ekosistem pulau. Dan
sangat disayangkan teki juga dilakukan di daerah-daerah jalur hijau hutan
mangrove.
b. penggunaan plastik, kaleng, peptisida, bahan bakar untuk kebutuhan
aktivitas manusia. Secara singkat bahwa sumber utama pencemaran
pesisir

terdiri

dari tiga jenis

kegiatan, yaitu kegiatan

industri

(pertambangan timah dan minyak, angkutan laut dan pariwisata bahari),


kegiatan rumah tangga, dan kegiatan pertanian. Sementara itu bahan utama

yang terkandung dalam buangan limbah dari ketigan sumber tersebut


berupa sedimen, unsur hara, pestisida, organisme patogen dan sampah.
Jika dianalisis secara mendalam, dapat disimpulkan bahwa kawasan yang
termasuk kategori tingkat pencemaran yang tinggi merupakan kawasan
pesisir yang padat penduduk, kawasan industri dan juga pertanian. Dalam
menguraikan limbah-limbah tersebut dalam air laut memerlukan waktu
yang cukup lama. Misalnya untuk menguraikan limbah botol plastik di air
laut diperlukan waktu sekitar 450 tahun dan kertas bekas karcis diperlukan
waktu sekitar 2 4 minggu. Dengan Demikian maka seandainya setiap
hari laut suplai berbagai sampah kelestarian laut akan semakin terancam.
Karena sampah-sampah tersebut memerlukan waktu lama untuk dapat
diuraikan kembali dalam air laut.
c. Ekploitasi sumber daya alam yang berlebihan. Untuk mendapatkan
hasil tangkapan ikan yang berlimpah, banyak nelayan yang menggunakan
bahan peledak dan alat tangkap yang merusak sehingga menyebabkan
kelangkaan/kerusakan habitat yang ada. Pada umumnya, kerusakan
terumbu karang disebabkan oleh kegiatan-kegiatan perikanan yang bersifat
destruktif, yaitu penggunaan bahan-bahan peledak, bahan beracun
(cyanida), dan juga aktivitas penambangan karang untuk bahan bangunan,
reklamasi pantai, kegiatan pariwisata yang kurang bertanggung jawab, dan
sedimentasi akibat meningkatnya erosi dan lahan atas. Berdasarkan persen
tutupan karang hidup dilaporkan bahwa kondisi terumbu karang di
wilayah perairan Indonesia adalah 39% rusak, 34% agak rusak, 22% baik
dan hanya 5% yang sangat bagus.
Aktifitas manusia yang menyebabkan rusaknya terumbu karang adalah
penggunaan

bahan

peledak,

limbah,

pembuangan

jangkar,

reklamasi

pemungkinan, koleksi dan lain sebagainya telah mengsengsarakan ekosistem


terumbu karang. Secara umum di bebagai wilayah di Indonesia umumnya kondisi
terumbu karang telah mengalami kerusakan yang mencapai pada tingkat
memprihatinkan. Hal ini berakibat buruk bagi ekosistem terumbu karang di
Indonesia bila dibiarkan tanpa solusi. Untuk itu perlu langkah penyelamatan dan
usaha mencarikan solusi lain agar sumberdaya ikan yang menggantungkan
aktifitasnya di ekosistem terumbu karang. Akibat rusaknya terumbu karang telah

berakibat menurunnya ketersedian sumberdaya ikan dan menurunkan hasil


tangkapan nelayan.
Kerusakan lingkungan di wilayah pantai/pesisir Indonesia sampai saat ini
belum bisa ditanggulangi dengan optimal. Bahkan yang terjadi saat ini, berbagai
kerusakan lingkungan di wilayah pesisir semakin meluas. Penyebab kerusakan
lingkungan di wilayah pesisir tersebut lebih didominasi oleh pencemaran minyak,
sampah, dan lain-lain, abrasi pantai, kerusakan mangrove dan terumbu karang.
Dengan melihat penyebab kerusakan tersebut terlihat bahwa aktivitas manusia lah
yang menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan di wilayah pesisir dan laut.
Padahal kalau dilihat dari dampak kerusakan tersebut sebagai besar akan
berdampak kepada aktivitas manusia dan lingkungan, seperti rusaknya biota laut,
terancamnya pemukiman nelayan, terancamnya mata pencaharian nelayan dan
sebagainya. Oleh sebab itu apabila hal ini tidak secepatnya ditanggulangi dengan
optimal maka dikhawatirkan sumber daya pesisir dan laut akan semakin
terdegradasi. Selain itu juga aktivitas masyarakat pesisir akan semakin terancam.
2.3 Indikator Kerusakan/Pencemaran Pantai Dan Laut
Menurut Waryono (2000) indikator kerusakan/pencemaran pantai
adalah berupa kondisi fisik dan kimia tanah, serta kondisi dan keberadaan
mikrobiota tanahnya.
Kondisi fisik tanah
Karakteristik umum yang paling menonjol pada lahan-lahan
terbuka bekas penambangan adalah lapisan tanah (top soil) hilang,
hingga profil tanahnya tidak dapat dikenalui kembali. Rusaknya lapisan
tanah akibat pengerukan yang tidak terkontrol, menyebabkan rusaknya
struktur dan tektur tanah, hingga meningkatnya dominansi debu.
Tingginya prosentase debu berakibat buruk terhadap porositas tanah dan
bulk density, yang merupakan karakter tanah yang penting dalam
pertumbuhan pepohonan. Terganggunya porositas tanah, menyebabkan
terancamnya sistem tata air tanah, dan aerasi (peredaran udara dalam
tanah), dan berpengaruh langsung terhadap perkem-bangan sistem
perakaran tumbuhan.

Kondisi Kimia tanah


Pada profil tanah normal, lapisan tanah atas (top soil) merupakan
sumber unsur-unsur hara makro dan mikro yang esensial bagi
pertumbuhan tanaman; juga sebagai sumber bahan organik untuk
menopang kehidupan dan aktivitas mikroba tanah poten-sial. Tipisnya
lapisan top soil, dan bahan organik dianggap sebagai penyebab utama
rendahnya tingkat kesuburan tanah. Selain itu kadar unsur hara esensial
seperti nitrogen (N), posfor (P), dan kalium (K), dan reaksi tanah masam
(pH rendah), pada lahan-lahan pasca tambang juga rendah akibatnya
tidak dapat untuk ditumbuhhi oleh mangrove.
Kondisi Mikrobiota tanah
Hilangnya lapisan tanah (top soil), termasuk bahan organik yang
masih dapat dikenal, lifter (forna), serasah dan humus, sebagai sumber
carbon (C), untuk menyokong kelangsungan hidup mikrobiota tanah
potensial,

merupakan

penyebab

utama

tidak

terjadinya

proses

huminifikasi. Pada kondisi lahan-lahan pasca tambang kehidupan


mikrobiota tanah (bakteri Rhizobium, Bradyrhizobium) atau cendawan
mikroriza yang mampu melakukan proses huminifikasi menjadi tidak
tersedia, hingga sangat sulit sebagai sumber unsur-unsur hara mineral
bagi tumbuhan.
Keterbatasan Seed Bank
Keterbukaan lahan pasca tambang, akibat hilangnya top soil dan
vegetasi asli bukan saja berpengaruh terhadap sifat fisik, kimia dan
keberadaan mikrobiota tanah, namun juga menyebabkan hilangnya bijibiji dorman (seed bank). Fertilnya tanah ter-masuk tidak tersedianya
sumber biji alami, menyebabkan sulitkan proses sukseksi.Hempasan
ombak pada musim panca roba (gelombang tinggi dan angin ken-cang),
sering menjadi penyebab utama terdegradasinya formasi pantai yang
tidak

ditumbuhi

oleh

manggrove. Abrasi

yang

terus

menerus

menyebabkan lapisan pasir di bagian darat akan tergerus, dan akan


diendapkan di lokasi lain, karena terbawa oleh arus yang kuat. Akibatnya

terjadi kerusakan ekosistem lamun dan terumbu karang karena tertutup


lumpur dari daratan.
Mangrove dapat menjadi indicator pencemaran pantai oleh
minyak. apabila tumpahan minyak dalam kuantitas yang besar, umumnya
pohon-pohon mangrove mengalami devoliasi dalam kurun waktu 1-2
bulan yang selanjutnya diikuti dengan kematian, dan (b). Apabila deposit
minyak dalam sedimen relatif rendah umumnya terjadi pengaruh subletal terhadap mangrove, seperti

devoliasi sebagian dan terbukanya

kanopi, penurunan laju pertumbuhan dan perubahan dalam komposisi


jenis (Kusmana, Tanpa Tahun).
Selain indikator kerusakan pantai juga terdapat Indikator
kerusakan laut yang berupa rusaknya ekosistem padang lamun dan
rusaknya ekosistem terumbu karang. Kerusakan atau pencemaran
tersebut terjadi akibat pembuangan limbah dari berbagai aktivitas di darat
maupun di laut, sedimentasi akibat rusaknya wilayah hulu dan daerah
aliran sungai,

pertambangan, penangkapan ikan merusak

menggunakan sianida dan alat tangkap

yang

terlarang, pemutihan karang

akibat perubahan iklim (global warming), serta penambangan terumbu


karang (Greenpeace Southeast Asia Indonesia, 2013).
Indikator pencemaran laut berupa dapat perubahan warna perairan
dan tumpukan sampah di perairan, penurunan produktifitas primer
perairan dan pemutihan terumbu karang. penurunan produktifitas primer
perairan berupa menurunnya hasil tangkapan ikan dan udang serta biota
laut lain. Kondisi pemutihan (bleaching) sangat mungkin terjadi tiap
tahun di laut-laut kawasan tropis pada masa-masa akhir 30-50 tahun
mendatangi. Pemutihan terumbu terjadi ketika algae yang hidup di
jaringan terumbu terpaksa keluar. Karang pembentuk terumbu terdesak
jika terpapar peningkatan kecil (1 hingga 20C) temperatur air dan
mengalami pemutihan terumbu. Terumbu karang sensitif kepada
peningkatan

suhu

(Guldberg,2001).

laut,

menyebabkan

pemutihan

terumbu

Sedimentasi yang terjadi di suatu perairan dapat berpengaruh


antara lain pada pendangkalan dan perubahan bentang alam dasar laut,
kesuburan

perairan, dan keanekaragaman hayati. Dalam lingkungan

perairan ada tiga

media yang dapat dipakai sebagai indicator

pencemaran logam berat, yaitu air,

sedimen dan organisme hidup.

Pemakaian organisme laut sebagai indikator pencemaran didasarkan


pada kenyataan bahwa alam atau lingkungan yang tidak tercemar akan
ditandai oleh kondisi biologi

yang seimbang dan mengandung

kehidupan yang beranekaragam. Salah satu

organisme yang sering

dijadikan sebagai indikator pencemaran adalah ikan. Terdapat beberapa


pengaruh toksisitas logam pada ikan, misalnya pengaruh

toksisitas

logam pada insang. Insang selain sebagai alat pernafasan juga digunakan
sebagai alat pengaturan tekanan antara air dan dalam tubuh ikan
(osmoregulasi). Akumulasi logam yang tertinggi biasanya dalam
detoksikasi (hati) dan ekskresi (ginjal). Akumulasi logam berat dalam
tubuh organisme tergantung pada
air/lingkungan,

suhu,

keadaan

konsentrasi logam berat dalam


spesies

dan

aktifitas

fisiologis

(Santosa,2013).
2.4 Pengelolaan Sumberdaya Pantai Dan Laut Untuk Mengatasi Kerusakan
Dan Pencemaran Pantai Dan Laut
1. Pandangan umum pantai dan laut
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar,dengan garis pantai
terpanjang di dunia, sekitar 81.000 km, serta mempunyai sumberdaya
pantai dan pesisir yang sangat luas, sekitar 24,6 juta hektar
(Bunasor,1992 dalam Winarno, dkk, 2003). Fadilah dkk (2013) juga
mengungkapkan bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki
wilayah perairan yang luas. Wilayah laut dan daratan dipisahkan oleh
pantai. Kawasan pantai merupakan wilayah pelindung (barrier) antara
lautan dan daratan dan banyak menyimpan potensi kekayaan alam yang
layak untuk dimanfaatkan dan dikelola lebih lanjut dalam menunjang
kesejahteraan masyarakat, baik sebagai pelabuhan, kawasan industri,
maupun pariwisata. Pemanfaatan kawasan pantai umumna terbatas pada

pengembangan tegalan dan pariwisata (Uktolseya, 1992 dalam Winarno,


dkk, 2003).
Indonesia memiliki daerah laut yang cukup luas. Karakteristik laut
menurut Dahuri (2003 dalam dina) yaitu laut merupakan sumber dari
common property resources (sumberdaya milik bersama), sehingga
memiliki fungsi publik atau kepentingan umum, laut merupakan open
acsess, yang memungkinkan setiap warga negara untuk memanfaatkan
ruang laut untuk berbagai kepentingan, dan laut bersifat fluida, yang
bermakna sumberdaya (biota laut) dan dinamika hydro oceanography
tidak dapat disekat atau dikapling. Laut mengandung sumberdaya yang
kaya seperti ikan, terumbu karang, rumput laut, dan sebagainya.
2. Macam Sumberdaya Pantai dan Laut
Kawasan pantai dan laut di Indonesia memiliki potensi sumberdaya
yang kaya. Daerah pantai menurut Husni (1995) dalam Winarno, dkk
(2003) memiliki sumberdaya berupa lahan pertanian, perikanan,
kehutanan, pariwisata industri kecil, dan perdagangan. Bemmelen 1949)
dalam Wahyudin (2011) menyebutkan bahwa secara geologi, kawasan
pantai (Barat dan Selatan Jawa Barat) memiliki potensi sumberdaya seperti
bahan galian golongan C berupa batu pecah, Bentonit, kerakal, kerikil,
pasir, lignit, dan pasir besi. Sumberdaya geologi lainnya yang dicontohkan
di Pantai Utara Jawa Barat adalah bahan galian golongan C berupa pasir
halus sampai pasir kasar, lempung, endapan pasir dan lempung. Daerah
laut memiliki potensi sumberdaya, yaitu sumber daya yang dapat pulih,
seperti berbagai jenis ikan, udang, rumput laut, padang lamun, mangrove,
dan terumbu karang. sedangkan sumberdaya yang tidak dapat pulih
meliputi mineral, bahan tambang atau galian, dan minyak bumi dan gas
(Dahuri, 1999 di stefanus).
3. Cara Pengolahan Sumberdaya Pantai dan Laut Agar Tidak Rusak
dan Tercemar
Kawasan pantai dan laut di Indonesia dengan sumberdaya yang
melimpah perlu upaya pengelolaan yang baik dan bijaksana. Pengelolaan
tersebut salah satunya adalah dengan pembangunan berkelanjutan.

Pembangunan berkelanjutan pada dasarnya merupakan suatu strategi


pembangunan yang memanfaatan ekosistem dan sumberdaya alam
sedemikian rupa sehingga dapat memberikan manfaat secara optimal
bagi manusia, tanpa merusak atau mengurangi kemanfaatannya bagi
generasi yang akan datang (Dahuri, 1992 dalam Winarno, dkk, 2003).
Sumberdaya khususnya sumberdaya alam yang terdapat di pantai dan
laut adalah modal dasar yang memberikan kehidupan bangsa di segala
bidang. Oleh sebab itu pendayagunaan daerah pantai dan laut perlu
ditingkatkan tanpa merusak mutu dan kelestarian lingkungan hidup.
Faktor yang menyebabkan kerusakan daerah pantai bisa bersifat
alami maupun akibat antropogenik. Faktor alami berasal dari pengaruh
proses hidro oseanografi yang terjadi di laut yang dapat mengakibatkan
hempasan gelombang, perubahan pola arus, variasi pasang surut, serta
perubahan iklim (Supriyanto, 2003 dalam Fadilah).
Kerusakan sumberdaya di daerah laut dapat disebabkan oleh
beberapa faktor. Salah satu sumberdaya laut, yaitu terumbu karang, dapat
mengalami degradasi karena kegiatan manusia yang tidak peduli
lingkungan. Tindakan tersebut antara lain penambangan dan pengambilan
barang, penangkapan ikan dengan menggunakan alat dan metode yang
merusak, penangkapan yang berlebih pencemaran perairan, kegiatan
pembangunan di wilayah pesisir, dan kegiatan pembangunan di wilayah
hulu. Sedangkan degradasi terumbu karang yang diakibatkan oleh alam
antara lain pemanasan global, bencana alam seperti angin taufan, gempa
tektonik, banjir, dan tsunami serta fenomena alam lainnya seperti ElNino, La-Nina, dan lain sebagainya (Kasim, 2011).
Sumberdaya di daerah pantai dan laut perlu pengolahan yang baik
dan bijaksana agar tetap lestari. Pengelolaan sumberdaya laut dan pantai
pada dasarnya memiliki tujuan untuk mengingkatkan kesejahteraan
seluruh masyarakat secara berkelanjutan serta memelihara alam dari
kerusakan.dan pencemaran. Oleh karena itu dalam pemanfaatan
sumberdaya pantai maupun laut, aspek ekolpgi dalam hal kelestarian

sumberdaya dan fungsi utama ekosistem harus dipertahankan sebagai


landasan utama.
Pengelolaan sumberdaya

dan pantai laut, misalnya mangrove

dapat dilakukan dengan beberapa konsep menurut Saraswati (2004),


yaitu konsep Silvofishery. Konsep Silvofishery memiliki beberapa makna
menurut Saraswati (2004), yaitu kegiatan budidaya perikanan dalam
kawasan hutan mangrove, sebagai bentuk budidaya mangrove dan
aquakultur air payau secara terpadu, usaha yang mempunyai tujuan
ganda secara ekologi dan ekonomi yaitu secara ekologi melaksanakan
rehabilitasi hutan mangrove dan usaha peningkatan ekonomi dengan
memberikan lapangan kerja bagi masyarakat melalui budidaya perikanan.
Konsep ini dapat menjadi jalan untuk pengolahan sumberdaya laut
khususnya mangrove agar terhindar dari kerusakan dan pencemaran.
Pengelolaan sumberdaya pantai dan laut lainnya dapat dilakukan
dengan membangun kearifan local masyarakat setempat di daerah pantai
maupun laut. Pengelolaan sumberdaya daerah pantai maupun laut dengan
kearifan lokal telah dilakukan oleh masyarakat Bajo di Tiworo (Bahtiar,
2012). Konsep pamali telah menjadi budaya pada masyarakat Bajo di
Tiworo. Konsep pamali atau pantang larang menjad batasan bagi
masyarakat Bajo untuk menghargai alam dan sekaligus akan menjaga
kelestarian alam dari kerusakan dan pencemaran. Menurut Bahtiar (2012)
konsep pamali pada masyarakat ini menunjukkan bahwa masyarakat
tersebut memiliki seperangkat kearifan ekologi yang dapat dikreasi dan
digunakan sebagai salah satu model alternatif dalam pengelolaan
sumberdaya pantai maupun laut.
Metode lain yang dapat digunakan untuk pengelolaan sumberdaya
pantai maupun laut adalah dengan pengelolaan berbasis masyarakat.
Pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat dapat diartikan sebagai
suatu sistem pengelolaan sumberdaya alam di suatu tempat yang
melibatkan masyarakat lokal secara aktif. Pengelolaan sumberdaya
berbasis masyarakat di Indonesia telah ditetapkan dalam Pasal 33
Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa bumi dan air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan


dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Ketentuan
tersebut secara tegas menginginkan agar pelaksanaan penguasaan negara
atas sumberdaya alam khususnya sumberdaya pantai dan lautan
diarahkan kepada tercapainya manfaat yang sebesarbesarnya bagi
kemakmuran rakyat banyak, dan juga harus mampu mewujudkan
keadilan dan pemerataan sekaligus memperbaiki kehidupan serta
memajukan desa pantai (Nurmalasari, tanpa tahun yessy).

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.1.1
3.1.2 Penyebab kerusakan pantai dan laut dapat bersifat alami (hempasan
gelombang, perubahan pola arus, variasi pasang surut, serta perubahan
iklim) maupun akibat antropogenik (eksploitasi laut yang berlebihan oleh
manusia).
3.1.3
3.1.4 Secara keseluruhan pengelolaan sumberdaya pantai dan laut dapat
dilakukan

dengan

beberapa

strategi,

yaitu

dengan

konservasi,

memanfaatkan kearifan local masyarakat setempat, serta pengelolaan


berbasis masyarakat. Strategi tersebut diharapkan dapat menjadi jalan atau
upaya untuk menjaga sumberdaya pantai dan laut serta mewujudkan
kesejahteraan masyarakat.
3.2 Saran

DAFTAR RUJUKAN
Edgren, G., 1993. Expected Economic and Demographic Development in Coastal
World Wide, National Institute for Coastal and Marine Management,
Coastal ZoneManagementCentre, Netherland: Noordwijk
Fadilah, dkk. 2013. Identifikasi Kerusakan Pantai Kabupaten Bengkulu Tengah
Provinsi Bengkulu. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya
Alam

dan

Lingkungan

2013

(Online),

(http://www.ijpbs.net/isue-

2/105.pdf), diakses 9 Januari 2014.


Kunarso, Djoko Hadi. 2013. Kajian Kesuburan Ekosistem Perairan Laut
Sulawesi Tenggara Berdasarkan Aspek Bakteriologi. Jurnal Ilmu dan Teknologi
Kelautan Tropis, Vol. 3, No. 2, Hal. 32-47, Desember 2011. (Online),(http://share.
pdfonline. com/2e786308de3c46aba7e727f10f8bc9d/ KajianKesuburan. html),
diakses 9 Januari 2014.
Manengkey, Hermanto.2010. Kandungan Bahan Organik Pada Sedimen Di
Perairan Teluk Buyat Dan Sekitarnya. Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis Vol.
VI-3, Desember 2010 (Online), (http://journal.unsrat.ac.id/filerPDF/5.pdf),
diakses 10 Januari 2014.
Vatria, Belvi. 2010. Berbagai Kegiatan Manusia Yang Dapat Menyebabkan
Terjadinya Degradasi Ekosistem Pantai Serta Dampak Yang
Ditimbulkannya. Jurnal Belian Vol. 9 No. 1 Jan. 2010: 47 54. (Online),
(http://rdo.psu.ac.th/sjstweb/journal/33-4/0125-3395-33-4-411-417.pdf),
diakses 10 Januari 2014.

Anda mungkin juga menyukai