Anda di halaman 1dari 17

Otopsi

PENDAHULUAN
Otopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, yang meliputi pemeriksaan terhadap bagian
luar maupun dalam, dengan tujuan menemukan proses penyakit dan atau adanya cedera,
melakukan interpretasi atau penemuan-penemuan tersebut, menerangkan penyebab kematian
serta mencari hubungan sebab akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan dengan penyebab
kematian. (1,2)
PEMBAGIAN OTOPSI
Berdasarkan tujuannya, otopsi terbagi atas :
1. Otopsi Anatomi, dilakukan untuk keperluan pendidikan mahasiswa fakultas kedokteran.
Bahan yang dipakai adalah mayat yang dikirim ke rumah sakit yang setelah disimpan 2 x
24 jam di laboratorium ilmu kedokteran kehakiman tidak ada ahli waris yang
mengakuinya. Setelah diawetkan di laboratorium anatomi, mayat disimpan sekurangkurangnya satu tahun sebelum digunakan untuk praktikum anatomi. Menurut hukum, hal
ini dapat dipertanggungjawabkan sebab warisan yang tak ada yang mengakuinya menjadi
milik negara setelah tiga tahun (KUHPerdata pasal 1129). Ada kalanya, seseorang
mewariskan mayatnya setelah ia meninggal pada fakultas kedokteran, hal ini haruslah
sesuai dengan KUHPerdata pasal 935. (1,2,3)
2. Otopsi Klinik, dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga terjadi akibat suatu
penyakit. Tujuannya untuk menentukan penyebab kematian yang pasti, menganalisa
kesesuaian antara diagnosis klinis dan diagnosis postmortem, pathogenesis penyakit, dan
sebagainya. Otopsi klinis dilakukan dengan persetujuan tertulis ahli waris, ada kalanya
ahli waris sendiri yang memintanya. (1,2,3)
3. Otopsi Forensik/Medikolegal, dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga
meninggal akibat suatu sebab yang tidak wajar seperti pada kasus kecelakaan,
pembunuhan, maupun bunuh diri. Otopsi ini dilakukan atas permintaan penyidik
sehubungan dengan adanya penyidikan suatu perkara. Tujuan dari otopsi medikolegal
adalah :
o Untuk memastikan identitas seseorang yang tidak diketahui atau belum jelas.
o Untuk menentukan sebab pasti kematian, mekanisme kematian, dan saat
kematian.
o Untuk mengumpulkan dan memeriksa tanda bukti untuk penentuan identitas
benda penyebab dan pelaku kejahatan.

o Membuat laporan tertulis yang objektif berdasarkan fakta dalam bentuk visum et
repertum. (1,3,4)
OTOPSI MEDIKOLEGAL
Otopsi medikolegal dilakukan atas permintaan penyidik sehubungan dengan adanya penyidikan
suatu perkara. Hasil pemeriksaan adalah temuan obyektif pada korban, yang diperoleh dari
pemeriksaan medis. (4)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada otopsi medikolegal :
1. Tempat untuk melakukan otopsi adalah pada kamar jenazah.
2. Otopsi hanya dilakukan jika ada permintaan untuk otopsi oleh pihak yang berwenang.
3. Otopsi harus segera dilakukan begitu mendapat surat permintaan untuk otopsi.
4. Hal-hal yang berhubungan dengan penyebab kematian harus dikumpulkan dahulu
sebelum memulai otopsi. Tetapi kesimpulan harus berdasarkan temuan-temuan dari
pemeriksaan fisik.
5. Pencahayaan yang baik sangat penting pada tindakan otopsi.
6. Identitas korban yang sesuai dengan pernyataan polisi harus dicatat pada laporan. Pada
kasus jenazah yang tidak dikenal, maka tanda-tanda identifikasi, photo, sidik jari, dan
lain-lain harus diperoleh.
7. Ketika dilakukan otopsi tidak boleh disaksikan oleh orang yang tidak berwenang.
8. Pencatatan perincian pada saat tindakan otopsi dilakukan oleh asisten.
9. Pada laporan otopsi tidak boleh ada bagian yang dihapus.
10. Jenazah yang sudah membusuk juga bisa diotopsi. (4)
Adapun persiapan yang dilakukan sebelum melakukan otopsi forensik/medikolegal adalah:
1. Melengkapi surat-surat yang berkaitan dengan otopsi yang akan dilakukan, termasuk
surat izin keluarga, surat permintaan pemeriksaan/pembuatan visum et repertum.
2. Memastikan mayat yang akan diotopsi adalah mayat yang dimaksud dalam surat tersebut.
3. Mengumpulkan keterangan yang berhubungan dengan terjadinya kematian selengkap
mungkin untuk membantu memberi petunjuk pemeriksaan dan jenis pemeriksaan
penunjang yang harus dilakukan.

4. Memastikan alat-alat yang akan dipergunakan telah tersedia. Untuk otopsi tidak
diperlukan alat-alat khusus dan mahal, cukup :
o Timbangan besar untuk menimbang mayat.
o Timbangan kecil untuk menimbang organ.
o Pisau, dapat dipakai pisau belati atau pisau dapur yang tajam.
o Gunting, berujung runcing dan tumpul.
o Pinset anatomi dan bedah.
o Gergaji, gergaji besi yang biasanya dipakai di bengkel.
o Forseps atau cunam untuk melepaskan duramater.
o Gelas takar 1 liter.
o Pahat.
o Palu.
o Meteran.
o Jarum dan benang.
o Sarung tangan.
o Baskom dan ember.
o Air yang mengalir (3,4)
5. Mempersiapkan format otopsi, hal ini penting untuk memudahkan dalam pembuatan
laporan otopsi.
DASAR HUKUM
Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur pekerjaan dokter dalam membantu
peradilan: (5)

Pasal 133 KUHAP :


o Ayat 1:

Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik
luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan
tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
o Ayat 2:
Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan secara
tertulis yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau
pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
o Ayat 3:
Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah
sakit harus diperlakukan baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat
tersebut dan diberi label yg memuat identitas mayat diberi cap jabatan yang
dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.

Pasal 134 KUHAP:


1. Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian bedah mayat
tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu
kepada keluarga korban.
2. Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan sejelas-jelasnya
tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut.
3. Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau
pihak yang perlu diberitahu tidak ditemukan, penyidik segera melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) undang-undang ini.

Pasal 179 KUHAP:


1. Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau
dokter ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.
2. Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang
memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan
sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang
sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.

PEMERIKSAAN LUAR
Bagian pertama dari teknik otopsi adalah pemeriksaan luar. Sistematika pemeriksaan luar
adalah :

1. Memeriksa label mayat (dari pihak kepolisian) yang biasanya diikatkan pada jempol kaki
mayat. Gunting pada tali pengikat, simpan bersama berkas pemeriksaan. Catat warna,
bahan, dan isi label selengkap mungkin. Sedangkan label rumah sakit, untuk identifikasi
di kamar jenazah, harus tetap ada pada tubuh mayat.
2. Mencatat jenis/bahan, warna, corak, serta kondisi (ada tidaknya bercak/pengotoran) dari
penutup mayat.
3. Mencatat jenis/bahan, warna, corak, serta kondisi (ada tidaknya bercak/pengotoran) dari
bungkus mayat. Catat tali pengikatnya bila ada.
4. Mencatat pakaian mayat dengan teliti mulai dari yang dikenakan di atas sampai di bawah,
dari yang terluar sampai terdalam. Pencatatan meliputi bahan, warna dasar, warna dan
corak tekstil, bentuk/model pakaian, ukuran, merk penjahit, cap binatu,
monogram/inisial, dan tambalan/tisikan bila ada. Catat juga letak dan ukuran pakaian bila
ada tidaknya bercak/pengotoran atau robekan. Saku diperiksa dan dicatat isinya.
5. Mencatat perhiasan mayat, meliputi jenis, bahan, warna, merek, bentuk serta ukiran
nama/inisial pada benda perhiasan tersebut.
6. Mencatat benda di samping mayat.
7. Mencatat perubahan tanatologi :
o Lebam mayat; letak/distribusi, warna, dan intensitas lebam.
o Kaku mayat; distribusi, derajat kekakuan pada beberapa sendi, dan ada tidaknya
spasme kadaverik.
o Suhu tubuh mayat; memakai termometer rektal dam dicatat juga suhu ruangan
pada saat tersebut.
o Pembusukan.
o Lain-lain; misalnya mumifikasi atau adiposera.
8. Mencatat identitas mayat, seperti jenis kelamin, bangsa/ras, perkiraan umur, warna kulit,
status gizi, tinggi badan, berat badan, disirkumsisi/tidak, striae albicantes pada dinding
perut.
9. Mencatat segala sesuatu yang dapat dipakai untuk penentuan identitas khusus, meliputi
rajah/tatoo, jaringan parut, kapalan, kelainan kulit, anomali dan cacat pada tubuh.
10. Memeriksa distribusi, warna, keadaan tumbuh, dan sifat dari rambut. Rambut kepala
harus diperiksa, contoh rambut diperoleh dengan cara memotong dan mencabut sampai

ke akarnya, paling sedikit dari 6 lokasi kulit kepala yang berbeda. Potongan rambut ini
disimpan dalam kantungan yang telah ditandai sesuai tempat pengambilannya.
11. Memeriksa mata, seperti apakah kelopak terbuka atau tertutup, tanda kekerasan, kelainan.
Periksa selaput lendir kelopak mata dan bola mata, warna, cari pembuluh darah yang
melebar, bintik perdarahan, atau bercak perdarahan. Kornea jernih/tidak, adanya kelainan
fisiologik atau patologik. Catat keadaan dan warna iris serta kelainan lensa mata. Catat
ukuran pupil, bandingkan kiri dan kanan.
12. Mencatat bentuk dan kelainan/anomali pada daun telinga dan hidung.
13. Memeriksa bibir, lidah, rongga mulut, dan gigi geligi. Catat gigi geligi dengan lengkap,
termasuk jumlah, hilang/patah/tambalan, gigi palsu, kelainan letak, pewarnaan, dan
sebagainya.
14. Bagian leher diperiksa jika ada memar, bekas pencekikan atau pelebaran pembuluh darah.
Kelenjar tiroid dan getah bening juga diperiksa secara menyeluruh.
15. Pemeriksaan alat kelamin dan lubang pelepasan. Pada pria dicatat kelainan bawaan yang
ditemukan, keluarnya cairan, kelainan lainnya. Pada wanita dicatat keadaan selaput darah
dan komisura posterior, periksa sekret liang sanggama. Perhatikan bentuk lubang
pelepasan, perhatikan adanya luka, benda asing, darah dan lain-lain.
16. Perlu diperhatikan kemungkinan terdapatnya tanda perbendungan, ikterus, sianosis,
edema, bekas pengobatan, bercak lumpur atau pengotoran lain pada tubuh.
17. Bila terdapat tanda-tanda kekerasan/luka harus dicatat lengkap. Setiap luka pada tubuh
harus diperinci dengan lengkap, yaitu perkiraan penyebab luka, lokasi, ukuran, dll. Dalam
luka diukur dan panjang luka diukur setelah kedua tepi ditautkan. Lokalisasi luka dilukis
dengan mengambil beberapa patokan, antara lain : garis tengah melalui tulang dada, garis
tengah melalui tulang belakang, garis mendatar melalui kedua puting susu, dan garis
mendatar melalui pusat.
Contoh :
Luka panjang dua setengah sentimeter dan masuk ke dalam dada. Ujung yang satu
letaknya dua sentimeter sebelah kiri dari garis tengah melalui tulang dada dan dua
sentimeter di atas garis mendatar melalui kedua puting susu. Sedangkan ujung yang lain
lima sentimeter sebelah kiri dari garis tengah melalui tulang dada dan empat sentimeter di
atas garis mendatar melalui kedua puting susu. Saluran tusuk dilukis di bagian
pemeriksaan dalam, ditulis organ apa saja yang tertusuk.
18. Pemeriksaan ada tidaknya patah tulang, serta jenis/sifatnya. (1,3,4)
PEMERIKSAAN DALAM

Pemeriksaan dalam bisa dilakukan dengan beberapa cara berikut ini :

Insisi I dimulai di bawah tulang rawan krikoid di garis tengah sampai prosesus xifoideus
kemudian 2 jari paramedian kiri dari puat sampai simfisis, dengan demikian tidak perlu
melingkari pusat.

Insisi Y, merupakan salah satu tehnik khusus otopsi dan akan dijelaskan kemudian.

Insisi melalui lekukan suprastenal menuju simfisis pubis, lalu dari lekukan suprasternal
ini dibuat sayatan melingkari bagian leher. (3,4)

Pada pemeriksaan dalam, organ tubuh diambil satu persatu dengan hati-hati dan dicatat :
1. Ukuran : Pengukuran secara langsung adalah dengan menggunakan pita pengukur. Secara
tidak langsung dilihat adanya penumpulan pada batas inferior organ. Organ hati yang
mengeras juga menunjukkan adanya pembesaran.
2. Bentuk.
3. Permukaan : Pada umumnya organ tubuh mempunyai permukaan yang lembut, berkilat
dengan kapsul pembungkus yang bening. Carilah jika terdapat penebalan, permukaan
yang kasar , penumpulan atau kekeruhan.
4. Konsistensi: Diperkirakan dengan cara menekan jari ke organ tubuh tersebut.
5. Kohesi: Merupakan kekuatan daya regang anatar jaringan pada organ itu. Caranya
dengan memperkirakan kekuatan daya regang organ tubuh pada saat ditarik. Jaringan
yang mudah teregang (robek) menunjukkan kohesi yang rendah sedangkan jaringan yang
susah menunjukkan kohesi yang kuat.
6. Potongan penampang melintang: Disini dicatat warna dan struktur permukaan
penampang organ yang dipotong. Pada umumnya warna organ tubuh adalah keabuabuan, tapi hal ini juga dipengaruhi oleh jumlah darah yang terdapat pada organ tersebut.
Warna kekuningan, infiltrasi lemak, lipofisi, hemosiferin atau bahan pigmen bisa
merubah warna organ. Warna yang pucat merupakan tanda anemia.
Struktur organ juga bisa berubah dengan adanya penyakit. Pemeriksaan khusus juga bisa
dilakukan terhadap sistem organ tertentu, tergantung dari dugaan penyebab kematian. (4)
Insisi pada masing-masing bagian-bagian tubuh yaitu :
1. Dada :
o Seksi Jantung :
Jantung dibuka menurut aliran darah : pisau dimasukkan ke vena kava inferior
sampai keluar di vena superior dan bagian ini dipotong. Ujung pisau dimasukkan

melalui katup trikuspidalis keluar di insisi bilik kanan dan bagian ini dipotong.
Ujung pisau lalu dimasukkan arteri pulmonalis dan otot jantung mulai dari apeks
dipotong
sejajar
dengan
septum
interventrikulorum.
Ujung pisau dimasukkan ke vena pulmonalis kanan keluar ke vena pulmonalis
kiri dan bagian ini dipotong. Ujung pisau dimasukkan melalui katup mitral keluar
di insisi bilik kiri dan bagian ini dipotong. Ujung pisau kemudian dimasukkan
melalui katup aorta dan otot jantung dari apeks dipotong sejajar dengan septum
inetrventrikulorum. Jantung sekarang sudah terbuka, diperiksa katup, otot kapiler,
chorda tendinea, foramen ovale, septum interventrikulorum.
Arteri koronaria diiris dengan pisau yang tajam sepanjang 4-5 mm mulai dari
lubang dikatup aorta. Otot jantung bilik kiri diiris di pertengahan sejajar dengan
epikardium dan endokardium, demikian pula dengan septum interventrikulorum.
o Paru-paru :
Paru-paru kanan dan kiri dilepaskan dengan memotong bronkhi dan pembuluh
darah di hilus, setelah perkardium diambil. Vena pulmonalis dibuka dengan
gunting, kemudian bronkhi dan terakhir arteri pulmonalis. Paru-paru diiris
longitudinal dari apeks ke basis.
Tulang dada diangkat dengan memotong tulang rawan iga 1 cm dari sambungannya
dengan cara pisau dipegang dengan tangan kanan dengan bagian tajam horizontal
diarahkan pada tulang rawan iga dan dengan tangan yang lain menekan pada punggung
pisau. Pemotongan dimulai dari tulang rawan iga no. 2. Tulang dada diangkat dan
dilepaskan dari diafragma kanan dan kiri kemudian dilepaskan mediastinum anterior.
Rongga paru-paru diperiksa adanya perlengketan, darah, pus atau cairan lain kemudian
diukur.
Kemudian pisau dengan tangan kanan dimasukkan dalam rongga paru-paru, bagian tajam
tegak lurus diarahkan ke tulang rawan no.1 dan tulang rawan dipotong sedikit ke lateral,
kemudian bagian tajam pisau diarahkan ke sendi sternoklavikularis dengan menggerakgerakkan sternum, sendi dipisahkan. Prosedur diulang untuk sendi yang lainnya.
Mediastinum anterior diperiksa adanya timus persistens. Perikardium dibuka dengan Y
terbalik, diperiksa cairan perikardium, normal sebanyak kurang lebih 50 cc dengan warna
agak kuning. Apeks jantung diangkat, dibuat insisi di bilik dan serambi kanan diperiksa
adanya embolus yang menutup arteri pulmonalis. Kemudian dibuat insisi di bilik dan
serambi kiri. Jantung dilepaskan dengan memotong pembuluh besar dekat perikardium.
2. Perut :
o Esofagus-Lambung-Doudenum-Hati :
Semua organ tersebut di atas dikeluarkan sebagai satu unit. Esofagus diikat ganda
dan dipotong. Diafragma dilepaskan dari hati dan esofagus dan unit tadi dapat

diangkat. Sebelum diangkat, anak ginjal kanan yang biasanya melekat pada hati
dilepaskan terlebih dahulu.
Esofagus dibuka terus ke kurvatura mayor, terus ke duodenum. Perhatikan isi
lambung, dapat membantu penentuan saat kematian. Kandung empedu ditekan,
bulu empedu akan menonjol kemudian dibuka dengan gunting ke arah papila
Vater, kemudian dibuka ke arah hati, lalu kandung empedu dibuka. Perhatikan
mukosa dan adanya batu.
Buluh kelenjar ludah diperut dibuka dari papila Vater ke pankreas. Pankreas
dilepaskan dari duodenum dan dipotong-potong transversal.
Hati : perhatikan tepi hati, permukaan hati, perlekatan, kemudian dipotong
longitudinal.
Usus halus dan usus besar dibuka dengan gunting ujung tumpul, perhatikan
mukosa dan isinya, cacing.
o Ginjal, Ureter, Rektum, dan Kandung Urine:
Organ tersebut di atas dikeluarkan sebagai satu unit. Ginjal dengan suatu insisi
lateral dapat diangkat dan dilepaskan dengan memotong pembuluh darah di hilus,
kemudian ureter dilepaskan sampai panggul kecil. Kandung urine dan rektum
dilepaskan dengan cara memasukkan jari telunjuk lateral dari kandung urine dan
dengan cara tumpul membuat jalan sampai ke belakang rektum. Kemudian
dilakukan sama pada bagian sebelahnya. Tempat bertemunya kedua jari telunjuk
dibesarkan sehingga 4 jari kanan dan kiri dapat bertemu, kemudian jari kelingking
dinaikkan ke atas dengan demikian rektum lepas dari sakrum. Rektum dan
kandung urine dipotong sejauh dekat diafragma pelvis.
Anak ginjal dipotong transversal. Ginjal dibuka dengan irisan longitudinal dari
lateral ke hilus. Ureter dibuka dengan gunting sampai kandung urine, kapsul
ginjal dilepas dan perhatikan permukaannya. Pada laki-laki rektum dibuka dari
belakang dan kandung urine melalui uretra dari muka. Rektum dilepaskan dari
prostat dan dengan demikian terlihat vesika seminalis. Prostat dipotong
transversal, perhatikan besarnya penampang.
Testis dikeluarkan melalui kanalis spermatikus dan diiris longitudinal, perhatikan
besarnya, konsistensi, infeksi, normal, tubuli semineferi dapat ditarik seperti
benang.
o Urogenital Perempuan :
Kandung urine dibuka dan dilepaskan dari vagina. Vagina dan uterus dibuka
dengan insisi longitudinal dan dari pertengahan uterus insisi ke kanan dan ke kiri.

Ke kornu. Tuba diperiksa dengan mengiris tegak lurus pada jarak 1-1,5 cm.
Ovarium diinsisi longitudinal.
Pada abortus provokatus kriminalis yang dilakukan dengan menusuk ke dalam
uterus, seluruhnya : kandung urine, uterus dan vagina, rektum difiksasi dalam
formalin 10% selama 7 hari, setelah itu dibuat irisan tegak lurus pada sumbu
rektum setebal 1,25 cm, kemudian semuanya direndam dalam alkohol selama 24
jam. Saluran tusuk akan terlihat sebagai noda merah, hiperemis. Dari noda merah
ini dibuat sediaan histopatologi.
Usus halus dipisahkan dari mesenterium, usus besar dilepaskan, duodenum dan rektum
diikat ganda kemudian dipotong.
Limpa : dipotong di hilus, diiris longitudinal, perhatikan parenkim, folikel, dan septa.
3. Leher :
Lidah, laring, trakea, esofagus, palatum molle, faring dan tonsil dikeluarkan sebagai satu
unit. Perhatikan obstruksi di saluran nafas, kelenjar gondok dan tonsil. Pada kasus
pencekikan tulang lidah harus dibersihkan dan diperiksa adanya patah tulang.
4. Kepala :
Kulit kepala diiris dari prosesus mastoideus kanan sampai yang kiri dengan mata pisau
menghadap keluar supaya tidak memotong rambut terlalu banyak. Kulit kepala kemudian
dikelupas ke muka dan ke belakang dan tempurung tengkorak dilepaskan dengan
menggergajinya. Pahat dimasukkan dalam bekas mata gergaji dan dengan beberapa
ketukan tempurung lepas dan dapat dipisahkan. Durameter diinsisi paralel dengan bekas
mata gergaji. Falx serebri digunting dibagian muka. Otak dipisah dengan memotong
pembuluh darah dan saraf dari muka ke belakang dan kemudian medula oblongata.
Tentorium serebri diinsisi di belakang tulang karang dan sekarang otak dapat diangkat.
Selaput tebal otak ditarik lepas dengan cunam. Otak kecil dipisah dan diiris horisontal,
terlihat nukleus dentatus. Medula oblongata diiris transversal, demikiaan pula otak besar
setebal 2,5 cm. Pada trauma kepala perhatikan adanya edema, kontusio, laserasi serebri.
5. Tengkorak Neonatus :
Kulit kepala dibuka seperti biasa, tengkorak dibuka dengan menggunting sutura yang
masih terbuka dan tulang ditekan ke luar, sehingga otak dengan mudah dapat diangkat.
(3)
PEMERIKSAAN KHUSUS
Pada beberapa keadaan tertentu, diperlukan berbagai prosedur khusus dalam tindakan otopsi,
antara lain : insisi Y, insisi pada kasus dengan kelainan leher, tes emboli udara, tes apung paru,
tes pada pneumothorax, dan tes alphanaphthylamine.

Insisi Y
1. Insisi yang dilakukan dangkal (shallow incision) yang dilakukan pada tubuh pria.

Buat sayatan yang letaknya tepat di bawah tulang selangka dan sejajar
dengan tulang tersebut, kiri dan kanan, sehingga bertemu pada bagian
tengah (incisura jugularis).

Lanjutkan sayatan, dimulai dari incisura jugularis ke arah bawah tepat di


garis pertengahan sampai ke sympisis os pubis menghindari daerah
umbilikus.

Kulit daerah leher dilepaskan secara hati-hati sampai ke rahang bawah;


tindakan ini dimulai dari sayatan yang telah dibuat pertama kali.

Dengan kulit daerah leher dan dada bagian atas tetap utuh, alat-alat dalam
rongga mulut dan leher dikeluarkan.

Tindakan selanjutnya sama dengan tindakan pada bedah mayat yang biasa.

2. Insisi yang lebih dalam (deep incision), yang dilakukan untuk kaum wanita.

Buat sayatan yang letaknya tepat di bawah buah dada, dimulai dari bagian
lateral menuju bagaian medial (proc. Xiphoideus); bagian lateral disini
dapat dimulai dari ketiak, ke arah bawah sesuai dengan arah garis ketiak
depan (linea axillaris anterior), hal yang sama juga dilakukan untuk sisi
yang lain (kiri dan kanan).

Lanjutkan sayatan ke arah bawah seperti biasa, sampai simphisis os pubis,


dengan demikian pengeluaran dan pemeriksaan alat-alat yang berada
dalam rongga mulut, leher, dan rongga dada lebih sulit bila dibandingkan
dengan insisi Y yang dangkal.

Insisi Y, dilakukan semata-mata untuk alasan kosmetik, sehingga jenazah yang sudah
diberi pakaian, tidak memperlihatkan adanya jahitan setelah dilakukan bedah mayat. Ada
dua macam insisi Y, yaitu :

Insisi pada Kasus dengan Kelainan di Daerah Leher


o Buat insisi I, yang dimulai dari incisura jugularis, ke arah bawah seperti biasa,
sampai ke simpisis os pubis.
o Buka rongga dada, dengan jalan memotong tulang dada dan iga-iga.

o Keluarkan jantung, dengan menggunting mulai dari v.cava


vv.pulmonalis, a.pulmonalis, v.cava superior dan terakhir aorta.

inferior,

o Buka rongga tengkorak, dan keluarkan organ otaknya.


o Dengan adanya bantalan kayu pada daerah punggung, maka daerah leher akan
bersih dari darah, oleh karena darah telah mengalir ke atas ke arah tengkorak dan
ke bawah, ke arah rongga dada; dengan demikian pemeriksaan dapat dimulai.
Insisi ini dimaksudkan agar daerah leher dapat bersih dari darah, sehingga kelainan yang
minimalpun dapat terlihat; misalnya pada kasus pencekikan, penjeratan, dan
penggantungan. Prinsip dari teknik ini adalah pemeriksaan daerah dilakukan paling akhir.
2

Tes emboli udara


o buat sayatan I, dimulai dari incisura jugularis, ke arah bawah sampai ke
symphisis pubis,
o potong rawan iga mulai dari iga ke-3 kiri dan kanan, pisahkan rawan iga dan
tulang dada keatas sampai ke perbatasan antara iga ke-2 dan iga ke-3,
o potong tulang dada setinggi perbatasan antara tulang iga ke-2 dan ke-3,
o setelah kandung jantung tampak, buat insisi pada bagian depan kandung jantung
dengan insisi I, sepanjang kira-kira 5-7 sentimeter; kedua ujung sayatan
tersebut dijepit dan diangkat dengan pinset (untuk mencegah air yang keluar),
o masukkan air ke dalam kandung jantung, melalui insisi yang telah dibuat tadi,
sampai jantung terbenam; akan tetapi bila jantung tetap terapung, maka hal ini
merupakan pertanda adanya udara dalam bilik jantung,
o tusuk dengan pisau organ yang runcing, tepat di daerah bilik jantung kanan, yang
berbatasan dengan pangkal a. Pulmonalis, kemudian putar pisau itu 90 derajat;
gelembung-gelembung udara yang keluar menandakan tes emboli hasilnya positif,
o bila tidak jelas atau ragu-ragu, lakukan pengurutan pada a. Pulmonalis, ke arah
bilik jantung, untuk melihat keluarnya gelembung udara,
o bila kasus yang dihadapi adalah kasus abortus, maka pemeriksaan dengan prinsip
yang sama, dilakukan mulai dari rahim dan berakhir pada jantung,
o semua yang disebut di atas adalah untuk melakukan tes emboli pulmoner, untuk
tes emboli sistemik, pada prinsipnya sama, letak perbedaannya adalah : pada tes
emboli sistemik tidak dilakukan penusukan ventrikel, tetapi sayatan melintang
pada a. Coronaria sinistra ramus desenden, secara serial beberapa tempat, dan

diadakan pengurutan atas nadi tersebut, agar tampak gelembung kecil yang
keluar,
o dosis fatal untuk emboli udara pulmoner 150-130 ml, sedangkan untuk emboli
sistemik hanya beberapa ml.
Emboli udara, baik yang sistemik maupun emboli udara pulmoner, tidak jarang terjadi.
Pada emboli sistemik udara masuk melalui pembuluh vena yang ada di paru-paru,
misalnya pada trauma dada dan trauma daerah mediastinum yang merobek paru-paru dan
merobek pembuluh venanya.
Emboli pulmoner adalah emboli yang tersering, udara masuk melalui pembuluhpembuluh vena besar yang terfiksasi, misalnya pada daerah leher bagian bawah, lipat
paha atau daerah sekitar rahim (yang sedang hamil); dapat pula pada daerah lain,
misalnya pembuluh vena pergelangan tangan sewaktu diinfus, dan udara masuk melalui
jarum infus tadi. Fiksasi ini penting, mengingat bahwa tekanan vena lebih kecil dari
tekanan udara luar, sehingga jika ada robekan pada vena, vena tersebut akan menguncup,
hal ini ditambah lagi dengan pergerakan pernapasan, yang menyedot.
3

Tes Apung Paru-paru


o Keluarkan alat-alat dalam rongga mulut, leher dan rongga dada dalam satu
kesatuan, pangkal dari esophagus dan trakea boleh diikat.
o Apungkan seluruh alat-alat tersebut pada bak yang berisi air.
o Bila terapung lepaskan organ paru-paru, baik yang kiri maupun yang kanan.
o Apungkan kedua organ paru-paru tadi, bila terapung lanjutkan dengan pemisahan
masing-masing lobus, kanan terdapat lima lobus dan kiri dua lobus.
o Apungkan semua lobus tersebut, catat yang mana yang tenggelam dan mana yang
terapung.
o Lobus yang terapung diambil sebagian, yaitu tiap-tiap lobus 5 potong dengan
ukuran 5 mm x 5 mm, dari tempat yang terpisah dan perifer.
o Apungkan ke 25 potongan kecil-kecil tersebut, bila terapung, letakkan potongan
tersebu pada dua karton, dan lakukan penginjakan dengan menggunakan berat
badan, kemudian dimasukkan kembali ke dalam air.
o Bila terapung berarti tes apung paru positif, paru-paru mengandung udara, bayi
tersebut pernah dilahirkan hidup.

o Bila hanya sebagian yang terapung, kemungkinan terjadi pernafasan partial, bayi
tetap pernah dilahirkan hidup.
Tes apung paru-paru dikerjakan untuk mengtahui apakah bayi yang diperiksa itu pernah
hidup. Untuk melaksanakan test ini, persyaratannya sama dengan test emboli udara, yakni
mayatnya harus segar. Cara melakukan tes apung paru-paru:
4

Tes Pada Pneumothoraks


o buka kulit dinding dada pada bagian yang tertinggi dari dada, yaitu sekitar iga ke
4 dan 5 ( udara akan berada pada tempat yang tertinggi ),
o buat kantung dari kulit dada tersebut mengelilingi separuhnya dari daerah iga 4
dan 5 ( sekitar 10 x 5 cm )
o pada kantung tersebut kemudian diisi air, dan selanjutnya tusuk dengan pisau,
adanya gelembung udara yang keluar berarti ada pneumothorax; dan bila
diperiksa paru-parunya, paru-paru tersebut tampak kollaps,
o cara lain; setelah dibuat kantung , kantung ditusuk dengan spuit besar dengan
jarum besar yang berisi air separuhnya pada spuit tersebut; bila ada
pneumothorax, tampak gelembung-gelembung udara pada spuit tadi.
Pada trauma di daerah dada, ada kemungkinan jaringan paru robek, sedemikian rupa
sehingga terjadi mekanisme ventil di mana udara yang masuk ke paru-paru akan
diteruskan ke dalam rongga dada, dan tidak dapat keluar kembali, sehingga terjadi
kumulasi udara, dengan akibat paru-paru akan kolaps dan korban akan mati.
Diagnosa pneumothorax yang fatal semata-mata atas dasar test ini, bila test ini tidak
dilakukan, diagnosa sifatnya hanya dugaan. Cara melakukan test ini adalah sebagai
berikut:

Tes Alpha Naphthylamine


o kertas saring Whatman direndam dalam larutan alpha-naphthylamine, dan
keringkan dalamoven, hindari jangan sampai terkena sinar matahari,
o pakaian yang akan diperiksa, yaitu yang diduga mengandung butir-butir mesiu,
dipotong dan di atasnya diletakkan kertas saring yang telah diberi alphanaphthylamine,
o di atas kertas saring yang mengandung alpha-naphthylamine tadi ditaruh lagi
kertas saring yang dibasahi oleh aquadest,
o keringkan dengan cara menyeterika tumpukan tersebut, yaitu kain yang akan
diperiksa, kertas yang mengandung alpha-naphthylamine dan kertas saring yang
basah,

o test yang positif akan terbentuk warna merah jambu (pink colour), pada kertas
saring yang mengandung alpha-naphthylamine; bintik-bintik merah jambu tadi
sesuai dengan penyebaran butir-butir mesiu pada pakaian. (5)
Test ini dilakukan untuk mengetahui adanya butir-butir mesiu khususnya pada pakaian
korban penembakan,
Setelah otopsi selesai, semua organ tubuh dimasukkan kembali ke dalam rongga tubuh.
Lidah dikembalikan ke dalam rongga mulut sedangkan jaringan otak dikembalikan ke
dalam rongga tengkorak. Jahitkan kembali tulang dada dan iga yang dilepaskan pada saat
membuka rongga dada. Jahitkan kulit dengan rapi menggunakan benang yang kuat, mulai
dari dagu sampai ke daerah simfisis. Atap tengkorak diletakkan kembali pada tempatnya
dan difiksasi dengan menjahit otot temporalis, baru kemudian kulit kepala dijahit dengan
rapi. Bersihkan tubuh mayat dari darah sebelum mayat diserahkan kembali pada pihak
keluarga. (1)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada otopsi juga dilakukan prosedur laboratorium yaitu :
1. Sediaan histopatologi dari masing-masing organ.
Dari tiap organ diambil sediaan sebesar 2 x 2 x1 cm kubik dan difiksasi dalam formalin
10%.Organ yang diambil adalah: paru-paru, hati, limpa, pankreas, otot jantung, arteri
koronaria, kelenjar gondok, ginjal, prostat, uterus, korteks otak, basal ganglia dan dari
bagian lain yang menunjukkan adanya kelainan.
2. Pemeriksaan toksikologi.
o Lambung dan isinya.
o Seluruh usus dan isinya dengan membuat sekat dengan ikatan-ikatan pada pada
usus setiap jarak sekitar 60 cm.
o Darah, yang berasal dari sentral (jantung) dan yang berasal dari perifer
(v,jugularis; a.femoralis, dan sebagainya), masing-masing 50 ml dan dibagi dua,
yang satu diberi bahan pengawet dan yang lain tidak diberi bahan pengawet.
o Hati, sebagai tempat detoksifikasi , diambil sebanyak 500 gram.
o Ginjal, diambil keduanya yaitu pada kasus keracunan logam berat khususnya atau
bila urine tidak tersedia.
o Otak, diambil 500 gram. Khusus untuk keracunan chloroform dan sianida,
dimungkinkan karena otak terdiri dari jaringan lipoid yang mempunyai
kemampuan untuk meretensi racun walaupun telah mengalami pembususkan.

o Urine, diambil seluruhnya. Karena pada umunya racun akan diekskresikan


melalui urine, khususnya pada test penyaring untuk keracunan narkotika, alkohol
dan stimulan.
o Empedu, diambil karena tempat ekskresi berbagai racun.
o Pada kasus khusus dapat diambil: jaringan sekitar suntikan, jaringan otot, lemak
di bawah kulit dinding perut, rambut, kuku dan cairan otak.
Prinsip pengambilan sampel pada kasus keracunan adalah diambil sebanyak-banyaknya
setelah kita sisihkan untuk cadangan dan untuk pemeriksaan histopatolgik. Secara umum
sampel yang harus diambil adalah:
Pada pemeriksaan intoksikasi, digunakan alkohol dan larutan garam jenuh pada sampel
padat atau organ. NaF 1% dan campuran NaF dan Na sitrat digunakan untuk sampel cair.
Sedangkan natrium benzoate dan phenyl mercuric nitrate khusus untuk pengawet urine.
3. Pemeriksaan bakteriologi.
Dalam hal ada dugaan sepsis diambil darah dari jantung dan sediaan limpa untuk
pembiakan kuman. Permukaan jantung dibakar dengan menempelkan spatel yang
dipanaskan sampai merah, kemudiaan darah jantung diambil dengan tabung injeksi yang
steril dan dipindah dalam tabung reagen yang steril. Permukaan limpa dibakar dengan
cara tersebut di atas dan dengan pinset dan gunting yang steril diambil sepotong limpa
dan dimasukkan dalam tabung reagen yang steril dan kedua tabung dikirim ke
laboratorium bakteriologi.
4. Sediaan apus bagian korteks otak, limpa dan hati. Mungkin perlu dilakukan untuk melihat
parasit malaria.Sediaan hapus lainnya adalah dari tukak sifilis atau cairan mukosa.
5. Darah dan cairan cerebrospinalis diambil untuk pemeriksaan analisa biokimia.
6. Pemeriksaan urine dan feces.
7. Usapan vagina dan anus, utamanya pada kasus kejahatan seksual.
8. Cairan uretra. (3,4)
DAFTAR PUSTAKA
1. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Autopsi. Dalam: Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi Ketiga Jilid Kedua. Media Aesculapius. Jakarta. 2000: 187-9.
2. Anonim. Autopsy. Available At : http://en.wikipedia.org/wiki/Autopsy. Accessed On :
September 2006.

3. Hamdani, Njowito. Autopsi. Dalam: Ilmu Kedokteran Kehakiman. Edisi Kedua.


Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2000 : 48-59.
4. Chadha, PV. Otopsi Mediko-Legal. Dalam: Ilmu Forensik dan Toksikologi. Edisi Kelima.
5. Idries, AM. Prosedur Khusus. Dalam: Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi
Pertama. Binarupa Aksara. Jakarta. 1997 : 354-61.
6. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Autopsi. Dalam: Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi Ketiga Jilid Kedua. Media Aesculapius. Jakarta. 2000: 187-9.

Anda mungkin juga menyukai