Anda di halaman 1dari 21

STUDI HADITS

TAHAMMUL WA ADA AL HADITS

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Studi Hadits

DOSEN PEMBIMBING:
Dra. Khodijah Uchi, M.Psi

Oleh :
1. Muhammad Hidayat

E92213059

2. Muh. Kholid Ismatulloh

E92213058

3. Nur Lailatul Chasanah

E92213060

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2013

STUDI HADITS

TAHAMMUL WA ADA AL HADITS


MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Studi Hadits
DOSEN PEMBIMBING:
Dra. Khodijah Uchi, M.Psi
Oleh :
1. Muhammad Hidayat

E92213059

2. Muh. Kholid Ismatulloh

E92213058

3. Nur Lailatul Chasanah

E92213060

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2013

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT, hanya berkat rahmat dan
ridlo-Nya makalah ini dapat diselesaikan. Makalah yang berjudul Tahammul wa
Ada al Hadits ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Sosial Dasar.
Keberhasilan dalam penulisan makalah ini tentu saja tak lepas dari bantuan
banyak pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada semua
pihak yang telah menyumbangkan segenap pikiran, tenaga, dan waktunya demi
terselesaikannya karya tulis ini.
Ucapan terimakasih ini secara khusus penulis sampaikan kepada pihakpihak berikut ini:
1

Dra. Khodijah Uchi, M.Psi. Selaku dosen yang tidak pernah bosan
membimbing, mengingatkan, dan memotivasi penulis hingga makalah
ini selesai.

Anggota kelompok 5. Muh. Kholid Ismatulloh, Sisilia Mustafiana


Putri, Muryani, dan Evy Kartika. Yang berkenan meluangkan waktu,
tenaga, dan pikiran untuk menyelesaikan makalah ini.

Beberapa pihak yang tidak disebutkan satu persatu yang telah


membantu suksesnya penyusunan makalah ini.

Meskipun telah dikerjakan secara maksimal, penulis menyadari bahwa


karya tulis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran sangat
diharapkan oleh penulis demi hasil yang lebih baik.
Akhirnya, penulis mengharapkan semoga makalah ini dapat membawa
makna dan manfaat bagi pembaca, untuk mengubah pembelajaran menulis
menjadi lebih baik.
Surabaya, November
2013
Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I

iv
: PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
BAB II

: PEMBAHASAN
A.
B.
C.
D.

BAB III

iii

BIOGRAFI PHYTAGORAS
PEMIKIRAN PHYTAGORAS
KAUM PHYTAGOREAN
ANALISIS
: PENUTUP

KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

1
1
4
4
5
5
7
20
24
25
25
26

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1

Phytagoras

Gambar 2.2

Phytagoras dan Pengikutnya

Gambar 2.3

Bilangan Phytagoras

11

Gambar 2.4

Teorema Phytagoras

13

Gambar 2.5

Ilustrasi Pemikiran Phytagoras

18

Gambar 2.6

Orfisisme

21

A.

PENDAHULUAN

Allah telah memberikan kepada umat Nabi Muhammad


Saw, para pendahulu selalu menjaga Al-Quran dan Al-Hadis Nabi.
Mereka adalah orang-orang jujur, amanah, dan memegang janji
sebagian diantara mereka mencurahkan perhatiannya terhadap
al-Quran dan ilmunya yaitu para mufassirin. Manusia dalam
hidupnya

membutuhkan

berbagai

macam

pengetahuan.

Seseorang yang telah mempelajari hadits dengan sungguhsungguh dengan cara yang benar memiliki beberapa kode etik
yang harus dia jaga dan dia pelihara, baik ketika masih menjadi
pelajar itu sendiri atau ketika dia sudah mengajarkannya kepada
orang lain kelak. Di dalam ilmu hadits hal ini dikenal dengan
istilah at tahammul wal ada. Di dalam makalah ini akan dibahas
cara perimaaan dan periwayatan hadis yang disebut dengan AtTahammul wa Al-'Ada.
Para ulama hadis telah bersusah payah mengusahakan
adanya ilmu hadis ini, lalu mereka membikin beberapa kaidah
(batasan-batasan) dan berbagai syarat dengan berbagai bentuk
yang cermat dan banyak sekali. Mereka telah mengidentifikasin
anatara 'tahammul hadis' selanjutnya mereka menjadikannya
beberapa tingkatan, dimana bagian satu dengan yang lain
tidaklah sama artinya ada yang lebih kuat, hal itu merupakan
penguat dari mereka untuk memelihara hadis Rasulullah Saw dan
memindahkan dengan baik dari seseorang kepada orang lain.
Disamping itu mereka yakin bahwa cara yang seperi ini adalah
cara yang palingh selamat dan cara yang paling cermat. Untuk
lebih jelasnya dibicarakan dalam makalah ini
B.

RUMUSAN MASALAH.
1.

Pengertian tahammul al-hadits dan ada al-hadits menurut

bahasa dan istilah.


2.

Syarat-syarat perawi dalam tahammul hadits.

3.

Syarat-syarat perawi dalam ada al-hadits.

4.
C.

Sighat Tahammul wa Adaal-hadits.


PEMBAHASAN.

1.

pengertian tahammul al-hadits dan ada al-hadits menurut

bahasa dan istilah


Menurut bahasa tahammul merupakan masdar dari fiil madli
tahmmala



(
-
-
)


yang

berarti

menanggung

membawa, atau biasa diterjemahkan dengan menerima.


Berarti tahammul al-hadits menurut bahasa adalah menerima
hadits atau menanggung hadits. Sedangkan tahammul al-hadits
menurut istilah ulama ahli hadits, sebagaimana tertulis dalam
kitab taisir mushtholah hadits adalah:[1]
:

Tahammul artinya menerima hadits dan mengambilnya dari
para syekh atau guru.
Sedangkan pengertian ada al-hadits menurut bahasa, ada
( )adalah masdar dari

-- --



menyampaikan sesuatu pada orang
yang dikirim kepadanya.
: --

Menyampaikannya.
Bararti ada al-hadits menurut bahasa
adalah menyampaikan hadits.

Sedangkan ada al-hadits menurut istilah adalah:


:

meriwayatkan hadits dan memberikannya pada para murid.
[2]
Pengertiannya adalah meriwayatkan dan menyampaikan
hadits kepada murid, atau proses mereportasekan hadits setelah
ia

menerimanya

dari

seorang

guru.

Karena Tidak semua orang bisa menyampaikan hadits kepada


orang lain, Dalam hal ini mayoritas ulama hadits, ushul, dan fikh
memiliki kesamaan pandangan dalam memberikan syarat dan
kriteria bagi pewarta hadist, yang antara lain:

Ketahanan ingatan informator (Dlabitur Rawi)

integritas keagamaan (Adalah) yang kemudian melahirkan


tingkat kredibilitas (Tsiqatur Rawi).

Mengetahui maksud-maksud kata yang ada dalam hadits dan


mengetahui arti hadits apabila ia meriwayatkan dari segi artinya
saja (bil mana).
Sifat

adil

ketika

dibicarkan

dalam

hubungannya

dengan

periwayatan hadits maka yang dimaksud adalah, suatu karakter


yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya
pada melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu
konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi
terhadap agamanya
2.

Syarat-syarat Perowi dalam Tahammul al-Hadits


Tidak dapat dipungkiri bisa mendapatkan hadits atau

menerimanya merupakan anugrah yang sangat besar. Disamping


perlunya keikhlasan hati dan lurusnya niat, membersihkan diri
dari tujuan-tujuan yang menyeleweng, yang merupakan adab
atau tatakrama seorang tholibul al-hadits, dalam menerima
hadits harus memenuhi beberapa syarat yang telah ditetapkan
oleh ulama ahli hadits atau dikenal dengan istilah ahliyatu at-

tahammul sehingga hadits yang diterima tersebut sah untuk


diriwayatkan.
a. Tamyiz
Syarat yang pertama perawi dalam tahammul al-hadits
adalah tamyiz. Menurut al-Hafidz Musa ibn Harun al-Hamal
seorang anak bisa disebut tamyiz jika sudah mampu untuk
membedakan antara sapi dan khimar. Kalau menurut penulis
seumpama

anak

Indonesia

itu

bisa

membedakan

antara

kambing dan anjing. Menurut Imam Ahmad, ukuran tamyiz


adalah adanya kemampuan menghafal yang didengar dan
mengingat yang dihafal. Ada juga yang mengatakan bahwa
ukuran tamyiz adalah pemahaman anak pada pembicaraan dan
kemampuan menjawab pertanyaan dengan baik dan benar.
Seorang yang belum baligh boleh menerima hadits asalkan
ia sudah tamyiz. Hal ini didasarkan pada keadaan para sahabat,
tabiin, dan ahli imu setelahnya yang menerima hadits walaupun
mereka belum baligh seperti Hasan, Husain, Abdullah ibn Zubair,
Ibnu Abbas, dan lain-lain.
Para

ulama

berbeda

pendapat

dalam

menetapkan

seseorang boleh bertahammul hadits dengan batasan usia. Qodli


Iyad menetapkan batas usia boleh bertahammul adalah usia lima
tahun, karena pada usia ini seorang anak bisa menghafal dan
mengingat-ingat sesuatu, termasuk hadits nabi. Abu Abdullah azZubairi mengatakan bahwa seorang anak boleh bertahammul
jika telah berusia sepuluh tahun, sebab pada usia ini akal mereka
telah

dianggap

sempurna.

Sedangkan

Yahya

ibn

Main

menetapkan usia lima belas tahun.


Syarat

perawi

dalam

tahammul

hadits

yang

penulis

temukan hanyalah tamyiz, sedangkan beragama islam tidak


disyaratkan dalam tahammul hadits. Adapun syarat berakal
sehat sudah jelas disyaratkan dalam bertahammul hadits karena
untuk menerima hadits yang merupakan salah satu sumber

hukum islam sangat diperlukan. Oleh karena itu tidak sah


riwayatnya seseorang yang menerima hadits tersebut ketika
dalam keadaan tidak sehat akalnya.[3]
3.

Syarat-syarat perawi dalam ada al-hadits


Syarat-syarat

orang yang diterima dalam meriwayatkan

hadits atau dikenal dengan istilah ahliyatul ada menurut


ulama ahlul hadits adalah:
a.

Islam

Pada waktu periwayatan suatu hadits seorang perowi harus


muslim.

Menurut ijma, periwayatan hadits oleh orang kafir

dianggap tidak sah. Karena terhadap riwayat orang muslim yang


fasik saja dimauqufkan, apalagi hadits yang diriwayatkan oleh
orang kafir. Walaupun dalam tahammul hadits orang kafir
diperbolehkan, tapi dalam meriwayatkan hadits ia harus sudah
masuk Islam.
b.

Baligh
Yang dimaksud baligh adalah perowi cukup usia ketika ia

meriwayatkan hadits. Baik baligh karena sudah berusia lima


belas tahun atau baligh karena sudah keluar mani. Batasan
baligh ini bisa diketahui dalam ketab-kitah fiqih.
c.

Adalah (adil)
Adl merupakan suatu sifat yang melekat, yang berupa

ketaqwaan dan muruah (harga diri). Sifat adalahnya seorang


rowi berarti sifat adlnya di dalam riwayat. Dalam ilmu hadits
sifat adalah ini berarti orang islam yang sudah mukallaf yang
terhindar

dari

perbuatan-perbuatan

yang

menyebabkan

kefasikan dan jatuhnya harga diri.Jadi syarat yang ketiga ini


sebenarnya sudah mencakup dua syarat sebelumnya yaitu Islam
dan baligh. Oleh karena itu sifat adalah ini mengecualikan orang
kafir, fasiq, orang gila, dan orang yang tak dikenal ()

d.

Dlobit
Dlobit ialah ingatan. seseorang yang meriwayatkan hadits

harus ingat akan hadits yang ia sampaikan tersebut. Ketika ia


mendengar hadits dan memahami apa yang didengarnya, serta
hafal sejak ia menerima hadits hingga ia meriwayatkannya.
Dlobit oleh ulama ahli hadits dibagi menjadi dua yaitu:
1)

Dlobtu ash-shodri, yaitu dengan menetapkan atau menghafal


apa yang ia dengar didalam dadanya, sekiranya ia mampu untuk
menyampaikan hafalan tersebut kapanpun ia kehendaki.

2)

Dlobtul kitab, yaitu memelihara, mempunyai sebuah kitab


catatan

yang catatan hadits yang ia dengar, kitab tersebut

dijaga dan ditashheh sampai ia meriwayatkan hadits sesuai


dengan tulisan yang terdapat dalam kitab tersebut.[4]
4. Sighat Tahammul wa Adaal-hadits.[5]
Sighat Tahammul Wa Ada al-hadist dan Implikasinya
terhadap Persambungan Sanad.
1.

Al-Sima'
Yakni medengar sendiri dari perkataan gurunya, baik

dengan

cara

hafalannya

didektekan
maupun

mauipun

dari

bukan,

tulisannya.

dan

baik

Sehingga

dari
yang

menghadirinya mendengar apa yang disampaikan tersebut.


Menurut

jumhur

ulama

hadis

bahwa

cara

ini

merupakan

penerimaan hadis yang paling tinggi tingkatannya. Termasuk


kategori sama' juga seorang yang mendengar hadis dari Syeikh
dari

balik

satar.

Jumhur

ulama

membolehkannya

dengan

berdasar pada para sahabat yang juga pernah melakukan hal


demikian ketika meriwayatkan hadis-hadis Rasulullah melalui
para istri Nabi.

Lafadh-lafadh yang digunakan oleh rawi dalam meriwayatkan


hadis

atas

dasar

sama',

ialah:

( seseorang mengabarkan kepadaku/kami)


(seseorang telah bercerita kepadaku/kami)
( saya telah mendengar, kami telah mendengar)
2. Al-Qira'ah 'ala Al-Syaikh atau 'Aradh Al-Qira'ah
Yakni suatu cara penerimaan hadis dengan cara seseorang
membacakan hadis dihadapan gurunya, baik dia sendiri yang
membacakan

maupun

orang

lain,

sedangkan

sang

guru

mendengarkan atau menyimak, baik guru itu hafal maupun tidak


tetapi dia memegang kitabnya atau mengetahui tulisannya.
Lafadh-lafadh yang digunakan untuk menyampaikan hadis-hadis
yang

berdasarkan

qiraah:

( aku telah membacakan dihadapannya)


( dibacakan seseorang dihadapannya
sedang aku
mendengarkannya)
( telah mengabarkan/menceritkan padaku
secara pembacaandihadapannya)
3. Ijazah
yakni Seorang guru mengijinkan muridnya meriwayatkan
hadis

atau

riwayat,

baik

dengan

ucapan

atau

tulisan.

Gambarannya : Seorang syaikh mengatakan kepada salah


seorang muridnya : Aku ijinkan kepadamu untuk meriwayatkan
dariku demikian. Di antara macam-macam ijazah adalah
a. Syaikh mengijazahkan sesuatu yang tertentu kepada seorang
yang tertentu. Misalnya dia berkata,Aku ijazahkan kepadamu

Shahih Bukhari. Di antara jenis-jenis ijazah, inilah yang paling


tinggi derajatnya
b. Syaikh mengijazahkan orang yang tertentu dengan tanpa
menentukan apa yang diijazahkannya. Seperti mengatakan,Aku
ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan semua riwayatku.
c. Syaikh mengijazahkan kepada siapa saja (tanpa menentukan)
dengan juga tidak menentukan apa yang diijazahkan, seperti
mengatakan,Aku ijazahkan semua riwayatku kepada semua
orang pada zamanku.
d. Syaikh mengijazahkan kepada orang yang tidak diketahui atau
majhul.

Seperti

dia

mengatakan,Aku

ijazahkan

kepada

Muhammad bin Khalid Ad-Dimasyqi; sedangkan di situ terdapat


sejumlah orang yang mempunyai nama seperti itu.
e. Syaikh memberikan ijazah kepada orang yang tidak hadir demi
mengikutkan

mereka yang hadir dalam majelis. Umpamanya

dia berkata,Aku ijazahkan riwayat ini kepada si fulan dan


keturunannya.
Lafadh-lafdh yang dipakai dalam menyampaikan riwayat yang
diterima dengan jalur ijazah adalah ajaza li fulan
( beliau

telah

memberikan

ijazah

kepada

si

fulan),

haddatsana ijaazatan , akhbarana ijaazatan


,

dan

anba-ana

ijaazatan

( beliau

telah

memberitahukan kepada kami secara ijazah).

4. Al-Munaawalah
Yakni seorang guru memberikan hadis atau beberapa hadis
atau sebuah kitab hadis kepada muridnya untu diriwayatkan.
Al-Munawalah ada dua macam :
a.

Al-Munawalah yang disertai dengan ijazah. Ini tingkatannya


paling tinggi di antara macam-macam ijazah secara muthlaq.

Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang


murid, lalu mengatakan kepadannya,Ini riwayatku dari si fulan,
maka riwayatkanlah dariku. Kemudian buku tersebut dibiarkan
bersamanya untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk disalin. Maka
diperbolehkan

meriwayatkan

dengan

seperti

ini,

dan

tingkatannya lebih rendah daripada as-sama dan al-qiraah.


b.

Al-Munawalah yang tidak diiringi ijazah. Seperti jika seorang


syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid dengan hanya
mengatakan : Ini adalah riwayatku. Yang seperti ini tidak boleh
diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih.[6]
5. Al-Kitabah
Yaitu : Seorang syaikh menulis sendiri atau dia menyuruh
orang lain menulis riwayatnya kepada orang yang hadir di
tempatnya atau yang tidak hadir di situ. Kitabah ada 2 macam :

a.

Kitabah

yang

disertai

dengan

ijazah,

seperti

perkataan

syaikh,Aku ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis untukmu,


atau yang semisal dengannya. Dan riwayat dengan cara ini
adalah

shahih

karena

kedudukannya

sama

kuat

dengan

munaawalah yang disertai ijazah.


b. Kitabah yang tidak disertai dengan ijazah, seperti syaikh menulis
sebagian hadits untuk muridnya dan dikirimkan tulisan itu
kepadanya, tapi tidak diperbolehkan untuk meriwayatkannya. Di
sini terdapat perselisihan hukum meriwayatkannya. Sebagian
tidak

memperbolehkan,

memperbolehkannya

jika

dan
diketahui

sebagian
bahwa

yang

tulisan

lain

tersebut

adalah karya syaikh itu sendiri.


6. Al-Ilam (memberitahu)
Yaitu : Seorang syaikh memberitahu seorang muridnya
bahwa hadits ini atau kitab ini adalah riwayatnya dari si fulan,
dengan tidak disertakan ijin untuk meriwayatkandaripadanya.

Ketika menyampaikan riwayat dengan cara ini, si perawi


berkata

Alamanii

syaikhi

( guruku

telah

memberitahu kepadaku).
7. Al-Washiyyah (mewasiati)
Yaitu : Seorang syaikh mewasiatkan di saat mendekati
ajalnya atau dalam perjalanan, sebuah kitab yang ia wasiatkan
kepada sang perawi.
Ketika

menyampaikan

riwayat

dengan

wasiat

ini

perawi

mengatakan : Aushaa ilaya fulaanun bi kitaabin


( si fulan telah mewasiatkan kepadaku sebuah kitab), atau
haddatsanii fulaanun washiyyatan ( si fulan telah
bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat). [7]
8. Al-Wijaadah (mendapat)
Yaitu : Seorang perawi mendapat hadis atau kitab dengan
tulisan seorang syaikh dan ia mengenal syaikh itu, sedang hadihadisnya tidak pernah didengarkan ataupun ditulis oleh si
perawi.
Dalam menyampaikan hadits atau kitab yang didapati dengan
jalan wijadah ini, si perawi berkata,Wajadtu bi kaththi fulaanin
(aku mendapat buku ini dengan tulisan si fulan), atau qaratu bi
khththi fulaanin (aku telah membaca buku ini dengan tulisan si
fulan);

kemudian

menyebutkan

matannya. Sighat Tahammul

Wa Dari

sanad
beberapa

dan
proses

penerimaan dan penyampaian hadits di atas kita bisa mengambil


kesimpulan

sebagai

berikut.

Bahwa

ketika

perowi

mau

menceritakan sebuah hadits, maka ia harus menceritakan sesuai


dengan redaksi pada waktu ia menerima hadits tersebut dengan
beberapa istilah yang telah banyak dipakai para ulama hadits.
Sebagaimana berikut:

hadits y1) Jika proses tahamul dengan cara mendengarkan, maka bentuk
periwayatannyaadalah:
,,,
Menurut al-Qodhi Iyyat boleh saja perowi menggunakan kata:
,,, , , ,
2) Jika proses tahamul itu dengan menggunakan Qiroah, maka
rowi yang meriwayatkan harus menggunakan kata
, , ,

3) Ketika proses tahamul menggunakan ijazah maka bentuk
redaksi penyampaiannya adalah
,
4) Ketika prosesnya munawalah, maka redaksi yang digunakan
adalah
, ,

5) Ketika proses tahamul dengan kitabah (penulisan), maka
redaksi yang digunakan adalah:
, , ,

6) Ketika prosesnya menggunkan pemberitahuan, maka redaksi


yang digunakan adalah:

, ,
7) Ketika proses tahamul menggunakan metode wasiat, maka
redaksi penyampaian menggunakan kata:
, ,

8) Ketika proses tahamul melalui metode wijadah ( penemuan


sebuah manuskrip atau buku), maka redaksi penyampaiannya
menggunakan

kata:[8]

, a
ng dia hafal atau yang terdapat dalam sebuah kitab ya
D.

KESIMPULAN
Dalam menerim hadits tidak disyaratkan seorang harus
muslim

dan

baligh.

Namun

ketika

menyampaikannya,

disyaratkan harus Islam dan baligh. Maka diterima riwayat


seorang muslim yang baligh dari hadits yang diterimanya
sebelum masuk Islam atau sebelum baligh, dengan syarat tamyiz
atau dapat membedakan (yang haq dan yang bathil) sebelum
baligh. Sebagian ulama memberikan batasan minimal berumur
lima tahun. Namun yang benar adalah cukup batasan tamyiz
atau dapat membedakan. Jika ia dapat memahami pembicaraan
dan memberikan jawaban dan pendengaran yang benar, itulah
tamyiz dan mumayyiz. Jika tidak, maka haditsnya ditolak.
Metode mempelajari/menerima Hadis yang dipakai oleh para
ulama adalah:
1. As-Sima, yaitu guru membaca hadis didepan para muridnya.

Bentuknya bisa

membaca hafalan, membaca dari kitab,

tanyajawab dan dikte.


2. Al-ardlu, yaitu seorang murid membaca hadis di depan guru.
Dalam metode ini seorang guru dapat mengoreksi hadis yang
dbaca oleh muridnya. Istilah yang dipakai adalah akhbarana.
3. Al-Ijazah, yaitu pemberian ijin seorang guru kepada murid
untuk meriwayatkan buku hadis tanpa membaca hadis tersebut
satu demi satu. Istilah yang dipakai adalah an-ba-ana.
4. Al-Munawalah, yaitu seorang guru memberi sebuah atau
beberapa hadis tanpa menyuruh untuk meriwayatkannya. Istilah
yang dipakai adalah an-ba-ana.
5.

Al-MKitabah,

yaitu

seorang

guru

menulis

hadis

untuk

seseorang, hal ini mirip dengan metode ijazah.


6. Ilam as-Syaikh, yaitu pemberian informasi guru kepada murid
bahwa hadis dalam kitab tertentu adalah hasil periwayatan yang
diproleh dari seseorang tanpa menyebut namanya.
7. Al-Washiyah, yaitu guru mewasiatkan buku-buku hadis kepada
muridnya sebelum meninggal.
8. Al-Wijadah, yaitu seseorang yang menemukan catatan hadis
seseorang tanpa ada rekomendasi untuk meriwayatkannya

E.

PENUTUP.
Dari makalah yang kami bahas di atas mungkin banyak
sekali terhadap kesalahan dan kekurangan baik itu di segi

tulisan, kalimat dan bahasa. Oleh sebab itu mohon kritikan dan
sarannya yang bersifat membangun agar pembuatan makalah
selanjutnya lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

-Mahmud Thohan, 1985,terjemah Tafsir Mushtholah Hadits,


Songgopuro, haramain,

Ibnu sholah, TT, Ulumul Hadits al-Maruf bi Muqoddimah ibn


ash-Sholah,Tsaqofiyah,

-. H. Mudasir, Ilmu Hadis, Bandung, CV. Pustaka Setia, 1999.


Cet. I

-http//ulumul hadits//com

RINGKASAN
Ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan At-tahamul
adalah mengambil atau menerima hadits dari seorang guru
dengan

salah

satu

cara

tertentu.

Al-ada al-Hadist
Al-Ada

secara

etimologis

berarti

sampai/melaksanakan.secara terminologis Al-Ada berarti sebuah


proses mengajarkan (meriwayatkan) hadits dari seorang guru
kepada muridnya.
Adapun

syarat-syarat

bagi

seseorang

diperbolehkan

untuk

mengutip hadits dari orang lain adalah:


a.

Dhobit.

b.

Berakal sempurna.

c.

Tamyiz.
Sementara itu, untuk mencapai tingkat adalah seseorang harus
memenuhi empat syarat yaitu:a.Islam.

b.

Baliq.

c.

Adil.

d.

dhobit
Metode mempelajari/menerima Hadis yang dipakai oleh para
ulama adalah:2
1.

As-Sima,

yaitu

guru

membaca

hadis

didepan

para

muridnya. Bentuknya bisa membaca hafalan, membaca dari


kitab, tanyajawab dan dikte.
2.

Al-ardlu, yaitu seorang murid membaca hadis di depan

guru. Dalam metode ini seorang guru dapat mengoreksi hadis


yang

dbaca

oleh

muridnya.

Istilah

yang

dipakai

adalah

akhbarana.
3.

Al-Ijazah, yaitu pemberian ijin seorang guru kepada murid

untuk meriwayatkan buku hadis tanpa membaca hadis tersebut


satu demi satu. Istilah yang dipakai adalah an-ba-ana.
4.

Al-Munawalah, yaitu seorang guru memberi sebuah atau

beberapa hadis tanpa menyuruh untuk meriwayatkannya. Istilah


yang dipakai adalah an-ba-ana.
5.

Al-Kitabah,

yaitu

seorang

guru

menulis

hadis

untuk

seseorang, hal ini mirip dengan metode ijazah.


6.
murid

Ilam as-Syaikh, yaitu pemberian informasi guru kepada


bahwa

hadis

dalam

kitab

tertentu

adalah

hasil

periwayatan yang diproleh dari seseorang tanpa menyebut


namanya.
7.

Al-Washiyah, yaitu guru mewasiatkan buku-buku hadis

kepada muridnya sebelum meninggal.


8.

Al-Wijadah, yaitu seseorang yang menemukan catatan

hadis seseorang tanpa ada rekomendasi untuk meriwayatkannya

[1] . Mahmud Thohan, 1985, terjemah Mushtholah Hadits,


Songgopuro, haramain, hlm. 156
[2] .ibid:hlm 156
[3]. Ibnu sholah, Ulumul Hadits al-Maruf bi Muqoddimah ibn ashSholah, Tsaqofiyah, hlm. 137.
[4] .Ibid:137
[5] . H. Mudasir, Ilmu Hadis, Bandung, CV. Pustaka Setia, 1999.
Cet. I.hlm.85
[6] Ibid:156
[7] Ibid:156
[8] .htttp//ulumulhadits//com

Anda mungkin juga menyukai