Anda di halaman 1dari 9

PORTOFOLIO

PORTO
FOLIO
AGUNG SAPUTRA

PORTOFOLIO

Explore Indonesia

Cepung Terbang Menjauh dari Lombok

ndonesia adalah negara kepulauan dengan kekayaan budaya dan keindahan alam. Kekayaan ini disebabkan
banyaknya pulau yang di dalamnya terdapat suku yang juga beragam. Keragaman yang tentu tidak dapat
disebutkan satu-persatu ini menjadi harta berharga bagi negara kita. Kebudayaan sendiri, tidak dapat dilepaskan dari kesenian. Dari banyaknya pulau di Indonesia yang sering dijadikan tempat wisata oleh wisatawan
lokal maupun mancanegara, salah satunya adalah pulau Lombok.


Pulau Lombok yang merupakan destinasi wisata yang berkembang di Indonesia. Pulau ini memiliki
sumber daya alam yang sangat melimpah serta sumber daya manusia yang berupa adat istiadat dan budayanya. Beberapa destinasi wisata di Lombok yang sering dikunjungi wisatawan, yaitu Tiga Gili di Kabupaten
Lombok Barat, Air Terjun Sendang Gile di Lombok Utara, Pantai Senggigi di Lombok Barat, Pantai Kute di
Lombok Tengah, Teluk Ekas di Lombok Timur, dan Tanjung Ringgit di Lombok Timur. Bukan hanya objek
wisata itu saja yang bisa dinikmati di Lombok, ada beberapa kesenian tradisional yang tidak kalah menariknya
dengan tempat-tempat wisata di Lombok, bahkan kesenian tersebut pun banyak yang terancam punah. Salah
satu kesenian yang belum banyak diketahui oleh banyak orang dan hampir punah adalah teater Cepung.
Teater Cepung merupakan teater tutur yang berasal dari Lombok Timur. Kesenian teater ini hanya
menggunakan alat musik yang terbatas, yaitu musik tradisional seruling dan redep untuk mengiringi para
pemain. Dengan terbatasnya alat musik, maka para pemain mengatasinya dengan menirukan suara bunyi
lain, yaitu gendang, kenceng, dan rincik. Selain menirukan suara alat musik, pemain juga harus membawakan
syair atau pantun secara bersahut-sahutan. Cepung di Lombok merupakan seni yang mirip Macapatan (Jawa
Tengah), Macaan (Jawa Timur), Wawacan (Sunda), Baca Syair (Riau), dan Mabebasan atau Mabasan (Bali).
Pemain teater Cepung ini berjumlah enam orang, mereka bertugas sebagai pembaca lontar yang merupakan sumber cerita dan syair Cepung itu sendiri. Pembacaan syair pun dilakukan seacara bergantian setiap
kali pergantian babak. Dari enam pemain, dua di antaranya bertugas memainkan suling dan redep, tiga orang
lagi menirukan suara bunyi juga sebagai punggawa (penerjemah) dan penyokong (pemain pendukung), dan
satu orang pemaos (pembaca) Lontar Monyeh beraksara Jejawen dan dilakukan dengan sambil menari mengikuti syair yang dibawakannya. Punggawa dan penyokong bisa diartikan sebagai daya tarik di teater ini karena
mereka adalah pusat perhatian penonton. Bahkan keduanya bisa disebut ruh dalam teater tutur ini. Cerita
dalan Lontar Monyeh disampaikan dengan tembang, para pemain duduk bersila seraya menari dan bergending, menyenandungkan irama dengan mulut.
Di setiap awal pementasan Cepung, selalu diawali dengan ritual yang berupa pemanjatan doa, dupa,
dan sesajen. Latar belakang akulturasi budaya dan agama membawa Cepung ke sebuah dimensi seni musik

PORTOFOLIO
yang magis dan religius. Untuk menggelar teater tutur ini, para pemain diharuskan menguasai huruf Jejawen
yang semacam aksara Jawa (ha na ca ra ka). Kesenian Cepung merupakan perkembangan dari tradisi Pepaosan. Tradisi Pepaosan adalah tradisi membaca takepan (naskah kuno). Takepan adalah bukti otentik tradisi
tulis suku sasak, Lombok. Naskah sasak tersebut ditulis menggunakan huruf Jejawen dan untuk bisa membaca
dan menguasai huruf Jejawen membutuhkan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, tradisi ini sulit untuk
regenerasi. Sementara itu, pemain tua yang meninggal banyak yang belum sempat mewarisi keahliannya untuk membaca dan menguasai huruf tersebut ke generasi selanjutnya. Di lain sisi, zaman sekarang ini membuat
kalangan muda lebih suka mempelajari kesenian yang lain karena relatif mudah dibanding untuk belajar huruf
Jejawen tersebut. Akan tetapi, mempelajari itu adalah cara terbaik untuk mempertahankan kesenian Cepung
itu karena teater ini tidak akan pernah lepas dari namanya Jejawen.
Kesenian tradisional Cepung sudah sangat jarang dipentaskan dan terancam punah. Nasib kesenian
tradisional ini pun bagai kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati pun takmau. Upaya revitalisasi Cepung
pun terkendala pendanaan. Berbeda dengan daerah lain, daerah yang peduli kesenian tradisional akan tetap
hidup dan berkembang sejalan dengan kemajuan zaman.
Sepeti yang dibahas sebelumnya, kesenian Cepung terancam punah karena tidak adanya regenerasi,
jarang dipertunjukan, dan juga karena pemain-pemian sebagian sudah uzur dan meninggal sebelum mewarisi
keahliannya kepada generasi yang lebih muda. Kondisi ini mencemaskan seniman-seniman dan para peneliti,
pembinaan, dan revitalisasi.
Bukan hanya Cepung saja yang terancam punah, banyak kesenian-kesenian lain di Indonesia yang
hampir punah. Hal ini disebabkan juga oleh kurangnya ketahanan dan keteguhan sikap bangsa dalam mempertahankan budaya asli, termasuk budaya daerah dari pengaruh budaya-budaya asing yang kemungkinan
besar dapat merusak dan membahayakan kesenian tradisional. Ada beberapa sebab yang mengancam kesenian
tradisional, yaitu globalisasi dan modernisasi.
Kenapa globalisasi? Globalisasi adalah suatu fenomena khusus dalam peradaban manusia yang bergerak terus. Globalisasi merupakan perkembangan yang berpengaruh dalam mendorong munculnya berbagai
kemungkinan tentang perubahan dunia secara kontemporer. Globaliasi berpengaruh dalam menjadikan dunia
semakin terbuka, hal itu membawa perspektif baru yang saat ini menjadi realita dan memengaruhi perkembangan budaya dan membawa perubahan baru. Globalisasi muncul sekitar 20 tahun yang lalu dan mulai popular
sebagai ideologi sekitar lima atau 10 tahun terakhir. Dalam kata globalisasi mengandung suatu pengertian
akan hilangnya satu situasi di mana berbagai pergerakan barang dan jasa antar negara di seluruh dunia.
Dalam perkembangannya globalisasi menimbulkan berbagai masalah dalam bidang kebudayaan, misalnya hilangnya budaya asli suatu daerah, terjadi erosi nilai-nilai budaya, menurunnya rasa nasionalisme dan
patriotisme, dan hilangnya sifat gotong royong atau kekeluargaan.
Lain halnya modernisasi yang merupakan suatu bentuk dari perubahan social yang terarah, didasarkan
pada suatu perencanaan yang biasanya dinamakan social planning. (Soerjono Soekanto dalam buku Sosiolo-

PORTOFOLIO

PORTOFOLIO

gi). Bisa dikatakan bahwa modernisasi adalah proses perubahan dari cara-cara tradisional ke cara yang baru
yang lebih maju dalam rangka meningkatkan kualitas dan gaya hidup. Oleh karena itu, kedua hal ini adalah
yang sangat memengaruhi punahnya kesenian tradisional Cepung di Lombok karena Lombok merupakan tujuan wisata para mancanegara. Pantainya yang indah dari ketiga Gili sering dijadikan objek wisata oleh para
turis dan mereka pun membawa globalisasi dan modernisasi ke tempat tersebut sehingga kaum muda di sana
lebih menyukai budaya dan kesenian modern terlebih kesenian Cepung itu sendiri. Bahkan, tradisi Cepung ini
bisa dikatakan di ujung tanduk kepunahan karena tinggal satu desa yang menjalankannya, yaitu Desa Lenek,
Lombok Timur.
Untuk mengatasi hal ini, pemerintah seharusnya memberikan dana khusus untuk mendirikan sanggar budaya di institusi pendidikan dan tiap-tiap daerah agar minat kecintaan terhadap budaya tradisional bisa
ditanamkan sejak usia dini. Hal ini pun, bisa meningkatkan penikmat sekaligus pelaku kebudayaan tersebut.
Terlebih lagi untuk daerah Lombok sana, mungkin tradisi Cepung bisa terekspose oleh dunia karena banyak
wisatawan di sana adalah turis-turis dari belahan penjuru dunia. Ini bisa membantu masyarakat luas mengetahui keberadaan kesenian-kesenian khas daerahnya apalagi kesenian tradisional yang terancam punah, seperti
Cepung ini.
Dengan memperhatikan institusi-institusi kesenian yang ada di Tanah Air juga bisa meningkatkan
kualitas dari kesenian yang ditampilkan dan ini pun membantu pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan dan pembelajaraan di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah harusnya lebih mengayomi dan melindungi keaslian dan perkembangan dari kesenian rakyat tersebut tanpa harus menyesuaikan kebijakan-kebijakan
politik. Masyarakat juga harus ikut serta untuk menjaga dan mencintai kesenian tradisional yang ada pada
daerahnya masing-masing, serta mengajarkan keahlian yang dimilikinya dalam seni tradisonal kepada generasi muda, agar ada revitalisasi dan regenerasi untuk mencegah kepunahan. Di samping itu, masyarakat luar
dan mahasiswa turut membantu mempromosikan dan mengenalkan seni tradisional yang ada di Tanah Air ke
masyarakat global dan negara lain. Seperti beberapa saat yang lalu pada 29 April yang merupakan Hari Tari
Sedunia seharusnya dijadikan momen penting bagi pemerintah untuk melestarikan kesenian tradisional seperti
Cepung ini. Apalagi jika masyarakat setempat dan pemerintahnya ikut serta dalam melestarikan kebudayaan
tradisional, maka hal ini pun dapat menguntungkan beberapa belah pihak di Indonesia.

Depok bersama lemon tea


Agung Saputra

AUTODIDACT VIOLIN
COMMUNITY
A

utodidact Violin Community (AVC), merupakan komunitas biola. Pada awalnya, AVC bernama Komunitas Biola
Depok yang didirikan oleh Wando Pirastro yang akrab dipanggil Mas Wando. Saat mendirikan komunitas ini, Mas
Wando dibantu oleh sahabatnya, yaitu Mas Wisnu. Mereka berdua membuka kelas belajar biola yang rutin diadakan
pada hari minggu, bertempat di lantai 2 stasiun Depok Baru. Peserta kelas biola ini cukup beragam, mulai dari anak
sekolah, musisi jalanan sekitar Depok, dan mahasiswa. Sejak awal, Mas Wando memiliki cita-cita menghilangkan
kesenjangan sosial khususnya dalam alat musik biola. Miskin maupun kaya, bisa belajar biola dan Yang sudah bisa,
mengajarkan yang belum adalah dua slogan Mas Wando.
Seiring berjalannya waktu, Mas Wando dan Mas Wisnu, mulai merasa kesulitan dalam pengajaran tingkat teori. Pada
saat itu, Mas Wando bertemu dengan temananya yang merupakan kontributor di Komunitas Taman Seni Indonesia
(KOTASENI) Taman Suropati, yaitu Mas Yudi. Pada pertemuannya, Mas Wando meminta nasihat dan bantuan dari
Mas Yudi, untuk berbagi ilmu tingkat teknis dan teori di Komunitas Biola Depok. Akhirnya, mereka bertiga mengelola
komunitas ini dan mengganti nama komunitas ini menjadi Autodidact Violin Community (AVC).

Ditengah perjalanan AVC, peserta komunitas ini, khususnya yang mahasiswa mulai merasa kesulitan meluangkan
waktu untuk latihan pada hari minggu, di lantai 2 stasiun Depok Baru. Dalam hal itu, ada beberapa peserta AVC
yang merupakan mahasiswa Universitas Indonesia, mengajukan pendapat untuk membuka kelas baru dan berpindah tempat ke Universitas Indonesia. Pendapat mereka pun diterima dengan senang hati oleh para pengelola dan
peserta. Waktu dan tempat latihan pun berubah yang tadinya hari minggu, di lantai 2 stasiun Depok Baru, menjadi
hari sabtu, di parkir mobil Balairung Universitas Indonesia. Saat perpindahan tempat latihan yang baru ini ternyata
bertepatan dengan selesainya pembangunan Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia dan juga tempat latihan yang
baru akan direnovasi. Ano, merupakan salah satu anggota AVC, ikut andil dalam hal ini. Ia membantu untuk mengurusi perizinan agar AVC, diperbolehkan berlatih di taman lingar Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia. Pengurus
perpustakaan pun, mengizinkan komunitas tersebut untuk latihan di tempat itu. Pada dasarnya, perpustakaan pusat
memang dirancang untuk menjadi ruang publik.
Pindah tempat latihan ke taman lingar Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia yang megah dan banyak pengunjung
menimbulkan suasana baru yang lebih nyaman dan sejuk. Banyak mahasiswa yang tadinya sekedar lewat dan menonton. Kini sebagian dari mereka ada yang ikut bergabung dan belajar biola dari dasar. Hal ini, membuat Mas Wando,
Mas Wisnu, dan Mas Yudi, menjadi kualahan menangani anggota AVC yang semakin banyak. Belum lagi dengan
sistem pembelajaran yang amat terbuka. Para anggota cenderung berlatih dalam kelompok-kelompok kecil. Kelompok ini cukup banyak jumlahnya sehingga kurang terkoodinir dengan baik.
Menyikapi hal tersebut, pada bulan puasa tahun 2012, dibentuklah sistem kepengurusan. Diharapkan dengan adanya
sistem kepengurusan ini, kegiatan belajar-mengajar biola di AVC berjalan dengan lancar. Saat Mas Wando dan Mas
Yudi mengangkat ide ini n ke beberapa anggota yang potensial menjadi pengurus, ternyata ide ini direspon dengan
baik. Akhirnya, dibentuklah kepengurusan dengan Bagas sebagai ketua. Sistem kerja AVC mulai terbentuk. Dalam
waktu tiga bulan, latihan anggota-anggota sudah dapat ditangani. Beberapa anggota yang sudah jarang hadir juga
datang kembali. Hal yang tersebut dicoba di AVC stasiun Depok Baru. Mungkin karena anggota yang terdiri dari anakanak SD dan musisi jalanan, kepengurusan masih belum bisa berjalan dengan baik.

PORTOFOLIO
Prinsip utama AVC adalah semua orang boleh belajar biola. Meski baru tahu tentang AVC, mereka bida bergabung di
hari itu juga, dengan iuran yang murah, mereka bisa berlatih bersama-sama dan dibimbing oleh tutor-tutor setiap sau
minggu sekali di hari sabtu. Tentu harus diiringi dengan latihan mandiri setiap hari. Ketika bergabung. Mereka akan
dikelompokan dengan anggota yang setara pengetahuannya dan kemampuannya. Kalau memang belum kenal musik
dan not balok sama sekali, bisa langsung diajarkan hari itu juga. Jika, sudah belajar sebelumnya dan ingin gabung,
akan diarahkan oleh tutor untuk bergabung di kelompok mana.

Materi paling dasar adalah teori musik, membaca not balok, dan teknik bermain biola. Setelah itu, dilanjutkan dengan kurikulum biola Suzuki. Mulai dari kelompok yang membahas lagu empat sampai enam, dan seterusnya. Setiap
lagu di buku Suzuki dirancang untuk memperkenalkan teori musik dan teknik bermain biola yang baru. Tentu hal
tersebut, akan dibimbing oleh tutor yang sudah menguasai sebelumnya. Tutor di kelompok, akan menilai apakah
kelompoknya sudah cukup lancar atau belum. Jika sudah, akan dipindahkan ke kelompok berikutnya, dengan materi
yang baru.

Di hari sabtu, tidak hanya dihabiskan untuk berlatih secara kelompok. Akan ada satu sesi, untuk semua anggota AVC
akan digabungkan untuk kelas orkestra. Di kelas orkestra ini, akan dibiasakan para anggota untuk bermain sebagai
sebuah orkestra. Mereka akan berlatih memainkan lagu yang sudah dipecah-pecah ke banyak bagian suara, yang
menjangkau seluruh tingkat permainan biola. Masing-masing akan mendapat porsi yang sesuai dengan tingkat kemampun bermain biolanya.
Tidak hanya berlatih di Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, AVC pernah mengadakan konser Musical Prologue yang diadakan pada tanggal 16 Februari lalu, di Auditorium Gedung IX FIB Universitas Indonesia, Depok. Musical Prologua adalah sebuah konser cinta untuk merayakan Valentines Day. Ketika Musisi Bicara Cinta. Juga, acara
yang pernah diikuti oleh AVC, Starbucks Cheers Party, hari anak yang diadakan di Mall Depok, sampai shooting iklan
Gudang Garam, dll.

Saat ini Autodidact Violin Community, juga membuka kelas untuk yang ingin belajar Cello dan Viola.
Berikut adalah syarat-syarat untuk bergabung menjadi anggota AVC:
1. Memiliki alat musik Biola sendiri.
2. Membayar uang pendaftaran sebesar Rp 100.000.
3. Membayar iuran bulanan sebesar Rp 100.000.
4. Anggota diharapkan selalu aktif pada kegiatan latihan rutin.

PORTOFOLIO

PORTOFOLIO

PORTOFOLIO

PORTOFOLIO

PORTOFOLIO

PORTOFOLIO
Warren Reeve Duchac

Warren Reeve Duchac

ACCOUNTING

ACCOUNTING

ACC
ACC
OUN
OUN

25ITtIhON25ITtIhON
ED

ED
NAL

Warren
Warren
Reeve
Reeve
Duchac
Duchac

NA
O
O
I
I
T
T
NA N
NA N
R
R
E
E
T
INT DITINIO
TIO
E
EDI

TING
TING

MENDIDIK
DENGAN
HATI
MENGAJARDENGAN
DENGANILMU
ILMU Djeniah
Djeniah Alim
Alim
MENDIDIK
DENGAN
HATI
MENGAJAR

PORTOFOLIO

MENDIDIK DENGAN
DENGANHATI
HATI
MENDIDIK
MENGAJAR DENGAN
DENGANILMU
ILMU
MENGAJAR
DjeniahAlim
Alim
Djeniah

PORTOFOLIO

Anda mungkin juga menyukai