ALEL GANDA
(GOLONGAN DARAH ABO)
Oleh :
Fildzah Aulia
1114040197
ALEL GANDA
Sebagian besar gen yang ada dalam populasi sebenarnya hadir dalam lebih dari dua
bentuk sel. Golongan darah ABO pada manusia merupakan satu contoh dari alel berganda dari
sebuah gen tunggal. Ada empat kemungkinan fenotipe untuk karakter ini. Golongan darah
seseorang mungkin A, B, AB atau O. Huruf-huruf ini menunjukkan dua karbohidrat, substansi A
dan substansi B, yang mungkin ditemukan pada permukaan sel darah merah. Kesesuaian
golongan darah sangatlah penting dalam transfusi darah. Jika darah donor mempunyai factor (A
atau B) yang dianggap asing oleh resipien, protein spesifik yang disebut antibody yang
diproduksi oleh resipien akan mengikatkan diri pada molekul asing tersebut sehingga
menyebabkan sel-sel darah yang disumbangkan menggumpal (Campbell, 2002).
Sebuah gen dapat memiliki lebih dari sebuah alel. Alel-alelnya disebut alel ganda
(multiple allele). Sedangkan peristiwa dimana sebuah gen dapat mempunyai lebih dari satu alel
disebut: multiple allelomorphi (Henuhili, 2002).
Suatu sifat dikendalikan oleh sepasang alel pada satu lokus gen. Namun pada
kenyataannya banyak sifat yang dikendalikan oleh lebih dari satu gen pada lokus yang berbeda
dalam kromosom yang sama atau bahkan dalam kromosom yang berlainan. Fenomena ini
dinamakan poligen atau gen majemuk. Contoh fenotip pada manusia yang dikendalikan secara
poligenik adalah pigmentasi kulit, tinggi badan, dan jumlah gigi dermal (Koesmadji, 2001).
Hewan, tumbuhan dan manusia dikenal mempunyai beberapa sifat keturunan yang
ditentukan oleh suatu seri alel ganda. Pada kenyatannya pada suatu lokus (tempat) di kromosom
tidak hanya ditempati oleh sebuah gen tunggal saja, tetapi dapat juga ditempati oleh suatu seri
dari alel-alel. Alel-alel demikian itu dinamakan alel ganda. Dominansi dan jumlah alel dalam tiap
lokusnya berbeda satu sama lain. Beberapa sifat/ fenotip yang dipengaruhi oleh alel ganda
diantaranya adalah golongan darah manusia, rambut pada segmen digitalis tengah dari jari-jari
tangan, warna mata pada Drosophila, warna rambut pada kelinci dan sebagainya ().
Alel yang anggotanya lebih dari dua disebut alel ganda. Pada Drosophila ditemukan seri alel
ganda yang mempengaruhi warna mata yang terdiri tidak kurang dari 14 anggota. Penggunaan
symbol bagi anggota-anggota alel tersebut tetap mengikuti peraturan-peraturan yang berlaku bagi
pasangan alel, yaitu untuk sifat yang paling dominan digunakan huruf besar sedangkan bagi
anggota-anggota alel lain digunakan huruf kecil dengan suatu superscript (a 1 atau as) atau subript
(a1 atau as). Urutan dalam penulisan anggota alel disesuaikan dengan urutan dominansi satu sifat
terhadap yang lain (Nio, 1990).
Mengikuti penemuan Laidsteiner tentang penggumpalan sel-sel darah merah dan
pengertian tentang reaksi antigen-antibodi maka penyelidikan selanjutnya memberi penegasan
mengenai adanya dua antibody alamiah di dalam serum darah dua antigen pada permukaan dari
eritrosit. Seseorang dapat membentuk salah satu atau kedua antibody itu atau sama sekali tidak
membentuknya. Demikian pula dengan antigennya. Dua antigen itu disebut antigen-A dan
antigen-B, sedangkan dua antibodi itu disebut anti-A dan anti-B. melalui tes darah maka setiap
orang dapat mengetahui golongan darahnya. Berdasarkan sifat kimianya, antigen-A dan B
merupakan mukopolisakarida, terdiri dari protein dan gula. Dalam dua antigen itu bagian
proteinnya sama, tetapi bagian gulanya merupakan dasar kekhasan antigen-antibodi. Golongan
darah seseorang ditentukan oleh macamnya antigen yang dibentuknya (Suryo, 1990).
Antigen atau aglutinogen yang dibawa oleh eritrosit orang tertentu dapat mengadakan
reaksi dengan zat anti atau antibodi atau agglutinin yang dibawa oleh serum darah. Dikenal dua
macam antigen yaitu antigen-A dan antigen-B, sedangkan zat antinya dibedakan atas anti-A dan
anti-B. Orang ada yang memiliki antigen-A, lain lagi memiliki antigen-B. ada juga yang
memiliki kedua antigen, yaitu antigen-A dan antigen-B, sedangkan ada pula yang tidak memiliki
antigen-A maupun antigen-B (Suryo, 2000).
Golongan darah manusia ABO ditentukan oleh alel-alel i, IA dan IB. Alel i resesif terhadap
IA dan IB. Alel IA dan IB bersifat kodominan, sehingga IB tidak dominan terhadap IA dan sebaliknya
IA tidak dominan terhadap IB. interaksi antara alel i, IA dan IB menghasilkan 4 fenotip
golongandarah, yaitu O, A, B dan AB. Gen I menghasilkan suatu molekul protein yang disebut
isoaglutinin yang terdapat pada permukaan sel darah merah. Orang dengan alel I A dapat
membentuk aglutinogen atau antigen yang disebut antigen-A dalam eritrosit yang kemudian
dapat bereaksi dengan antibodi atau agglutinin atau zat anti-B yang terdapat di dalam serum atau
plasma darah (Henuhili, 2002).
serum darah merah akan dibentuk anti bodi yang dapat mengenali anti gen sel darah merahnya
dan antigen asing yang masuk dari luar. Antibodi akan menggumpalkan antigen yang berbeda
dari antigen yang dibentuk oleh sel darah merahnya. Jadi antibodi golongan darah A (yang
memproduksi antigen A) akan menggumpalkan antigen B dan antibodi golongan darah B (yang
memproduksi antigen B) akan menggumpalkan anti gen A. Jika antibody tidak dapat
menggumpalkan antigen A dan B karena memproduksi dengan baik antigen tersebut maka
golongan darahnya adalah AB. Sebaliknya, jika tidak mengandung antigen baik A maupun B,
antibodinya akan menganggap kedua antigen tersebut sebagai zat asing sehingga kedua-duanya
akan digumpalkan maka golongan darahnya adalah golongan darah O. Bahan utama yang
digunakan dalam melakukan identifikasi adalah berupa serum anti A dan serum anti B yang
diteteskan pada darah probandus. Jika pada anti serum A terjadi penggumpalan (aglutinasi)
sedangkan anti serum B tidak, maka golongan darah probandus adalah A. Bila terjadi sebaliknya,
maka golongan darah probandus adalah B. Bila kedua-duanya mengalami penggumpalan maka
golongan darah probandus adalah AB. Bila kedua-duanya tidak mengalami penggumpalan maka
golongan darah probandus adalah O (Edward, 2010).
Fluktuasi (naik turun) frekuensi gen yang acak (random) atau disebut juga dengan genetic
drift pengaruhnya dapat diabaikan pada penduduk yang besar, tetapi pada penduduk yang kecil
seperti penduduk yang ada di Pulau Rupat pengaruhnya tidak dapat diabaikan, karena dengan
jumlah penduduk yang sedikit maka perkawinan sekerabat dekat banyak berlangsung. Dengan
perkawinan demikian yang berlangsung dari generasi ke generasi tentu saja semakin
meningkatkan jumlah genotif yang homozigot dan menurunkan jumlah yang heterozigot
(Darmawati, 2005).
TUGAS GENETIKA
ANALISIS PEDIGREE
Oleh :
Fildzah Aulia
1114040197
ANALISIS PEDIGREE
Mempelajari pola pewarisan sifat pada manusia terutama tentang penyakit menurun
mempunyai kendala tersendiri. Kendala-kendala tersebut misalnya: tidak mungkin melakukan uji
coba perkawinan pada manusia, kemungkinan kecil orang mau dikawinkan secara asal sesuai
kehendak peneliti, adanya kemauan untuk menghindari kelainan atau penyakit menurun, adanya
pembatasan jumlah anak karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, dan sebagainya. Oleh
karena itu, untuk mempelajari pola pewarisan sifat terutama kelainan dan penyakit bawaan
sering kali dilakukan dengan cara analisis peta silsilah (pedigree). Peta silsilah ini diharapkan
mampu memberikan gambaran dan jawaban yang memuaskan terhadap sejumlah persoalan yang
diakibatkan oleh kelainan atau penyakit menurun.
Pedigree selalu menggunakan simbol silsilah keluarga, seperti:
1.
2.
3.
= (kotak dengan arsiran tidak penuh),simbol untuk laki-laki normal carier untuk penyakit
tertentu.
3.
4.
= (lingkaran dengan arsiran tidak penuh), simbol untuk perempuan normal carier untuk
penyakit atau kelainan tertentu
5.
penyakit tertentu.
Simak contoh berikut ini! Pada kasus penyakit albinisme, penyakit albino disebabkan oleh
gen resesif a, sedangkan alelanya A menyebabkan normal. Gen ini tidak terpaut kromosom
kelamin (gonosom) melainkan terpaut kromosom tubuh (autosom). Perhatikan peta silsilah
berikut ini:
II
III
IV
Peta silsilah yang terdiri dari 4 generasi (generasi I, generasi II, generasi III, dan generasi
IV) di atas dapat diuraikan tentang fenotip dan genotipnya, sebagai berikut:
1. Fenotip
- laki-laki normal adalah individu I a, II d, dan IV l
- laki-laki normal carier adalah II e dan III i
- laki-laki albino adalah III h
- perempuan normal adalah II c, III g, III k
- perempuan normal carier adalah I b, II f, III j, dan IV m
2. Genotip
Pada kasus pewarisan sifat albino di atas adalah mudah untuk menentukan genotipnya yaitu
hanya dengan melihat jenis arsiran pada simbol yang digunakan, yaitu sebagai berikut:
AA (normal homozigot) terdapat pada individu: I a, II c, II d, III g, III k, IV l
Aa (normal heterozygot/normal carier) terdapat pada individu: I b, II e, II f, III i, dan III j
aa (albino) adalah individu III h.
Catatan:
Sering kali dalam menuliskan simbol untuk individu yang normal carier dibuat tanpa menggunakan arsiran
sama sekali, sehingga untuk mencari genotipnya perlu dilakukan analisis baik dari generasi sesudahnya
(filialnya) dan atau dari generasi sebelumnya (parentalnya).
Contoh yang lain adalah pada penyakit menurun yang terpaut kromosom kelamin, misalnya
pada buta warna yang disebabkan oleh gen resesif (c) terpaut X yang dilambangkan dengan X c.
Penyakit ini lebih banyak diderita oleh laki-laki karena pada wanita hanya akan memunculkan
ekspresinya apabila dalam keadaan homozigot, sedangkan dalam keadaan heterozigot tidak akan
menampakkan ekspresinya. Perhatikan contoh peta silsilah di bawah ini.
I
II
III
Peta silsilah penyakit buta warna di atas dapat ditentukan fenotip dan genotipnya sebagai berikut:
1. Laki-laki normal (XY) : I l, II o, dan III s
2. Laki-laki buta warna (XcY) : II p dan III t
3. Perempuan normal (XX) : II m, dan II n
4. Perempuan normal carier (XXc) : I k, II q, dan III r
5. Perempuan buta warna (XcXc) : III u
Catatan:
1. Gen buta warna adalah gen resesif yang terpaut X dilambangkan X c sedangkan alelanya yang
menyebabkan normal sering tidak ditulis atau juga dilambangkan dengan C sehingga menjadi X C.
2. Sama seperti pada penyakit yang terpaut autosom, dalam menuliskan simbol untuk individu yang normal
carier dibuat tanpa menggunakan arsiran sama sekali, sehingga untuk mencari genotipnya perlu
dilakukan analisis baik dari generasi sesudahnya (filialnya) dan atau dari generasi sebelumnya
(parentalnya).
(normal) AA X
A
F1
P2
aa (albino)
a
Aa (normal)
(normal) Aa
Gamet
A, a
F2
AA
Aa
A, a
Normal
Aa
Aa
Aa (normal)
albino
Jadi dari perkawinan seorang pria normal dengan wanita normal yang keduanya heterozigot
menghasilkan keturunan dengan rasio fenotip normal : albino = 3 : 1.
2) Gangguan mental
Yang dimaksud dengan gangguan mental adalah debil, imbisil, dan ideot. Salah satu ciri
penderita gangguan mental adalah jika urinnya diberikan larutan ferioksida 5% akan
menghasilkan warna hijau kebiruan yang berarti terdapat senyawa derivat fenilketouria (FKU).
Fenilketouria disebabkan oleh gen resesif ph, sedangkan Ph menentukan sifat normal.
Cara pewarisan Fenilketouria sebagai berikut berikut :
(normal) Phph X
Gamet
F
Ph, ph
Phph (normal)
Ph, ph
(taster) TT
T
F1
P2
tt (nontaster)
t
Tt (taster)
(taster) Tt
Tt (taster)
Gamet
T, t
F2
TT
Tt
T, t
taster (75%)
Tt
Tt
nontaster (25%)
Jadi rasio fenotipnya adalah perasa PTC (taster) : buta kecap (nontaster)=75% : 25% = 3:1
4) Polidaktili
Polidaktili adalah kelainan genetika yang ditandai banyaknya jari tangan atau jari kaki
melebihi normal, misalnya jari tangan atau jari kaki berjumlah enam buah. Polidaktili dapat
terjadi pada kedua jari tangan (kanan dan kiri) atau salah satu saja. Perhatikan gambar
disamping.
5) Thalasemia
Thalasemia merupakan kelainan genetika karena rendahnya pembentukan hemoglobin.
Hal ini mengakibatkan kemampuan eritrosit untuk mengikat oksigen rendah. Thalassemia
diakibatkan ketidakberesan sintesis salah satu rantai globin, yaitu kesalahan transkripsi mRNA
dalam menerjemahkan kodon untuk asam amino globin.
Thalassemia disebabkan oleh gen dominan Th, sedangkan alelnya th menentukan sifat
normal. Penderita thalassemia bergenotip ThTh (thalassemia mayor) atau Thth (Thallassemia
minor). Penderita thalassemia mayor keadaannya lebih parah daripada thalassemia minor.
Penderita thalassemia mayor biasanya bersifat letal (mati).
6) Dentinogenesis Imperfecta
Dentinogenesis Imperfecta adalah kelainan pada gigi, yaitu keadaan tulang gigi berwarna
putih seperti air susu. Kelainan itu disebabkan oleh gen Dt, sedangkan gigi normal ditentukan
oleh gen resesif dt.
7) Retinal aplasial
Retinal aplasial adalah kelainan pada mata yang mengakibatkan penderita mengalami
kebutaan sejak lahir. Penyebab kelainan itu yaitu gen dominan R, sedangkan alel resesif r
menentukan sifat mata normal.
8) Katarak
Katarak adalah kelainan mata, yaitu kerusakan pada kornea mata. Katarak dapat
mengakibatkan kebutaan. Kelainan ini disebabkan oleh gen dominan K, sedangkan alel resesif k
menentukan sifat mata normal.
9) Botak
Ekspresi gen penyebab botak dibatasi oleh jenis kelamin. Hal ini berarti dengan genotip
yang sama tetapi terdapat pada jenis kelamin yang berbeda akan menimbulkan ekspresi fenotip
yang berbeda. Kebotakan ditentukan oleh gen B dan gen b untuk kepala berambut normal).
Orang yang bergenotip BB, baik perempuan maupun laki-laki akan mengalami kebotakan.
Sebaliknya, genotip Bb pada laki-laki mengakibatkan kebotakan, tetapi tidak untuk perempuan.
Artinya, genotip Bb tidak mengakibatkan kebotakan pada perempuan. Mengapa demikian? Hal
ini karena perempuan menghasilkan hormon estrogen yang mampu menghalangi kebotakan.
Perhatikan pewarisan gen penyebab kebotakan berikut.
b. Cacat dan penyakit menurun yang terpaut Seks
1) Buta warna
Buta warna disebabkan oleh gen resesif c (dari kata : colour blind) yang terpaut
kromosom-X. wanita normal bergenotip XCXC atau XCXc, sedangkan wanita buta warna
homozigotik (XcXc) jarang dijumpai.
Buta warna dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) buta warna parsial (sebagian)
Penderita buta warna parsial tidak dapat melihat warna-warna tertentu, misalnya hijau
dan merah. Jika penderita tidak dapat melihat warna hijau saja dinamakan buta warna hijau atau
buta warna deutan. Jika penderita tidak dapat melihat warna merah saja dinamakan buta warna
merah atau buta warna protan.
2) buta warna total
Penderita buta warna total tidak dapat melihat semua warna sehingga dalam
pandangannya hanya ada warna hitam dan putih.
Fenotip
Normal
XCXC, XCXc
XY
Buta Warna
XcXc
XcY
2) Hemofili
Hemofilia adalah kelainan pada darah yang ditandai darah sukar membeku, ketika terjadi
luka. Ratu Vectoria (Inggris) diduga pembawa (karier) gen penyebab hemofilia pada keluarga
kerajaan Inggris. Perhatikan silsilah penurunan hemofilia pada keluarga Ratu Victoria berikut.
Hemofilia disebabkan oleh gen resesif h yang terpaut dengan kromosom-X.
Perhatikan tabel ekspresi gen resesif h berikut :
Jenis kelamin
Normal
Hemofilia
Wanita
XH XH
Xh Xh
XHXh
(letal)
XHY
XhY
Pria
- tes laboratorium
- uji klinis
TUGAS GENETIKA
CIS SQUARE
Oleh :
Fildzah Aulia
1114040197
berdasarkan prinsip teori peluang yang ada. Sehubungan dengan itu teori kemungkinan sangat
penting dalam mempelajari genetika. Kemungkinan atas terjadinya sesuatu yang diinginkan ialah
sama dengan perbandingan antara sesuatu yang diinginkan itu terhadap keseluruhannya.
Kemungkinan peristiwa yang diharapkan ialah perbandingan dari peristiwa yang diharapkan itu
dengan segala peristiwa yang mungkin terjadi terhadap (Suryo, 1994).
Metode chi square adalah cara yang dipakai untuk membandingkan data percobaan yang
diperoleh dari persilangan. Persilangan dengan hasil yang diharapkan berdasarkan hipotesis
secara teoritis. Teori kemungkinan merupakan dasar untuk menetukan nisbah yang diharapka
dari tipe-tipe persilangan genotip yang berbeda. Suatu persilangan antara sesama individu
dihibrid (AaBb) menghasilkan keturunan yang terdiri atas empat macam fenotipe, yaitu A-B-, Abb, aaB-, dan aabb masing-masing sebanyak 315, 108, 101, dan 32. Untuk menentukan bahwa
hasil persilangan ini masih memenuhi nisbah teoretis ( 9 : 3 : 3 : 1 ) atau menyimpang dari
nisbah tersebut perlu dilakukan suatu pengujian secara statistika. Uji yang lazim digunakan
adalah uji X2 (Chi-square test) atau ada yang menamakannya uji kecocokan (goodness of fit)
(Wildan, 1991).
Dalam ilmu genetika, kemungkinan ikut mengambil peranan penting. Uji Chi Square Test
(X2) bertujuan untuk mengetahui apakah data yang didapat dari hasil pengamatan sesuai dengan
nilai atau nilai ekspektasinya yang juga dapat diartikan bahwa hasil observasinya sesuai dengan
model atau teori. Ukuran seberapa besar deviasi tersebut disebut dalam formula atau rumus
berikut :
k
(Oi-Ei)2
X2 = ------------I=1
Ei
lebih besar dari X2 tabel (X2 hitung > X2 Tabel) maka data di tolak dan data pengamatan tidak
sesuai dengan model atau teori (Suryati, Dotti. 2007).
Untuk mengevaluasi suatu hipotesis genetic, kita memerlukan suatu uji yang dapat
mengubah deviasi-deviasi dari nilai yang diharapkan, menjadi probabilitas dari ketidaksamaan
demikian yang terjadi oleh peluang. Selain dari pada itu, uji ini harus pula memperhatikan
besarnya sampel dan jumlah peubah (derajat bebas). Sebagai uji X2 (Chi Square Test). Uji chikuadrat atau chi-square digunakan untuk menguji homogenitas varians beberapa populasi atau
merupakan uji yang dapat mengubah deviasi dari nilai-nilai yang diharapkan menjadi
probabilitas dari ketidaksamaan demikian yang terjadi oleh peluang dan harus memperhatikan
besarnya sampel dan besarnya peubah (derajat bebas) ( William, 1991).
Pada tabel tersebut di atas dapat dilihat bahwa hasil percobaan dimasukkan ke dalam
kolom O sesuai dengan kelas fenotipenya masing-masing. Untuk memperoleh nilai E (hasil yang
diharapkan), dilakukan perhitungan menurut proporsi tiap kelas fenotipe. Selanjutnya nilai d
(deviasi) adalah selisih antara O dan E. Pada kolom paling kanan nilai d dikuadratkan dan dibagi
dengan nilai E masing-masing, untuk kemudian dijumlahkan hingga menghasilkan nilai X2h atau
X2
. Nilai X2h inilah yang nantinya akan dibandingkan dengan nilai X 2 yang terdapat dalam
hitung
tabel X2 (disebut nilai X2tabel ) yang disingkat menjadi X2t. Apabila X2h lebih kecil daripada X2t
dengan peluang tertentu (biasanya digunakan nilai 0,05), maka dikatakan bahwa hasil
persilangan yang diuji masih memenuhi nisbah Mendel. Sebaliknya, apabila X 2h lebih besar
daripada X2t, maka dikatakan bahwa hasil persilangan yang diuji tidak memenuhi nisbah Mendel
pada nilai peluang tertentu (biasanya 0,05) (Borror, 1992).
TUGAS GENETIKA
POLIGEN
Oleh :
Fildzah Aulia
1114040197
Pada pewarisan sifat, kita dapat menemukan adanya variasi sifat yang diturunkan. Hal ini
disebabkan oleh gen ganda (multiple gen / poligen). Poligen merupakan suatu seri gen ganda
yang menentukan sifat secara kuantitatif. Dalam hal ini, pewarisan sifat dikendalikan oleh
lebih dari satu gen pada lokus yang berbeda dalam kromosom yang sama atau berlainan.
Pewarisan sifat yang dikendalikan oleh poligen tersebut pertama kali ditemukan pada
tanaman tembakau (Nicotiana tabacum) oleh J. Kolreuter (1760). Saat menyilangkan
tanaman dengan dua sifat beda, keturunan yang didapat pada F1 adalah intermediet,
sedangkan F2 terdapat banyak variasi antara kedua tanaman induknya. Sifat keturunan
terlihat berderajat berdasarkan intensitas dari ekspresi sifat itu.
Pewarisan sifat yang dikendalikan oleh poligen dapat terjadi baik pada tumbuhan, hewan,
maupun manusia. Contoh poligen pada tumbuhan adalah warna biji pada tanaman
gandum,panjang bunga tembakau serta berat buah tomat. Contoh poligen pada manusia
adalah perbedaan pigmentasi kulit, jumlah rigi dermal dan tinggi badan.
b. Poligen pada Manusia
Adanya pengaruh gen ganda pada pigmentasi dikemukakan oleh C.B Davenport dengan
mengukur intensitas warna kulit manusia. Dia membedakan derajat warna dari warna putih
hingga hitam arang yaitu dari 0 - 4. Pigmentasi kulit ditentukan oleh dua gen (A dan B) yang
dominan terhadap alel resesifnya (a dan b).
Selain pigmentasi kulit, poligen juga dapat mempengaruhi tinggi badan manusia. Gen yang
mempengaruhi pewarisan sifat tinggi badan terdiri dari empat gen. Dalam pewarisan sifat
tersebut dipengaruhi oleh gen-gen dasar dan gen-gen ganda. Gen dasar merupakan gen yang
menentukan tinggi dasar seseorang sedangkan gen ganda memberi tambahan pada gen dasar
Susunan rigi pada epidermis yang dikendalikan oleh poligen dapat digunakan untuk
mengidentifikasi seseorang karena polanya tidak akan berubah seumur hidup. Galton
(1892) mengklasifikasikan pola sulur rigi menjadi 3 kelompok berdasarkan jumlah triradius
yang terdapat pada ujung jari yaitu:
1.
Arch, tidak ada triradius. Pola ini paling sedikit ditemukan, paling banyak ditemukan
pada populasi Bushman. Pada pola Arch, jumlah rigi adalah nol.
2.
Loop, terdapat satu triradius. Merupakan pola yang paling banyak ditemukan baik
pada populasi orang kulit putih maupun kulit hitam. Loop dibedakan menjadi dua yaitu,
- Loop radial, jika pola sulurnya terbuka ke arah ujung jari atau ke atas.
- Loop ulnar, jika pola sulurnya terbuka ke arah pangkal jari atau ke bawah.
3.
Dalam populasi rata-rata, terdapat pola Arch sebanyak 5%, pola Loop 65 75%, dan pola
Wohrl sebanyak 25 30%. Frekuensi pola sulur antara laki-laki dan perempuan juga
berbeda. Jumlah rigi rata-rata pada perempuan sebanyak 127, sedangkan laki-laki memiliki
jumlah yang lebih banyak yaitu sebanyak 144. Teknik penghitungan rigi dilakukan dengan
menjumlah rigi pada semua jari tangan (total finger ridge count).
Genotip
Fenotip
Laki-laki
Perempuan
BB
Botak
Botak
Bb
Botak
Tidak botak
bb
Tidak botak
Tidak botak
Selain kepala botak, pewarisan sifat panjang jari telunjuk juga dipengaruhi oleh jenis
kelamin. Jika kita meletakkan tangan diatas kertas yang telah diberi garis, sehingga ujung
jari manis kita menyentuh garis tersebut, maka akan diketahui apakah jari telunjuk kita lebih
pendek atau lebih panjang dari jari manis. Umumnya kita memiliki jari telunjuk yang lebih
pendek dari jari manis. Sama halnya dengan gen kepala botak, sifat jari telunjuk pendek
pada laki-laki disebabkan oleh gen dominan, sedangkan pada perempuan disebabkan oleh
gen resesif. Beikut ini tabel tabel genotip dan fenotip jari telunjuk pendek pada laki-laki dan
perempuan.
Genotip
Fenotip
Laki-laki
Perempuan
TT
Telunjuk pendek
Telunjuk pendek
Tt
Telunjuk pendek
Telunjuk panjang
tt
Telunjuk panjang
Telunjuk panjang
Poligen merupakan suatu seri gen ganda yang menentukan sifat secara kuantitatif. Pada
pewarisan sifat, kita dapat menemukan adanya variasi sifat yang diturunkan. Hal ini disebabkan
oleh gen ganda (multiple gen / poligen). Dalam hal ini, pewarisan sifat dikendalikan oleh lebih
dari satu gen pada lokus yang berbeda dalam kromosom yang sama atau berlainan
(Campbell, 2004).
Setiap manusia di dunia ini pasti berbeda. Salah satunya adalah bentuk garis-garis pada
jari, atau yang lazim kita sebut sebagai 'sidik jari'. Karena sidik jari bersifat unik, setiap orang
yang hidup di bumi mempunyai bentuk sidik jari yang berlainan. Karena sifat unik inilah, sidik
jari dijadikan sebagai salah satu bukti identitas seseorang yang berlaku secara internasional.
Ternyata sidik jari baru mulai diperhatikan pada akhir abad ke-19. Berawal dari tulisan seseorang
ilmuwan Inggris Henry Faulds pada 1880 yang menyatakan bahwa sidik jari orang-orang tak
berubah sepanjang hayat mereka, dan bahwa terdakwa-terdakwa bisa diyakinkan dengan sidik
jari yang mereka tinggalkan di permukaan benda seperti kaca. Dalam genetika kuantitatif,
konsep poligen
berarti
banyak gen
digunakan
untuk
menjelaskan
terbentuknya
sifat
kuantitatif. Ronald Fisher (1918) dapat menjelaskan bahwa sifat kuantitatif terbentuk dari banyak
gen dengan pengaruh kecil, yang masing-masing bersegregasi menuruti teori Mendel. Karena
pengaruhnya kecil, fenotipe yang diatur oleh gen-gen ini dapat dipengaruhi oleh lingkungan.
Meskipun demikian, penjelasan Fisher ini tetap menempatkan "gen-gen" yang mengatur sifat
kuantitatif sebagai sesuatu yang abstrak karena hanya merupakan konsep. (Suryo, 1994).
Klasifikasi sidik jari yang digunakan secara luas adalah sistem Henry dan variasivariasinya yang diperkenalkan oleh Edward Henry (1899). Klasifikasi sidik jari adalah membagi
data pola garis alur sidik jari kedalam kelompok-kelompok kelas ciri yang menjadi karakteristik
sidik jari tersebut yaitu untuk memercepat proses identifikasi. Ada dua jenis kategori sidik jari
yaitu kategori bersifat umum (global) dan kategori yang bersifat khusus (lokal) yaitu untuk
menggambarkan ciri-ciri khusus individual, seperti jumlah minutiae, jumlah dan posisi inti
(core), dan jumlah dan posisi delta. Beberapa sifat keturunan dapat ditentukan oleh gen
autosomal dan ada juga yang ekspresinya dipengaruhi oleh jenis kelamin (sex). Sifat tersebut
dapat tampak pada kedua jenis kelamin, tetapi pada salah satu jenis kelamin ekspresinya lebih
besar dibandingkan jenis kelamin lainnya (Suratsih, 2003).
TUGAS GENETIKA
FREKUENSI GEN
Oleh :
Fildzah Aulia
1114040197
FREKUENSI GEN
A. Keseimbangan Genetik
1. Kawin Acak
Jika kesempatan seekor pejantan mengawini betina (yang mana saja) di dalam suatu
populasi sama dengan pejantan lain di dalam populasi tersebut maka dikatakan bahwa pada
populasi tersebut terjadi kawin acak.
Pada suatu kelompok ternak yang besar di padang pengembalaan terbuka diasumsikan
1/3 dari sapi berwarna merah dan 2/3 berwarna hitam, dengan asumsi bahwa warna-warna itu
ada pada sapi jantan dan betina. Jika terjadi kawin acak maka peluang seekor sapi jantan merah
mengawini sapi betina merah adalah 1/3 x 1/3 = 1/9. Kemungkinan-kemungkinan persilangan
lain dapat dilihat Tabel 1.1.
TABEL 1.1. PERSILANGAN ACAK PADA KELOMPOK SAPI YANG TERDIRI DARI 1/3
BERWARNA MERAH DAN 2/3 BERWARNA HITAM
Warna Pejantan
Warna Betina
Peluang Perkawinan
Merah
Merah
1/3 x 1/3 = 1/9
Merah
Hitam
1/3 x 2/3 = 2/9
Hitam
Merah
2/3 x 1/3 = 2/9
Merah
Hitam
2/3 x 2/3 = 4/9
Total
9/9 = 1
Ada populasi sapi yang terdiri dari 50% bertanduk dan 50% tidak bertanduk. Sapi yang
bertanduk memiliki derajat dominasi yang lebih kuat dibanding sapi yang tidak bertanduk.
Dengan demikian, seekor sapi jantan bertanduk memiliki kesempatan yang lebih baik untuk
mengawini betina-betina yang ada dalam populasi tersebut jika dibandingkan dengan pejantan
yang tidak bertanduk. Dalam kasus ini sistem perkawinan yang terjadi tidak seacak sistem
perkawina pada kasus pertama. Contaoh kawin tidak acak lainnya adalah campur tangan
peternak untuk menentukan ternak-ternak mana saja yang boleh dan yang tidak boleh
dikawinkan.
2. Hukum Hardy-Weinberg
Hukum Hardy-Weinberg ditemukan oleh ahli fisika W. Weinberg dan ahli matematika
G.H. Hardy pada tahun 1908. Kedua ahli tersebut berasal dari Inggris.
Untuk menjelaskan hukum ini digunakan contoh perkawinan sapi shorthorn warna merah,
putih dan roan. Seperti diketahui, sifat ini dikontrol oleh dua alel yang kodominan, yaitu alel
merah (R) dan alel putih (r). jika kita asumsikan bahwa frekuensi gen merah adalah p dan
frekuensi gen putih adalah q, dengan p = 0,7 dan q = 0,3 maka proporsi sapi merah dengan
genotip RR adalah p2 = (0,7)2 = 0,49, proporsi sapi putih = q 2 = (0,3)2 = 0,09, dan proporsi sapi
roan = 2pq = 2 (0,7) x (0,3) = 0,42. Angka dua di depan pq disebabkan oleh adanya dua
kemungkinan terbentuknya sapi roan, yaitu dari pertemuan sperma yang mengandung gen R
dengan sel telur yang mengandung gen r dan dari sperma yang mengandung gen r dengan sel
telur yang mengandung gen R.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan hukum hardy-weinberg.
1) Jumlah frekuensi gen dominan dan resesif (p + q) adalah 1.
2) Jumlah proporsi dari ketiga macam genotip (p2 +2pq + q2 ) adalah 1.
Jadi, pada dasarnya hukum ini menyatakan bahwa frekuensi gen dominan dan resesif
pada suatu populasi yang cukup besar tidak akan berubah dari satu generasi ke generasi lainnya
jika tidak ada seleksi, migrasi, mutasi, dan genetic drift. Keadaan populasi yang demikian
disebut
dalam
keadaan
equilibrium
(dalam
keadaan
seimbang).
Hukum Hardy-Weinberg antara lain memungkinkan perkiraan frekuensi gen dalam populasi
dengan dominasi sempurna dimana hanya genotipe-genotipe dari homozigot resesif yang dapat
ditentukan dari fenotipe.
B. Perhitungan Frekuensi Gen
1. Kodominan
Perhitungan frekuensi gen untuk sifat-sifat yang dikontrol oleh sepasang alel kodominan
relatif lebih mudah. Kita dapat dengan mudah membedakan individu yang genotip homozigot
dominan, heterozigot, dan homozigot resesif hanya berdasarkan fenotipnya saja.
Agar lebih jelas dapat dilihat contohnya pada ayam. Jika pada suatu kelompok ayam
terdapat 150 ekor ayam yang terdiri dari 95 ekor berwarna hitam, 50 ekor berwarna biru, dan 5
ekor yang berwarna putih maka dengan menggunakan B untuk gen hitam dan b untuk gen putih
diperoleh genotip ketiga ayam ini adalah BB (hitam), Bb (biru), dan bb (putih). Setiap ayam
hitam membawa 2 gen B. jika terdapat 95 ekor ayam hitam maka jumlah gen B adalah 2 x 95 =
190. Setiap ayam putih membawa sepasang gen b. jika ada 5 ekor ayam putih maka jumlah gen b
= 2 x 5 =10. Ayam biru membawa 1 gen B dan 1 gen b. jadi jika ada 50 ekor ayam biru maka
jumlah gen B = 50 dan jumlah gen b = 50. Jumlah gen B pada populasi tersebut adalah 190 + 50
= 240. Jumlah gen b adalah 10 + 50 = 60. Jadi, frekuensi gen B yang ada pada populasi tersebut
adalah 240/300 = 0,8 (80%), sedangkan frekuensi gen b adalah 60/300 = 0,2 (20%).
Jika terjadi kawin acak pada populasi tersebut maka proporsi ayam hitam pada populasi
tersebut adalah p2 = (0,8)2 x 150 = 96 ekor, proporsi ayam biru = 2pq x 150 = 2 (0,8)(0,2) x 150 =
48 ekor, sedangkan proporsi ayam putih = q 2 x 150 = (0,8)2 x 150 = 6 ekor. Proporsi ayam hitam,
biru, dan putih pada populasi tersebut mendekati nilai harapan. Hal ini menunjukkan bahwa pada
[populasi tersebut terjadi kawin acak. Jika penyimpangan antara nilai pengamatan dan nilai
harapan cukup besar maka dikatakan tidak terjadi kawin acak.
2. Dominan Penuh
Perhitungan frekuensi gen untuk sifat-sifat yang diwariskan secara dominan penuh
memerlukan cara yang sedikit berbeda. Hal ini karena antara individu yang bergenotip
homozigot dominan dan yang bergenotip heterozigot tidak dapat dibedakan hanya dengan
berdasarkan fenotipnya saja.
Jika pada suatu peternakan terdapat 230 ekor sapi yang terdiri dari 147 ekor sapi tidak
bertanduk dan 83 ekor sapi bertanduk maka proporsi sapi yang tidak bertanduk adalah 147/230 =
0,639 dan sapi yang bertanduk = 83/230 = 0,361. Jika diasumsikan bahwa frekuensi gen
dominan adalah p, sedangkan frekuensi gen resesif adalah q maka proporsi sapi yang tidak
bertanduk = p2 + 2pq = 0,639. Dalam hal ini 2pq adalah sapi yang bertanduk heterozigot.
Proporsi sapi yang bertanduk = q2 = 0,361. Dari kedua persamaan itu diperoleh frekuensi gen
bertanduk (resesif) =
=
= 0,601. Frekuensi gen tidak bertanduk = 1 q = 1 0,601 =
0,399.
Sapi yang tidak bertanduk homozigot = p2 + 230 = (0,399)2 x 230 = 36,6 ekor dibulatkan
menjadi 37 ekor. Sapi yang tidak bertanduk heterozigot adalah 2pq = 2 (0,601)(0,399) x 230 ekor
= 110,3 ekor dibulatkan menjadi 110 ekor.
3. Sifat yang Diwariskan secara Sex-influenced
Perhitungan frekuensi gen untuk sifat-sifat yang diwariskan secara sex influenced harus
berdasarkan jenis kelamin. Sebagai contoh, diasumsikan bahwa pada kelompok sapi ayrshire
terdapat 200 ekor sapi yang terdiri dari 49 ekor sapi betina yang berwarna mahagony, dan 51
ekor sapi betina yang berwarna merah, 91 ekor sapi jantan berwarna mahagony, dan 9 ekor sapi
jantan berwarna merah. Pada populasi sapi betina, proporsi sapi berwarna mahagony = 49/100 =
0,49. Jadi, frekuensi gen mahagony pada populasi ini adalah
= 0,7. Frekuensi gen merah =
1 0,7 = 0,3. Pada populasi jantan, proporsi sapi jantan merah = 9/100 = 0,09 dan frekuensi gen
merah =
= 0,3. Frekuensi gen putih = 1 0,3 = 0,7. Jumlah individu heterozigot untuk
kedua jenis kelamin adalah 2pq = 2(0,7)(0,3) x 100 = 42 ekor. Pada sapi betina, 42 ekor sapi
termasuk diantara 51 ekor sapi betina merah. Pada sapi jantan, 42 ekor sapi itu termasuk diantara
91 ekor sapi berwarna mahagony.
Sebagai panduan, proporsi individu untuk sifat-sifat yang diwariskan secara sex influenced dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. PROPORSI SAPI AYRSHIRE YANG BERWARNA MERAH DAN MAHAGONY PADA
POPULASI SAPI JANTAN DAN BETINA
Genotip
MM
Mm
Mm
4.
Betina
Mahagony (p2 )
Mahagony (2pq )
Merah
(q2 )
Mahagony (p2 )
Merah
(2pq)
Merah
(q2 )
5. Alel ganda
Seperti telah dijelaskan bahwa alel ganda berhubungan dengan sifat-sifat yang dikontrol
oleh 3 alel atau lebih. Cara perhitungan frekuensi gen pada prinsipnya sama dengan cara yang
telah dibahas di atas. Namun, rumusnya harus diperluas menjadi (p + q + r)2 = 1; p2 + 2pq
+ q2 + 2pr + 2qr + r2 = 1. Dalam hal ini p, q, dan r masing-masing adalah frekuensi gen
untuk alel 1, 2, dan 3.
Untuk melatih cara penggunaan persamaan-persamaan itu, diambil contoh 3 alel, yaitu
pola warna sapi hereford, pola warna sapi angus (polos), dan pola warna sapi FH. Pola warna
herefords dikontrol oleh gen dominan SH, pola warna angus dikontrol oleh alel S, dan pola warna
sapi FH dikontrol oleh alel s. Derajat dominasi ketiga alel ini adalah S H > S > s. jika diasumsikan
bahwa frekuensi ketiga alel itu adalah p, q, dan r dengan frekuensi masing-masing (0,2), (0,5),
dan (0,3) maka proporsi sapi yang berpola hereford = p 2 + 2 pq + 2 pr = (0,2) 2 + 2(0,2)(0,5) +
2(0,2)(0,3) = 0,36 dengan genotip SHSH, SHS, dan SHs, proporsi sapi polos = q2 + 2 qr = (0,5)2 +
2(0,5)(0,3) = 0,55 dengan genotip SS dan Ss, serta proporsi sapi berpola FH = (0,3) 2 = 0,09
dengan genotip ss.
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Frekuensi Gen
1. Seleksi
Seleksi merupakan suatu proses yang melibatkan kekuatan-kekuatan untuk menentukan
ternak mana yang boleh berkembang biak pada generasi selanjutnya. Kekuatan-kekuatan itu bisa
dikontrol sepenuhnya oleh alam yang disebut seleksi alam. Jika kekuatan itu dikontrol oleh
manusia maka prosesnya disebut seleksi buatan. Kedua macam seleksi itu akan merubah
frekuensi gen yang satu relatif terhadap alelnya. Laju perubahan frekuensi gen pada seleksi
buatan lebih cepat jika dibandingkan dengan seleksi alam.
Untuk mendemonstrasikan peran seleksi dalam mengubah frekuensi gen, diambil suatu
contoh populasi yang terdiri dari beberapa ribu sapi yang bertanduk dan yang tidak bertanduk.
Jika diasumsikan bahwa frekuensi gen bertanduk dan yang tidak bertanduk pada populasi
tersebut masing-masing 0,5 (bila terjadi kawin acak) maka sekitar 75% dari total sapi yang ada
tidak bertanduk dan 25% bertanduk. Dari 75% sapi yang tidak bertanduk, sebanyak 1/3
bergenotip homozigot dan 2/3 bergenotip heterozigot.
Jika dilakukan seleksi dengan cara mengeluarkan semua sapi bertanduk dari populasi
tersebut maka gen resesif yang tertinggal hanya pada sapi-sapi yang heterozigot. Setelah
dilakukan seleksi, diantara 75 sapi yang tidak bertanduk, terdapat 50% yang heterozigot. Jadi,
diantara 75% sapi yang tidak bertanduk terdapat 50 gen resesif. Jumlah gen di lokus pada 75
ekor sapi adalah 150. Oleh karena itu, frekuensi gen resesif setelah proses seleksi adalah 50/150
= 0,333 dan frekuensi gen dominan = 100/150 = 2/3 = 0,667.
Diantara anak sapi yang dihasilkan dari kelompok sapi terseleksi masih terdapat (1/3) 2
sapi yang bertanduk. Dengan menggunakan prosedur seleksi yang sama pada setiap generasi
maka frekuensi gen bertanduk yang baru adalah 0,25. Sedangkan persentase anak sapi yang
bertanduk pada generai selanjutnya adalah (0,25)2 x 100% = 6,25%.
2.
Mutasi
Mutasi adalah suatu perubahan kimia gen yang berakibat berubahnya fungsi gen. jika gen
mengalami mutasi dengan kecepatan tetap maka frekuensi gen akan sedikit menurun, sedangkan
frekuensi alel akan meningkat. Laju mutasi bervariasi dari satu kejadian mutasi ke kejadian
mutasi lain. Namun, laju tersebut relatif rendah (kira-kira 1 dalam 1 juta penggandaan gen).
Sebagai gambaran, diambil contoh frekuensi gen merah pada sapi angus, yaitu antara
0,05-0,08. Jika terjadi kawin acak maka akan dijumpai 25-64 ekor sapi merah dari setiap 10.000
kelahiran. Anak sapi yang berwarna merah dan juga tetua yang heterozigot akan dikeluarkan dari
peternakan. Secara teoritis frekuensi gen merah akan menurun mendekati angka nol. Namun,
kenyataannya frekuensi gen merah tetap antara 0,05-0,08 dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Hal itu bisa dijelaskan dengan menggunakan teori mutasi. Diduga bahwa laju mutasi
gen hitam menjadi gen merah sama dengan laju seleksi terhadap gen merah sehingga tercapai
suatu keseimbangan.
3.
Percampuran populasi
Percampuran dua populasi yang frekuensi gennya berbeda dapat mengubah frekuensi gen
tertentu. Frekuensi gen ini merupakan rataan dari frekuensi gen dari dua populasi yang
bercampur.
Jika seorang peternak memiliki 150 ekor sapi dengan frekuensi gen bertanduk = 0,95
(bila terjadi kawin acak) maka sekitar 90% dari sapi-sapinya akan bertanduk. Selanjutnya, jika
diasumsikan bahwa ada enam pejantan baru yang dimasukkan ke peternakan untuk memperbaiki
mutu genetik ternak-ternak yang ada. Dari enam pejantan yang dimasukkan terdapat 1 ekor yang
bertanduk, 2 ekor yang tidak bertanduk heterozigot, dan 3 ekor yang tidak bertanduk homozigot.
Frekuensi gen bertanduk pada kelompok pejantan = 1/6 = 0,333. Dengan asumsi bahwa tidak ada
sapi lain yang masuk ke dalam peternakan maka frekuensi gen bertanduk pada populasi itu
setelah terjadi kawin acak selama 1 generasi adalah (0,950 + 0,333)/2 = 0,64.
4.
dimulai. Jika terjadi perubahan frekuensi gen maka perubahan itu disebabkan oleh adanya
seleksi, mutasi, dan pengaruh sampel acak.
Jika silang luar dilakukan pada suatu populasi yang memiliki rasio jenis kelamin yang
sama dengan frekuensi gen pada suatu lokus yang sama pada kedua jenis kelamin maka
frekuensi gen tidak akan berubah akibat pengaruh langsung silang luar.
5. Genetic drift
Genetic drift merupakan perubahan frekuensi gen yang mendadak. Perubahan frekuensi
gen yang mendadak biasanya terjadi pada kelompok kecil ternak yang dipindahkan untuk tujuan
pemuliaan ternak atau dibiakkan. Jika kelompok ternak diisolasi dari kelompok ternak asalnya
maka frekuensi gen yang terbentuk pada populasi baru dapat berubah. Perubahan frekuensi gen
yang mendadak dapat pula disebabkan oleh bencana alam, misal matinya sebagian besar ternak
yang memiliki gen tertentu.