Anda di halaman 1dari 14

Tuberculose Meningitis

DEFINISI
Meningitis adalah suatu infeksi yang mengenai selaput otak dan selaput medulla spinalis
yang disebut meningens. Meningitis dapat disebabkan oleh berbagai jenis mikroorganisme
seperti bakteri, virus, jamur dan parasit. Meningitis Tuberkulosis tergolong ke dalam meningitis
yang disebabkan oleh bakteri yaitu Mycobacterium Tuberkulosa. Bakteri tersebut menyebar ke
otak dari bagian tubuh yang lain. Meningitis tuberculosis adalah radang selaput otak yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Biasanya jaringan otak ikut terkena sehingga
disebut meningoensefalitis tuberculosis.
Angka kejadian jarang di bawah usia 3 bulan, dan mulai meningkat dalam 5 tahun
pertama. Angka kejadian tertinggi pada usia 6 bulan sampai 2 tahun. Angka kematian berkisar
antara 10-20%. Sebagian besar memberikan gejala sisa, hanya 18% pasien yang normal secara
neurologis dan intelektual. Meningitis TB pada anak bila tidak diobati, akan meninggal dalam
waktu 3-5 minggu.

EPIDEMIOLOGI
Meningitis tuberculosis (TB) merupakan penyakit yang paling sering ditemukan di
negara yang sedang berkembang, salah satunya adalah Indonesia. Penyakit ini dapat menyerang
semua umur, anak-anak lebih sering disbanding dewasa. Di Indonesia meningitis tuberkulosa
masih banyak ditemukan karena morbiditas tuberculosis pada anak masih tinggi. Angka kejadian
tertinggi dijumpai pada anak umur 6 bulan sampai dengan 4 atau 6 tahun, jarang ditemukan pada
umur di bawah 6 bulan, dan hamper tidak pernah ditemukan pada anak dibawah 3 bulan.
Insidens meningitis tuberkulosa sangat bervariasi dan bergantung kepad tingkat sosio-ekonomi
dan kesehatan masyarakat, umur, status gizi serta factor genetik yang menentukan repons imun
seseorang.
Meningitis tuberculosis menyerang 0,3% anak yang menderita tuberculosis yang tidak
diobati. Angka kematian pada meningitis tuberkulosa berkisar antara 10-20%. Sebagian besar

memberikan gejala sisa, hanya 18% pasien yang dapat kembali normal secara neurologis dan
intelektual.
Diseluruh dunia, tuberculosis merupakan penyebab utama dari morbiditas dan kematian
pada anak. Di Amerika Serikat, insidens tuberculosis kurang dari 5% dari seluruh kasus
meningitis bacterial pada anak, namun penyakit ini mempunyai frekuensi yang lebih tinggi pada
daerah dengan sanitasi yang buruk, apabila meningitis tuberkulasis tidak diobati, tingkat
morbiditas akan meningkat. Angka kejadian meningkat dengan meningkatnya jumlah
tuberculosis dewasa.

PATOFISIOLOGI
Fokus tuberkel tersebar di otak ataupun selaput otak (meningen), terbentuk pada saat
penyebaran hematogen selama masa inkubasi infeksi TB primer. Bila penyebaran hematogen
terjadi dalam jumlah besar akan langsung menyebabkan penyakit TB primer seperti TB miler
dan meningitis TB. Meningitis TB juga dapat merupakan reaktivasi focus TB (TB pasca-primer)
bertahun-tahun setelah pembentukannya pada fase infeksi TB primer. Trauma kepala dapat
menjadi pencetus reaktivasi tersebut.
Penyebaran protein kuman TB ke ruang subaraknoid merangsang reaksi hipersensitivitas
yang hebat, selanjutnya menyebabka reaksi radang yang paling banyak terjadi pada basal otak.
Secara patologis ada 3 keadaan yang terjadi pada meningitis TB. Pertama adalah araknoiditis
proliferative yang terutama terjadi di basal otak berupa pembentukan masa fibrotic yang
melibatkan saraf kranialis dan menembus pembuluh darah. Kedua vaskulitis dengan thrombosis
dan infark pembuluh darah yang melintasi membrane basalis atau berada dalam parenkim otak.
Kelainan inilah yang sering meninggalkan sekuele neurologis bila pasien selamat. Kelainan
ketiga adalah hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna basalis yang akan
mengganggu sirkulasi dan resorpsi likuor serebospinal.
Perkembangan penyakit meningitis tuberculosis dengan 2 langkah. Pertama basil
Mycobacterium tuberculosis masuk melalui inhalasi droplet, awal dari infeksi ini yaitu, bakteri
pada makrofag di alveolar. Terjadi peningkatan infeksi lokal dalam paru-paru, ditandai dengan

penyebaran ke kelenjar getah bening regional yang menyebabkan kompleks primer. Pada masa
ini terjadi bekterimia yang berlangsung pendek tetapi secara signifikan tuberkel basil menyebar
ke organ lain, disini terjadi penyebaran infeksi secara hematogen. Basil TB yang menyebar ke
dalam meningens atau parenkim membentuk fokus rich. Pada langkah kedua fokus rich ini
semakin lama ukurannya bertambah sehingga focus Rich menjadi rupture dan sehingga
menyebabkan tuberkel masuk ke dalam ruang subarachnoid, sehingga menyebabkan meningitis.

PATOLOGI
Gambaran patologi pada meningitis tuberkulosa ada 4 tipe, yaitu:
1. Disaminiated military tubercels, seperti pada tuberkulosisi milier (gambaran lesi
berbentuk butir-butiran seperti padi/millet seed, secara PA gambarannya berupa nodul
kuning berukuran 1-3mm yang tersebar difuse pada paru)
2. Focal caseosus plaque, contohnya tuberkuloma yang sering menyebabkan meningitis
yang difus
3. Acute inflammatory caseosus meningitis
Terlokalisasi, disertai perkijuan dari tuberkel, biasanya di korteks
Difus dengan eksudat gelatinosa di ruang subaraknoid
4. Meningitis proliferative
Terlokalisasi, pada selaput otak
Difus dengan gambaran tak jelas
Gambaran patologi tersebut mungkin dapat terjada bersamaan pada setiap pasien.
Gambaran patologis tersebut dipengaruhi oleh beberapa factor, yaitu umur, berat, dan lamanya
sakit, respon imun pasien, lama dan respons pengobatan yang diberikan, virulensi dan jumlah
nasil juga merupakan factor yang mempengaruhi.

SELAPUT OTAK, EPENDIM, DAN PLEKSUS KOROIDEUS

Infiltrasi exudat gelatinosa pada pembuluh darah kortikal ataupun meningeal,


menyebakan inflamasi, obstruksi, atau infark. Adanya eksudat yang tipis biasanya mengisi
daerah interpedunkular dan sisterna ponti, kemudian ke lateral meluas sampai sisterna di sulkus
lateralis, sisterna ambiens, ke posterior meluas ke sisterna magna dan ke anterior sampai sisterna
khiasmatik. Eksudat akan mengalami organisasi dan menimbulkan perlengketan serta obstruksi
pada sisterna basalis sehingga dapat menyebabkan hidrosefalus. Bagian otak yang konveks
relative tidak terkena. Eksudat mengelilingi saraf-saraf kranial dan pembuluh darah dasar otak,
dan sering menutupi pleksus koroideus dalam ventrikel dan ependimitis hamper selalu
ditemukan.
Eksudat juga akan mengalami organisasi dan menyebabkan ikemik saraf kranial yang
terkena, sehingga terjadi paralisis saraf kranial yang bersangkutan. Paling sering mengenai saraf
kranial VI, kemudian III,, dan IV sehingga akan timbul gejala diplopia dan strabismus, bila
mengenai saraf krania II maka kiasma optikum menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan
kabur bahkan bisa buta bila terjadi atrofi papil saraf kranial II, dan bila mengenai saraf kranial
VIII aan menyebabkan gangguan pendengaran yang bersifat permanen. Secara mikroskopik
eksudat terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan nekrosis perkijuan. Pada stadium lanjut
eksudat mengalami organisasi dan mungkin mengeras serta mengalami kalsifikasi.

PEMBULUH DARAH
Pada pembuluh darah tampak kelainan yang difus pada arteri maupun vena terutama di
bagian dasar otak, yang menyebabkan vaskulitis dan menimbulkan oklusi sebagian atau total
pembuluh darah yang mengakibatkan infrak. Bila infark terjadi di daearah sekitara.cerebri media
atau a.karotis interna, akan menyebbkan hemiparesis, dan bila infarknya bilateral akan menjadi
quadriparesis.
Pada pemeriksaan histologis areteri yang terkena, ditemukan adanya perdarahan
proliferasi dan degenerasi. Pada tunika adventitia ditemukan adanya infiltrasi sel dengan atau
tanpa pembentukan tuberkel dan nekrosis perkejuan. Pada tunika media tak tampak kelainan,
hanya infiltrasu sek yang ringan, kadang perubahan fibrinoid. Kelainan pada intima berupa
infiltrasi subendotel, proliferasi intima, degenerasi dan perkijuan. Yang sering terkena adalah

a.serebri media dan anterior serta cabang-cabangnya, dan a.karotis interna. Vena selaput otak
mengalami flebitis dengan derajat yang bervariasi dan menyebabkan thrombosis serta oklusi,
sebagian atau total. Mekanisme terjadinya flebitis tidak jelas, diduga hipersensitivitas tipe
kambat menyebabkan infiltrasu sel mononulkear dan perubahan fibrin.

OTAK
Derajat dan luasnya kelainan otak sangat bervariasi, kelainan jaringan otak yang penting
adalah:
1. Border Zone Reaction
Jaringan otak di bawah eksuday mengalami edema, infiltrasi perovaskular dan reaksi
microglial dalam derajat yang bervariasi. Edema dapat menyebabkan penurunan kesadaran,
kejang, dan peningkatan tekanan intra kranial yang menimbulkan gejala-gejaa sakit kepala,
muntah, edema papil, dan pada bayi berupa pembonjolan ubun-ubun besar.
2. Iskemia dan Infark
Kerusakan pembuluh darah menimbulkan iskemia dan infark yang kadang-kadang
disertai perdarahan. Sebagian besar infark tampak superfisial di daera a.serebri media, tetapi
sering sampai ganglia basalis dan hipotalamus, bahkan pernah ditemukan dalam batang otak.
Infark menyebabkan terbentuknya jarinan parut, dan bila terbentuk di hipotalamus atau di dekat
sisterna basalis akan menyebabkan endokrin berupa obesitas, diabetes insipidus maupun
retardasi pertumbuhan.
3. Hidrosefalus
Hampir selalu ditemukan pada pasien yang bisa bertahan sampai lebih 4-6 minggu, dan
paling sering ditemukan pada anak usia di bawah 10 tahun. Hidrosefalus baik yang komunikan
maupun yang obstruktif sering ditemukan pada anak dan disebabkan oleh peradangan di selaput
otak dan vili araknoidalis. Yang terbanyak adalah hidrosefalus tipe komunikan, yang disebabkan
adanya obstruksi eksudat di sisterna basalis pada stadium awal atau oleh perlengketan araknoid
pada stadium akhir.

Hidrosefalus tipe obstruksi jarang ditemukan, disebabkan oleh penyempitan atau


penutupan aquaduktus atau hambatan pada foramen di ventrikel IV. Penyempitan aquaduktus
biasanya disebabkan oleh edema midbrain atau penenkanan pada batang otak oleh eksudat di
sekitarnya atau oleh debris dan eksudat di ependim. Jarang tuberkuloma subependim atau
sumbatan dari eksudat diapendim menimbulkan sumbatan dari dalam.
4. Ensefalopati Tuberkulosis
Ini adalah sindrom yang jarang ditemukan, terutama menyerang anak. Kelainan berupa
kerusakan otak yang difus, edema difus di substansia alba, penipisan myelin, kadang perdarahan,
tanpa infark dan hidrosefalus. Ditandai dengan kejang, stupor, koma tanpa gejala-gejala
meningitis. Diduga disebabkan reaksi alergi terhadap protein yang dilepas ole Mycobacterium
tuberkulosa yang lisis.
5. Tuberkuloma
Cenderung multiple dan pada anak-anak paling sering di fosa posterior, dengan kelainan
berupa granuloma yang padat. Mula-mula merupakan tuberkel kecil dengan perkijuan atau
nekrosis di bagian tengah dan dikelilingi jaringan otak yang edema, lama-lama timbul kapsul
gelatinosa warna abu-abu dan bila mencapai permukaan otak akan mengadakan perlekatan
dengan selaput otak sehingga dapat menyerupai meningioma.
6. Abses Tuberkulosa Otak
Sangat jarang ditemukan dan tidak ada perubahan granulomatosa. Diduga akibat ketidak
mampuan menimbulkan reaksi granulomatosa akibat kegagalan mekanisme imun tubuh

MANIFESTASI KLINIS

Secara klinis kadang-kadang belum timbul gejala meningitis yang jelas, walaupun selaput
otak sudah terkena. Manidestasi klinis yang tibul berkaitan dengan kelainan patologis yang
terjadi yaitu:
1.
2.
3.
4.

Eksudat tipis di dasar otak bisa menyebabkan paralisis saraf kranial dan hidrosefalus
Vaskulitis dan oklusi pembuluh darah akan menimbulkan tanda neurologis fokal
Reaksi alergi terhadap tuberkuloprotein menyebabkan perubahan cairan serebrospinal
Edema pada otak akan menyebabkan penurunan kesadaran, kejang, dan peningkatan

tekanan intracranial.
5. Adanya tuberkuloma akan menimbulkan gejala proses desak ruang.
Pada fase awal belum terdapat manifestasi neurologis, biasanya gejalanya tidak khas dan
timbul perlahan-lahan dan berlangsung 2 minggu sebelum timbul tanda-tanda rangsang
meningeal. Gejala berupa rasa lemah, kenaikan suhu yang ringan, anoreksia, tidak mau bermainmain, tidurnya terganggu, mual, muntah, sakit kepala, apatik. Pada bayi iritabel dan ubun-ubun
besar menonjol merupakan manifestasi yang sering ditemukan, sedang pada anak yang lebih
besar, mungkin tanpa demam dan timbul kejag yang interminten. Kejang bersifat umum dan
didapatkan 10-15%. Kadang-kadang tanda kenaikan intracranial timbul, mendahului tanda
rangsang meningeal. Stadium ini berlangsung ke dalam subaraknoid, maka fase ini berlangsung
singkat dan langsung ke stadium III.
Fase selanjutnya disebut stadium meningitis, yang ditandai dengan memberatnya
penyakit. Pada fase ini terjdi rangsangan pada selaput otak, sehingga sakit kepala dan muntah
menjadi keluhan utamnaya. Pasien muntah dan sakit kepala yang terus menerus, menjadi mudah
terangsang dan drowsiness dan disorientasi. Pada anak usia dibawah 3 tahun iritabel dan muntah
adalah gejala utamanya, sedang sakit kepala jarang dikeluhkan; sebaliknya pada anak yang lebih
besar, sakit kepala adalah keluhan utamanya dan kesadaran semakin menurun. Pada fase ini
eksudat yang mengalami organisasi akan mengakibatkan kelumpuhan saraf kranial dan
hidrosefalus, gangguan kesadaran, dan papiledem ringan serta adanya tuberkel di koroid.
Vaskulitis menyebabkan tanda gangguan fokal, saraf kranial, dan kadang-kadang medulla
spinalis.
Mungkin timbul kelemahan otot, kehilangan sensori dan bahkan pergerakan involunter
seperti hemibalismus, atau hemikorea serta kejang yang dapat timbul pada setiap fase penyakit.
Hemiparesis mungkin timbul pada stadium ini, biasanya disebabkan iskemia atau infark.

Quadriparesis dapat terjadi akibat infark bilateral atau edema otak yang berat, sedang
monoparesis jarang ditemukan dan biasanya disebabkan lesi pada pembuluh darah.
Kaku kuduk yang timbulnya bertahap, tanda Kernig, dan Brudzinski sering ditemukan
pada fase ini kecuali pada bayi. Kelumpuhan saraf kranial terjadi sekitar 20-30%, dan mula-mila
unilateral kemudian menjadi bilateral. Paling sering mengenai saraf kranial VI, kemudian saraf
kranial III dan IV, yang memberi gejala strabismus dan diplopia, sedang saraf kranial VII jarang
terkena, demikian juga saraf kranial yang lain, meskipun keterlibatan saraf kranial II dapat
menyebabkan atrofi dan kebutaan. Gangguan pendengaran terjadi akibat keterlibatan saraf VIII.

Tanda peningkatan tekanan intracranial menjadi lebih jela, yaitu pembesaran kepala dan
pembonjolan ubun-ubun besar pada bayi serta papilledema apda anak yang lebih besar; gejalagejala hidrosefalus juga lebih jelas, yaitu berupa sakit kepala diplopia dan penglihatan kabur.
Pada stadium selanjutnya sesuai dengan berlanjutnya proses penyakit, maka gangguan fungsi
otak menjadi semakin jelas yaitu kesadaran semakin menurun, irritable dan apatik, mengantuk,
stupor, dan koma atau koma menjadi lebih dalam, otot ekstensor menjadi kaku dan spasme
sehingga seluruh tubuh menjadi kaku dan timbul opistotonus, oleh karena dekortikasi atau
deserebasi. Stadium ini berlangsung 2-3 minggu. Pupil melebar dan tidak bereaksi sama sekali.
Nadi dan pernapasan semakin tidak teratur, timbul hiperpireksia dan akhirnya pasien meninggal.
Timbulnya gambaran klinis gangguan fungsi batang otak ini disebabkan arena infark pada batang
otak akibat lesi pembuluh darah atau strangulasi oleh eksudat yang mengalami organisasi

Lincolin membagi perjalanan penyakit pasien menjadi 3 tahap klinis berdasarkan temuan
klinis dan radiologis.
1

Stadium pertama (Stadium Prodromal)


Secara khas berakhir 1-2 minggu, ditandai oleh gejala-gejala nonspesifik seperti demam ,
nyeri kepala, sakit perut, nausea, muntah, apatik, iritabilitas, mengantuk, dan malaise.
Tanda-tanda neurologis setempat tidak ada, tetapi bayi dapat mengalami stagnasi atau

kehilangan perkembangan kejadian yang penting.


Stadium kedua (Stadium Transisi)
Mulainya lebih mendadak. Tanda-tanda yang paling sering adalah lesu, kebingungan,
kaku kuduk, kejang-kejang,

tanda kernig dan burdzinski positif, refleks abdomen

menghilang, hipertoni, muntah, kelumpuha saraf kranial (II,IV,VI dan VII), dan tandatanda neurologis setempat lain, tuberkel di koroid otak. Percepatan klinis biasanya
berkolerasi dengan perkembangan hidrosefalus, peningkatan tekanan intracranial, dan
vaskulitis. Beberapa anak tidak mempunyai tanda-tanda ensefalitis, seperti disorientasi,
gangguan gerakan/gerakan involunter (tremor, koreoatetosis hemibalismus), atau
3

gangguan bicara.
Stadium ketiga
Ditandai dengan penurunan kesadaran hingga koma, detemukan tanda-tanda peningkatan
intracranial, hemiplegi, atau paraplegi, pupil terfiksasi, pernapasan ireguler, peningkatan
suhu tubuh, ekstremitas spastis, hipertensi, sikap deserbasi, kemunduran tanda-tanda
vital, dan akhirnya kematian.

DIAGNOSIS
Diagnosis meningitis tuberculosa ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis pasti pada kasus ini yaitu bila ditemukan M.tuberculosis
pada pemeriksaan apus LCS/kultur.
Anamnesis

Riwayat demam yang lama/kronis, dapat pula berlangsung akut


Kejang, deskripsi kejang (jenis, lama, frekuensi, interval) kesadaran setelah kejang
Penurunan kesadaran
Penurunan berat badan (BB), anoreksia, untah, sering batuk, dan pilek

Riwayat kontak dengan pasien TB dewasa


Riwayat imunisasi BCG

Pemeriksaan Tambahan
Uji laboratorium yang paling penting untuk diagnosis meningitis tuberkulosa adalah
pemeriksaan dan biakan CSS lumbal. Pada pemeriksaan darah perifer lengkap, leukosir darah
tepi sering meningkat (10.000-20.000 sel/mm3). Sering ditemukan hiponatermia dan
hipokloremia karena sekresi antidiuretic hormone yang tidak adekuat. CSS jernih, cloudy, atau
santokrom. Angka leukosit CSS biasanya berkisar dari 10- 250 sel/mm 3 tidak pernah melebihi
500 sel/mm3. Leukosit polimorfonuklear mungkin ada pada mulanya, tetapi yang paling dominan
pada sebagian besar kasus yaitu limfosit. Glukosa CSS khas kurang dari 40 mg/dL tetapi jarang
di bawah 20 mg/dL Pleositosis (moderate pleositosis) mononuclear dengan hitung sel antara 100500 sel/uL. Kadar protein naik dan mungkin sangat tinggi, (400-500 mg/dL) akibat hidrosefalus
dan blockade spinal. Pemeriksaan apusan langsung untuk menemukan BTA dan biakan dari
serebro spinal sangat penting. Untuk mendapatkan hasil positif, dianjurkan melakukan pungsi
lumbal 3 hari berturut. Terapi dapat langsung diberikan tanpa menunggu hasil pemeriksaan
pungsi lumbal ke 2 dan ke 3.
Penilaian IFN- yang dilepaskan limsit yang distimulasi oleh antigen M. tuberculosis
deketahui lebih akurat dibandingkan skin test, untuk mendiagnosis TB laten, dan berguna untuk
mendiagnosis TB ekstrapulmunal. Tetapi sensitivitas dan spesifisitas nya bergantung dari lokasi
penyakitnya. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Liao et al penelitian menunjukan sensitivitas
dari tes ini adalah 100% dan spesifisitas test ini juga 100%, tetapi peniliti lain melaporkan
bawaha nilai sensitifitas dan spesifisitas dari tes ini sangat rendah, kegagalan dari tes ini
mungkin disebabkan karena limfosit cepat mati ketika distimulasi dengan antigen
M.tubberkulosis secara ex vivo, sehingga tes ini dapat menunjukan hasil negative meski terbapat
meningitis tuberculosis.
Pemeriksaan CT-Scan dengan kontras dapat menentukan adanya dan luasnya kelainan di
daerah basal, serta adanya dan luasnya hidrosefalus. Pada pasien dengan gambaran klinis TB,
dengan hasil CT-Scan berupa kelainan daerah basal dan hidrosefalus, apapun derajatnya sangat
menunjang diagnosis meningitis TB. Gambaran dari pemeriksaan CT Scan dan magnetic

resonance imaging (MRI) kepala pada meningitis TB adalah normal pada awal penyakit. Seiring
berkembangnya penyakit, gambaran yang sering ditemukan adalah penyangatan (enhancement)
di daerah basal, tampak hidrosefalus komunikans yang disertai dengan tanda-tanda edema otak
atau iskemia fokal yang masih dini. Selain itu, dapat juga ditemukan tuberkuloma yang silent,
biasanya di daerah korteks serebri atau thalamus.

PENATALAKSANAAN
Pengobatan medikamentosa diberikan sesuai rekomendasi American Academy of
Pediatrics 1994, yakni dengan pemberian 4 macam obat selama 2 bulan, dilanjutkan dengan
pemberian INH dan Rifampisin selama 10 bulan.
Dosis obat antituberkulosis adalah sebagai berikut:
Isoniazid (INH) 10-20 mg/kgBB/hari, dengan dosis maksimal 300 mg/hari
Rifampisin 10-20mg/kgBB/hari, dengan dosis maksimal 600 mg/hari
Pirazinamid 15-30 mg/kgBB/hari, dengan dosis maksimal 2000 mg/hari.
Etambutol 15-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1000 mg/hari atau streptomisin IM 2030 mg/kg/hari dengan maksimal 1 gram/hari.
Kortikosteroid diberikan untuk menurunkan inflamasi dan edema serebral. Prednison
diberikan dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari selama 6-8minggu. Adanya peningkatan tekanan
intracranial yang tinggi dapat diberikan deksametason 6 mg/m 2 setiap 4-6 jam atau dosis 0,3-0,5
mg/kgBB/hari.
Pendapat lain apabila terdapat peningkatan tekanan intra kranial (TTIK):

Mengurangi edema serebri


o Manitol 20% 0,5-1 g/kgBB i.v selama 10-30 menit tiap 4-6 jam
Mempertahankan fungsi metabolic otak
Mempertahankan kadar elektrolit pada keadaan normal
Menghidari peningkatan tekanan intracranial
o Posisi Penderita dipertahankn setengah duduk dengan mengangkat kepala setinggi
20-30o dan dalam posisi netral

Perlu dipantau adanya komplikasi Syndrome Inappropriate Antidiuretic Hormon


(SIADH). Diagnosis SIADH ditegakan jika terdapat kadar natrium serum yang <135 mEq/L (135
mmol/L), osmo;aritas serum <270 mOsm/kg, osmolaritas urin >2 kali osmplaroyas seri,, natrium
urin >30 mEq/L (30 mmol/L) tanpa adanya tanda-tanda dehidrasi atau hipovolemia. Beberapa
ahli merekomendasikan pembatasan jumlah cairan dengan memakai cairan isotonis, terutama
jika natrium serum <130 mEq/L (130 mmol/L). Jumlah cairan dapat dikembalikan ke cairan
rumayan jika kadar natrium serum kembali normal.
Bedah
Beberapa ahli hanya merekomendasikan tindakan VP-shunt jika terdapat hidrosefalus
obstruktif dengan gejala ventrikulomegali disertai peningkatan intraventrikel atau edema
periventrikel. Pada kasus ini, hidrosefalus dapat terjadi pada 2/3 kasus dengan lama sakit 3
minggu dam dapat diterapi dengan asetazolamid 30-50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis.
Perlu dilakukan pemantauan terhadap asidosis metabilik pada pemberian asetazolamid. Terapi
bedah juga diindikasikan apabila terjadi TB vertebra yang menyebabkan paraparesis.

KOMPLIKASI
Hidrosefalus
Infark pembuluh darah
Hiponatreia (akibat syndrome inappropriate antidiuretic hormone/SIADH)

PROGNOSIS
Pasien meningitis tuberkulosa yang tidak diobati biasanya meninggal dunia. Prognosis
tergantug kepada stadium penyakit saat pengobatan dimuali dan umur pasien. Pasien yang
berumur lebih muda dari 3 tahun mempunyai prognosis yang lebih buruk dibandingkan umur
yang lebih tua dari itu.

Hanya 18% dari yang hidup memiliki neurologis dan intelek yang normal. Pada stadium
II sebanyak 25% mengalami gejala sisa, gejala sisa neuroglis yang terbanyak adalah paresis
spastik, kejang, paraplegia dan gangguan sensori ekstrmitas. Komplikasi pada mata berupa atrofi
optic dan kebutaan. Gangguan pendengaran dan keseimbangan disebabkan oleh obat
streptomisin atau penyakitnya itu sendiri. Gejala sisa neurologis minor berupa kelainan saraf
otak, nistagmus, ataksia, gangguan ringan pada koordinasi dan spastisitas.
Gangguan intelektual terjadi kira-kira pada dua pertiga pasie hidup. Pada pasien ini
biasanya mempunyai kelainan EEG yang berhubungan dengan kelainan naurologis menetap
seperti kejang, dan mental subnormal. Klasifikasi intracranial terjadi pada kira-kira sepertiga
pasien yang sembuh. Seperlima pasien yang sembuh mempunyai kelainan pituitary dan
hipotalamus, dan akan terjadi prekoks seksual, hiperprolaktinemia, dan defisiensi ADH, hormone
pertumbuhan, kortikotropin dan gonadotropin.

PENCEGAHAN
Angka kejadian meningkat dengan meningkatnya jumlah pasien tuberculosis dewasa.
Imunisasi BCG dapat mencegah meningitis tuberculosis. Faktor risiko adalah malnutrisi,
pemakaian kortikosteroid, keganasan, dan infeksi HIV.

DAFTAR PUSTAKA

Soetomenggolo,Taslim S. 1999. Buku Ajar: Neurologi Anak. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia
Berham,etal. 1999. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Vol2. Jakarta: ECG

Raharjo, Nastitie N. 2010. Buku Ajar: Respirologi Anak. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia
Rhamachandran, Tarakad S. Tuberculous Meningitis. 5 Januari 2015. Accssed From:
http://emedicine.medscape.com/article/1166190-overview
Murthy J.M.K.Tuberculosis Meningitis : The Challange.Neurology India. 2010, October 28.
2012. Vol 58. 716- 722.

Anda mungkin juga menyukai