Oleh
Dra. Fransiska I.R. Dewi., M.Si dan Dr. Drs. Muhammad Idrus, S.Psi., M.Pd 1
Dra. Fransiska I.R. Dewii, dosen Fak. Psikologi Univ. Tarumanegara, Drs. Muhammad Idrus, M.Pd, dosen FIAI
UII Yogyakarta, saat ini menempuh program doktor Psikologi UGM Yogyakarta
biologis, tetapi juga mencakup nilai-nilai sosial budaya. Nilai-nilai tersebut menentukan
peranan perempuan dan laki-laki dalam kehidupan pribadi dan dalam setiap bidang
masyarakat (Kantor Men. UPW, 1997). Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa
gender adalah perbedaan fungsi dan peran laki-laki dan perempuan karena konstruksi
sosial, dan bukan sekadar jenis kelaminnya. Dengan sendirinya gender dapat berubah
dari waktu ke waktu sesuai kontruksi masyarakat yang bersangkutan tentang posisi
peran laki-laki dan perempuan.
Kerancuan dalam mempersepsi perbedaan seks dalam kontek sosial budaya
dan status, serta peran yang melakat pada relai laki-laki perempuan pada akhirnya
menumbuhsuburkan banyak
kesalahpahaman
tentang
mengapa
permasalahan
kaum
perempuan
Idrus (1999b) mentengarai penolakan itu terjadi salah satunya disebabkan oleh
"main frame" budaya lebih mengedepankan peran laki-laki dibanding perempuan,
sehingga sebenarnya penolakan itu terjadi dilakukan oleh institusi "abstrak" yang
bernama
budaya.
Setidaknya
kasus
penelitian
Kohlberg
tentang
tahapan
pengembangan moral membuktikan analisis ini, bahwa pada banyak budaya --apapun-posisi laki-laki lebih dikedepankan. Imanuel Kant tentang imperatifnya, yang
menyatakan bahwa sulit dipercaya perempuan mampu menerima prinsip-prinsip
imperatif (kategoris, hipotesis) (Idrus, 1997).
Fenomena-fenomena tersebut lebih menyadarkan kita bahwa gender ternyata
ada dalam konsep sosial masyarakat. Dalam paparannya Sugiah (1995) menyimpulkan
bahwa di dalam masyarakat selalu ada mekanisme yang mendukung konstruksi sosial
budaya jender. Beberapa kecenderungan di masyarakat dan keluarga yang
menyebabkan terjadinya gender adalah pemposisian peran anak laki-laki dan anak
perempuan yang berbeda, baik dalam status, peran yang melekat ataupun hak-hak
yang sebanarnya merupakan hak universal. (Kerap terjadi orang tua menyatakan anak
laki-laki tidak boleh menangis, secara tidak sengaja hal ini mengisyaratkan bahwa anak
perempuan boleh; anak perempuan harus bermain pasar-pasaran, boneka dan lain-lain
permainan yang identik sebagai permainan perempuan, dan sebaliknya anak laki-laki
dilarang melakukan hal serupa seperti anak perempuan, atau jika ada anak laki-laki
yang bermain seperti perempuan lingkungan sekitar menyebutnya (maaf) banci).
Selain itu, dalam keluarga secara tidak sengaja juga dilakukan sosialisasi
pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Anak perempuan membantu memasak,
anak laki-laki membantu ayah mengerjakan pekerjaan ayah
--tentunya juga
mengerjakan pekerjaan yang identik laki-laki-- Proses pewarisan nilai ini pada akhirnya
akan menjadikan anak terus memegang ajaran apa yang harus dilakukan oleh anak
laki-laki dan apa yang tidak boleh dilakukannya, demikian juga untuk anak perempuan
ada seperangkat aturan yang tidak boleh dilanggarnya karena budaya melarangnya,
konsep ini belakang dikenal dengan ideologi peran gender (gender role ideology,
Matsumoto, 1996).
adalah
suatu
konstruk
yang
berkembang
pada
anak-anak
untuk
memperoleh
makanan
(Berry dan
Child;
Prince;
Low;
dalam
Matsumoto,1996).
hubungan seksual.
Implikasi lebih lanjut dari peran gender antara laki-laki dan perempuan
membawa pada pengembangan trait tertentu yang didistribusikan secara berbeda. Jika
perempuan tinggal di rumah dan merawat anak-anak, mereka mengembangkan trait
pengasuhan (nurturance). Selanjutnya, perempuan yang masih lemah setelah
melahirkan membutuhkan bantuan untuk merawat anak-anak lainnya. Konsekuensinya,
perempuan mengembangkan hubungan positif dengan perempuan lain seperti saudara
perempuannya, saudara ipar, sepupunya untuk merawat anak-anaknya. Keadaan ini
membawa trait pada kepekaan hubungan (relatedness).
Demikian
mengembangkan
halnya,
trait
laki-laki
tertentu
yang
yaitu
pergi
mencari
agresivitas
dan
nafkah/makanan,
ketrampilan
dalam
juga
hal
berperilaku lebih agresif daripada perempuan. Bobby Low (1989) meneliti tentang
agresivitas laki-laki yang dihubungkan dengan kompetisi untuk menarik perhatian
perempuan. Agresivitas memiliki keuntungan karena untuk mendapatkan sumbersumber dalam masyarakat seperti kekayaan, status dan barang-barang. Menurut
Murdock (1981) sebagian besar masyarakat di dunia menganut sistem perkawinan
poligini. Dalam system ini agresivitas sangat dihargai
Bila laki-laki
agresif, maka sifat pengasuhan dan patuh yang disosialisasikan bagi perempuan.
Dalam banyak budaya, perempuan dituntut memiliki sifat kepatuhan yang tinggi -terutama kepatuhan terhadap suaminya dan orang tua mereka--. Secara eksplisit
dalam budaya muncul idion swargo nunut, neroko katut (ke surga ikut, ke neraga
turut). Idiom ini secara tidak langsung mengkonstruksi fenomena masyarakat
tersebut betapa isteri (perempuan) harus mengikuti gerak yang dilakukan suami,
bahkan untuk persoalan yang sakral-pun harus merelakan dengan tingkat kepatuhan
yang dalam. Pada sisi lain, untuk banyak budaya kepatuhan penting bagi laki-laki
karena perempuan yang memiliki sifat ini akan mengikuti aturan-aturan umum
sehingga menguatkan dominasi laki-laki. Pada sisi ini, terlepas dari jenis kelaminnya,
tampaknya secara psikologis orang yang berposisi di atas, menghendaki tingkat
kepatuhan yang tinggi daripara bawahannya, demi menjaga kekuasaan yang
dimilikinya.
3. Tingkat aktivitas tinggi milik laki-laki. Laki-laki mempunyai tingkat aktivitas yang tinggi
daripada
perempuan,
sejak
kecil
disosialisasikan
dalam
bentuk-bentuk
aktivitas
seperti
anak
laki-laki,
lingkungan
sekitarnya
akan
4. Perempuan ditengarai memiliki tingkat perhatian yang tinggi atas relasi (hubungan)
dibanding dengan laki-laki. Sifat tersebut berkaitan dengan kondisi perempuan yang
lemah setelah proses kelahiran anaknya dan adanya tuntutan untuk mengasuh,
merawat anak-anaknya, yang pada akhirnya peempuan mengembangkan dan
memelihara hubungan baik. Hal ini sangat dibutuhkan perempuan untuk menjaga
(secure) bila perempuan mendapatkan kesulitan dalam memenuhi tuntutan
pengasuhan anak.
Meski dipahami bahwa tidak semua aktivitas dapat bertukar peran antara lakilaki dan perempuan, namun senyampang aktivitas tersebut tidak terkait dengan kondisi
biologis jenis kelamin, maka sebenarnyalah dapat terjadi tukar peran antara jenis
kelamin yang berbeda. Kondisi inilah yang tampak belum secara arif dipahami oleh
seluruh lapisan masyarakat kita, dan budaya pada akhirnya menguatkannya dan
menjadikan sesuatu yang sakral. Hingga pada akhirnya, akan terlihat canggung tatkala
ada seorang bapak yang menggendong anaknya, sementara sang ibu berjalan
lenggang, atau sulit terjadi dalam teks-teks buku bahasa Indonesia dicontohkan
perilaku seperti, ibu membaca koran, ayah memasak di dapur. Padahal kondisi itu telah
secara empirik ada dalam masyarakat kita, meski persentasenya belum banyak.
Pada akhirnya disadari bahwa budaya memainkan peran penting dalam
kontruksi gender seseorang. Beberapa contoh hasil temuan penelitian menungkap
begitu besarnya peran budaya pada konstruksi gender yang dimilliki seseorang. Sebut
saja penelitian yang dilakukan oleh Maccoby dan Jacklin (1974) bahwa laki-laki lebih
baik dalam bidang matematika dan tugas-tugas yang membutuhkan pemikiran
sementara perempuan lebih baik dalam hal tugas-tugas yang berkaitan dengan
pemahaman verbal. Perbedaan tersebut ditunjukan setelah melalui serangkaian tes
masuk pada sekolah dasar, sampai perguruan tinggi.
Namun,
beberapa
kemudian
menemukan adanya perbedaan spasial antaar laki-laki dan perempuan dalam budaya
suku bangsa Inuit di Kanada. Menurut Berry, perbedaan gender tidaklah ada karena
kemampuan
spasial
merupakan
adaptasi
yang
baik/tinggi
untuklaki-laki
dan
perempuan dalam budaya Inuit. Anak laki-laki dan perempuan Inuit mempunyai latihan
dan pengalaman yang cukup banyak untuk mengembangkan perolehan dalam hal
kemampuan spasial.
Dalam penelitian sebelumnya Berry dan teman-temannya (dalam Matsumoto,
1996) menemukan bahwa, superioritas laki-laki pada spasial tertentu banyak ditemukan
dalam budaya yang ketat atau relatif homogen, agrikultur, sementara spasial
perempuan banyak ditemukan dalam budaya terbuka, nomadic dan masyarakat
pengumpul dan peramu. Dalam budaya tersebut, peran yang diberikan (roles ascribed )
bagi laki-laki dan perempuan berlaku secara relatif fleksibel, sebagaimana anggota
suatu budaya membentuk variasi tugas-tugas yang berkaitan dengan kelangsungan
hidup kelompok.
Merujuk pada budaya yang di Indonesia, tampak ada perbedaan peran gender
antara suku bangsa yang ada.
mengurus anak dan rumah tangga. Dengan demikian, perempuan diharapkan untuk
konform atas keputusan yang dibuat oleh laki-laki atau masyarakat.
Persoalan yang menarik dan harus ditanyakan adalah, apakah kepatuhan itu
hanya keharusan miliki kelompok perempuan? Tentunya jawaban pertanyaan ini
adalah tidak. Artinya, apapun jenis kelaminnya harus ada rasa kepatuhan pada hal-hal
yang memang layak dipatuhi. Konform atas satu keputusan yang disepakati bersama
merupakan keharusan bagi siapa saja yang ada dalam komounitas tersebut tanpa
melihat sisi jenis kelainnya.
Stereotipi gender lain yang berkembang adalah bahwa laki-laki lebih agresif
daripada perempuan. Untuk kasus yang terakhir terjadi debat yang menarik apakah
agresivitas ini dipengaruhi jenis kelamin, meski banyak peneliti yang menyimpulkan
bahwa anak lelaki dinilai lebih agresif dibanding anak perempuan (Steward, & Koch,
1983; Hall,
& Lindzey, 1981; White, 1983; Maccoby & Jacklin, 1974; Wimbarti,
1997; Ferver, dkk., 1997; Campbell, 1993; Brislin, 1993), namun tak kurang juga
yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara anak lelaki
dengan anak perempuan dalam perilaku agresif (Pulkkinen, & Pitkanen, 1993; Harris,
1992), atau justru memposisikan perempuan memiliki tingkat agresivitas lebih tinggi
dibanding laki-laki, meski untuk jenis agresivitas tertentu (Idrus, 2000).
Dalam penelitiannya Feshbach (dalam Tilker, 1975) menemukan bahwa anak laki-laki
mengeksperesikan sikap agresif secara fisik, anak perempuan melalui kata, membantah, gosip,
serta bentuk penolakan yang halus yang mengandung dorongan agresif. Winder, Row, & Eron
(dalam Johnson & Medinnus, 1974) meneliti anak dan remaja menyatakan bahwa anak laki-laki
sering menunjukkan tingkah laku agresif daripada anak perempuan, sedang sumber agresivitas
anak laki-laki kemungkinan berasal dari keadaan biologisnya,
Kartono (1974) menyatakan bahwa perempuan lebih bersifat emosional dalam merespon
sutau stimulus dibandingkan dengan laki-laki, sehingga diduga ada perbedaan kedenderungan
pada bentuk-bentuk agresivitas tertentu antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki mungkin
10
cenderung pada agresivitas yang sifatnya fisik, sedangkan perempuan mungkin lebih cenderung
pada agresivitas yang sifatnya emosional (verbal).
Green (dalam Tilker, 1975) perbedaan tingkah laku agresif antara laki-laki dan
perempuan mungkin disebabkan oleh meningkatnya sextyping dan penguat teman sebaya. Bagi
perempuan tingkah laku agresif merupakan celaan, bagi anak laki-laki hal tersebut merupakan
kebanggaan dan dapat diterima. Selain itu tampaknya temuan Tilker (1975) yang menyatakan
bahwa dalam budaya AS membolehkan anak laki-laki untuk bertindak lebih agresif daripada
anak perempuan, anak laki-laki didorong dan ditolerir untuk bertindak agresif dan mendapat
penguat. Eron, dkk (dalam Steward & Koch, 1983) anak perempuan kurang agresif dibanding
anak laki-laki, Ini disebabkan anak perempuan lebih mengidentifikasi dirinya terhadap orang
tuanya dan menerima norma orang tuanya ke dalam dirinya.
Jika merujuk pada temuan Tilker dan Eron di atas, tampaknya unsur budaya secara
tidak langsung juga memainkan peranan penting dalam mengkonstrukski perilaku agresif di
kalangan anak. Setidaknya hal tersebut dapat dicermati dari paparan Berry, et al. (dalam
Matsumoto, 1996) bahwa budaya memainkan peranan penting dalam membentuk sikap agresif
seseorang, bahkan Maslow secara tegas menyatakan bahwa agresi bersifat kultural (Maslow
dalam Goble, 1987). Hal senada juga diungkap oleh Rohner (dalam White, 1983) menyatakan
bahwa perbedaan agresi laki-laki dan perempuan hanya tipis namun konsisten. Perbedaan ini
kemudian diakumulasikan dalam lingkup lintas budaya sehingga akhirnya terbentuk opini lakilaki lebih agresif. Kondisi-kondisi tersebutlah yang mungkin menjadikan anak laki-laki
dimitoskan lebih bersifat agresif dibanding anak perempuan. (edit &finishing by M.Idrus
August2000)
11
Daftar Pustaka
12
White, J.W., (1983). Sex and gender issues in aggression research. dalam Geen., R.G. and
donnerstein, G.I. (Eds). Aggression: Theoritical and empirical reviews. London:
Academic Press Inc. Ltd.
Wimbarti, S. (1997). Child-rearing practices and temperament of children: are they really
determinants of childrens aggression?. Psikologika, 2, II: 5-17.
13