Anda di halaman 1dari 13

Konstruksi Gender dalam Budaya

Oleh
Dra. Fransiska I.R. Dewi., M.Si dan Dr. Drs. Muhammad Idrus, S.Psi., M.Pd 1

Dalam banyak budaya tradisional, perempuan ditempatkan pada posisi yang


dilirik setelah kelompok laki-laki. Fungsi dan peran yang diemban perempuan dalam
mayarakat tersebut secara tidak sadar biasanya dikonstruksikan oleh budaya setempat
sebagai warga negara kelas dua. Pada posisi inilah terjadi bias gender dalam
masyarakat. Meski disadari bahwa ada perbedaan-perbedaan kodrati makhluk
perempuan dan laki-laki secara jenis kelamin dan konstruksi tubuh, namun dalam
konteks budaya peran yang diembannya haruslah memiliki kesetaraan.
Hingga saat ini masih ditengarai terjadi ketidaksejajaran peran antara laki-laki
dan perempuan, yang sebenarnya lebih didasarkan pada kelaziman budaya setempat.
Terkait dalam kehidupan keseharian, konstruksi budaya memiliki kontribusi yang kuat
dalam memposisikan peran laki-laki - perempuan. Banyaknya ketidaksetaraan ini pada
akhirnya memunculkan gerakan feminis yang menggugat dominasi laki-laki atas
perempuan.

Gender, apa itu? dimana dia?


Konsep gender berbeda dengan sex, sex merujuk pada perbedaan jenis
kelamin yang pada akhirnya menjadikan perbedaan kodrati antara laki-laki dan
perempuan, berdasar pada jenis kelamin yang dimilikinya, sifat biologis, berlaku
universal dan tidak dapat diubah. Adapun gender (Echols dan Shadily, 1976, memaknai
gender sebagai jenis kelamin) adalah sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan
yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Faqih, 1999), dengan begitu tampak
jelas bahwa pelbagai pembedaan tersebut tidak hanya mengacu pada perbedaan
1

Dra. Fransiska I.R. Dewii, dosen Fak. Psikologi Univ. Tarumanegara, Drs. Muhammad Idrus, M.Pd, dosen FIAI
UII Yogyakarta, saat ini menempuh program doktor Psikologi UGM Yogyakarta

biologis, tetapi juga mencakup nilai-nilai sosial budaya. Nilai-nilai tersebut menentukan
peranan perempuan dan laki-laki dalam kehidupan pribadi dan dalam setiap bidang
masyarakat (Kantor Men. UPW, 1997). Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa
gender adalah perbedaan fungsi dan peran laki-laki dan perempuan karena konstruksi
sosial, dan bukan sekadar jenis kelaminnya. Dengan sendirinya gender dapat berubah
dari waktu ke waktu sesuai kontruksi masyarakat yang bersangkutan tentang posisi
peran laki-laki dan perempuan.
Kerancuan dalam mempersepsi perbedaan seks dalam kontek sosial budaya
dan status, serta peran yang melakat pada relai laki-laki perempuan pada akhirnya
menumbuhsuburkan banyak

asumsi yang memposisikan perempuan sebagai sub-

ordinat laki-laki. Ketimpangan relasi laki-laki-perempuan ini muncul dalam anggapan,


laki-laki memiliki sifat misalnya assertif, aktif, rasional, lebih kuat, dinamis, agresif,
pencari nafkah utama, bergerak di sektor publik, kurang tekun. Sementara itu di lain
sisi, perempuan diposisikan tidak assertif, pasif, emosional, lemah, statis, tidak agresif,
penerima nafkah, bergerak di sektor domestik, tekun, dll.
Berkembangnya peradaban mestinya menyadarkan banyak kalangan bahwa
asumsi yang muncul dan selalu melekat pada perempuan tidak selamanya benar,
demikian juga sebaliknya. Sebab, pada kenyataan empiris banyak ditemukan kasus
yang membuktikan bahwa hal tersebut tidak selamanya berlaku linier. Namun dalam
kenyataannya mempergunakan analisis gender dalam relasi hubungan laki-laki dan
perempuan kerap mengalami hambatan baik di kalangan laki-laki sendiri (terutama),
juga di kalangan perempuan.
Dalam analisisnya Fakih (1999) mencatat beberapa hal yang menyebabkan
terjadinya penolakan penggunaan analasis tersebut. Pertama, mempertanyakan status
perempauan identik dengan menggugat konsep-konsep yang telah mapan. Kedua,
adanya

kesalahpahaman

tentang

mengapa

permasalahan

kaum

perempuan

dipersoalkan? Ketiga, diskursus tentang relasi laki-laki perempuan pada dasarnya


membahas hubungan kekuasaan yang sangat pribadi, yang melibatkan pribadi masingmasing serta menyangkut "hal-hal khusus" yang dinikmati oleh setiap individu.

Idrus (1999b) mentengarai penolakan itu terjadi salah satunya disebabkan oleh
"main frame" budaya lebih mengedepankan peran laki-laki dibanding perempuan,
sehingga sebenarnya penolakan itu terjadi dilakukan oleh institusi "abstrak" yang
bernama

budaya.

Setidaknya

kasus

penelitian

Kohlberg

tentang

tahapan

pengembangan moral membuktikan analisis ini, bahwa pada banyak budaya --apapun-posisi laki-laki lebih dikedepankan. Imanuel Kant tentang imperatifnya, yang
menyatakan bahwa sulit dipercaya perempuan mampu menerima prinsip-prinsip
imperatif (kategoris, hipotesis) (Idrus, 1997).
Fenomena-fenomena tersebut lebih menyadarkan kita bahwa gender ternyata
ada dalam konsep sosial masyarakat. Dalam paparannya Sugiah (1995) menyimpulkan
bahwa di dalam masyarakat selalu ada mekanisme yang mendukung konstruksi sosial
budaya jender. Beberapa kecenderungan di masyarakat dan keluarga yang
menyebabkan terjadinya gender adalah pemposisian peran anak laki-laki dan anak
perempuan yang berbeda, baik dalam status, peran yang melekat ataupun hak-hak
yang sebanarnya merupakan hak universal. (Kerap terjadi orang tua menyatakan anak
laki-laki tidak boleh menangis, secara tidak sengaja hal ini mengisyaratkan bahwa anak
perempuan boleh; anak perempuan harus bermain pasar-pasaran, boneka dan lain-lain
permainan yang identik sebagai permainan perempuan, dan sebaliknya anak laki-laki
dilarang melakukan hal serupa seperti anak perempuan, atau jika ada anak laki-laki
yang bermain seperti perempuan lingkungan sekitar menyebutnya (maaf) banci).
Selain itu, dalam keluarga secara tidak sengaja juga dilakukan sosialisasi
pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Anak perempuan membantu memasak,
anak laki-laki membantu ayah mengerjakan pekerjaan ayah

--tentunya juga

mengerjakan pekerjaan yang identik laki-laki-- Proses pewarisan nilai ini pada akhirnya
akan menjadikan anak terus memegang ajaran apa yang harus dilakukan oleh anak
laki-laki dan apa yang tidak boleh dilakukannya, demikian juga untuk anak perempuan
ada seperangkat aturan yang tidak boleh dilanggarnya karena budaya melarangnya,
konsep ini belakang dikenal dengan ideologi peran gender (gender role ideology,
Matsumoto, 1996).

Peran Jender: Warisan Biologis atau Budaya


Gender

adalah

suatu

konstruk

yang

berkembang

pada

anak-anak

sebagaimana mereka disosialisasaikan dalam lingkungannya. Dengan bertambahnya


usia, anak-anak mempelajari perilaku spesifik dan pola-pola aktivitas yang sesuai dan
tidak sesuai --dalam terminologi budaya mereka-- dengan jenis kelamin mereka, serta
mengadopsi atau menolak peran-peran gender tersebut.
Pada saat anak lahir ia memiliki jenis kelamin, tetapi tanpa gender. Pada saat
lahir, jenis kelamin menentukan dasar anatomis fisik. Pada phase kehidupan
selanjutnya pengalaman, perasaan dan tingkah laku yang diasosiasikan oleh orang
dewasa, masyarakat sekitarnya serta budaya, perbedaan biologis ini memberikan bias
gender pada individu tersebut. Banyak kenyataan mengenai bagaiman anak laki-laki
dan perempuan berbeda dan bagaimana sama, yang akan dipahami sebagai
konstruksi budaya yang didasarkan pada perbedaan biologis.
Dalam konsep keseharian ada dua istilah yang kerap saling tumpang tindih
dalam memaknainya, yaitu peran jender dan peran jenis kelamin. Virginia Prince
(dalam Matsumoto, 1996) memberi makna peran jender (gender roles) sebagai derajat
dimana seseorang mengadopsi perilaku yang sesuai atau spesifik jender yang
diberikan oleh budayanya. Lebih lanjut Prince memaknai peran jenis kelamin (sex
roles) sebagai perilaku dan pola-pola aktivitas laki-laki dan perempuan yang secara
langsung dihubungkan dengan perbedaan biologis dan proses reproduksi.
Mengacu pada pendapat Prince ini, maka peran jenis kelamin merupakan satu
aktivitas yang hanya mampu dilakukan oleh jenis kelamin tertentu. Peran jenis kelamin
(sex roles) yang ada dalam masyarakat misalnya laki-laki membuahi sel telur dan
perempuan hamil serta melahirkan anak-anaknya.
Pada giliran berikutnya perbedaan biologis dan system reproduksi ini
membawa implikasi pada perbedaan jender. Salah satu hasil temuan yang terpenting
dari perbedaan jender yang ditemukan dari banyak budaya dii seluruh dunia adalah
perempuan tinggal di rumah dan merawat anak-anaknya,dan laki-laki meninggalkan
rumah

untuk

memperoleh

makanan

(Berry dan

Child;

Prince;

Low;

dalam

Matsumoto,1996).

Perbedaan gender tersebut membawa keuntungan khususnya bagi laki-laki


yaitu (1) laki-laki dapat memberikan jaminan pada keluarga untuk tetap melangsungkan
hidupnya (survive) dengan tercukupinya kebutuhan keluarga yang selanjutnya anakanak akan dapat meneruskan pekerjaan ayahnya kelak. (2) Kesempatan untuk
ekspresi seksual. Bila laki-laki membangun kehidupan dengan perempuan yang diberi
makanan

dan kesempatan hidup lainnya, maka laki-laki dapat mengharapkan

hubungan seksual.
Implikasi lebih lanjut dari peran gender antara laki-laki dan perempuan
membawa pada pengembangan trait tertentu yang didistribusikan secara berbeda. Jika
perempuan tinggal di rumah dan merawat anak-anak, mereka mengembangkan trait
pengasuhan (nurturance). Selanjutnya, perempuan yang masih lemah setelah
melahirkan membutuhkan bantuan untuk merawat anak-anak lainnya. Konsekuensinya,
perempuan mengembangkan hubungan positif dengan perempuan lain seperti saudara
perempuannya, saudara ipar, sepupunya untuk merawat anak-anaknya. Keadaan ini
membawa trait pada kepekaan hubungan (relatedness).
Demikian
mengembangkan

halnya,
trait

laki-laki

tertentu

yang

yaitu

pergi

mencari

agresivitas

dan

nafkah/makanan,
ketrampilan

dalam

juga
hal

kepemimpinan dan tanggungjawab (diperlukan untuk melindungi keluarga) serta status


dalam komunitasnya. Kombinasi hal-hal tersebut, membuat laki-laki akan nyaman
dalam suatu hubungan dengan perempuan yang melibatkan dominasi daripada
kesetaraan.
Kondisi-kondisi tersebut pada akhirnya memunculkan satu tuntutan universal
yang mendapat dukungan dalam proses sosialisasi yaitu bahwa laki-laki harus kuat,
percaya diri, dominan, independen, sedangkan di lain sisi perempuan mempunyai sifat
pengasuhan, orientasinya pada suatu hubungan.
Pada akhirnya ada beberapa perilaku yang dilazimkan harus dimiliki oleh jenis
kelamin tertentu, seperti:
1. Agresivitas milik laki-laki. Dalam

beberapa budaya, laki-laki disosialisasikan

berperilaku lebih agresif daripada perempuan. Bobby Low (1989) meneliti tentang
agresivitas laki-laki yang dihubungkan dengan kompetisi untuk menarik perhatian

perempuan. Agresivitas memiliki keuntungan karena untuk mendapatkan sumbersumber dalam masyarakat seperti kekayaan, status dan barang-barang. Menurut
Murdock (1981) sebagian besar masyarakat di dunia menganut sistem perkawinan
poligini. Dalam system ini agresivitas sangat dihargai

dan anak laki-laki

disosialisasikan untuk bereperilaku agresif. Meski demikian hasil penelitian Idrus


(2000) menemukan temuan menarik yang mengindikasikan bahwa perempuan
memiliki tingkat agresivitas yang lebih tinggi dibanding laki-laki.
2. Pengasuhan/Nurturance dan kepatuhan didominasi perempuan.

Bila laki-laki

agresif, maka sifat pengasuhan dan patuh yang disosialisasikan bagi perempuan.
Dalam banyak budaya, perempuan dituntut memiliki sifat kepatuhan yang tinggi -terutama kepatuhan terhadap suaminya dan orang tua mereka--. Secara eksplisit
dalam budaya muncul idion swargo nunut, neroko katut (ke surga ikut, ke neraga
turut). Idiom ini secara tidak langsung mengkonstruksi fenomena masyarakat
tersebut betapa isteri (perempuan) harus mengikuti gerak yang dilakukan suami,
bahkan untuk persoalan yang sakral-pun harus merelakan dengan tingkat kepatuhan
yang dalam. Pada sisi lain, untuk banyak budaya kepatuhan penting bagi laki-laki
karena perempuan yang memiliki sifat ini akan mengikuti aturan-aturan umum
sehingga menguatkan dominasi laki-laki. Pada sisi ini, terlepas dari jenis kelaminnya,
tampaknya secara psikologis orang yang berposisi di atas, menghendaki tingkat
kepatuhan yang tinggi daripara bawahannya, demi menjaga kekuasaan yang
dimilikinya.
3. Tingkat aktivitas tinggi milik laki-laki. Laki-laki mempunyai tingkat aktivitas yang tinggi
daripada

perempuan,

sejak

kecil

disosialisasikan

dalam

bentuk-bentuk

permainannya, Mereka banyak melakukan kegiatan di luar rumah, macam


permainannya seperti sepak bola, basket dan banyak aktivitas lainnya yang
menuntut banyak gerak dan berada di luar rumah. Sementara itu perempuan
dicirikan dengan permainan-permainan yang sedikit sekali memerlukan tenaga,
seperti bermain pasar-pasaran. Pada akhirnya jika ada anak perempuan yang
melakukan

aktivitas

seperti

anak

laki-laki,

lingkungan

sekitarnya

akan

"mencibirkannya", dan kita biasa memberinya julukan sebagai tomboy.

4. Perempuan ditengarai memiliki tingkat perhatian yang tinggi atas relasi (hubungan)
dibanding dengan laki-laki. Sifat tersebut berkaitan dengan kondisi perempuan yang
lemah setelah proses kelahiran anaknya dan adanya tuntutan untuk mengasuh,
merawat anak-anaknya, yang pada akhirnya peempuan mengembangkan dan
memelihara hubungan baik. Hal ini sangat dibutuhkan perempuan untuk menjaga
(secure) bila perempuan mendapatkan kesulitan dalam memenuhi tuntutan
pengasuhan anak.
Meski dipahami bahwa tidak semua aktivitas dapat bertukar peran antara lakilaki dan perempuan, namun senyampang aktivitas tersebut tidak terkait dengan kondisi
biologis jenis kelamin, maka sebenarnyalah dapat terjadi tukar peran antara jenis
kelamin yang berbeda. Kondisi inilah yang tampak belum secara arif dipahami oleh
seluruh lapisan masyarakat kita, dan budaya pada akhirnya menguatkannya dan
menjadikan sesuatu yang sakral. Hingga pada akhirnya, akan terlihat canggung tatkala
ada seorang bapak yang menggendong anaknya, sementara sang ibu berjalan
lenggang, atau sulit terjadi dalam teks-teks buku bahasa Indonesia dicontohkan
perilaku seperti, ibu membaca koran, ayah memasak di dapur. Padahal kondisi itu telah
secara empirik ada dalam masyarakat kita, meski persentasenya belum banyak.
Pada akhirnya disadari bahwa budaya memainkan peran penting dalam
kontruksi gender seseorang. Beberapa contoh hasil temuan penelitian menungkap
begitu besarnya peran budaya pada konstruksi gender yang dimilliki seseorang. Sebut
saja penelitian yang dilakukan oleh Maccoby dan Jacklin (1974) bahwa laki-laki lebih
baik dalam bidang matematika dan tugas-tugas yang membutuhkan pemikiran
sementara perempuan lebih baik dalam hal tugas-tugas yang berkaitan dengan
pemahaman verbal. Perbedaan tersebut ditunjukan setelah melalui serangkaian tes
masuk pada sekolah dasar, sampai perguruan tinggi.
Namun,

beberapa

kemudian

Berry (dalam Matsumoto, 1966) tidak

menemukan adanya perbedaan spasial antaar laki-laki dan perempuan dalam budaya
suku bangsa Inuit di Kanada. Menurut Berry, perbedaan gender tidaklah ada karena
kemampuan

spasial

merupakan

adaptasi

yang

baik/tinggi

untuklaki-laki

dan

perempuan dalam budaya Inuit. Anak laki-laki dan perempuan Inuit mempunyai latihan

dan pengalaman yang cukup banyak untuk mengembangkan perolehan dalam hal
kemampuan spasial.
Dalam penelitian sebelumnya Berry dan teman-temannya (dalam Matsumoto,
1996) menemukan bahwa, superioritas laki-laki pada spasial tertentu banyak ditemukan
dalam budaya yang ketat atau relatif homogen, agrikultur, sementara spasial
perempuan banyak ditemukan dalam budaya terbuka, nomadic dan masyarakat
pengumpul dan peramu. Dalam budaya tersebut, peran yang diberikan (roles ascribed )
bagi laki-laki dan perempuan berlaku secara relatif fleksibel, sebagaimana anggota
suatu budaya membentuk variasi tugas-tugas yang berkaitan dengan kelangsungan
hidup kelompok.
Merujuk pada budaya yang di Indonesia, tampak ada perbedaan peran gender
antara suku bangsa yang ada.

Sebagai misal beberapa suku di tanah Sumatra

memposisikan perempuan begitu tinggi, sementara suku lainnya justru sebaliknya.


Begitu juga yang terjadi di Jawa, Kalimantan, ataupun daerah-daerah lainnya di
Indonesia. Secara umum sistem patrilinial lebih dominan dibanding matrilinial, yang
secara tidak langsung memposisikan jenis kelamin tertentu memiliki kontruksi sosial
yang lebih tinggi dibanding jenis kelamin lainnya. Pada giliran selanjutnya, posisi
tersebut menentukan peran jenis yang akhirnya terbentuklah konstruksi gender
sebagaimana saat ini ada.

ASPEK PSIKOLOGIS PEMBEDA KONSTRUKSI GENDER


Seperti telah diungkap di atas, ada beberapa perilaku psikologis yang
ditengarai hanya dimiliki oleh jenis kelamin tertentu, dan tentu saja kontruksi ini memiliki
bias gender. Sebab, pada dasarnya jika perilaku tersebut bukan karena kondisi biologis
yang memnyebabkannya harus seperti itu, maka nuansa bias gender sebagai hasil
kontruksi budaya mewarnai pemikiran di atas.
Beberapa aspek psikologis tersebut antara lain: perceptual/spatial/kemampuan
kognitif, konformitas dan kepatuhan serta agresivitas.
Kembali merujuk pada tulisan Maccoby dan Jacklin (1974) yang mengungkap
bahwa laki-laki diindikasikan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam bidang

matematika dan tugas-tugas yang membutuhkan pemikiran dibandingkan perempuan,


sementara kelebihan perempuan lebih baik dalam hal tugas-tugas yang berkaitan
dengan pemahaman verbal. Barangkali hal inilah yang kerap menjadikan adanya
ucapan verbal yang sangat khas, yaitu perempuan kerap mengungkap " saya rasa...",
sementara laki-laki untuk mengungkap apa yang dirasa dengan kalimat "saya pikir...".
Hingga pada akhirnya orang menyebut laki-laki lebih sering menggunakan akal dan
pikirannya, sementara perempuan menggunakan rasa afeksinya.
Lantas, apakah hal ini keliru? Tampaknya kita harus melirik konsep yang
diajukan oleh Goleman tentang kecerdasan emosional. Jika pada beberapa dekade
lalu di banyak negara, tes kecerdasan (tes IQ) menentukan mungkin tidaknya
seseorang memasuki dunia pendidikan tinggi, atau dunia kerja. Namun belakangan, tes
IQ ini mendapat kritik yang cukup tajam, terlebih dari hasil penelitian yang dikemukakan
oleh Daniel Goleman yang menyatakan bahwa IQ bukanlah satu-satunya penentu
keberhasilan seseorang dalam kehidupannya, bahkan secara fantastik Goleman
menyebut bahwa kecerdasan hanya menentukan 20 % dalam keberhasilan seseorang,
sedangkan sisanya 80 % ditentukan oleh kelas dalam kehidupan, kecerdasan emosi,
dan lain-lain. Kritik tajam ini jelas mengharuskan kalangan psikolog untuk secara
cermat kembali mengevaluasi tentang alat tes IQ tersebut (Idrus, 1999a)
Lalu apa kaitannya dengan tema ini, hal tersebut secara tidak langsung
mengindikasikan betapa kecerdasan kognitif yang dicirikan dengan tingginya skor IQ
dari hasil tes IQ tidak menjamin keberhasilan kehidupan seseorang di masa datang.
Justru kemampuan afeksi sebagai wujud kecerdasan emosional lebih merupakan
harapan akan kesuksesan masa depan. Artinya, selama ini masyarakat kita keliru yang
mengagungkan kognisi saja, sementara mengabaikan sisi afeksi (rasa).
Aspek lain yang juga kerap menjadi pembeda psikologis laki-laki dan
perempuan dalam konstruk budaya adalah konformitas dan kepatuhan. Dalam
pandangan masyarakat secara umum, perempuan dicirikan lebih memperlihatkan sikap
patuh dan mengikuti norma yang berlaku dalam suatu masyarakat dibandingkan lakilaki. Hal ini berkaitan dengan pandangan tradisional bahwa laki-laki sebagai kepala
keluarga dan pengambil keputusan utama, sedangkan peran perempuan lebih banyak

mengurus anak dan rumah tangga. Dengan demikian, perempuan diharapkan untuk
konform atas keputusan yang dibuat oleh laki-laki atau masyarakat.
Persoalan yang menarik dan harus ditanyakan adalah, apakah kepatuhan itu
hanya keharusan miliki kelompok perempuan? Tentunya jawaban pertanyaan ini
adalah tidak. Artinya, apapun jenis kelaminnya harus ada rasa kepatuhan pada hal-hal
yang memang layak dipatuhi. Konform atas satu keputusan yang disepakati bersama
merupakan keharusan bagi siapa saja yang ada dalam komounitas tersebut tanpa
melihat sisi jenis kelainnya.
Stereotipi gender lain yang berkembang adalah bahwa laki-laki lebih agresif
daripada perempuan. Untuk kasus yang terakhir terjadi debat yang menarik apakah
agresivitas ini dipengaruhi jenis kelamin, meski banyak peneliti yang menyimpulkan
bahwa anak lelaki dinilai lebih agresif dibanding anak perempuan (Steward, & Koch,
1983; Hall,

& Lindzey, 1981; White, 1983; Maccoby & Jacklin, 1974; Wimbarti,

1997; Ferver, dkk., 1997; Campbell, 1993; Brislin, 1993), namun tak kurang juga
yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara anak lelaki
dengan anak perempuan dalam perilaku agresif (Pulkkinen, & Pitkanen, 1993; Harris,
1992), atau justru memposisikan perempuan memiliki tingkat agresivitas lebih tinggi
dibanding laki-laki, meski untuk jenis agresivitas tertentu (Idrus, 2000).
Dalam penelitiannya Feshbach (dalam Tilker, 1975) menemukan bahwa anak laki-laki
mengeksperesikan sikap agresif secara fisik, anak perempuan melalui kata, membantah, gosip,
serta bentuk penolakan yang halus yang mengandung dorongan agresif. Winder, Row, & Eron
(dalam Johnson & Medinnus, 1974) meneliti anak dan remaja menyatakan bahwa anak laki-laki
sering menunjukkan tingkah laku agresif daripada anak perempuan, sedang sumber agresivitas
anak laki-laki kemungkinan berasal dari keadaan biologisnya,
Kartono (1974) menyatakan bahwa perempuan lebih bersifat emosional dalam merespon
sutau stimulus dibandingkan dengan laki-laki, sehingga diduga ada perbedaan kedenderungan
pada bentuk-bentuk agresivitas tertentu antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki mungkin

10

cenderung pada agresivitas yang sifatnya fisik, sedangkan perempuan mungkin lebih cenderung
pada agresivitas yang sifatnya emosional (verbal).
Green (dalam Tilker, 1975) perbedaan tingkah laku agresif antara laki-laki dan
perempuan mungkin disebabkan oleh meningkatnya sextyping dan penguat teman sebaya. Bagi
perempuan tingkah laku agresif merupakan celaan, bagi anak laki-laki hal tersebut merupakan
kebanggaan dan dapat diterima. Selain itu tampaknya temuan Tilker (1975) yang menyatakan
bahwa dalam budaya AS membolehkan anak laki-laki untuk bertindak lebih agresif daripada
anak perempuan, anak laki-laki didorong dan ditolerir untuk bertindak agresif dan mendapat
penguat. Eron, dkk (dalam Steward & Koch, 1983) anak perempuan kurang agresif dibanding
anak laki-laki, Ini disebabkan anak perempuan lebih mengidentifikasi dirinya terhadap orang
tuanya dan menerima norma orang tuanya ke dalam dirinya.
Jika merujuk pada temuan Tilker dan Eron di atas, tampaknya unsur budaya secara
tidak langsung juga memainkan peranan penting dalam mengkonstrukski perilaku agresif di
kalangan anak. Setidaknya hal tersebut dapat dicermati dari paparan Berry, et al. (dalam
Matsumoto, 1996) bahwa budaya memainkan peranan penting dalam membentuk sikap agresif
seseorang, bahkan Maslow secara tegas menyatakan bahwa agresi bersifat kultural (Maslow
dalam Goble, 1987). Hal senada juga diungkap oleh Rohner (dalam White, 1983) menyatakan
bahwa perbedaan agresi laki-laki dan perempuan hanya tipis namun konsisten. Perbedaan ini
kemudian diakumulasikan dalam lingkup lintas budaya sehingga akhirnya terbentuk opini lakilaki lebih agresif. Kondisi-kondisi tersebutlah yang mungkin menjadikan anak laki-laki
dimitoskan lebih bersifat agresif dibanding anak perempuan. (edit &finishing by M.Idrus

August2000)

11

Daftar Pustaka

Archer, J., Parker, S. (1994). Social representations of aggression in children. Aggresive


Behavior,20: 101-114.
Brislin, R. (1993). Understanding culture's influence on behavior. Forth Worth: Harcourt Brace.
Campbell, Anne., Muncer, S., Gorman, B., (1993). Sex and social representation of aggression:
A communal-agentic analysis. Aggresive Behavior, 19: 125-135
Echols, John. M. dan Hassan Shadily. 1976. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Fakih, Mansour. 1999. Analisis Gender & dan Tranformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Farver, Jo A. M., Wellew-Nystrom, B., Frosch, D. L., Wimbarti, S., (1997). Toy stories:
Aggression in childrens narratives in the United States, Sweden, Germany, and
Indonesia. Journal of Cross-cultural Psychology, 28: 393-420
Hall, C.S., & Lindzey, G., (1981). Theories of personality, 3th ed. New York: John Wiley and
Sons.
Harris, M. B., (1992). Sex, race, and experiences of aggression. Aggresive Behavior, 18: 201217.
Idrus, Muhammad. (1997). Otonomi Moral Keagamaan Mahasiswa Fakultas Tarbiyah
UII. Tesis. Tidak diterbitkan. PPS IKIP Yogyakarta.
_______________.(1999a). Kecerdasan dan Budaya. Makalah dipresentasikan dalam
seminar kelas Program Doktor UGM. (Tidak diterbitkan).
_______________.(1999b). Konsep dan Tehnik analisis Jender. Makalah dalam
Pelatihan Metode Penelitian Berpersfektif Jender di Lembaga Penelitian UII
Yogyakarta 20 Nopember 1999.
_______________. (2000). Pengaruh jenis Kelamin Terhadap Perilaku Agresif: Suatu
Kajian Meta-Analisis. Laporan Penelitian (dalam proses pelaporan).
Johnson, R.S. & Meddinnus, G.R., (1974). Child psychology behavior and development. New
York: John Wiley and Sons.
Kantor Menteri Negara UPW. 1997. Petunjuk Penyusunan Perencanaan Pembangunan
Berwawasan Kemitrasejajaran dengan Pendekatan Jender. Jakarta: Kantor Men.UPW.
Kartono, K., (1974). Teori-teori kepribadian dan mental hygiens. Bandung: Alumni
Maccoby, E. & Jaclin, c. 1974. The psychology of sex differences. Stanford: Stanford University.
Matsumoto, D. (1996). Culture and psychology. Padific Grove: Brooks/Cole Publishing
Company.
Pulkkinen, L., Pitkanen, T. (193). Continuities in aggressive behavior form children to adulthodd.
Aggresive Behavior,19: 249-263.
Steward, A.C & Koch, J.B. (1983) . Children development through addolesence. New York:
John Wiley & Sons Inc.
Sugiah, Siti. 1995. Konsep Jender dalam Program Pembangunan Makalah Pelatihan
Metodologi Studi Jender dan Pembangunan, IPB Bogor.
Tilker, H.A., (1975). developmental psychology today. 2nd ed. New York: Random Hause, Onc.

12

White, J.W., (1983). Sex and gender issues in aggression research. dalam Geen., R.G. and
donnerstein, G.I. (Eds). Aggression: Theoritical and empirical reviews. London:
Academic Press Inc. Ltd.
Wimbarti, S. (1997). Child-rearing practices and temperament of children: are they really
determinants of childrens aggression?. Psikologika, 2, II: 5-17.

13

Anda mungkin juga menyukai