Anda di halaman 1dari 7

KAUM SOSIALIS, GERAKAN MAHASISWA

DAN REVOLUSI DEMOKRATIK


Ken Budha Kusumandaru
Ada dua kelas yang berhadapan muka dalam kondisi tak
terdamaikan di tengah masyarakat modern: kelas buruh dan kelas
kapitalis. Kelas buruh tidak memiliki hak apapun atas alat-alat produksi
dan, dengan demikian, harus menjual satu-satunya yang ada padanya,
tenaga untuk bekerja, kepada kelas kapitalis, yang memiliki seluruh alat
produksi yang ada. Selain kedua kelas itu, terdapat pula kelas pekerja
yang lain, yang belum sepenuhnya kehilangan hak milik atas alat
produksi,
tapi
juga
tetap
harus
membanting
tulang
untuk
penghidupannya: kelas petani, pedagang kecil dan artisan.
Di manakah posisi mahasiswa dalam susunan kelas dalam
masyarakat modern ini? Di satu pihak, mahasiswa tidak bekerja. Ia
sepenuhnya hidup dari keringat orang lain, dalam bentuk uang kiriman
dari orang tua. Di pihak lain, ia juga tidak memegang hak atas alat-alat
produksi di mana ia dapat melakukan pemerasan secara langsung
terhadap keringat orang lain.
Maka, "mahasiswa" bukanlah sebuah "kelas". Ia hanyalah sebuah
"sektor", di mana tergabung anak-anak dari orang tua yang berasal dari
berbagai kelas. Posisi kelas mahasiswa belum ditentukan karena mereka
belum memasuki kehidupan ekonomi yang sesungguhnya: proses
produksi.
Kedudukan yang mengambang itu membuat mahasiswa menjadi
sasaran empuk bagi semua pihak yang memiliki kepentingan kelas.
Khususnya mereka yang berada di pihak borjuasi. Ini adalah konsekuensi
logis dari sistem pendidikan di bawah sistem masyarakat borjuasi: kaum
borjuasilah yang membiayai sekolah-sekolah.
Pada awalnya, sekolah-sekolah hanya menerima anak-anak kelas
berkuasa. Sekolah dipergunakan untuk mencetak kader-kader penerus
kelas berkuasa - seperti terlihat pada sekolah-sekolah di bawah sistem
feudal yang hanya dihadiri oleh pangeran-pangeran atau calon abdi
istana. Sekolah calon abdi, seperti namanya, tentulah diarahkan untuk
mempersiapkan orang-orang yang akan mengabdi pada kaum feudal itu.
Sekolah-sekolah borjuasi dibuka untuk umum tapi biayanya mahal
sehingga hanya anak-anak orang kaya (yaitu, anak-anak borjuasi atau
feudal) yang dapat bersekolah di situ.
Barulah setelah kaum buruh melakukan perlawanan hebat sekolahsekolah ini dibuka untuk umum dengan biaya murah. Salah satu
perlawanan yang terhebat berlangsung di Inggris, di mana ratusan ribu
buruh di bawah bendera gerakan Chartist di akhir abad kedelapan belas
melancarkan tuntutan untuk hak pilih umum (universal suffrage) dan
pendidikan murah untuk semua.
Dengan demikian, kini, medan pertempuran di kalangan
mahasiswa kian ramai. Di satu pihak, masuknya anak-anak kelas pekerja
ke universitas memberi peluang bagi kaum borjuasi untuk menanamkan
ilusi-ilusi agar kesadaran kelas mereka tidak dapat berkembang. Salah
satu ilusi yang paling ampuh adalah peluang semu untuk "naik kelas":
memperoleh kesejahteraan sebagai pelayan kaum borjuasi. Dengan mimpi

itu, anak-anak kelas pekerja akan mau mengkhianati kepentingan


kelasnya sendiri, kepentingan orang tuanya juga. Bahkan, mereka akan
turut menyebarkan ilusi borjuasi itu, persepakatan dengan sistem
penindasan, di tengah anggota kelas mereka sendiri. Dengan demikian,
mereka telah diserap menjadi agen-agen institusi perlindungan kaum
borjuasi, negara borjuasi, yang bertugas melakukan penindasan spiritualideologis kepada kelas pekerja. Mereka menjadi unsur-unsur paling
reaksioner dan kontra-revolusioner di dalam masyarakat.
Di pihak lain, kaum sosialis juga mendapatkan kesempatan untuk
mendidik kader-kader kelas pekerja dengan pendidikan tinggi, sekaligus
merebut keberpihakan anak-anak kaum borjuasi kepada perjuangan kelas
pekerja, terutama kelas buruh. Pendidikan tinggi ini sangat berguna untuk
perluasan pendidikan di kalangan kelas pekerja sendiri, meningkatkan
kemampuan kritis mereka, kemampuan analisa mereka terhadap dunia
sekitarnya, dan mempersiapkan mereka untuk menjalankan roda
pemerintahan ketika kelak kelas pekerja merebut kekuasaan dari tangan
kaum borjuasi. Perebutan keberpihakan anak-anak kaum borjuasi kepada
perjuangan rakyat pekerja ini juga adalah sesuatu yang sangat strategis
sifatnya. Kelak, jika mereka berada dalam posisi-posisi kunci di tengah
kelas mereka sendiri, mereka akan dapat memecah persatuan kelas
borjuasi berhadapan dengan gerakan kelas pekerja yang revolusioner.
Sangat diharapkan bahwa mereka ini akan cenderung menyeberang ke
pihak kelas pekerja ketika situasi revolusioner muncul. Dan ketika kelas
pekerja merebut kekuasaan, mereka akan merupakan bantuan yang tak
ternilai untuk konsolidasi kekuasaan, dalam perlucutan kekuatan reaksi
kaum borjuasi dan untuk membantu melancarkan roda perekonomian pendeknya, merupakan minyak pelumas bagi proses transisi dari
kapitalisme ke sosialisme.
Perang ideologis di sektor mahasiswa
Pertempuran yang terjadi untuk memperebutkan keberpihakan
sektor mahasiswa ini sesungguhnya tidak berjalan seimbang. Di satu
pihak, kaum borjuasi, karena menguasai negara, menguasai pula segala
alat yang dipergunakan untuk mengadakan pendidikan. Di pihak lain,
kaum sosialis hanya bermodalkan semangat dan dukungan organisasi
untuk merebut alat-alat pendidikan itu bagi kepentingan kemenangan
rakyat tertindas.
Kaum borjuasi memiliki segala-galanya. Terutama di Indonesia, kita
dapat melihat bahwa apa yang diajarkan di sekolah-sekolah dirancang di
meja-meja kerja birokrasi pendidikan - pelayan-pelayan ideologi kaum
borjuasi. Sejak seseorang menginjakkan kakinya pertama kali di
sekolahnya yang pertama, ia sudah diajari bahwa segala yang berbau
sosialis adalah jelek. Setelah ia beranjak dewasa dan kesadaran kritisnya
mulai muncul, dijejalkanlah segala macam penjelasan "ilmiah" dari kaum
borjuasi untuk membenarkan keberadaannya di dunia ini. Sejak dari
sistem berpikir, teori ekonomi, teori politik, filsafat, dsb. Bahkan sampai
bagaimana tiap ilmu dipisah-pisahkan sedemikian rupa sehingga, tanpa
pendalaman terhadap metode berpikir yang benar, yang tidak diajarkan di
sekolah-sekolah itu, seseorang tidak akan dapat merangkaikan kebenarankebenaran parsial yang terdapat di masing-masing ilmu menjadi satu
kebenaran yang utuh. Tanpa metode berpikir yang benar, seseorang yang

mempelajari filsafat tidak akan dapat menerima bahwa filsafat harus


dapat menjelaskan pula gejala-gejala yang terkandung dalam ilmu-ilmu
fisika, misalnya. Seseorang yang menggeluti politik atau hukum tidak akan
pula dapat melihat bahwa pelajaran terpenting yang harus digugunya
terdapat dalam ilmu arkeologi.
Guru-guru yang mengajar di sekolah-sekolah ini juga berasal dari
sistem pendidikan guru yang dikendalikan oleh borjuasi. Dengan demikian,
guru-guru ini juga menjadi pelayan sistem borjuasi itu sendiri. Lembaga
keguruan merupakan satu lembaga yang berdiri di luar masyarakat,
merupakan lembaga yang bersifat reguler (standing institution), dan digaji
penuh untuk menjalankan tugas pelayanannya terhadap kepentingan
borjuasi itu. Maka, kita dapat memahami dengan pasti bahwa lembaga
pendidikan adalah bagian dari negara, yaitu bagian dari mesin penindasan
ideologisnya.
Tidak mengherankan, jika demikian, bahwa sistem administrasi di
dalam satu lembaga keguruan, pada umumnya, mencerminkan sistem
yang ada di negara di mana ia berada.
Hal ini nampak jelas di Indonesia, di mana ada satu parlemen palsu
bagi mahasiswa, Senat Mahasiswa dan Badan Perwakilan Mahasiswa, yang
sama impotennya ketika berurusan dengan persoalan-persoalan paling
penting yang menyangkut kesejahteraan mahasiswa: biaya pendidikan
dan fasilitas kampus. Mengenai dua hal ini, kata putus tetap berada pada
sebuah badan yang berdiri eksklusif dan elitis di kampus: Senat
Universitas.
Pemahaman terhadap hal ini akan membuat kita sanggup
melecehkan istilah "industri pendidikan", di mana pendidikan dianggap
sebagai salah satu sektor industri jasa. Kita kini sudah melihat bahwa
pendidikan adalah sebuah kelembagaan yang lebih bersifat ideologis
daripada sekedar mencari keuntungan sebesar-besarnya. "Industri
pendidikan" hanyalah sebuah alasan yang dikemukakan kaum borjuasi
untuk memblokade masuknya anak-anak kelas pekerja ke dalam
pendidikan ini. Pendidikan bagi anak-anak kelas pekerja ini, menurut kaum
borjuasi, cukuplah di bidang-bidang teknik yang praktis agar dapat
menjadi tenaga trampil di pabrik-pabrik. Supaya monopoli atas
pengetahuan tetap terjaga, supaya anak-anak kelas pekerja yang sanggup
(dengan susah-payah) masuk ke dalam sistem pendidikan itu dapat
dengan mudah dibeli, dan untuk melemahkan sektor mahasiswa yang
sudah terbukti dari sejarahnya kerap menjadi pemicu bagi perlawanan
kelas pekerja itu sendiri.
Kita dapat melihat pula bagaimana istilah "industri pendidikan" ini
tidak pernah cocok dengan kenyataan di lapangan. Sebuah industri jasa
seharusnya bersaing memasang harga semurah mungkin agar dapat
merebut konsumen, dengan fasilitas yang sesuai dengan harga yang
dipatok. Tapi, seperti yang kita alami sendiri, harga-harga itu semakin
membumbung tinggi dan jarang sekali fasilitas yang setara dengan harga
itu disediakan oleh pihak penyelenggara jasa.
Pendidikan bukanlah sebuah industri jasa. Pendidikan adalah mesin
ideologis yang akan membentuk kader-kader dan pelayan-pelayan kaum
borjuasi.

Berhadapan dengan kondisi suram ini, apakah yang dapat


diperbuat oleh kaum sosialis terhadap sektor mahasiswa?
Pertama-tama haruslah disadari bahwa seluruh pelajar, mahasiswa
tidak terkecuali, berada di bawah hujan propaganda kaum borjuasi.
Propaganda yang datang dalam bentuk, lisan, tulisan, bentuk-bentuk
budaya, lingkungan pergaulan. Ke manapun seorang mahasiswa pergi, ia
akan berhadapan dengan propaganda borjuasi: ke ruang kelas, ke ruang
dosen, ke kantin, ke tempat parkir. Bahkan, di beberapa tempat, WC-pun
dibedakan antara WC untuk kaum elit agen borjuasi dengan WC bagi
warga biasa. Inilah apa yang dikenal dengan istilah "hegemoni" - hujan
propaganda yang membuat orang mati rasa terhadap penindasan yang
dialaminya.
Maka, untuk memenangkan pertempuran dengan kaum borjuasi
dalam berebut keberpihakan mahasiswa, kaum sosialis haruslah dapat
mematahkan hegemoni ini. Kaum sosialis haruslah membuat kampus dan
sekolah-sekolah memancarkan aroma kelas pekerja.
Sebelum melangkah lebih jauh, kita harus terlebih dahulu
bersepakat tentang apa yang disebut dengan "aroma kelas pekerja" itu.
Budaya kelas pekerja bukanlah sekedar budaya "dari jam sembilan sampai
jam lima", alias kerja kantoran. Budaya kelas pekerja juga bukan budaya
tinggal berlama-lama di kantor, pabrik atau sekretariat. Budaya kelas
pekerja adalah, di atas segalanya, disiplin dalam demokrasi. Berteguh
melaksanakan kerja-kerja yang telah dibagikan melalui diskusi-diskusi
yang demokratik, melalui keputusan mayoritas. Kita akan kembali lagi
pada hal ini di belakang.
Dengan demikian, tugas pertama gerakan sosialis adalah
membawa obor berapi ke jantung kubu-kubu musuh: beragitasi dan
berpropaganda tanpa mengenal lelah dan takut di sekolah-sekolah dan di
kampus-kampus. Gerakan sosialis harus selalu menggunakan alat-alat
yang dapat seluas mungkin berbicara kepada setiap mahasiswa mengenai
isu-isu tertinggi yang mungkin dipergunakan. Contohnya, ketika situasi
sangat represif, kaum sosialis harus dengan bersemangat melancarkan
agitasi dari orang ke orang dengan isu demokratisasi kampus. Namun,
ketika situasi terbuka telah didapatkan, kaum sosialis harus
mempergunakan koran untuk berproganda tentang sosialisme di kampus.
Media yang sanggup menjangkau seluas mungkin massa dan isu yang
sanggup menggerakkan sebanyak mungkin orang, sesuai dengan situasi
dan kondisi di lingkungan termaksud.
Namun, hal ini saja belum cukup. Hujan propaganda borjuasi
dilancarkan secara sistemik, terorganisir dan menyeluruh. Maka, untuk
sanggup mematahkan itu, kaum sosialis harus pula membangun satu
lingkungan kelas pekerja di tengah-tengah kampus - dengan satu
peringatan: tanpa menjadikan kaum sosialis itu sebuah sekte yang
eksklusif dan menakutkan bagi massa mahasiswa secara luas.
Seringkali hal ini mustahil dilakukan di kampus, terutama ketika
gerakan sosialis masih merupakan minoritas dan lemah. Dalam keadaan
demikian, tidak ada jalan lain bagi gerakan sosialis selain membawa
mahasiswa ke luar kampus, ke tengah lingkungan kaum pekerja terutama buruh, di mana budaya kelas pekerja telah mencapai puncaknya
di bawah sistem borjuasi. Setiap orang mahasiswa yang tergabung dalam

gerakan sosialis harus terhubung secara fisik dan ideologis kepada dua
komunitas sekaligus: mahasiswa dan buruh. Ini, contohnya, dapat
dilakukan dengan bergiliran masuk ke basis-basis buruh dan menjadi
organiser buruh.
Pendeknya, gerakan mahasiswa tidak boleh dibiarkan menjadi
gerakan mahasiswa an sich.
Sebaliknya, adalah pula merupakan tugas kaum sosialis untuk
semakin banyak memasukkan anggota-anggota kelas pekerja ke dalam
pendidikan tinggi dan mempertahankan keberpihakan mereka kepada
kepentingan kelas mereka sendiri. Kaum sosialis tidaklah boleh berhenti
bergerak demi sebuah 'pendidikan murah untuk semua' demi tercetaknya
kader-kader kelas pekerja yang berketrampilan tinggi, untuk keperluan
industrialisasi kelak jika sosialisme telah mencapai kemenangannya.
Semakin banyaknya kader-kader kelas pekerja di dalam lingkungan
pendidikan tinggi juga memudahkan pembangunan satu lingkungan
beraroma kelas pekerja di dalam kampus, melancarkan penerimaan isu-isu
ekonomis di dalam kampus, dan mendekatkan massa mahasiswa secara
personal kepada isu-isu yang berkenaan dengan kepentingan rakyat
pekerja di luar tembok-tembok kampus.
Dengan agitasi dan propaganda yang luas, dan pembangunan
lingkungan beraroma kelas pekerja, setidaknya di kalangan kaum sosialis
itu sendiri, kita boleh mengharapkan agar gerakan mahasiswa ini menjadi
semakin kental dalam hegemoni kelas pekerja. Jika proses ini dapat dilalui
dengan berhasil, upaya memenangkan massa mahasiswa yang lebih luas
akan mendapatkan pelumas yang sangat manjur. Apalagi yang mampu
mematahkan lingkungan penuh kesenangan dan hura-hura a la
mahasiswa, kecuali jika mereka melihat bahwa budaya kelas pekerja
mutlak unggul dari budaya kesenangan yang selama ini mereka anut?
Sebagai penyimpulan, tugas gerakan sosialis di tengah gerakan
mahasiswa adalah membangun komunitas luas yang terhubung secara
fisik dan ideologis dengan gerakan kelas pekerja itu sendiri.
Setelah itu
Tentu saja kita tidak boleh menunggu agar komunitas kita besar
terlebih dahulu sebelum melancarkan propaganda ke kalangan yang lebih
luas, terutama gerakan mahasiswa pada umumnya. Pandanganpandangan serupa "Kita masih kecil dalam jumlah", atau "Kita belum
cukup kuat", sesungguhnya menunjukkan ketidakyakinan ideologis yang
mendalam. Akibat lanjutan yang dapat muncul kemudian jika
ketidakyakinan ini tidak segera diatasi adalah watak-watak sektarian
dalam pergerakan.
Segera setelah komunitas sosialis dalam gerakan mahasiswa
terbentuk, ia harus melancarkan pula propaganda yang diarahkan pada
massa mahasiswa, khususnya gerakan mahasiswa pada umumnya.
Hal apakah yang, terutama, harus dipropagandakan oleh kaum
sosialis di tengah gerakan mahasiswa?
Menimbang hal-hal yang telah kita bahas terdahulu, bahan-bahan
propaganda ini tentulah diutamakan yang menyangkut upaya untuk
memperbesar pengaruh keberpihakan pada gerakan buruh dan kelas
pekerja lainnya di tengah gerakan mahasiswa, termasuk propagandapropaganda yang perlu untuk mencegah gerakan mahasiswa berdiri

sebagai suatu gerakan yang terpisah, mandiri, terutama dari gerakan


kelas pekerja.
Gerakan mahasiswa sosialis harus mengkritisi tanpa ampun sikap
umum gerakan mahasiswa yang enggan menggabungkan diri dengan
gerakan rakyat pekerja, sikap-sikap non-partisan yang tak berprinsip, dan
penyakit-penyakit sektarian lain antar mereka sendiri yang kerap diidap
oleh gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa sosialis harus menggunakan
segala macam cara yang dikuasainya - memohon pengertian atau
mengungkapkan peringatan-peringatan keras, tajam atau lembut, keras
atau lunak - agar pemahaman itu dapat menancap dalam-dalam di kepala
dan hati massa mahasiswa.
Gerakan mahasiswa sosialis harus sanggup mengangkat isu-isu
kampus menjadi isu-isu yang menyangkut kepentingan rakyat pekerja
secara umum, dan sebaliknya, isu-isu rakyat pekerja harus terus
diperkenalkan kepada komunitas massa mahasiswa di dalam kampus.
Gerakan mahasiswa sosialis haruslah menjadi kelompok yang
pertama mempropagandakan dan melancarkan aksi-aksi massa dalam
setiap kesempatan, walau sekecil apapun, yang dapat dipergunakan untuk
menunjukkan watak sejati dari para penguasa birokrasi kampus.
Gerakan mahasiswa sosialis harus pula menjadi yang pertama
untuk mempromosikan solidaritas terhadap gerakan-gerakan mahasiswa
di kampus-kampus lain, mendorong terbentuknya satu penyatuan dalam
gerakan mahasiswa di tingkatan yang lebih luas. Walau tetap harus
diperhatikan prinsip-prinsip dalam beraliansi, antara lain kebebasan untuk
menjalankan kritik bahkan terhadap kawan-kawan aliansi, penyatuan
kekuatan harus dijadikan prioritas utama. Terlebih ketika berhadapan
dengan Negara Borjuasi yang represif.
Pendeknya, gerakan mahasiswa sosialis harus menjadi pelopor
sejati, bukan hanya dalam teori.
Namun, di samping semua itu, gerakan mahasiswa sosialis
menempati posisi khusus dalam kancah revolusioner. Posisi khusus ini
diperolehnya karena ia terbebaskan dari keharusan untuk turut serta
dalam proses produksi sehingga ia dapat memperoleh waktu luang,
bahkan "ditugaskan", untuk belajar. Dengan demikian, tugas untuk
mempelajari berbagai teori dan sejarah revolusi menempel dengan kuat di
pundak gerakan mahasiswa sosialis. Gerakan mahasiswa sosialis
memanggul beban untuk menarik pelajaran dari berbagai upaya
revolusioner rakyat pekerja di berbagai negeri, untuk membuat analisaanalisa dan pertimbangan-pertimbangan, dan untuk merumuskan
berbagai variasi taktik dan strategi baru.
Gerakan mahasiswa sosialis juga mengemban tugas yang berat
untuk menyediakan bacaan bagi seluruh rakyat pekerja. Adalah tugasnya,
walaupun sangat berat, untuk mempelajari segala bahasa asing yang
mungkin dikuasai, agar dapat menerjemahkan dan menerbitkan berbagai
artikel dan buku yang selama ini hanya dapat dinikmati oleh segelintir
kalangan saja. Ia juga harus menuntut dibukanya perpusatakaanperpustakaan publik, mengisi perpustakaan-perpustakaan itu dengan
buku-buku dan menggairahkan semua orang untuk menjadi anggota
perpustakaan-perpustakaan dan aktif membaca buku buku-buku itu. Ia
harus menyediakan berbagai wahana di mana rakyat pekerja dapat

mendiskusikan segala yang mereka baca dan membimbing rakyat pekerja


untuk memahami apa yang mereka baca.
Hal ini semakin membuat keterhubungannya, secara fisik dan
ideologis, dengan gerakan kelas pekerja menjadi sesuatu yang imperatif,
satu keharusan. Dengan demikian, apa yang dipikirkannya, kesadarannya,
adalah kesadaran dari lingkungan yang hegemonik baginya, yaitu
lingkungan kelas pekerja. Dengan demikian pula, ia dapat berbagi apa
yang telah dihasilkannya dalam kerja-kerja mental itu kepada gerakan
kelas pekerja, menerangkan kepada gerakan kelas pekerja dalam bahasa
mereka sendiri, dan membantu gerakan kelas pekerja untuk mewujudkan
segala hasil kerja mental itu.
Gerakan mahasiswa sosialis adalah kancah rekrutmen agen-agen
yang akan membantu rakyat pekerja menemukan kesadaran sejatinya.

Anda mungkin juga menyukai