Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Alam merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan
manusia, oleh karena itu manusia tidak dapat dipisahkan dari alam. Alam
memang sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia, akan tetapi selain
menguntungkan alam juga dapat merugikan bagi manusia, contohnya akhirakhir ini banyak sekali bencana alam khususnya di Indonesia. Melihat
fenomena tersebut sehausnya manusia dapat berpikir bagaimana untuk dapat
hidup selaras dengan alam. Karena alam tidak dapat ditentang begitu pula
dengan bencana.
Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng
Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia yang bergerak saling
menumbuk. Akibat tumbukan antara lempeng itu maka terbentuk daerah
penunjaman memanjang di sebelah Barat Pulau Sumatera, sebelah Selatan
Pulau Jawa hingga ke Bali dan Kepulauan Nusa Tenggara, sebelah Utara
Kepulauan Maluku, dan sebelah Utara Papua. Konsekuensi lain dari tumbukan
itu maka terbentuk palung samudera, lipatan, punggungan dan patahan di busur
kepulauan, sebaran gunung api, dan sebaran sumber gempa bumi.
Gunung api yang ada di Indonesia berjumlah 129. Angka itu
merupakan 13% dari jumlah gunung api aktif dunia. Dengan demikian
Indonesia rawan terhadap bencana letusan gunung api dan gempa bumi. Di
beberapa pantai, dengan bentuk pantai sedang hingga curam, jika terjadi gempa
bumi dengan sumber berada di dasar laut atau samudera dapat menimbulkan
gelombang Tsunami.
Jenis tanah pelapukan yang sering dijumpai di Indonesia adalah hasil
letusan gunung api. Tanah ini memiliki komposisi sebagian besar lempung
dengan sedikit pasir dan bersifat subur. Tanah pelapukan yang berada di atas
batuan kedap air pada perbukitan/punggungan dengan kemiringan sedang
hingga terjal berpotensi mengakibatkan tanah longsor pada musim hujan

Epidemiologi Tanah Longsor | 1

dengan curah hujan berkuantitas tinggi. Jika perbukitan tersebut tidak ada
tanaman keras berakar kuat dan dalam, maka kawasan tersebut rawan bencana
tanah longsor. ( Nandi. 2007 )
B.

Rumusan Masalah
Dari latar belakang permasalahan di atas, maka rumuskan masalahnya
adalah sebagai berikut :
a.

Apa sajakah dampak terhadap kesehatan

masyarakat yang diakibatkan oleh terjadinya bencana tanaah longsor ?


b.
Bagaimanakah besaran masalah bencana
tanah longsor ?
c.

Bagaimanakah tahapan pengungsian korban


bencana tanah longsor ?

d.
e.

Bagaimanakah upaya pencegahan untuk


menghindari terjadinya bencana tanah longsor ?
Bagaimanakah prinsip

penanggulangan

bencana tanah longsor ?


C.

Tujuan
1.

Tujuan Umum
Mengetahui

gambaran

umum

dan

penanggulangan

serta

kegawatdaruratan epidemiologi bencana tanah longsor.


2.
a.

Tujuan Khusus
Untuk mengetahui dampak bencana tanah

b.

longsor terhadap kesehatan masyarakat.


Untuk mengetahui besaran masalah bencana
tanah longsor.

c.
d.

Untuk mengetahui tahapan pengungsian


korban bencana tanah longsor.
Untuk

mengetahui

upaya

pencegahan

terjadinya tanah longsor.


e.

Untuk mengetahui prinsip penanggulangan


epidemiologi tanah longsor.

Epidemiologi Tanah Longsor | 2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
1.

Gambaran Umum Epidemiologi Tanah Longsor


Epidemiologi Tanah Longsor
Tanah longsor atau dalam bahasa Inggris disebut Landslide, adalah
perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan,
tanah, atau material campuran tersebut, bergerak ke bawah atau keluar
lereng. Proses terjadinya tanah longsor dapat diterangkan sebagai berikut:
air yang meresap ke dalam tanah akan menambah bobot tanah. Jika air
tersebut menembus sampai tanah kedap air yang berperan sebagai bidang
gelincir, maka tanah menjadi licin dan tanah pelapukan di atasnya akan
bergerak mengikuti lereng dan keluar lereng (Wikipedia, 2007).
Hampir semua pulau utama di Indonesia memiliki beberapa
kabupaten dan kota yang rawan pergerakan tanah, kecuali Pulau Kalimantan
yang hanya memiliki dua kabupaten yang rawan, yakni Kabupaten Murung
Raya di Kalimantan Tengah dan Kabupaten Malinau di Kalimantan Timur.
Daerah yang memiliki relief morfologi kasar dengan lereng-lereng yang
terjal secara umum lebih rawan untuk terjadi gerakan tanah. Di samping itu,
kondisi batuan yang tidak kompak dan mudah mengalami degradasi
umumnya lebih mudah untuk terjadi gerakan tanah. Setidaknya terdapat 918
lokasi rawan longsor di Indonesia. Setiap tahunnya kerugian yang
ditanggung akibat bencana tanah longsor sekitar Rp 800 miliar, sedangkan
jiwa yang terancam sekitar 1 juta.
Ada 6 jenis tanah longsor, yakni: longsoran translasi, longsoran
rotasi, pergerakan blok, runtuhan batu, rayapan tanah, dan aliran bahan
rombakan. Jenis longsoran translasi dan rotasi paling banyak terjadi di

Epidemiologi Tanah Longsor | 3

Indonesia. Sedangkan longsoran yang paling banyak memakan korban jiwa


manusia adalah aliran bahan rombakan (Nandi, 2007 & Gatot M Sudrajat,
2008).
a. Longsoran Translasi
Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan
pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.

b. Longsoran Rotasi
Longsoran rotasi adalah bergerak-nya massa tanah dan batuan
pada bidang gelincir berbentuk cekung.

c. Pergerakan Blok
Pergerakan blok adalah perpindahan batuan yang bergerak pada
bidang gelincir berbentuk rata. Longsoran ini disebut juga longsoran
translasi blok batu.

Epidemiologi Tanah Longsor | 4

d. Runtuhan Batu
Runtuhan batu terjadi ketika sejum-lah besar batuan atau
material lain bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas. Umumnya
terjadi pada lereng yang terjal hingga meng-gantung terutama di daerah
pantai. Batu-batu besar yang jatuh dapat menyebabkan kerusakan yang
parah.

e. Rayapan Tanah
Rayapan Tanah adalah jenis tanah longsor yang bergerak lambat.
Jenis tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Jenis tanah longsor ini
hampir tidak dapat dikenali. Setelah waktu yang cukup lama longsor
jenis rayapan ini bisa menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon, atau
rumah miring ke bawah.

Epidemiologi Tanah Longsor | 5

f. Aliran Bahan Rombakan


Jenis tanah longsor ini terjadi ketika massa tanah bergerak
didorong oleh air. Kecepatan aliran tergantung pada kemiringan lereng,
volume dan tekanan air, dan jenis materialnya. Gerakannya terjadi di
sepanjang lembah dan mampu mencapai ratusan meter jauhnya. Di
beberapa tempat bisa sampai ribuan meter seperti di daerah aliran sungai
di sekitar gunung api. Aliran tanah ini dapat menelan korban cukup
banyak.

Gejala-gejala umum yang biasanya timbul sebelum terjadinya


bencana tanah longsor adalah :
1)
2)
3)
4)

Munculnya retakan-retakan di lereng yang sejajar dengan arah tebing.


Biasanya terjadi setelah hujan.
Munculnya mata air baru secara tiba-tiba.
Tebing rapuh dan kerikil mulai berjatuhan.

2. Penyebab Epidemiologi Tanah Longsor

Epidemiologi Tanah Longsor | 6

Pada prinsipnya tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada


lereng lebih besar daripada gaya penahan. Gaya penahan umumnya
dipengaruhi oleh kekuatan batuan dan kepadatan tanah. Sedangkan gaya
pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut lereng, air, beban serta berat
jenis tanah batuan (Moch Bachri, 2006 & Nandi, 2007)
a. Hujan
Ancaman tanah longsor biasanya dimulai pada bulan November
karena meningkatnya intensitas curah hujan. Musim kering yang panjang
akan menyebabkan terjadinya penguapan air di permukaan tanah dalam
jumlah besar. Hal itu mengakibatkan munculnya pori-pori atau rongga
tanah hingga terjadi retakan dan merekahnya tanah permukaan.
Ketika hujan, air akan menyusup ke bagian yang retak sehingga
tanah dengan cepat mengembang kembali. Pada awal musim hujan,
intensitas hujan yang tinggi biasanya sering terjadi, sehingga kandungan
air pada tanah menjadi jenuh dalam waktu singkat.
Hujan lebat pada awal musim dapat menimbulkan longsor,
karena melalui tanah yang merekah air akan masuk dan terakumulasi di
bagian dasar lereng, sehingga menimbulkan gerakan lateral. Bila ada
pepohonan di permukaannya, tanah longsor dapat dicegah karena air
akan diserap oleh tumbuhan. Akar tumbuhan juga akan berfungsi
mengikat tanah.
b. Lereng terjal
Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya
pendorong. Lereng yang terjal terbentuk karena pengikisan air sungai,
mata air, air laut, dan angin. Kebanyakan sudut lereng yang
menyebabkan longsor adalah 180 apabila ujung lerengnya terjal dan
bidang longsorannya mendatar.
c. Tanah yang kurang padat dan tebal

Epidemiologi Tanah Longsor | 7

Jenis tanah yang kurang padat adalah tanah lempung atau tanah
liat dengan ketebalan lebih dari 2,5 m dan sudut lereng lebih dari 220.
Tanah jenis ini memiliki potensi untuk terjadinya tanah longsor terutama
bila terjadi hujan. Selain itu tanah ini sangat rentan terhadap pergerakan
tanah karena menjadi lembek terkena air dan pecah ketika hawa terlalu
panas.
d. Batuan yang kurang kuat
Batuan endapan gunung api dan batuan sedimen berukuran pasir
dan campuran antara kerikil, pasir, dan lempung umumnya kurang kuat.
Batuan tersebut akan mudah menjadi tanah bila mengalami proses
pelapukan dan umumnya rentan terhadap tanah longsor bila terdapat pada
lereng yang terjal.
e. Jenis tata lahan
Tanah longsor banyak terjadi di daerah tata lahan persawahan,
perladangan, dan adanya genangan air di lereng yang terjal. Pada lahan
persawahan akarnya kurang kuat untuk mengikat butir tanah dan
membuat tanah menjadi lembek dan jenuh dengan air sehingga mudah
terjadi longsor. Sedangkan untuk daerah perladangan penyebabnya
adalah karena akar pohonnya tidak dapat menembus bidang longsoran
yang dalam dan umumnya terjadi di daerah longsoran lama.
f. Getaran
Getaran yang terjadi biasanya diakibatkan oleh gempabumi,
ledakan, getaran mesin, dan getaran lalulintas kendaraan. Akibat yang
ditimbulkannya adalah tanah, badan jalan, lantai, dan dinding rumah
menjadi retak.
g. Susut muka air danau atau bendungan

Epidemiologi Tanah Longsor | 8

Akibat susutnya muka air yang cepat di danau maka gaya


penahan lereng menjadi hilang, dengan sudut kemiringan waduk 220
mudah terjadi longsoran dan penurunan tanah yang biasanya diikuti oleh
retakan.
h. Adanya beban tambahan
Adanya beban tambahan seperti beban bangunan pada lereng,
dan kendaraan akan memperbesar gaya pendorong terjadinya longsor,
terutama di sekitar tikungan jalan pada daerah lembah. Akibatnya adalah
sering terjadinya penurunan tanah dan retakan yang arahnya ke arah
lembah.
i.

Pengikisan/erosi
Pengikisan banyak dilakukan oleh air sungai ke arah tebing.
Selain itu akibat penggundulan hutan di sekitar tikungan sungai, tebing
akan menjadi terjal.

j.

Adanya material timbunan pada tebing


Untuk mengembangkan dan memperluas lahan pemukiman
umumnya dilakukan pemotongan tebing dan penimbunan lembah. Tanah
timbunan pada lembah tersebut belum terpadatkan sempurna seperti
tanah asli yang berada di bawahnya. Sehingga apabila hujan akan terjadi
penurunan tanah yang kemudian diikuti dengan retakan tanah.

k. Bekas longsoran lama


Longsoran lama umumnya terjadi selama dan setelah terjadi
pengendapan material gunung api pada lereng yang relatif terjal atau
pada saat atau sesudah terjadi patahan kulit bumi. Bekas longsoran lama
memilki ciri :
1) Adanya tebing terjal yang panjang melengkung membentuk tapal
kuda.

Epidemiologi Tanah Longsor | 9

2) Umumnya dijumpai mata air, pepohonan yang relatif tebal karena


tanahnya gembur dan subur.
3) Daerah badan longsor bagian atas umumnya relatif landai.
4) Dijumpai longsoran kecil terutama pada tebing lembah.
5) Dijumpai tebing-tebing relatif terjal yang merupakan bekas longsoran
kecil pada longsoran lama.
6) Dijumpai alur lembah dan pada tebingnya dijumpai retakan dan
longsoran kecil.
7) Longsoran lama ini cukup luas.

l.

Adanya bidang diskontinuitas (bidang tidak sinambung)


Bidang tidak sinambung ini memiliki ciri:
1)

Bidang perlapisan batuan

2)

Bidang kontak antara tanah penutup dengan batuan dasar

3)

Bidang kontak antara batuan yang retak-retak dengan batuan yang


kuat.

4)

Bidang kontak antara batuan yang dapat melewatkan air dengan


batuan yang tidak melewatkan air (kedap air).

5)

Bidang kontak antara tanah yang lembek dengan tanah yang padat.

6)

Bidang-bidang tersebut merupakan bidang lemah dan dapat


berfungsi sebagai bidang luncuran tanah longsor.

m. Penggundulan hutan
Tanah longsor umumnya banyak terjadi di daerah yang relatif
gundul dimana pengikatan air tanah sangat kurang.
n. Daerah pembuangan sampah
Penggunaan lapisan tanah yang rendah untuk pembuangan
sampah dalam jumlah banyak dapat mengakibatkan tanah longsor apalagi
ditambah dengan guyuran hujan, seperti yang terjadi di Tempat

Epidemiologi Tanah Longsor | 10

Pembuangan Akhir Sampah Leuwigajah di Cimahi. Bencana ini


menyebabkan sekitar 120 orang lebih meninggal.
B.

Dampak Epidemiologi Tanah Longsor Terhadap Kesehatan


Masyarakat
Dampak terhadap masyarakat yang terjadi akibat bencana tanah
longsor, yaitu sebagai berikut (Pan American Health Organization, 2006) :
1.

Peningkatan Morbiditas
Tingginya angka kesakitan dalam keadaan terjadinya bencana
dibagi dalam 2 katagori, yaitu:
a.

Kesakitan primer, adalah kesakitan yang


terjadi sebagai akibat langsung dari kejadian bencana tersebut, kesakitan
ini dapat disebabkan karena trauma fisik, termis, kimiawi, psikis dan
sebagainya.

b.

Kesakitan sekunder, kesakitan sekunder


terjadi sebagai akibat sampingan usaha penyelamatan terhadap korban
bencana, yang dapat disebabkan karena sanitasi lingkungan yang buruk,
kekurangan makanan dan sebagainya.

2.

Tingginya Angka Kematian


Kematian akibat terjadinya bencana alam dibagi dalam dua kategori, yaitu:
a.

Kematian primer, adalah kematian langsung akibat terjadi bencana,


misalnya tertimbun tanah longsor.

b.

Kematian Sekunder, adalah kematian yang tidak langsung disebabkan


oleh bencana, melainkan dipengaruhi oleh faktor-faktor penyelamatan
terhadap penderita cedera berat, seperti. kurangnya persediaan darah,

Epidemiologi Tanah Longsor | 11

obat-obatan, tenaga medis dan para medis yang dapat bertindak cepat
untuk mengurangi kematian tersebut.
3.

Masalah Kesehatan Lingkungan


Mencakup masalah-masalah yang berkaitan erat dengan sanitasi
lingkungan, tempat penampungan yang tidak memenuhi syarat, seperti
penyediaan air bersih, tempat pembuangan tinja dan air bekas, tempat
pembuangan sampah, tenda penampungan dan kelengkapannya, kepadatan
dari tempat penampungan, dan sebagainya.

4.

Suplai Bahan Makanan dan Obat-Obatan


Apabila kekurangan suplai bahan makanan dan obat-obatan untuk
membantu korban bencana, maka kemungkinannya akan menimbulkan
berbagai masalah, diantaranya:
a.

Kekurangan gizi dari berbagai lapisan umur

b.

Penyakit infeksi dan wabah, diantaranya infeksi pencernaan (GED),


infeksi pernapasan akut seperti influensa, penyakit kulit.

5.

Kerusakan Infrastruktur Kesehatan, Keterbatasan Tenaga


Medik dan Paramedis serta Transportasi ke Pusat Rujukan.

Epidemiologi Tanah Longsor | 12

BAB III
PENCEGAHAN DAN PENANGANAN BENCANA
DAN KEGAWATDARURATAN
A.

Mapping Bencana
1. Peta Rawan Bencana
Secara geologis Indonesia juga menghadapi ancaman gerakan
tanah, atau yang pada umumnya dikenal sebagai tanah longsor. Hampir
setiap

tahun

Indonesia

mengalami

kejadian

gerakan

tanah

yang

mengakibatkan bencana. Korban dan kerugian besar pada umumnya terjadi


pada gerakan tanah jenis aliran bahan rombakan atau banjir bandang, seperti
terjadi di Nias (2001) dan Bohorok Sumatra Utara (2005), Sulawesi Tengah
(2007), Sumatra Barat (2008) dan terakhir di Situ Gintung, Banten (2009),
yang mengakibatkan 82 orang tewas, 103 orang hilang, 179 orang luka-luka
dan 250 buah rumah hancur/rusak. Hampir semua pulau utama di Indonesia
memiliki beberapa kabupaten dan kota yang rawan pergerakan tanah,
kecuali Pulau Kalimantan yang hanya memiliki dua kabupaten yang rawan,

Epidemiologi Tanah Longsor | 13

yakni Kabupaten Murung Raya di Kalimantan Tengah dan Kabupaten


Malinau di Kalimantan Timur (Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko
Bencana 2010-2014).
Daerah yang memiliki relief morfologi kasar dengan lereng-lereng
yang terjal secara umum lebih rawan untuk terjadi gerakan tanah. Di
samping itu, kondisi batuan yang tidak kompak dan mudah mengalami
degradasi umumnya lebih mudah untuk terjadi gerakan tanah. Hal ini
diperburuk lagi oleh curah hujan yang tinggi dan gempa yang sering terjadi
di Indonesia. Secara umum tingkat risiko bencana gerakan tanah di
Kabupatan/Kota di Indonesia ditentukan oleh keberadaan lajur pegunungan.
Tingkat risiko dipengaruhi pula oleh kondisi kerentanan berbagai unsur
lainnya seperti kepadatan dan kerentanan penduduk, kondisi kerentanan
bangunan dan infrastruktur, tingkat ekonomi, dan kapasitas daerah secara
umum. Gambar 1. menyajikan zona kerentanan gerakan tanah di Indonesia
(Gatot M Soedradjat, 2008).

Keterangan :

Epidemiologi Tanah Longsor | 14

Zona Kerentanan Gerakan Tanah Sangat Rendah


Daerah yang mempunyai tingkat kerentanan sangat rendah untuk terkena
gerakan tanah. Pada zona ini jarang atau hampir tidak pernah terjadi gerakan
tanah, baik gerakan tanah lama maupun gerakan tanah baru, kecuali pada
daerah tidak luas pada tebing sungai.

Zona Kerentanan Gerakan Tanah Rendah


Daerah yang mempunyai tingkat kerentanan rendah untuk terkena gerakan
tanah. Umumnya pada zona ini jarang terjadi gerakan tanah jika tidak
mengalami ganggunan pada lereng, dan jika terdapat gerakan tanah lama,
lereng telah mantap kembali. Gerakan tanah berdimensi kecil mungkin
dapat terjadi, terutama pada tebing lembah (alur) sungai.

Zona Kerentanan Gerakan Tanah Menengah


Zone of Moderate susceptibility to landslide Daerah yang mempunyai
tingkat kerentanan menengah untuk terkena gerakan tanah. Pada zona ini
dapat terjadi gerakan tanah terutama pada daerah yang berbatasan dengan
lembah sungai, gawir, tebing jalan atau jika lereng mengalami gangguan.
Gerakan tanah lama dapat aktif kembali akibat curah hujan yang tinggi dan
erosi kuat.

Zona Kerentanan Gerakan Tanah Tinggi


Daerah yang mempunyai tingkat keremanan tinggi untuk terkena gerakan
tanah. Pada zona sering terjadi gerakan tanah, sedangkan gerakan tanah
lama dan gerakan tanah baru masih aktif bergerak, akibat curah hujan yang
tinggi dan erosi yang kuat.

Epidemiologi Tanah Longsor | 15

2. Besaran Masalah
Bencana tanah longsor di Indonesia banyak terjadi di daerah yang
memiliki derajat kemiringan lereng tinggi. Bencana ini umumnya terjadi
pada saat curah hujan tinggi. Berdasarkan catatan kejadian bencana, daerah
yang sangat rawan terjadi bencana longsor adalah sepanjang pegunungan
Bukit Barisan di Sumatera dan pegunungan di Jawa dan Sulawesi dan di
Nusa Tenggara. Longsor yang menimbulkan korban juga terkadang terjadi
di terowongan atau sumur pengeboran di areal pertambangan. Tanah longsor
juga terjadi setiap tahun terutama di daerah-daerah yang tanahnya tidak
stabil seperti di Jawa Barat dan Jawa Tengah (Rencana Aksi Nasional
Pengurangan Risiko Bencana 2006-2009).
Hampir sebagian besar tanah di daerah tropis bersifat mudah
longsor karena tingkat pelapukan batuan di daerah ini sangat tinggi dan
komposisi tanah secara fisik didominasi oleh material lepas dan berlapis
serta potensial longsor. Kestabilan tanah ini sangat dipengaruhi oleh
kerusakan hutan penyangga yang ada di Indonesia. Karena banyaknya
penebangan di hutan penyangga, wilayah rawan bencana longsor di
Indonesia semakin bertambah. Sebagai contoh, Jawa Barat pada tahun 1990
masih memiliki hutan seluas 791.519 hektar (sekitar 22 persen dari seluruh
luas provinsi ini), tetapi pada tahun 2002 tercatat tinggal 323.802 hektar
(sekitar 9 persen dari luas seluruh Jawa Barat). Tidak mengherankan bila di
provinsi ini banyak terjadi bencana longsor (Rencana Aksi Nasional
Pengurangan Risiko Bencana 2006-2009).
Setidaknya terdapat 918 lokasi rawan longsor di Indonesia. Setiap
tahunnya kerugian yang ditanggung akibat bencana tanah longsor sekitar Rp
800 miliar, sedangkan jiwa yang terancam sekitar 1 juta (Nandi, 2007).
Daerah yang memiliki rawan longsor :
a.
Jawa Tengah 327 Lokasi
b.

Jawa Barat 276 Lokasi

c.

Sumatera Barat 100 Lokasi

d.

Sumatera Utara 53 Lokasi

e.

Yogyakarta 30 Lokasi

f.

Kalimantan Barat 23 Lokasi


Epidemiologi Tanah Longsor | 16

g.

Sisanya tersebar di NTT, Riau, Kalimantan Timur, Bali, dan


Jawa Timur.

Daftar Kejadian dan Korban Bencana Tanah Longsor 2003-2005


No.

Propinsi

Jumlah
Kejadian

Korban Jiwa
MD

LL

RH

RR

RT

LPR
(ha)

JL
(m)

1. Jawa Barat

77

166

108

198

1751

2290

140

705

2. Jawa Tenah

15

17

31

22

200

75

3. Jawa Timur

27

70

4.

Sumatera
Barat

63

25

16

14

540

60

5.

Sumatera
Utara

126

40

80

6.

Sulawesi
Selatan

33

10

103

411

149

256

1854

2498

751

920

7. Papua
Jumlah

Keterangan :
MD

: Meninggal dunia

BLR

: Bangunan lainnya rusak

ML

: Luka - luka

BLH

: Bangunan lainnya hancur

RR

: Rumah rusak

LPR

RH

: Rumah hancur

RT

: Rumah terancam

Lahan

petanian

rusak

(dalam hektar)
JL

: Jalan terputus

Epidemiologi Tanah Longsor | 17

Tampak bahwa kejadian bencana dan jumlah korban bencana tanah


longsor di Propinsi Jawa Barat lebih besar dibandingkan dengan propinsi
lainnya. Hal demikian disebabkan oleh faktor geologi, morfologi, curah
hujan, dan jumlah penduduk serta kegiatannya (Nandi, 2007).

B.

Tahap Pengungsian
Tahap pengungsian yang dapat dilakukan dalam menghadapi bencana
tanah longsor adalah (Yayasan IDEP, 2004).
1. Peringatan Bahaya
Peringatan bahaya merupakan hal pertama yang bisa dilakukan
oleh siapa saja yang mengetahui terjadinya bencana. Peringatan ini bisa
menggunakan alat atau model komunikasi yang sudah biasa dikenal oleh
masyarakat setempat. Alat komunikasi seperti: kentongan, bedug dan
lainnya merupakan alat yang sangat membantu.
2. Informasi yang Perlu Disampaikan Pada Masyarakat
a. Tentang bencana (jenis bencana)
b. Besarnya bencana
c. Kapan kemungkinan terjadi
3. Transportasi
Menyediakan transportasi yang ada dan pendukungnya seperti :
supir, bahan bakar. Urutan pengungsian adalah : anak-anak, orang tua,
korban terluka, orang cacat, wanita dan pria.

4. Saat Dilokasi Pengungsian


Yang perlu dipertimbangkan adalah:
a. Perawatan dan pertolongan bagi yang terluka
b. Mendirikan tempat perlindungan dan dapur umum
c. Membentuk pos-pos bantuan kemanusiaan
d. Mencatat semua data korban, yang selamat, terluka dan meninggal
e. Mengatur bantuan yang diterima
f. Menghubungi pihak-pihak bantuan dari luar

C.

Upaya Pencegahan
Upaya pencegahan yang dilakukan untuk bencana tanah longsor (Iwan
Setiawan, 2008).
1. Pencegahan Tingkat Pertama
a. Melarang pembangunan rumah pada lokasi yang rawan longsor, terutama
pada lereng dan kaki bukit
b. Memperkuat kestabilan tanah dengan pohon-pohon yang akarnya dapat
mengikat tanah secara kuat
c. Tidak menebang atau merusak hutan
d. Melakukan penanaman pada daerah-daerah yang gundul
e. Pembangunan tembok-tembok penahan untuk memperkuat lereng pada
lokasi rawan longsor
f. Memberikan penyuluhan pada masyarakat yang tinggal di wilayah
longsor tentang cara menghindari bencana longsor.
2. Pencegahan Tingkat Kedua

Yang harus dilakukan dalam tahap ini adalah penyelamatan dan pertolongan
korban secepatnya supaya korban tidak bertambah. Secara operasional, pada
tahap ini diarahkan pada kegiatan :

a. Penanganan korban bencana termasuk mengubur koban meninggal dan


menangani korban yang luka-luka.
b. Penanganan pengungsian
c. Pemberian bantuan darurat
d. Pelayanan kesehatan, sanitasi, dan air bersih
e. Penyiapan penampungan sementara
f. Pembangunan fasilitas sosial dan fasilitas umum sementara serta
memperbaiki sarana dan prasarana dasar agar mampu memberikan
pelayanan yang memadai untuk para korban.

3. Pencegahan Tingkat Ketiga

a. Rehabilitasi
Upaya pemulihan korban dan prasarananya, meliputi kondisi sosial,
ekonomi, dan sarana transportasi. Selain itu dikaji juga perkembangan
tanah longsor dan teknik pengendaliannya supaya tanah longsor tidak
berkembang dan penentuan relokasi korban tanah longsor bila tanah
longsor sulit dikendalikan.
b. Rekonstruksi
Penguatan bangunan-bangunan infrastruktur di daerah rawan longsor tidak
menjadi pertimbangan utama untuk mitigasi kerusakan yang disebabkan
oleh tanah longsor, karena kerentanan untuk bangunan-bangunan yang
dibangun pada jalur tanah longsor hampir 100%. Ada beberapa tindakan,
perlindungan dan perbaikan yang bisa ditambah untuk tempat-tempat
hunian antara lain :
1) Perbaikan drainase tanah (menambah materi-materi yang bisa
menyerap)
2) Modifikasi lereng (pengurangan sudut lereng sebelum pembangunan)

3) Vegetasi kembali lereng-lereng dan beton-beton yang menahan tembok


mungkin bisa menstabilkan hunian.
D.

Prinsip Penanggulangan
Penanggulangan

bencana

alam

bertujuan

untuk

melindungi

masyarakat dari bencana alam dan dampak yang ditimbulkannya. Karena itu,
dalam penanggulangan harus memperhatikan prinsip-prinsip penanggulangan
bencana alam(Iwan Setiawan, 2008).
Dalam Undang-Undang No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, disebutkan sejumlah prinsip penanggulangan, yaitu :
1. Cepat dan Tepat
Yang dimaksudkan dengan prinsip cepat dan tepat adalah bahwa dalam
penanggulangan benacana harus dilaksanakan secara cepat dan tepat sesuai
dengan tuntutan keadaan. Keterlambatan dalam penanggulangan akan
bnerdampak pada tingginya kerugian material maupun korban jiwa.
2. Prioritas
Yang dimaksud dengan prinsip prioritas adalah bahwa apabila terjadi
bencana, kegiatan penanggulangan harus mendapat prioritas dan diutamakan
pada kegiatan penyelamatan jiwa manusia.
3. Koordinasi dan Keterpaduan
Yang dimaksud dengan prinsip koordinasi adalah bahwa penaggulangan
bencana didasarkan pada koordinasi yang baik dan saling mendukung. Yang
dimaksud dengan prinsip keterpaduan adalah bahwa penanggulangan
bencana dilakukan oleh berbagai sektor secara terpadu yang didasarkan
pada kerja sama yang baik dan saling mendukung.
4. Berdaya Guna da Berhasil Guna
Yang dimaksud dengan prinsip berdaya guna adalah bahwa dalam
mengatasi kesulitan masyarakat dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan
biaya yang berlebiahn. Yang dimaksud dengan prinsip berhasil guna
adalah bahwa kegiatan penanggulangan bencana harus berhasil guna,

khususnya dalam mengatasi kesulitan masyarakat denga tidak membuang


waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan.
5. Transparansi dan Akuntabilitas
Yang dimaksud dengan prinsip
penanggulangan

bencana

dilakukan

transparansi
secara

adalah

terbuka

dan

bahwa
dapat

dipertanggungjawabkan. Yang dimaksud dengan prinsip akuntabilitas


adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan secar terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum.
6. Kemitraan
Penanggulangan bancana tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah.
Keemitraan dalam penanggulangan bencana dilakukan antara pemerintah
dengan masyarakat secra luas, termasuk lembaga swadaya masyarakat
(LSM) maupun dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan lainnya.
Bahkan, kemitraan juga dilakukan dengan organisasi atau lembaga di luar
negeri termasuk dengan pemerintahnya.
7. Pemberdayaan
Pemberdayaan berarti upaya meningkatkan kemampuan masyarakat untuk
mengetahui, memahami, dan melakukan langkah-langkah antisipasi,
penyelamatan, dan pemulihan bencana. Negara memiliki kewajiban untuk
memberdayakan masyarakat agar dapat mengurangi dampak dari bencana.
8. Nondiskriminatif
Yang dimaksud dengan prinsip nondiskriminatif adalah bahwa negara
dalam penanggulangan bencana tidak memberikan perlakuan yang berbeda
terhadap jenis kelamin, suku, agama, ras, dan aliran politik apapun.
9. Nonproletisi
Yang dimaksud dengan prinsip nonproletisi adalah bahwa dilarang
menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat bencana,
terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan darurat bencana.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tanah longsor atau dalam bahasa Inggris disebut Landslide, adalah
perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan,
tanah, atau material campuran tersebut, bergerak ke bawah atau keluar
lereng. Penyebab epidemiologi tanah longsor yaitu; hujan, lereng terjal,
tanah yang kurang padat dan tebal, batuan yang kurang kuat , jenis tata
lahan, getaran, susut muka air danau atau bendungan, adanya beban
tambahan, pengikisan/erosi, adanya material timbunan pada tebing, bekas
longsoran lama, adanya bidang diskontinuitas (bidang tidak sinambung),
penggundulan hutan, dan daerah pembuangan sampah. Adapun dampak
epidemiologi

tanah

longsor

terhadap

kesehatan

masyarakat

yaitu;

peningkatan morbiditas, tingginya angka kematian, masalah kesehatan


lingkungan, masalah suplai bahan makanan dan obat-obatan, serta
keterbatasan tenaga medik dan paramedis serta transportasi ke pusat

rujukan.
Hampir semua pulau utama di Indonesia memiliki beberapa kabupaten dan
kota yang rawan pergerakan tanah, kecuali Pulau Kalimantan yang hanya
memiliki dua kabupaten yang rawan, yakni Kabupaten Murung Raya di
Kalimantan Tengah dan Kabupaten Malinau di Kalimantan Timur. Daerah
yang memiliki relief morfologi kasar dengan lereng-lereng yang terjal
secara umum lebih rawan untuk terjadi gerakan tanah. Di samping itu,
kondisi batuan yang tidak kompak dan mudah mengalami degradasi
umumnya lebih mudah untuk terjadi gerakan tanah. Setidaknya terdapat 918
lokasi rawan longsor di Indonesia. Setiap tahunnya kerugian yang

ditanggung akibat bencana tanah longsor sekitar Rp 800 miliar, sedangkan

jiwa yang terancam sekitar 1 juta.


Adapun tahap pengungsian bencana tanah longsor yaitu; Peringatan Bahaya,
Informasi yang Perlu Disampaikan Pada Masyarakat, Transportasi, Saat

Dilokasi Pengungsian
Upaya pencegahan terjadinya bencana tanah lonsor yaitu; pencegahan
tingkat pertama (sebelum terjadinya tanah longsor), pencegahan tingkat
kedua (saat terjadinya tanah longsor), dan pencegahan tingkat ketiga

(setelah terjadinya tanah longsor).


Prinsip penanggulangan bencana tanah longsor yaitu; Koordinasi dan
Keterpaduan, Prioritas, Cepat dan Tepat, Berdaya Guna dan Berhasil Guna,
Transparansi

dan

Akuntabilitas,

Kemitraan,

Pemberdayaan,

Nondiskriminatif, Nonproletisi
B. Saran
Adapun saran yang diberikan untuk menghindari bencana tanah
longsor adalah :

Jangan mencetak sawah dan membuat kolam pada lereng bagian atas di

dekat pemukiman
Buatlah terasering (sengkedan)
Segera menutup retakan tanah dan dipadatkan agar air tidak masuk ke dalam

tanah melalui retakan


Jangan melakukan penggalian di bawah lereng terjal
Jangan menebang pohon di lereng
Jangan mendirikan permukiman di tepi lereng yang terjal
Jangan mendirikan bangunan di bawah tebing yang terjal
Jangan memotong tebing jalan menjadi tegak
Jangan mendirikan rumah di tepi sungai yang rawan erosi

Anda mungkin juga menyukai