Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
I.1 Latar belakang
Antioksidan adalah senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu atau lebih electron
kepada radikal bebas, sehingga radikal bebas tersebut dapat diredam. Fungsi utama antioksidan
digunakan sebagai upaya untuk memperkecil terjadinya proses oksidasi dari lemak dan minyak
memperkecil terjadinya proses kerusakan dalam makanan, memperpanjang masa pemakaian
dalam industry makanan, meningkatkan stabilitas lemak yangterkandung dalam makanan serta
mencegah hilangnya kualitas sensori dan nutrisi. Lipid peroksidasi merupakan salah satu factor
yang cukup berperan dalam kerusakan selama penyimpanan dan pengolahan makanan(Winarsi,
2007).
Antioksidan terbagi menjadi antioksidan enzim dan vitamin. Antioksidan enzim meliputi
superoksida dismutase (SOD)katalase dan glutation peroksidase (GSH.Prx). Antioksidan vitamin
lebih popular sebagai antioksidan dibandingkan enzim. Antioksidan vitamin mencakup alfa
tokoferol (vitamin E), betakaroten dan asam askorbat (vitamin C) yang banyak didpatkan dari
tanaman dan hewan. Sebagai antioksidan betakaroten adalah sumber utama vitamin A yang
sebagian besar terdapat pada tumbuhan. Selain melindungi buah-buahan dan sayuran berwarna
kuning atau hijau gelap dari bahaya radiasi matahari, betakaroten juga berperan serupa dalam
tubuh manusia(Winarsi, 2007).
Tubuh manusia menghasilkan senyawa antioksidan, tetapi jumlahnya sering kali tidak
cukup untuk menetralkan radikal bebas yang masuk ke dalam tubuh. Sebagai contoh, tubuh
manusia dapat menghasilkan glutathione, salah satu antioksidan yang sangat kuat, hanya tubuh

memerlukan asupan vitamin C sebesar 1000 mg untuk memicu tubuh menghasilkan glutathione
ini. Kekurangan antioksidan dalam tubuh membutuhkan asupan dari luar. Bila mulai menerapkan
pola hidup sebagai vegetarian akan sangat membantu dalam mengurangi resiko keracunan akibat
radikal bebas. Keseimbangan antara antioksidan dan radikal bebas menjadi kunci utama
pencegahan stress oksidatif dan penyakit-penyakit yang dihasilkan(Winarsi, 2007).
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan digolongkan menjadi 3 kelompok, yaitu
antioksidan primer (antioksidan endogenesus) yang bekerja dengan cara mencegah pembentukan
senyawa radikal bebas baru, atau mengubah radikal bebas yang telah terbentuk menjadi molekul
yang kurang reaktif, antioksidan sekunder ( antioksidan eksogenesus ) yang bekerja dengan cara
memotong reaksi oksidasi berantai dari radikal bebas atau dengan cara menangkapnya sehingga
radikal bebas tidak akan bereaksi dengan komponen seluler, dan antioksidan tersier meliputi
sistem enzim DNA-repair dan metionin sulfoksida reduktase, enzim ini berfungsi dalam
perbaikan biomolekuler yang rusak akibat reaktivitas radikal bebas(Winarsi, 2007).
Referat ini menitik beratkan pada salah satu antioksidan endogeneus yaitu glutathion
peroksidase terutama dalam hubungannya dengan penyembuhan penyakit saraf.

BAB II
ISI
2.1 Pengertian
Glutation peroksidase (GSH-Px) adalah enzim antioksidan yang mengandung selenium
pada sisi aktifnya. Kerja enzim ini mengubah molekul hidrogen peroksida (yang dihasilkan SOD
dalm sitosol dan mitokondria )dan berbagai hidro serat lipid peroksida menjadi air.

Glutation peroksidase adalah enzim intraseluler yang terdispersi dalam sitoplasma,


namun aktivitasnya juga ditemukan dalam mitokondria. Glutation peroksidase extraseluler
(secara genetik bebeda dari bentuk intraseluler) terdeteksi dalam berbagai jaringan. Nilai Km
(Michaelis Constant) enzim tersebut lebih rendah dibandingankan dengan katalase,tetapi
keberadaannya penting.
Glutation adalah suatu tripeptida thiol yang terdiri atas asam glutamat, sistein, dan glisin.
Ia dapat ditemukan pada hewan, tumbuhan, dan mikroorganisme. Glutation bersifat larut air
sehingga utamanya terdapat di dalam sitosol sel dan cairan tubuh lainnya. Jumlah glutation
dalam suatu sel dapat mencapai beberapa milimol, menjadikannya salah satu antioksidan
intraselular terbanyak. Glutation membantu melindungi sel dengan cara bertindak sebagai
antioksidan. Contohnya, H2O2 endogenik direduksi oleh GSH dengan bantuan GSH
peroksidase. Selain itu, ia juga bersifat antitoksin dan merupakan kofaktor enzim.1

2.2 Sifat Fisika Kimia

Glutathione peroksidase (GPx) adalah protein dengan bentuk tetramer. Mempunyai berat
molekul sebesar 85.000 D. Enzim ini mengandung 4 atom selenium yang terikat sebagai
selenocysteine. Selenium yang mengandung enzim glutathione peroksidase terdiri dari empat
jenis, yaitu seluler glutathione peroksidase (GPx-1), gastrointestinal glutathione peroksidase
(GPx-2), ekstraseluler glutathione peroksidase (GPx-3) dan phospholipid hydroperoksidase
(GPx-4).
Dalam sel, glutation mempunyai dua bentuk: (1) glutation tereduksi, yang secara
konvensional disebut glutation saja (disingkat GSH), dan (2) glutation teroksidasi, yang dikenal
dengan glutation disulfida (disingkat GSSG). Kadar GSH dan GSSG diregulasi secara ketat
sehingga rasio GSSG/GSH dapat menjadi tanda (indikator sensitif) adanya abnormalitas dalam
sel, yaitu fenomena stres oksidatif. Sel yang sehat mempunyai kadar GSSG yang tidak lebih dari
10% (1,5%) dari kadar glutation total. Kadar GSH yang rendah dapat menyebabkan apoptosis
dan diduga terlibat dalam banyak penyakit neurodegeneratif.1 Glutation peroksidase
berkompetisi dengan katalase untuk menghancurkan Hydrogenperoksida. Glutation peroksida

menghancurkan hidrogenperoksida pada konsentrasi rendah (10-6) dimana konsentrasi glutation


berkisar 10-4 sampai 10-3 sedangkan katalase bekerja pada hidrogenperoksida dengan
konsentrasi tinggi (Olinescu,2002)
Kadar GSH diatur oleh keseimbangan sintesis (enzim GSH sintetase), metabolisme (daur
ulang GSH dari GSSG dengan enzim GSH reduktase), dan penggunaannya (peroksidase,
transferase, transhidrogenase, dan transpeptidase) dalam sel. Pertama, sistein dan glutamat
bereaksi dengan bantuan gamma-glutamilsistein sintetase menjadi gamma-glutamilsistein. Proses
ini bersifat rate-limiting karena bioavailabilitas sistein yang terbatas (jarang terdapat dalam
makanan sehingga didapat dari degradasi protein lainnya). Proses selanjutnya adalah sintesis
GSH dari penambahan glisin pada gamma-glutamilsistein dengan bantuan GSH sintetase.2
Mekanisme Kerja Glutathion Peroksidase
Enzim glutathione peroksidase membantu mencegah kerusakan sel yang disebabkan oleh
radikal bebas dengan cara mengkatalisa berbagai hidroperoksida. Glutathione peroksidase
mereduksi H2O2 menjadi H2O dan glutathione disulfide (GSSG) dengan bantuan glutathione
tereduksi (GSH).
Glutation peroksidase intraseluler berpotensi mengubah molekul hidrogen peroksida
dengan cara mengoksidasi glutation bentuk tereduksi (GSH)menjadi bentuk teroksidasi (GSSG).
Glutation bentuk tereduksimencegah lipid membran dan unsur-unsur sel lainnya dari kerusakan
oksidasi, dengan cara merusak molekul hidrogen peroksida dan lipid hidroperoksida.
Beauvieaux,et al (1996) melaporkan bahwa enzim glutation peroksidase mendekomposisikan
H202 lebih kuat dibandingan dengan enzim katalase.

Peran GSH sebagai antioksidan: Jumlah ROS yang berlebihan, misalnya H2O2 dan O2-,
bersifat toksik terhadap sel karena dapat merusak DNA, protein, dan membran lipid. Oleh karena
itu, regulasi metabolisme dan scavenging radikal bebas tersebut dijaga sangat ketat oleh sel.
GSH peroksidase (GPx) bersama dengan katalase dan superoksida dismutase (SOD) berfungsi
untuk melindungi sel dari kerusakan akibat ROS. GPx mereduksi peroksida dan peroksida
organik lainnya (R-OOH) menjadi alkohol stabil dengan GSH bertindak sebagai reduktor, yang
produk akhirnya menghasilkan GSSG (karena GSH teroksidasi). Reduksi GSSG menjadi GSH

kembali dikatalisis oleh GSH reduktase (GR) dengan bantuan NADPH sebagai reduktor.
Peningkatan GPx dipicu oleh stres oksidatif.3
Fungsi GSH lainnya, antara lain:
menjaga suplai antioksidan eksogen seperti vitamin C dan E dalam bentuk aktifnya
meregulasi siklus asam nitrat
mengikat banyak xenobiotik inorganik dan organik dan senyawa karsinogenik.
Contoh: logam berat merkuri dan arsen
sintesis dan pemeliharaan protein (menjaga ikatan disulfida dalam protein) dan
prostaglandin
sintesis dan repair DNA
aktivasi enzim
transpor asam amino melewati membran sel3
Selenium adalah mineral kelumid yang penting untuk sintesis protein dan aktivitas enzim
glutation peroksidase. Defisiensi Se pada manusia dapat menyebabkan nekrosis hati dan penyakit
degeneratif. Kondisi hiperoksia juga meningkatkan kadar glutation perosidase dan aktivitasnya
pada paru-paru tikus. Aktivitas glutation peroksidase memerlukan glutation sebagai co-substrat
dan enzim glutation reduktase untuk merestorasi glutaion teroksidasi menjadi bentuk tereduksi
suplementasi selenium 100mg/hari selama 14 hari juga menurunkan kadar MDA setelah
berolahraga (Dragan et al.,1991
Mekanisme Glutation bergantung Glikolosis
Glutation peroksidase bekerja erat hubungannya dengan proses metabolik yang
bergantung pada Glikolosis. Bentuk dari Glutation teroksidasi merupakan indeks dari stres
oksidatif pada tingkat seluler. Glutation teroksidasi juga menghambat kerja dari katalase

sehingga harus hilangkan keberadaanya. Sehingga glutation peroksidase juga berpengaruh pada
Jalur HMP-Shunt (Olinescu,2002).

Sumber GSH-Px
Enzim ini diduga tidak terdapat dalam tanaman tingkat tinggi , namun akhir-akhir ini
dilaporkan adanya glutation peroksidase dalam sel yang dikultur contohnya pada Nicotiana
sylvestris ( Drotar,et al.,1985).

Peran Glutation peroksida ( GSH-Px)


Glutation peroksidase sebagai enzim antioksidan bekerja sebagai peredam (quenching)
radikal bebas dan mengeliminasi berbagai hidroperoksida. (Fridovich,et al,1998). Glutation
peroksidase juga berperan dalam metabolisme xenobiotik dan sintesis leukotrien,yang ditemukan
dalam kadar milimolar dalam sel. Logam Se dalam glutation peroksidase berfungsi sebagai
kataliti pada bagian aktifnya, kemudian , memusnahkan H202. Enzim tersebut juga dapat
menyingkirkan lipid peroksida dalam membran sel.

Enzim glutation peroksidase berperan penting dalam melindungi sel,melalui reaksi


seperti di atas maupun melalui peroksida organik yang terbentuk dalam oksidasi kolesterol dan
asam lemak. Aktivitas enzim peroksidase mampu mereduksi 70% peroksida organik dan lebih
dari 90% H2O2. Selain itu Glutation peroksida beperan dalam pembentukan dari prostaglandin,
tromboxan, dan leukotrien.

Glutation peroksida mempunyai peran dalam biosintesis dari prostaglandin oleh produksi
regulasi dari endoperoksida PGG2 (KM=12 mikrometer) dan PGH2 (Km=77 mikrometer). Ia
juga meregulasi biosintesis prostaglandin oleh katalisasi pembentukan dari lekotrien
HPETE,HETE.dan THETE. Selain itu juga meregulasikan pembentukan dari 15-HEPETE,kunci

intermediet pada biosintesis dari prostaglandin dan tromboxan. Semua regulasi atau aksi dari
Glutation peroksidase untuk sintesis prostaglandin sangat penting pada peristiwa kekurangan
selenium, kemunculan lesi pada vascular endhotelium,dan agregasi platelet (Olinescu,2002).

Sifat GSH-Px
Dalam hepar dan sel darah merah terdapat glutation peroksidase pada konsentrasi tinggi,
sedangkan jantung,ginjal,paru-paru,adrenal,lambung,dan jaringan adiposa mengandung enzim
glutation peroksidase dalam kadar sedang. Glutation peroksidase kadarrendah sering ditemukan
dalam otak,otot,testis,dan lensa mata.
Enzim glutation peroksidase yang ditemukan dalam sitoplasma merupakan tetramer,dan
mengandung selenosistein pada sisi aktifnya. Enzim ini bersifat nukleofilik, yang sangat mudah
terionsasi danmengakibatkan terlepasnya proton.
Aktvitas enzim glutation peroksidase juga ditemukan dalam mitokondria, plasma,dan
saluran pencernaan. Dalam sitoplasma enzim ini bekerja pada membran fosfolipid yang
teroksidasi sehingga dikenal juga sebagai hydroperoxside glutathion peroxidase. Enzim glutation
peroksidase juga dapat langsung mereduksi hidroperoksida kolesterol, ester kolesterol,
lipoprotein, dan fosfolipid yang teroksidasi dalam membran sel. Aktivitas enzim tersebut dapat
juga diinduksi oleh keadaan hiperoksia (Asikin,2001).

Antioksidan dan manfaatnya pada beberapa penyakit


Individu yang mengkonsumsi asupan tinggi buah-buahan dan sayuran (yaitu, lima atau
lebih porsi per hari) secara konsisten telah mengurangi risiko kanker dan penyakit kronis lainnya,

Berikut ini adalah ringkasan tentang manfaat dari asupan antioksidan yang tinggi dari makanan:
14

1. Kanker
Mereka dengan asupan antioksidan yang rendah sekitar 25% akan memiliki dua
kali lipat risiko kanker pada paru-paru, kepala dan leher, perut, pankreas, kandung kemih,
dan leher rahim. Daerah yang terkena adalah payudara (mengurangi 30% risiko), ovarium
/ endometrium, dan prostate. 14
Terdapat penelitian yang mengatakan, bahwa pemberian antioksidan eksogen
dapat mengurangi resiko terjadinya kanker, seperti kanker payudara. bahkan pemberian
antioksidan eksogen bersamaan dengan kemoterapi untuk kanker dapat membantu
mengurangi efek samping yang ditimbulkan. Hasil yang didapatkan antioksidan
bersamaan dengan kemoterapi dan radiasi sinergis. Kecuali untuk tiga interaksi tertentu
diuraikan di atas (flavonoid dengan tamoxifen, NAC dengan doxorubicin, dan betakaroten dengan 5-fluorourasil), tidak ada bukti sampai saat ini menunjukkan bahwa
antioksidan alami mengganggu terapi kanker konvensional in vivo. Penelitian telah
menunjukkan pasien diobati dengan antioksidan, dengan atau tanpa kemoterapi dan
radiasi, memiliki banyak manfaat. Pasien telah dicatat untuk mentolerir standar
pengobatan yang lebih baik, mengalami penurunan berat badan, memiliki kualitas hidup
yang lebih baik, dan yang paling penting, hidup lebih lama daripada pasien yang tidak
menerima suplemen. Antioksidan dapat mengurangi atau mencegah beberapa efek
samping, dan untuk beberapa suplemen memberi efek perlindungan diluar aktifitas sifat
antioksidan mereka. Namun, efek samping tertentu seperti alopecia dan myelosupresi,

tidak dapat dicegah oleh antioksidan, dan agen yang mengganggu efek samping juga
dapat mengganggu efek antikanker kemoterapi. 2,3, 5
2. Jantung
Terkait penyakit termasuk stroke, hipertensi, penyakit jantung iskemik penyakit
jantung koroner, dan penyakit jantung rematik, dan sindrom metabolik: Tingginya asupan
buah dan sayuran berhubungan dengan 30% rendahnya risiko. Risiko tingginya tekanan
darah berkurang sebesar 40% dengan asupan tinggi makanan nabati (biji-bijian, buahbuahan, sayuran) ditambah dengan asupan rendah daging.14
Hal ini didukung oleh data dari berbagai penelitian menunjukkan efek
menguntungkan dari tambahan vitamin C, E, dan beta karoten secara signifikan
mengurangi kejadian koroner, cedera reperfusi, agregasi platelet, dan low-density
lipoprotein (LDL) oksidasi. Dua skala besar studi epidemiologi dari pria dan wanita
menunjukkan konsumsi vitamin E pada tingkat yang lebih besar dari 100 IU per hari
dikaitkan dengan kejadian penurunan penyakit arteri koroner. Dalam Studi Nurses
'Health, wanita yang mengkonsumsi lebih dari 3 kali rekomendasi asupan harian vitamin
E memiliki risiko 34% lebih rendah serangan jantung daripada wanita yang
mengkonsumsi jumlah yang lebih kecil. Hasil yang sama ditemukan dalam Studi
Kesehatan Profesional yang melibatkan laki-laki.21

3. Diabetes
Tingginya kadar beta-karoten dalam darah berhubungan dengan berkurangnya
resistensi insulin, dan rendahnya risiko diabetes tipe 2 dan penyakit kardiovaskular
(CVD) . 14
4. Katarak
Makan lebih sedikit dari 3,5 porsi buah dan sayuran meningkatkan risiko katarak
kortikal lima kali, dan katarak subcapsular posterior 13 kali. 14
5. Usia berkaitan dengan degenerasi macula (AMD)
Asupan tinggi lutein dan zeaxanthin mengurangi risiko. Hal ini juga didukung
oleh penelitian yang dilakukan oleh Leeuwen, et al. dengan hasil asupan makanan tinggi
beta karoten, vitamin C dan E, dan seng berkaitan dengan berkurangnya risiko substansial
AMD pada orang tua. 14,17
6. Obesitas
Peningkatan asupan makanan dengan rendah energi (terutama buah-buahan dan
sayuran) mengakibatkan penurunan berat badan dan mengendalikan rasa lapar. 14
7. Atlet
Penelitian tambahan masih diperlukan untuk menetapkan apakah suplemen
antioksidan bermanfaat atau berbahaya bagi atlet. Saat ini, bukti ilmiah yang ada terbatas
untuk merekomendasikan suplemen antioksidan untuk atlet atau individu aktif secara
fisik lainnya. Bahkan, bukti saat ini menunjukkan bahwa atlet harus berhati-hati ketika
mempertimbangkan suplemen dengan dosis tinggi antioksidan yang dapat mengganggu
keseimbangan redoks sel otot. 1
8. SLE
Kerusakan radikal bebas memainkan peran penting dalam patogenesis dari SLE.
Beberapa penelitian menyarankan suplementasi antioksidan dapat meningkatkan status
penyakit pasien SLE. Tingginya kadar peroksidase lipid ditemukan pada pasien SLE
dibandingkan dengan pasien kontrol sehat dan rendahnya tingkat antioksidan yang
ditemukan dalam serum pasien SLE. Comstock menemukan bahwa antioksidan alpha-

tokoferol, beta karoten, dan retinol lebih rendah pada pasien dengan SLE, serta RA,
menunjukkan kerusakan akibat radikal bebas merupakan komponen penting dari proses
penyakit inflamasi. Ini juga menunjukkan RA dan SLE pasien mungkin memerlukan
suplemen tambahan antioksidan, seperti vitamin A dan E, dan beta karoten. 15
Penelitian telah dilakukan pada hewan coba, dan didapatkan hasil. Hewan
Pengerat dengan BMR / LPR (kelainan limfoproliferatif mirip dengan SLE) yang diberi
lima kali seminggu dengan campuran 40 beta karoten mcg, 200 mcg alfa tokoferil asetat,
400 mcg vitamin C, dan 0,132 mcg selenium dalam minyak dan dibandingkan dengan
kontrol kelompok tikus yang kekurangan vitamin E. Kelompok studi menunjukkan
penurunan

anti-double

stranded

DNA

(anti-dsDNA)

titer

serta

penurunan

lymphoproliferation. Hal ini menunjukkan antioksidan mungkin bermanfaat dalam


pengobatan lupus. Sebuah studi tambahan pada tikus menemukan bahwa suplemen
selenium di empat bagian per juta dalam air minum meningkatkan aktivitas sel pembunuh
alami dan tingkat kelangsungan hidup tikus dengan lupus. Tikus dengan suplementasi
rendah atau tidak selenium menunjukkan efek ini dan akibatnya memiliki periode hidup
lebih pendek. 15
9. Preeklampsia
Stres oksidatif telah terlibat dalam patofisiologi pre-eklampsia. Penelitian telah
dilakukan (Chappell, et al)

dengan melakukan uji coba terkontrol secara acak

menyelidiki efek suplementasi dengan vitamin C dan E pada wanita meningkatkan risiko
gangguan pada penanda plasma aktivasi endotel vaskular dan insufisiensi plasenta dan
terjadinya pre-eklampsia. Dan didapatkan hasil berupa suplementasi dengan vitamin C
dan E mungkin bermanfaat dalam pencegahan pre-eklampsia pada wanita dengan risiko
tinggi terkena penyakit. Namun, masih perlu dilakukan percobaan multisenter untuk

menunjukkan apakah suplementasi vitamin mempengaruhi terjadinya pre-eklampsia pada


perempuan dengan risiko rendah dan untuk mengkonfirmasi hasil kami dalam kelompok
yang lebih besar dari wanita berisiko tinggi dari populasi yang berbeda. 16
10. Penyakit Parkinson
Penyakit Parkinson (PD) ditandai adanya degenerasi dari neuron yang
memproduksi dopamin di area kecil dari sel-sel di otak tengah yang dikenal sebagai
substantia nigra, yang menghasilkan penurunan ketersediaan dopamin. Terdapat
penelitian yang mendukung penyebab potensial terjadinya parkinson dengan teori yang
paling umum, yaitu bahwa PD berasal dari radikal bebas yang dimediasi degenerasi sel
yang memproduksi dopamin dan kerusakan oksidatif dopamin. 20
Karena radikal bebas telah terlibat dalam PD, pada prinsipnya diperlukan
pemberian antioksidan, mengurangi risiko degenerasi neuron dopamin dan oksidasi.
Penelitian secara in vitro mendukung teori bahwa vitamin C dan E menekan kerusakan
oksidatif dopamin. Beberapa penelitian epidemiologi manusia menunjukkan bahwa orang
yang makan lebih banyak makanan kaya antioksidan mungkin memiliki risiko lebih
rendah terserang PD. Sebuah studi kasus-kontrol dari 81 pasien yang dilakukan di
departemen neurologi di Universitas Kedokteran dan Kedokteran Gigi New Jersey, New
Brunswick, menemukan rendahnya asupan vitamin E pada awal kehidupan dikaitkan
dengan risiko lebih tinggi PD. 20
Intinya adalah bahwa antioksidan dapat melindungi terhadap PD, tetapi jumlah
yang diperlukan baik dalam makanan atau melalui suplemen tidak diketahui dengan jelas
jumlahnya untuk menarik kesimpulan yang signifikan. 20
11. Alzheimer
Stres oksidatif dapat berkontribusi pada patogenesis penyakit Alzheimer.
Engelhart, et al. melakukan penelitian dengan peserta yang rata-rata usia 55 tahun.
Dimana otak pasien dengan penyakit Alzheimer mengandung lesi yang biasanya

dikaitkan dengan paparan radikal bebas. Selain itu, stres oksidatif dalam otak pasien
Alzheimer ditandai dengan tingkat serebral peningkatan antioksidan endogen yang
mengikat radikal bebas. Selain itu, dalam penelitian in vitro menunjukkan bahwa
antioksidan eksogen mengurangi toksisitas -amyloid dalam otak pasien Alzheimer.
Dalam penelitian lain mengatakan antioksidan dapat menurunkan tingkat stres oksidatif
di otak. Antioksidan dengan demikian dapat mengurangi jumlah kerusakan DNA,
kematian sel neuron, dan agregasi -amyloid dalam otak. Dan Didapatkan hasil bahwa
asupan makanan tinggi vitamin C dan vitamin E dapat menurunkan risiko penyakit
Alzheimer. 18
12. Penyakit autoimun
Selama penuaan, perubahan dalam sistem kekebalan tubuh sering terjadi dan
berhubungan dengan peningkatan kerentanan terhadap infeksi. Antioksidan eksogen
bermanfaat untuk menjaga respon imun secara efektif. Sebagai contoh, pemberian
suplemen vitamin E pada pasien lanjut usia yang sehat menghasilkan titer antibodi yang
meningkat untuk hepatitis B dan vaksin tetanus, sehingga meningkatkan mediasi sel Tfungsi. Kesimpulannya, menjaga status antioksidan yang memadai dapat memberikan
manfaat dalam cedera sel dan disfungsi diamati di beberapa gangguan inflamasi /
autoimun. 7
Stres oksidatif dalam regulasi / disregulasi dari sistem kekebalan tubuh, sehingga
penggunaan antioksidan pada penyakit tersebut telah diusulkan. Rheumatoid arthritis
(RA) adalah contoh klasik dari penyakit autoimun. Peradangan sendi pada rheumatoid
arthritis (RA) ditandai dengan invasi sel T di ruang sinovial dan pengaktifan proliferasi
makrofag dan fibroblas dalam intima sinovial. Oleh karena itu, pada sendi rematik ada
peningkatan aktivitas fibroblast dan leukosit yang menghasilkan ROS. Baru-baru ini,
antioksidan telah berhasil digunakan sebagai terapi adjuvant pada RA. Meskipun hasil

yang diperoleh dengan RA tampaknya sangat menjanjikan, namun penggunaan


sembarangan antioksidan pada gangguan autoimun tidak dianjurkan. Bahkan, sindrom
limfoproliferatif autoimun (ALPS), MS, tipe 1 diabetes dan sindrom autoimun ganda,
telah dikaitkan dengan fungsi Fas menurun dan, seperti yang dijabarkan sebelumnya,
antioksidan dapat meningkatkan regulasi Fas dan FasL in vitro. Meningkatkan bukti
memberikan dukungan bahwa stres oksidatif dan apoptosis yang erat kaitannya fenomena
fisiologis dan terlibat dalam penyakit termasuk penyakit autoimun. Oleh karena itu
molekul yang menargetkan baik apoptosis yang berhubungan dengan sinyal transduksi
dan stres oksidatif, seperti antioksidan, cenderung memperbaiki kelainan ini.7
13. Proses Penuaan Otak
Efek lain dari antioksidan eksogen adalah proses penuaan otak. Seperti penelitian
yang dilakukan oleh Perrig WJ, et al. (1998) mereka berpendapat bahwa penuaan otak
berhubungan denga adanya radikal bebas. Dan hipotesis mereka adalah bahwa kadar
vitamin antioksidan plasma berkorelasi dengan kinerja kognitif kesehatan usia tua. Dan
didapatkan hasil berupa ingatan, pengenalan, dan kosa kata berhubungan nyata dengan
asam askorbat dan beta-karoten. Dimana hasil ini menunjukkan peran penting yang
dimainkan oleh antioksidan dalam penuaan otak dan mungkin memiliki implikasi untuk
pencegahan gangguan kognitif secara progresif. 6
Tergantung pada usia dan kebutuhan kalori, pemerintah merekomendasikan untuk asupan
buah dan sayuran (setidaknya lima porsi per hari) dipenuhi oleh hanya 10% dari population.
Bahkan lebih mengganggu adalah bahwa ada beberapa bukti bahwa bahkan makan jumlah yang
disarankan mungkin tidak cukup untuk menawarkan pertahanan penuh dari antioksidan.
Oksidasi DNA secara signifikan terjadi ketika delapan sampai sepuluh porsi sehari buah-buahan
dan sayuran yang dikonsumsi dari sembilan keluarga. Sebaliknya, ketika jumlah yang sama porsi

buah dan sayuran yang dikonsumsi, tetapi dipilih dari keanekaragaman hayati yang lebih besar
(18 macam tanaman yang berbeda), DNA oksidasi berkurang. Kedua diet (9 dan 18 macam
tanaman yang berbeda) menawarkan perlindungan terhadap peroksidasi lipid, menunjukkan
bahwa delapan sampai sepuluh porsi buah dan sayuran mungkin cukup untuk fungsi itu.14
Berbeda dengan studi antioksidan menggunakan makanan, antioksidan dari suplemen diet
menghasilkan hasil yang beragam. Suplementasi vitamin D memiliki hasil yang paling
menjanjikan dalam mengurangi risiko kanker, dan untuk nutrisi lain (misalnya, vitamin C),
menurunkan risiko terjadinya katarak. Tambahan antioksidan untuk sebagian besar tidak
berpengaruh pada beberapa jenis kanker (prostat dan lesi mulut) dan penyakit kardiovaskular.
Selain itu, tidak terlihat manfaatnya untuk meningkatkan fungsi kognitif dengan vitamin E, atau
untuk mengurangi kejadian flu biasa dengan vitamin C. 14
Beberapa studi intervensi menggunakan suplemen antioksidan diet menunjukkan efek
samping. Perokok tampaknya sangat rentan terhadap peningkatan risiko kanker dari suplemen
beta-karoten. Elemen seperti selenium rentan terhadap masalah, karena mudah untuk terjadi
overdosis. Salah satu perusahaan secara tidak sengaja menambahkan 200 kali konsentrasi
berlabel selenium tiap tablet, yang mengakibatkan 201 melaporkan kejadian buruk. Selain itu,
suplemen antioksidan (vitamin C dan E) yang diambil selama aktivitas fisik yang ditampilkan
untuk mengganggu normal respon fisiologis. Latihan menciptakan ROS, yang menyebabkan
perubahan yang menguntungkan dalam tanggapan gen yang meningkatkan sensitivitas insulin.
Penggunaan antioksidan eksogen dapat memblok efek menguntungkan yang terjadi secara alami
dari latihan-induced ROS. 14
Efek Samping Antioksidan

Antioksidan selain memiliki efek yang bermanfaat bagi tubuh, antioksidan juga memliki
efek lain bagi tubuh berupa efek yang berbahaya/merugikan bagi tubuh.8

Gambar 1. Gambaran efek yang dimiliki oleh antioksidan eksogen

Selain didapatkan manfaat-manfaat dari antioksidan eksogen juga terdapat efek samping
dari antioksidan tersebut. Salah satunya, seperti beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh
para ahli. Studi-studi ini, pada awalnya, telah menunjukkan bahwa konsumsi tinggi buah dan
sayuran menurunkan risiko kanker paru-paru pada orang sehat dan kombinasi dari -karoten,
vitamin E dan selenium menurunkan angka kematian kanker perut di Cina. Sebaliknya, suplemen
-karoten sendiri atau dalam kombinasi dengan retinol atau vitamin E tidak memiliki efek pada

risiko kanker, atau meningkatkan perkembangan kanker paru-paru pada perokok. Sehingga
didapatkan perdebatan. 7
Review berbagi pendapat bahwa suplementasi antioksidan tidak mencegah kanker.
Sebaliknya, beberapa unsur antioksidan tampaknya menjadi berbahaya bagi kesehatan. Studi
terbaru menunjukkan hubungan antara beta-karoten dan peningkatan insiden kanker di kalangan
perokok, tapi tidak di antara non-perokok. Selain itu, suplemen beta karoten dikaitkan dengan
kematian terkait kanker meningkat. Vitamin E juga pengobatan tampak terkait dengan insiden
yang sedikit meningkat dari kanker paru-paru. Penelitian lain melaporkan bahwa kombinasi
vitamin A dan antioksidan lainnya, secara signifikan meningkatkan mortalitas yang terkait
dengan penyakit neoplastik. Menurut studi ini, selenium akan menjadi elemen hanya
menampilkan efek menguntungkan, seperti yang telah menunjukkan bahwa mengurangi kejadian
kanker total, efek tampaknya berhubungan dengan seks, seperti yang dominan antara laki-laki,
daripada pada wanita.7
Alasan mengapa -karoten dapat mengeluarkan aktivitas ganda, yaitu antioksidan atau
pro-karsinogenik telah diperdebatkan untuk waktu yang cukup lama. Hipotesis pertama adalah
bahwa pada konsentrasi tinggi, -karoten menstimulasi produksi radikal bebas, sedangkan pada
konsentrasi yang lebih rendah -karoten aktivitas antioksidan exerts. Selanjutnya, dengan adanya
asap rokok-radikal bebas turunan -karoten dibelah menjadi beberapa turunan yang yang sangat
tidak stabil dan dapat memicu oksidasi lebih lanjut. Vitamin A, E dan -karoten misalnya, telah
terbukti memiliki efek pro-oksidan pada dosis yang lebih tinggi atau dalam kondisi tertentu.7
Beberapa hubungan Gluthation dengan penyakit saraf
Penelope, 2012 menemukan hubungan antara gluthation dengan gangguan spectrum
autistic, yaitu terdapat peningkatan jalur metabolism yaitu g-glutamyl dan trans-sulphuration

pada gangguan spectrum autistic yaitu bentuk teroksidasi dari gluthatione.

Martin, 2009

menemukan hubungan antara glutathione dengan penyakit neurodegenerative yaitu Parkinson


dimana berperan berkurangnya GSSH pada patofisiologi penyakit ini. Davila 2013 juga
menemukan pada pasien dengan stroke iskemik akut bahwa terdapat peningkatan angka stress
oksidatif pada plasma dan terdapat penurunan angka antioksidan, hal yang memungkinkan
dilakukannya terapi dengan antioksidan pada pasien. Hal yang serupa ditemukan oleh Saharan
2014 pada penyakit Alzheimer yaitu dengan penurunan angka GSH dan terjadinya gangguan
homeostasis GSH pada serum pasien yang menderita Alzheimer. Beberapa penelitian tunggal
diatas menyokong adanya peranan gluthation sebagai master antioksidan dalam berbagai
mekanisme terjadinya penyakit, terutama pada penyakit penyakit saraf.

BAB III
KESIMPULAN
.

Antioksidan adalah senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu atau lebih electron

kepada radikal bebas, sehingga radikal bebas tersebut dapat diredam. Glutation peroksidase
(GSH-Px) adalah enzim antioksidan yang mengandung selenium pada sisi aktifnya. Glutation
peroksidase adalah enzim intraseluler yang terdispersi dalam sitoplasma, namun aktivitasnya
juga ditemukan dalam mitokondria. Enzim glutathione peroksidase membantu mencegah
kerusakan sel yang disebabkan oleh radikal bebas dengan cara mengkatalisa berbagai
hidroperoksida. Glutathione peroksidase mereduksi H2O2 menjadi H2O dan glutathione
disulfide (GSSG) dengan bantuan glutathione tereduksi (GSH). Berbagai mekanisme
menunjukkan adanya peranan Glutathion dalam berbagai penyakit khususnya pada beberapa
penyakit saraf baik stroke maupun penyakit degenerative.

DAFTAR PUSTAKA

1. Olinescu,Radu, et al .2002.Free Radicals In Medicine.New York : Nova Sciences


Publishers,Inc
2. Kidd PM. Glutathione: systemic protectant against oxidative and free radical damage.
Alternative Medicine Review 2001; 2(3): 155-176.
3. Townsend DM, Tew KD, Tapiero H. The importance of glutathione in human disease.
Biomedicine & Pharmacotherapy 2003; 57: 145-155.
4. OxiSelectTM total glutathione (GSSG/GSH) assay kit [product manual]. San Diego: Cell
Biolabs, Inc.; 2010-2011.
5. Penelope AE Main, Manya T Angley, Catherine E ODoherty et al. The potential role of
the antioxidant and detoxification properties of glutathione in autism spectrum disorders:
a systematic review and meta-analysis. Main et al. Nutrition & Metabolism 2012, 9:35
6. Heather L. Martin dan Peter Teismann. Glutathionea review on its role and
significance in Parkinsons disease. The FASEB Journal. Vol. 23 October 2009 : 32903296.
7. Inimioara mihaela cojocaru, m. Cojocaru,violeta apira. Evaluation of Oxidative Stress in
Patients with Acute Ischemic Stroke. ROM. J. INTERN. MED., 2013, 51, 2, 97106
8. Sumiti Saharana and Pravat K. Mandal. The Emerging Role of Glutathione in
Alzheimers Disease. Journal of Alzheimers Disease

9. Hernani dan Rahardja. Tanaman Berkhasiat Antioksidan. Jakarta: Penebar Swadaya;


2005. Hal. 3-5.
10. Jawi I, Manuaba I, Sutirtayasa I, Muruti G. Pemberian Glutamin Menurunkan Kadar
Bilirubin Darah serta Mengurangi Nekrosis Sel-Sel Hati setelah Pemberian Aktivitas
Fisik Maksimal dan Parasetamol pada Mencit. Dexa Media [internet]. April 2006
[dikutip 15 november 2013]; No. 4, vol 19 : 192-195.
11. Komnas Lansia [internet]. Penyakit Degeneratif [Tempat Tidak diketahui]: Warta Kesra;
30 juni 2010 [dikutip 7 oktober 2012]. http://www.komnaslansia.go.id/modules.php?
name=News&file=article&sid=50.

12. Harjanto. Pemulihan Stress Oksidatif Pada Latihan Olahraga. Jurnal Kedokteran YARSI
[internet]. September 2004 [dikutip 8 oktober 2012]: Vol 12 No.3 September- Desember:
Hal 81-87. http://www.yarsi.ac.id/daftar-jurnal-yarsi/92-fakultas-kedokteran-yarsi/458pemulihan-stress-oksidatif-pada-latihan-olahraga.html
13. Winarsi H. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas: Potensi dan Aplikasinya dalam
Kesehatan. Yogyakarta: Kanisius; 2007. p. 49-80.
14. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Farmakope Herbal Indonesia edisi 1 .
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2009. Hal 5.
15. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Parameter Standar Umum Ekstrak
Tumbuhan Obat. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia;2000. Hal 9-11; 1314; 17.
16. Silalahi, J. Makanan Fungsional. Yogyakarta: Penerbit Kanisius; 2006. Hal 41-43; 52.

Anda mungkin juga menyukai