Anda di halaman 1dari 29

Reformasi secara umum berarti perubahan terhadap suatu sistem yang telah ada pada

suatu masa.
Di Indonesia, kata Reformasi umumnya merujuk kepada gerakan mahasiswa pada tahun
1998 yang menjatuhkan kekuasaan presiden Soeharto atau era setelah Orde Baru
Kendati demikian, kata Reformasi sendiri pertama-tama muncul dari gerakan pembaruan
di kalangan Gereja Kristen di Eropa Barat pada abad ke-16, yang dipimpin oleh Martin
Luther, Ulrich Zwingli, Yohanes Calvin, dll.
Untuk keterangan lebih lanjut, lihat: Indonesia: Era Reformasi.

Era Reformasi di Indonesia dimulai pada pertengahan 1998, tepatnya saat Presiden
Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakil presiden BJ
Habibie.
Daftar isi [sembunyikan]
1 Latar belakang
1.1 Garis waktu
2 Habibie
3 Abdurrahman Wahid
4 Megawati
5 Pemilu 2004
6 Sumber
7 Pranala luar
[sunting]
Latar belakang
Krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin
besarnya ketidak puasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto

saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai


organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia.
Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang
kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa pun
meluas hampir diseluruh Indonesia. Di bawah tekanan yang besar dari dalam maupun
luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
[sunting]
Garis waktu
22 Januari 1998
Rupiah tembus 17.000,- per dolar AS, IMF tidak menunjukkan rencana bantuannya.
12 Februari
Soeharto menunjuk Wiranto, menjadi Panglima Angkatan Bersenjata.
5 Maret
Dua puluh mahasiswa Universitas Indonesia mendatangi Gedung DPR/MPR untuk
menyatakan penolakan terhadap pidato pertanggungjawaban presiden yang disampaikan
pada Sidang Umum MPR dan menyerahkan agenda reformasi nasional. Mereka diterima
Fraksi ABRI
10 Maret
Soeharto terpilih kembali untuk masa jabatan lima tahun yang ketujuh kali dengan
menggandeng B.J. Habibie sebagai Wakil Presiden.
14 Maret
Soeharto mengumumkan kabinet baru yang dinamai Kabinet Pembangunan VII. Bob
Hasan dan anak Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana, terpilih menjadi menteri.
15 April
Soeharto meminta mahasiswa mengakhiri protes dan kembali ke kampus karena
sepanjang bulan ini mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi swasta dan negeri
melakukan berunjukrasa menuntut dilakukannya reformasi politik
18 April

Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Jendral Purn. Wiranto dan 14 menteri
Kabinet Pembangunan VII mengadakan dialog dengan mahasiswa di Pekan Raya Jakarta
namun cukup banyak perwakilan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang
menolak dialog tersebut.
1 Mei
Soeharto melalui Menteri Dalam Negeri Hartono dan Menteri Penerangan Alwi Dachlan
mengatakan bahwa reformasi baru bisa dimulai tahun 2003.
2 Mei
Pernyataan itu diralat dan kemudian dinyatakan bahwa Soeharto mengatakan reformasi
bisa dilakukan sejak sekarang (1998).
Mahasiswa di Medan, Bandung dan Yogyakarta menyambut kenaikan harga bahan bakar
minyak dengan demonstrasi besar-besaran. Demonstrasi disikapi dengan represif oleh
aparat. Di beberapa kampus terjadi bentrokan.

4 Mei
Harga BBM meroket 71%, disusul 3 hari kerusuhan di Medan dengan korban sedikitnya
6 meninggal.
7 Mei
Peristiwa Cimanggis, Bentrokan antara mahasiswa dan aparat keamanan terjadi di
kampus Fakultas Teknik Universitas Jayabaya, Cimanggis, yang mengakibatkan
sedikitnya 52 mahasiswa dibawa ke RS Tugu Ibu, Cimanggis. Dua di antaranya terkena
tembakan di leher dan lengan kanan, sedangkan sisanya cedera akibat pentungan rotan
dan mengalami iritasi mata akibat gas air mata.
8 Mei
Peristiwa Gejayan, 1 mahasiswa Yogyakarta tewas terbunuh.
9 Mei
Soeharto berangkat seminggu ke Mesir untuk menghadiri pertemuan KTT G-15. Ini
merupakan lawatan terakhirnya keluar negeri sebagai Presiden RI.
12 Mei
Tragedi Trisakti, 4 Mahasiswa Trisakti terbunuh.

13 Mei
Kerusuhan Mei 1998 pecah di Jakarta. Kerusuhan juga terjadi di kota Solo.
Soeharto yang sedang menghadiri pertemuan negara-negara berkembang G-15 di Kairo,
Mesir, memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Sebelumnya, dalam pertemuan tatap
muka dengan masyarakat Indonesia di Kairo, Soeharto menyatakan akan mengundurkan
diri dari jabatannya sebagai presiden.
Etnis Tionghoa mulai eksodus meninggalkan Indonesia.
14 Mei
Demonstrasi terus bertambah besar hampir di seluruh kota-kota di Indonesia, demonstran
mengepung dan menduduki gedung-gedung DPRD di daerah.
Soeharto seperti dikutip koran, mengatakan bersedia mengundurkan diri jika rakyat
menginginkan. Ia mengatakan itu di depan masyarakat Indonesia di Kairo.
Kerusuhan di Jakarta berlanjut, ratusan orang meninggal dunia akibat kebakaran yang
terjadi selama kerusuhan terjadi.
15 Mei
Selesai mengikuti KTT G-15, tanggal 15 Mei l998, Presiden Soeharto kembali ke tanah
air dan mendarat di lapangan Halim Perdanakusuma di Jakarta, subuh dini hari.
Menjelang siang hari, Presiden Soeharto menerima Wakil Presiden BJ Habibie dan
sejumlah pejabat tinggi negara lainnya.
17 Mei
Menteri Pariwisata, Seni dan Budaya, Abdul Latief melakukan langkah mengejutkan
pada Ahad, 17 Mei 1998. Ia mengajukan surat pengunduran diri kepada Presiden
Soeharto dengan alasan masalah keluarga, terutama desakan anak-anaknya.
18 Mei
Pukul 15.20 WIB, Ketua MPR yang juga ketua Partai Golkar, Harmoko di Gedung DPR,
yang dipenuhi ribuan mahasiswa, dengan suara tegas menyatakan, demi persatuan dan
kesatuan bangsa, pimpinan DPR, baik Ketua maupun para Wakil Ketua, mengharapkan
Presiden Soeharto mengundurkan diri secara arif dan bijaksana. Harmoko saat itu
didampingi seluruh Wakil Ketua DPR, yakni Ismail Hasan Metareum, Syarwan Hamid,
Abdul Gafur, dan Fatimah Achmad.

Pukul 21.30 WIB, empat Menko diterima Presiden Soeharto di Cendana untuk
melaporkan perkembangan. Mereka juga berniat menggunakan kesem-patan itu untuk
menyarankan agar Kabinet Pembangunan VII dibubarkan saja, bukan di-reshuffle.
Tujuannya, agar mereka yang tidak terpilih lagi dalam kabinet reformasi tidak terlalu
"malu". Namun, niat itu - mungkin ada yang membocorkan - tampaknya sudah diketahui
oleh Presiden Soeharto. Ia langsung mengatakan, "Urusan kabinet adalah urusan saya."
Akibatnya, usul agar kabinet dibubarkan tidak jadi disampaikan. Pembicaraan beralih
pada soal-soal yang berkembang di masyarakat.
Pukul 23.00 WIB Menhankam/Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto mengemukakan,
ABRI menganggap pernyataan pimpinan DPR agar Presiden Soeharto mengundurkan diri
itu merupakan sikap dan pendapat individual, meskipun pernyataan itu disampaikan
secara kolektif. Wiranto mengusulkan pembentukan "Dewan Reformasi".
Gelombang pertama mahasiswa dari FKSMJ dan Forum Kota memasuki halaman dan
menginap di Gedung DPR/MPR.
Mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR
19 Mei
Pukul 09.00-11.32 WIB, Presiden Soeharto bertemu ulama dan tokoh masyarakat, yakni
Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama Abdurrahman Wahid, budayawan Emha Ainun
Nadjib, Direktur Yayasan Paramadina Nucholish Madjid, Ketua Majelis Ulama Indonesia
Ali Yafie, Prof Malik Fadjar (Muhammadiyah), Guru Besar Hukum Tata Negara dari
Universitas Indonesia Yusril Ihza Mahendra, KH Cholil Baidowi (Muslimin Indonesia),
Sumarsono (Muhammadiyah), serta Achmad Bagdja dan Ma'aruf Amin dari NU. Dalam
pertemuan yang berlangsung selama hampir 2,5 jam (molor dari rencana semula yang
hanya 30 menit) itu para tokoh membeberkan situasi terakhir, dimana eleman masyarakat
dan mahasiswa tetap menginginkan Soeharto mundur. Soeharto lalu mengajukan
pembentukan Komite Reformasi
Presiden Soeharto mengemukakan, akan segera mengadakan reshuffle Kabinet
Pembangunan VII, dan sekaligus mengganti namanya menjadi Kabinet Reformasi.
Presiden juga membentuk Komite Reformasi. Nurcholish sore hari mengungkapkan

bahwa gagasan reshuffle kabinet dan membentuk Komite Reformasi itu murni dari
Soeharto, dan bukan usulan mereka.
Pukul 16.30 WIB, Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita bersama Menperindag
Mohamad Hasan melaporkan kepada Presiden soal kerusakan jaringan distribusi ekonomi
akibat aksi penjarahan dan pembakaran. Bersama mereka juga ikut Menteri
Pendayagunaan BUMN Tanri Abeng yang akan melaporkan soal rencana penjualan
saham BUMN yang beberapa peminatnya menyatakan mundur. Pada saat itu, Menko
Ekuin juga menyampaikan reaksi negatif para senior ekonomi; Emil Salim, Soebroto,
Arifin Siregar, Moh Sadli, dan Frans Seda, atas rencana Soeharto membentuk Komite
Reformasi dan me-reshuffle kabinet. Mereka intinya menyebut, tindakan itu mengulurulur waktu.
Ribuan mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR, Jakarta.
Amien Rais mengajak massa mendatangi Lapangan Monumen Nasional untuk
memperingati Hari Kebangkitan Nasional.
Dilaporkan bentrokan terjadi dalam demonstrasi di Universitas Airlangga, Surabaya.
20 Mei
Amien Rais membatalkan rencana demonstrasi besar-besaran di Monas, setelah 80.000
tentara bersiaga di kawasan Monas.
500.000 orang berdemonstrasi di Yogyakarta, termasuk Sultan Hamengkubuwono X.
Demonstrasi besar lainnya juga terjadi di Surakarta, Medan, Bandung.
Harmoko mengatakan Soeharto sebaiknya mengundurkan diri pada Jumat, 22 Mei, atau
DPR/MPR akan terpaksa memilih presiden baru
Pukul 14.30 WIB, 14 menteri bidang ekuin mengadakan pertemuan di Gedung Bappenas.
Dua menteri lain, yakni Mohamad Hasan dan Menkeu Fuad Bawazier tidak hadir.
Mereka sepakat tidak bersedia duduk dalam Komite Reformasi, ataupun Kabinet
Reformasi hasil reshuffle. Semula ada keinginan untuk menyampaikan hasil pertemuan
itu

secara

langsung

kepada

Presiden

Soeharto,

tetapi

akhirnya

diputuskan

menyampaikannya lewat sepucuk surat. Alinea pertama surat itu, secara implisit meminta
agar Soeharto mundur dari jabatannya. Perasaan ditinggalkan, terpukul, telah membuat
Soeharto tidak mempunyai pilihan lain kecuali memutuskan untuk mundur. Ke 14
menteri itu adalah Akbar Tandjung, AM Hendropriyono, Ginandjar Kartasasmita, Giri

Suseno, Haryanto Dhanutirto, Justika Baharsjah, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi


Bambang

Sumadhijo,

Rahardi

Ramelan,

Subiakto

Tjakrawerdaya,

Sanyoto

Sastrowardoyo, Sumahadi, Theo L. Sambuaga dan Tanri Abeng.


Pukul 20.00 WIB, surat itu kemudian disampaikan kepada Kolonel Sumardjono. Surat itu
kemudian disampaikan kepada Presiden Soeharto.
Soeharto

kemudian

bertemu

dengan

tiga

mantan

Wakil

Presiden;

Umar

Wirahadikusumah, Sudharmono, dan Try Sutrisno.


Pukul 23.00 WIB, Soeharto memerintahkan ajudan untuk memanggil Yusril Ihza
Mahendra, Mensesneg Saadillah Mursjid, dan Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto.
Soeharto sudah berbulat hati menyerahkan kekuasaan kepada Wapres BJ Habibie.
Wiranto sampai tiga kali bolak-balik Cendana-Kantor Menhankam untuk menyikapi
keputusan Soeharto. Wiranto perlu berbicara dengan para Kepala Staf Angkatan
mengenai sikap yang akan diputuskan ABRI dalam menanggapi keputusan Soeharto
untuk mundur. Setelah mencapai kesepakatan dengan Wiranto, Soeharto kemudian
memanggil Habibie.
Pukul 23.20 WIB, Yusril Ihza Mahendra bertemu dengan Amien Rais. Dalam pertemuan
itu, Yusril menyampaikan bahwa Soeharto bersedia mundur dari jabatannya. kata-kata
yang disampaikan oleh Yusril itu, "The old man most probably has resigned". Yusril juga
menginformasikan bahwa pengumumannya akan dilakukan Soeharto 21 Mei 1998 pukul
09.00 WIB. Kabar itu lalu disampaikan juga kepada Nurcholish Madjid, Emha Ainun
Najib, Utomo Danandjaya, Syafii Ma'arif, Djohan Effendi, H Amidhan, dan yang lainnya.
Lalu mereka segera mengadakan pertemuan di markas para tokoh reformasi damai di
Jalan Indramayu 14 Jakarta Pusat, yang merupakan rumah dinas Dirjen Pembinaan
Lembaga Islam, Departemen Agama, Malik Fadjar. Di sana Cak Nur - panggilan akrab
Nurcholish Madjid - menyusun ketentuan-ketentuan yang harus disampaikan kepada
pemerintahan baru.
Pernyataan pengunduran diri
Wikisource memiliki naskah atau teks asli yang berkaitan dengan:
Pernyataan Berhenti Sebagai Presiden Republik Indonesia, 21 Mei 1998

21 Mei
Pukul 01.30 WIB, Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Amien Rais dan
cendekiawan Nurcholish Madjid (almarhum) pagi dini hari menyatakan, "Selamat tinggal
pemerintahan lama dan selamat datang pemerintahan baru".
Pukul 9.00 WIB, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya pada pukul 9.00 WIB.
Soeharto kemudian mengucapkan terima kasih dan mohon maaf kepada seluruh rakyat
dan meninggalkan halaman Istana Merdeka didampingi ajudannya, Kolonel (Kav)
Issantoso dan Kolonel (Pol) Sutanto (kemudian menjadi Kepala Polri). Mercedes hitam
yang ditumpanginya tak lagi bernomor polisi B-1, tetapi B 2044 AR.
Wakil Presiden B.J. Habibie menjadi presiden baru Indonesia.
Jenderal Wiranto mengatakan ABRI akan tetap melindungi presiden dan mantan-mantan
presiden, "ABRI akan tetap menjaga keselamatan dan kehormatan para mantan
presiden/mandataris MPR, termasuk mantan Presiden Soeharto beserta keluarga."
Terjadi perdebatan tentang proses transisi ini. Yusril Ihza Mahendra, salah satu yang
pertama mengatakan bahwa proses pengalihan kekuasaan adalah sah dan konstitusional.
22 Mei
Habibie mengumumkan susunan "Kabinet Reformasi".
Letjen Prabowo Subiyanto dicopot dari jabatan Panglima Kostrad.
Di Gedung DPR/MPR, bentrokan hampir terjadi antara pendukung Habibie yang
memakai simbol-simbol dan atribut keagamaan dengan mahasiswa yang masih bertahan
di Gedung DPR/MPR. Mahasiswa menganggap bahwa Habibie masih tetap bagian dari
Rezim Orde Baru. Tentara mengevakuasi mahasiswa dari Gedung DPR/MPR ke
Universitas Atma Jaya
[sunting]
Habibie
Sidang Istimewa MPR yang mengukuhkan Habibie sebagai Presiden, ditentang oleh
gelombang demonstrasi dari puluhan ribu mahasiswa dan rakyat di Jakarta dan di kotakota lain. Gelombang demonstrasi ini memuncak dalam peristiwa Tragedi Semanggi,
yang menewaskan 18 orang.

Masa pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya kerjasama dengan Dana


Moneter Internasional untuk membantu dalam proses pemulihan ekonomi. Selain itu,
Habibie juga melonggarkan pengawasan terhadap media massa dan kebebasan
berekspresi.
Presiden BJ Habibie mengambil prakarsa untuk melakukan koreksi. Sejumlah tahanan
politik dilepaskan. Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan dibebaskan, tiga hari
setelah Habibie menjabat. Tahanan politik dibebaskan secara bergelombang. Tetapi,
Budiman Sudjatmiko dan beberapa petinggi Partai Rakyat Demokratik baru dibebaskan
pada era Presiden Abdurrahman Wahid. Setelah Habibie membebaskan tahanan politik,
tahanan politik baru muncul. Sejumlah aktivis mahasiswa diadili atas tuduhan menghina
pemerintah atau menghina kepala negara. Desakan meminta pertanggungjawaban militer
yang terjerat pelanggaran HAM tak bisa dilangsungkan karena kuatnya proteksi politik.
Bahkan, sejumlah perwira militer yang oleh Mahkamah Militer Jakarta telah dihukum
dan dipecat karena terlibat penculikan, kini telah kembali duduk dalam jabatan struktural.
Beberapa langkah perubahan diambil oleh Habibie, seperti liberalisasi parpol, pemberian
kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan pencabutan UU Subversi. Walaupun begitu
Habibie juga sempat tergoda meloloskan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya, namun
urung dilakukan karena besarnya tekanan politik dan kejadian Tragedi Semanggi II yang
menewaskan mahasiswa UI, Yun Hap.
Kejadian penting dalam masa pemerintahan Habibie adalah keputusannya untuk
mengizinkan Timor Timur untuk mengadakan referendum yang berakhir dengan
berpisahnya wilayah tersebut dari Indonesia pada Oktober 1999. Keputusan tersebut
terbukti tidak populer di mata masyarakat sehingga hingga kini pun masa pemerintahan
Habibie sering dianggap sebagai salah satu masa kelam dalam sejarah Indonesia.
[sunting]
Abdurrahman Wahid

Pada pemilu yang diselenggarakan pada 1999 (lihat: Pemilu 1999), partai PDI-P
pimpinan Megawati Soekarnoputri berhasil meraih suara terbanyak (sekitar 35%). Tetapi
karena jabatan presiden masih dipilih oleh MPR saat itu, Megawati tidak secara langsung
menjadi presiden. Abdurrahman Wahid, pemimpin PKB, partai dengan suara terbanyak
kedua saat itu, terpilih kemudian sebagai presiden Indonesia ke-4. Megawati sendiri
dipilih Gus Dur sebagai wakil presiden.
Masa pemerintahan Abdurrahman Wahid diwarnai dengan gerakan-gerakan separatisme
yang makin berkembang di Aceh, Maluku dan Papua. Selain itu, banyak kebijakan
Abdurrahman Wahid yang ditentang oleh MPR/DPR.
Pada 29 Januari 2001, ribuan demonstran berkumpul di Gedung MPR dan meminta Gus
Dur untuk mengundurkan diri dengan tuduhan korupsi. Di bawah tekanan yang besar,
Abdurrahman Wahid lalu mengumumkan pemindahan kekuasaan kepada wakil presiden
Megawati Soekarnoputri. Sekitar pukul 20.48, Gus Dur keluar dari Istana Merdeka. Saat
berdiri di ujung teras, Gus Dur malah sempat melambaikan tangan kepada massa
pendukungnya yang berunjuk rasa. Hanya pohon yang ditebang kelompok pendukung
Gus Dur sebagai pelampiasan emosi.
Melalui Sidang Istimewa MPR pada 23 Juli 2001, Megawati secara resmi diumumkan
menjadi Presiden Indonesia ke-5.
[sunting]
Megawati
Megawati dilantik di tengah harapan akan membawa perubahan kepada Indonesia karena
merupakan putri presiden pertama Indonesia, Soekarno.

Meski ekonomi Indonesia mengalami banyak perbaikan, seperti nilai mata tukar rupiah
yang lebih stabil, namun Indonesia pada masa pemerintahannya tetap tidak menunjukkan
perubahan yang berarti dalam bidang-bidang lain.
Popularitas Megawati yang awalnya tinggi di mata masyarakat Indonesia, menurun
seiring dengan waktu. Hal ini ditambah dengan sikapnya yang jarang berkomunikasi
dengan masyarakat sehingga mungkin membuatnya dianggap sebagai pemimpin yang
'dingin'.
Megawati menyatakan pemerintahannya berhasil dalam memulihkan ekonomi Indonesia,
dan pada 2004, maju ke Pemilu 2004 dengan harapan untuk mempertahankan
kekuasaannya sebagai presiden.
[sunting]
Pemilu 2004
Artikel utama: Pemilu 2004
Pada tahun 2004, Indonesia menyelenggarakan pemilu presiden secara langsung
pertamanya. Ujian berat dihadapi Megawati untuk membuktikan bahwa dirinya masih
bisa diterima mayoritas penduduk Indonesia. Dalam kampanye, seorang calon dari partai
baru bernama Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, muncul sebagai saingan
yang hebat baginya.
Partai Demokrat yang sebelumnya kurang dikenal, menarik perhatian masyarakat dengan
pimpinannya, Yudhoyono, yang karismatik dan menjanjikan perubahan kepada Indonesia.
Karisma Yudhoyono berhasil menarik hati mayoritas pemilih dan Demokrat
memenangkan pemilu legislatif pada awal 2004, yang diikuti kemenangan Yudhoyono
pada pemilihan presiden.

Pemilihan Umum (pemilu) yang dilangsungkan tanggal 7 Juni 1999 lalu adalah tonggak
penting dalam upaya Bangsa Indonesia melepaskan diri dari belenggu otoritarian dan
menumbuhkan masyarakat madani yang demokratis.

Peristiwa ini merupakan

perwujudan dari semangat Reformasi !!! yang dipekikkan mahasiswa Indonesia di awal
dan pertengahan tahun 1998.
The general election that was held on June 7, 1999 was an important mark for the
Indonesian to free themselves from the shackles of authoritarianism and to develop a
democratic civil society. This election was the implementation of the spirit of Reformasi
which was vigorously expressed by the Indonesian students in the early and mid- of
1998.

Time Line One: The End of the New Order Regime


Events in May 1998
Time Line Two: Indonesia at the Cross Road
Analysis
Beranda warta (Web-page) ini berisikan beberapa garis-waktu (time-line) yang
menggambarkan peristiwa - peristiwa penting dalam gelombang Reformasi !!! Gariswaktu pertama berisi berita tentang krisis ekonomi parah yang melanda Indonesia,
dilanjutkan dengan demonstrasi mahasiswa di seantero negeri melawan rejim yang telah
berkuasa sedemikian lama, diikuti dengan berbagai laporan tentang tragedi Trisakti dan
kerusuhan besar di Jakarta, sampai akhirnya pada 21 Mei 1998 Soeharto mengundurkan
diri dari jabatan Presiden RI yang sudah dipegangnya selama 32 tahun.
This Web-page has several time-lines which show important events in the Reformasi
movement. The first time-line contains news articles of the crippling economic crisis that
befell on Indonesia, follows by student demonstrations all across the country that fought

the regime which had been in power for decades, continues by reports on the Trisakti
tragedy and the devastating riots in Jakarta, and the time-line ends by events surrounding
the resignation of Soeharto from the presidency on May 21, 1998.

Disamping garis-waktu yang menonjolkan peristiwa-peristiwa penting sejak


pertengahan 1997, situs ini juga memberikan kesempatan pada Anda untuk mengunjungi
sumber berita dan analisa di Internet tentang Indonesia dan perubahan politik, ekonomi
dan sosial yang sedang dialaminya. Tentang pemilihan umum misalnya, silakan kunjungi
Komisi Pemilihan Umum yang menyelenggarakan perhelatan besar ini dimana Anda bisa
melihat hasil perolehan suara untuk masing-masing partai yang mengikuti "pesta
demokrasi' ini. Untuk berita sekitar pemilu, silakan ke bagian Laporan Khusus dari
Kompas Online.

Perhatian Internasional juga luas seperti yang bisa dilihat di CNN

Interactive on Indonesian Election '99, atau di The Straits Times Special Report.
Beside the time-lines that point to important events since the mid-1997, this site also
provides links to various news sources and analyses on the Internet about Indonesia and
its political, social and economic changes. About the Election '99 for example, visit the
Commision on the General Election site where voting results can be accessed. On
reporting of the Election, visit the Kompas Online Special Report (in Indonesian).
International attention is also abundant, as can be read at CNN Interactive on Indonesian
Election '99, or at The Straits Times Special Report.

Garis-waktu kedua menelusuri perubahan politik, sosial dan ekonomi di Indonesia


sejak saat pengunduran diri Soeharto sampai pada masa Pemilu 1999. Di dalam ini, Anda
bisa simak berbagai langkah dalam perwujudan demokrasi di Indonesia, seperti:
bermacam kebijakan pemerintahan BJ Habibie yang membuka kebebasan dan
pembaruan, dan berbagai ekspresi masyarakat yang disuarakan secara bebas tentang
masalah-masalah demokrasi ini, seperti keinginan kuat untuk membentuk pemerintahan

demokratis lewat pemilihan umum, menghabisi KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme),
dan menyudahi kekuasaan negara yang menyengsarakan rakyat banyak.
The second time-line traces the changes in politics, social and economic in Indonesia
from Soeharto's resignation until the Election of '99. Inside this page, you can read
various features of implementing democracy in Indonesia. BJ Habibie Administration's
policies, for examples, that open civil liberties. And people's expressions about free and
fair election to establish a democratic government, eradicate KKN (Ind. for Corruption,
Collusion and Nepotism) which pleagued Indonesian society for so long, and end to the
excessive government power that stiffle the people's freedom.

Pendahuluan
Gerakan mahasiswa dengan dukungan pergerakan rakyat yang massif di kota dan di
kampung telah berhasil meruntuhkan rezim otoritarian Orde Baru yang menandai
terciptanya sebuah era baru, Era Reformasi. Namun demikian, reformasi yang awalnya
disambut oleh ledakan antusiasme dan aspirasi rakyat untuk kehidupan yang lebih
demokratis dan berkeadilan, kini mulai kehilangan ruhnya.
Memang terjadi berbagai perubahan yang positif

menyangkut hak-hak sipil-politik,

seperti kebebasan pers, kebebasan pendirian partai-partai politik, reformasi dalam sistem

pemilu, antara lain sistem pemilihan presiden langsung. Namun demikian, berbagai
perubahan ini hanya mencerminkan pergeseran kepentingan dan sirkulasi di tingkat elit
kekuasaan, dengan mengabaikan aspek akuntabilitas dan representasi kepentingan publik.
Ini tercermin dari kegagagalan reformasi mewujudkan janjinya untuk memperbaiki
pemenuhan keadilan dan hak-hak dasar rakyat di bidang ekonomi dan sosial.
Momen reformasi dan transisi demokrasi telah dibajak oleh kepentingan elit-elit politik
yang tak kalah korupnya dengan elit-elit politik rezim Orde Baru dan memperhamba diri
kepada kuasa modal. Elit-elit politik Orde Baru yang bergincu reformis dan elit-elit
politik reformis gadungan, senyatanya semakin dalam mengakumulasi pengerukan
kekayaan alam, penghancuran lingkungan hidup, pengisapan tenaga-tenaga rakyat, dan
menyuburkan kekerasan. Proses-proses penghancuran sumber-sumber kehidupan rakyat
ini telah mengakibatkan terjadinya krisis yang tidak terpulihkan.
Krisis politik terjadi karena wakil-wakil rakyat di DPR dan DPRD serta pemerintahan tak
lagi memegang kekuasaan nyata pada masyarakat kapitalistik saat ini. Banyak keputusan
politik, ekonomi, dan sosial yang mempengaruhi hajat hidup rakyat banyak ditentukan di
ruang-ruang petinggi IMF, Bank Dunia, perusahaan-perusahaan multinasional, dan Kartel
Negara-negara Kreditor CGI yang jauh dari realitas rakyat.
Krisis ekonomi semakin tak terpulihkan karena semua kekayaan negara dikuasai oleh
segelintir elit politik dan modal. Kuasa-kuasa modal internasional telah menekan elit
pemerintahan supaya memperoleh kemudahan-kemudahan akses dan penguasaan
sumber-sumber kehidupan rakyat, aset negara (perusahaan-perusahaan milik negara),
keringanan pajak, dan lain-lain. Perekonomian nasional telah tunduk dan takluk pada
sistem kapitalisme global. Paling tidak dalam 4 bulan terakhir, telah disahkan beberapa
perundangan-undangan yang memberi akses seluas-luasnya bagi kepentingan modal
dalam dan luar negeri atas sumber-sumber kehidupan rakyat, sebagaimana tergambar
dalam UU Sumberdaya Air, UU Perkebunan, dan Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tentang
perubahan Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Krisis sosial budaya terjadi karena proyek-proyek pembangunan dan perluasan investasi
telah meluluhlantakkan basis sosial dan kebudayaan rakyat di seluruh penjuru Nusantara.
Konflik sosial antara rakyat dan negara, rakyat dan pemodal, juga antara rakyat dan
rakyat semakin marak dan kompleks serta tak terselesaikan. Konflik-konflik sosial
meningkat dengan dukungan kekuatan militeristik dari pihak yang lebih berkuasa dan
kuat. Ambruknya sistem kebudayaan rakyat menjadikan rakyat tak mampu melakukan
reproduksi sosial bagi keberlanjutan kehidupan generasi mendatang.
Krisis ekologi terjadi karena negara, pemodal, dan sistem pengetahuan 'modern' telah
mereduksi alam menjadi onggokan komoditi yang bisa direkayasa dan dieksploitasi untuk
memperoleh keuntungan ekonomi jangka pendek. Ekspansi sistem monokultur,
eksploitasi

hutan,

industri

keruk

kekayaan

tambang

telah

mengganggu

dan

menghancurkan fungsi-fungsi ekologi dan keseimbangan alam. Privatisasi kekayaan alam


hanya diperuntukkan semata-mata tujuan komersial, bahkan dengan alasan konservasi
sekalipun telah menjauhkan akses dan kontrol rakyat pada sumber-sumber kehidupan
(agraria-sumber daya alam). Pada gilirannya, berbagai bencana lingkungan, seperti
kebakaran hutan dan lahan, banjir, kekeringan, pencemaran, dan krisis air telah menjadi
bencana yang harus diderita oleh rakyat dari tahun ke tahun.
Menurut catatan Bakornas sejak tahun 1998 (setahun setelah jatuhnya Soeharto hingga
pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia dengan korban
sekitar 2000 orang. Di mana 85% dari bencana tersebut, merupakan bencana banjir dan
longsor. Hal ini menunjukkan bahwa bencana terbesar yang terjadi justru bencana yang
bisa diatasi, diantisipasi kejadian dan resikonya. Bencana banjir dan tanah longsor adalah
bencana yang terjadi bukan hanya karena faktor alamiah alam, namun lebih dikarenakan
campur tangan manusia terhadap penghancuran lingkungan hidup. Sebagian besar adalah
"bencana buatan" yang terencana secara sistematis akibat lemahnya tanggung jawab
otoritas negara, buruknya kebijakan, dan tidak konsistennya penegakan hukum. Sumber
daya alam kita yang terkuras habis secara serakah hanya dinikmati oleh segelintir orang,
tetapi harus dibayar mahal oleh sebagian besar manusia yang lain.

Kemiskinan adalah Titik Temu Ketiadaan Kedaulatan dan Keadilan


Krisis politik, krisis ekonomi, krisis sosial budaya, dan krisis ekologi ini, mencerminkan
terjadinya defisit

nilai

kedaulatan serta

keadilan (intra dan antar-generasi) yang

kemudian bertemu dalam defisit kesejahteraan. Defisit kedaulatan ini nampak dalam
fenomena semakin hilangnya hak menentukan nasib sendiri, baik di tataran negara
bangsa maupun di tataran satuan-satuan politik yang lebih kecil. Yang terkecil di
antaranya adalah dalam tataran desa, bahkan keluarga. Sedangkan defisit keadilan adalah
narasi tentang ketimpangan distribusi manfaat dari tanah, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya, baik intra maupun trans-generasi. Kemiskinan kemudian
menjadi indikator terjadinya defisit kedaulatan dan keadilan. Kemiskinan ini terjadi
akibat merosotnya tingkat

kesejahteraan rakyat serta ketahanan dan keberlanjutan

kehidupan rakyat. Sehingga kemiskinan kemudian dapat didefinisikan sebagai hilangnya


potensi ketahanan dan keberlanjutan fisik serta potensi ketahanan dan keberlanjutan
sosial atau keduanya

dapat disatukan sebagai hilangnya potensi ketahanan dan

keberlanjutan lingkungan hidup.


UU 23/1997 mendefinisikan lingkungan hidup sebagai kesatuan ruang dengan segala
benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang
mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk
hidup lainnya. Sehingga, secara eksplisit, dapat dinyatakan bahwa tingkat kelangsungan
perikehidupan dan kesejahteran manusia ditentukan oleh kualitas lingkungan hidup.
Dengan demikian, dalam pengertian lingkungan hidup tercakup pula apa yang
didefinisikan sebagai sumberdaya alam: Sumber daya alam adalah semua benda, daya,
keadaan, fungsi alam, dan makhluk hidup, yang merupakan hasil proses alamiah, baik
hayati maupun non-hayati, terbarukan maupun tidak terbarukan. (menurut naskah
akademis RUU PSDA versi 19 Nov 2002) serta Agraria yang didefinisikan sebagai
seluruh bumi, air, ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
(menurut UU No.5 Tahun 1960).

Defisit kedaulatan dan keadilan yang bermuara pada kemiskinan rakyat merupakan hasil
pergeseran relasi antara negara, modal, dan rakyat. Di satu sisi, posisi rakyat semakin
terpinggirkan, sedangkan posisi modal semakin dominan dengan dukungan negara.
Kecenderungan yang terjadi saat ini adalah negara memberikan akses yang sangat besar
kepada modal untuk menguasai sumber-sumber kehidupan; tanah, air, dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya melalui kebijakan deregulasi, liberalisasi, dan privatisai.
Hak Menguasai Negara kemudian dimanipulasi untuk sebesar-besarnya akumulasi modal,
bukan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Manipulasi ini dimungkinkan karena masih
kuatnya karakter yang sentralistik dalam perundang-undangan yang mengaturnya.
Reformasi Pengelolaan Lingkungan Hidup
Telah disebutkan pada bagian kedua bahwa kemiskinan dapat didefinisikan sebagai
hilangnya potensi ketahanan dan keberlanjutan ekologi serta potensi ketahanan dan
keberlanjutan sosial. Adapun ketahanan dan keberlanjutan ekologi mengacu kepada
ketersediaan daya dukung tanah, air, udara, dan keanekaragaman kehidupan dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Sedangkan, ketahanan sosial mengacu
kepada daya dukung kelembagaan sosial, baik pada aspek politik, ekonomi, dan budaya.
Sehingga reformasi pengelolaan lingkungan hidup harus mengacu kepada upaya
penguatan ketahanan dan keberlanjutan ekologi dan sosial ini.

Ada empat prasyarat untuk mewujudkan hal tersebut, yakni:


Mengembalikan Mandat Negara Sebagai Benteng Hak Asasi Manusia dengan Peranperan Proteksi, Prevensi, dan Promosi
Pembukaan UUD 1945 menegaskan bahwa Negara Republik Indonesia didirikan untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, untuk memajukan
kesejahtaraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa negara, seperti tercantum dalam pembukaan UUD
1945 merupakan benteng Hak Asasi Manusia dengan peran-peran Proteksi-Prevensi dan
Promosi. Demikian pula di tingkat internasional, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), di
mana Indonesia menjadi salah satu anggotanya, didirikan untuk menciptakan dunia yang
adil dan damai dengan cara memajukan hak asasi manusia. Konsekuensi logis dari peran
Indonesia sebagai anggota PBB serta amanat UUD 1945 untuk ikut dalam melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial
harus segera meratifikasi konvensi internasional di bidang hak asasi manusia, yakni hak
sipil politik (hak asasi manusia generasi pertama) dan konvensi hak ekonomi-sosialbudaya (hak asasi manusia generasi kedua).
Selain itu, kini telah berkembang hak asasi manusia generasi ketiga walaupun belum
mencapai tingkat kematangan untuk dituangkan dalam konvensi PBB tentang hak asasi
manusia. Hak generasi ketiga ini mencakup hak atas pembangunan, hak atas perdamaian,
dan hak atas lingkungan hidup. Untuk itu, pemerintah Indonesia harus terlibat dalam
upaya-upaya di tingkat internasional untuk mendewasakan hak asasi manusia generasi
ketiga ini. Khususnya, di bidang lingkungan hidup. Sejak tahun 1972, telah dilakukan
beberapa konferensi PBB dalam bidang lingkungan hidup. Berbagai deklarasi atau
piagam bumi yang telah disepakati, serta berbagai konvensi internasional di bidang
lingkungan hidup haruslah menjadi instrumen hukum normatif bagi Indonesia pula untuk
menegakkan hak asasi manusia, khususnya hak atas lingkungan hidup.
Secara khusus, di dalam UUD 45 yang menyangkut langsung hak atas lingkungan hidup
terdapat di dalam Pasal 28 G ayat 1: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan." Kemudian dalam Pasal 33 ayat 2: Cabangcabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara, pada ayat 3: Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat, serta ayat 4: Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan

lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan


ekonomi nasional.
Dalam bagian sebelumnya, kami paparkan bahwa reformasi pengelolaan lingkungan
hidup harus mengacu kepada upaya penguatan ketahanan dan keberlanjutan fisik dan
sosial. Jadi, selain berkaitan dengan ketahanan dan keberlanjutan fisik, reformasi
lingkungan hidup mencakup pula upaya-upaya untuk memajukan ketahanan dan
keberlanjutan sosial. Artinya, menyangkut pula pemajuan hak-hak asasi yang
menyangkut bidang politik, ekonomi, dan budaya. Sehingga pemajuan terhadap hak-hak
atas lingkungan hidup mencakup pula prasyarat pemenuhan hak-hak politik, ekonomi,
dan budaya. Dengan demikian, hak atas lingkungan hidup menegaskan pentingnya
memandang upaya-upaya pemajuan hak asasi manusia sebagai upaya-upaya yang
sistematis, integral, dan komprehensif. Jadi, hak-hak sipil-politik, hak-hak ekonomisosial-budaya, serta hak-hak generasi ketiga tidak bisa dilihat sebagai hirarki, yang satu
lebih penting dari yang lain.
Penataan Ulang Relasi antara Negara, Modal, dan Rakyat
Dengan menempatkan negara sebagai benteng Hak Asasi Manusia, maka dalam penataan
ulang relasi negara, modal, dan rakyat, terutama dalam lapangan perekonomian, rakyat
harus ditempatkan sebagai kepentingan yang utama. Sedangkan, negara sepenuhnya
berperan sebagai instrumen kepengurusan dan penyelenggara kebijakan yang ditujukan
untuk melindungi dan memajukan hak asasi manusia. Pengertian tentang hak menguasai
negara atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup
orang serta atas bumi, air, dan kekayaan alam untuk sepenuh-penuhnya kemakmuran
rakyat, memiliki legitimasi apabila ditundukkan kepada kepentingan hak asasi warganya.
Sehingga kepentingan rakyat atau hak asasi rakyat, terutama dalam hal akses terhadap
bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dijadikan sebagai
sarana utama dan tujuan akhir dari hak menguasai negara. Dengan demikian, maka peran
modal bersifat sekunder dan komplementer, bukan substitusi pengelolaan oleh rakyat.

Ini bertentangan dengan kenyataan yang berlangsung selama ini bahwa dengan alasan
hak menguasai negara, pemerintah dengan sewenang-wenang meniadakan hak rakyat atas
bumi, air, dan kekayaan alam tersebut dengan memberikan konsesi yang seluas-luasnya
kepada kepentingan modal. Jelas, dengan mengabaikan hak-hak rakyat dalam penguasaan
dan pengelolaan bumi, air, dan kekayaan alam, maka sebenarnya hak menguasai negara
kemudian tidak akan dapat memenuhi tujuan akhirnya, yakni sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Pertama, untuk mendekatkan kepentingan negara dengan kepentingan rakyat yang
beragam dan spesifik menurut karakteristik politik, ekonomi, sosial, budaya, serta kondisi
alamnya, maka hak menguasai negara harus didesentralisasikan ke tingkat kesatuan
politik yang lebih kecil, baik itu propinsi, kabupaten atau kotamadya bahkan hingga
tingkat desa.
Kedua, hak menguasai negara harus pula dikontrol, baik oleh wakil-wakil rakyat di
parlemen maupun melalui mekanisme-mekanisme demokrasi langsung. Demokrasi
langsung dapat dilakukan melalui penyerapan aspirasi yang disampaikan melalui
berbagai sarana demokrasi yang dimungkinkan (selain melalui parlemen), juga melalui
mekanisme persetujuan rakyat secara langsung atau hak veto atas proyek-proyek
pembangunan dan ekonomi lainnya. Demokrasi langsung menjadi penting karena wakilwakil rakyat atau partai-partai politik saat ini masih diragukan dalam hal akuntabiltias
dan representasinya.
Penyelesaian Konflik Agraria-Sumberdaya Alam
Seperti telah disampaikan di atas, reformasi pengelolaan lingkungan hidup harus
mengacu kepada upaya penguatan ketahanan dan keberlanjutan ekologi dan sosial, di
antaranya melalui reformasi kebijakan yang berkaitan dengan perundangan-undangan dan
reformasi kelembagaan. Namun demikian, proses ini sama sekali tidak boleh
mengabaikan fakta bahwa selama ini ada hak-hak rakyat yang telah dilanggar serta
konflik-konflik yang sangat intens dan meluas di bidang Agraria dan Sumberdaya Alam

atau Lingkungan Hidup yang harus segera diselesaikan. Harus ada pemulihan terhadap
hak-hak rakyat, serta penyelesaian konflik-konflik yang potensial menjadi bom waktu
bagi keberlanjutan ekologi dan sosial. Selain itu, hanya melalui penyelesaikan konflik
sebagai upaya menyeimbangkan neraca kedaulatan dan keadilan ini, negara akan
memperoleh legitimasi dan dukungan untuk melakukan pembaharuan pengelolaan
lingkungan hidup.
Adapun reformasi ini akan mencakup reformasi di bidang perundang-undangan dan
reformasi kelembagaan negara.
Penyelesaian Persoalan Utang Luar Negeri, Mengembangkan Kemandirian, dan Basis
Perekonomian Rakyat
Saat ini, beban utang luar negeri atau ketergantungan terhadap utang luar negeri telah
memasuki stadium kritis, karena telah menyebabkan defisit kedaulatan. Utang luar negeri
telah dijadikan alat oleh negara-negara kreditor dan lembaga-lembaga keuangan
internasional, untuk mendiktekan kebijakan-kebijakan di bidang perekonomian yang
menguntungkan perusahaan-perusahaan transnasional. Melalui tema-tema deregulasi,
liberalisasi, dan privatisasi, negara memberikan atau dipaksa memberikan akses yang
sangat besar kepada kepentingan modal internasional untuk menguasai cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, serta atas
bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Tidak saja akses rakyat yang
semakin marginal, tetapi juga pemerintah ditekan untuk menurunkan standar keamanan
dan regulasi lingkungan hidup.
Untuk itu, pemerintah harus segera melepaskan ketergantungan terhadap utang luar
negeri

dan

mengutamakan

penyiapan

prasarana

bagi

potensi

wirausahawan

(entreprenuer) lokal dan potensi ekonomi rakyat. Pertama, pemerintah harus berani
menuntut pihak-pihak kreditor untuk menghapuskan utang-utang lama yang dikorupsi
oleh rezim Orde Baru serta proyek utang luar negeri yang telah merampas hak-hak rakyat
dan menghancurkan lingkungan hidup. Rakyat Indonesia dan pemerintah berhak menolak

pembayaran utang luar negeri yang sama sekali tidak memberikan manfaat kepada
rakyat, atau dinikmati oleh kontraktor-kontraktor, konsultan, para pemasok dari negara
kreditor sebagai syarat pencairan utang untuk pembangunan proyek-proyek utang.
Secara moral, penghapusan utang luar negeri adalah tindakan yang dapat dibenarkan.
Bahkan, kini telah muncul wacana tentang utang sosial-ekologis negara-negara maju
terhadap negara-negara di dunia ketiga. Tesisnya adalah bahwa kemakmuran dan gaya
hidup konsumen di negara-negara maju, diperoleh melalui eksploitasi terhadap kekayaan
alam di dunia ketiga yang dihisap sejak jaman kolonialisme hingga hari ini. Tesis kedua,
kemakmuran dan gaya hidup konsumen di dunia maju harus dibayar dengan kerusakan
lingkungan yang harus ditanggungkan kepada rakyat di dunia ketiga. Di antaranya
pemanasan global, penipisan lapisan ozon, yang kontributor utamanya adalah konsumsi
di negara maju.
Pembaharuan di bidang Kelembagaan
Kelembagaan pemerintah pengelola lingkungan hidup yang ada saat ini tidak mampu
berfungsi secara efektif karena sifat kewenangan yang terbatas mengoordinasikan
kebijakan sektor dalam bidang lingkungan hidup di tingkat nasional. Dalam penentuan
kebijakan, kepentingan lingkungan hidup selalu dimarjinalkan di bawah kepentingan
sektor yang berorientasi eksploitasi dan skala besar. Selain itu, kepengurusan lembaga
lingkungan hidup yang sentralistis, menambah kompleksitas penanganan masalah
penurunan kualitas lingkungan di berbagai daerah.

Kementerian Negara Lingkungan

Hidup tidak memiliki fungsi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kebijakan dalam
rangka menjamin daya dukung lingkungan, menjamin keadilan dan keberlanjutan
lingkungan bagi generasi sekarang dan mendatang.
Selain itu, efektifitas kelembagaan pengelolaan sumber daya alam didukung oleh
keberadaan peran masyarakat. Peran masyarakat adalah bersumber dari tiga hak dasar
masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan, yaitu hak masyarakat untuk
mengakses informasi (public right to access information), hak masyarakat untuk

berpartisipasi (public right to participate), dan hak masyarakat untuk mendapatkan


keadilan (public right to justice). Dalam Konteks pengelolaan sumber daya alam, ketiga
hak dasar masyarakat tersebut mutlak harus dijamin pelaksanaannya.
Dengan demikian, dalam hal penataan kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup,
reformasi kelembagaan yang harus dilakukan:
Kelembagaan yang terkait dengan kebijakan makro pengelolaan lingkungan hidup harus
diletakkan dalam satu portofolio koordinasi di tingkat nasional. Lingkungan hidup harus
dijadikan landasan bagi penyangga dan penjamin keberlanjutan kehidupan Indonesia di
masa mendatang dan tidak lagi sebagai penyangga ekonomi.
Menetapkan kelembagaan yang memiliki fungsi perlindungan dan konservasi
lingkungan, yang kewenangannya meliputi perencanaan, penetapan baku mutu dan
standar pengelolaan lingkungan, mitigasi dampak penurunan kualitas lingkungan, dan
rehabilitasi akibat pencemaran.

Lembaga ini juga harus mengintegrasikan fungsi

pengawasan dan penegakan hukum lingkungan dan memiliki kewenangan penundaan ijin
operasi sementara, jika diduga terjadi pelanggaran hukum di bidang lingkungan.
Mengintegrasikan kelembagaan yang memiliki fungsi menjamin akses terhadap
pemanfaatan lingkungan secara adil dan berkelanjutan. Sebagai konsekuensinya, perlu
dilakukan kaji ulang dan perampingan kelembagaan sektoral yang ada saat ini. Idealnya,
seluruh kelembagaan sektoral berada pada satu atap dari mulai perijinan, perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan. Lembaga ini harus berkoordinasi dan bersinergi secara erat
dengan lembaga di poin kedua.
Di tingkat daerah, kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup hendaknya menganut
prinsip desentralisasi kewenangan berdasarkan fungsi, yang diharapkan dapat
mendekatkan proses pengambilan keputusan dari pengambil keputusan kepada kelompok
penerima dampak. Bentuk kelembagaan yang diusulkan adalah pemerintahan rakyat
(community governance), di mana kelembagaan ini sifatnya ad-hoc, informal,
multistakeholder, pendekatan berdasarkan isu dan kepentingan yang dikelola dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Kelembagaan formal pemerintah dalam bidang

pengelolaan lingkungan menjadi bagian dari pemerintahan rakyat ini.

Pembaharuan Perundang-undangan
Reformasi perundang-undangan diperlukan karena tidak adanya kesamaan cara pandang
terhadap lingkungan hidup sebagai penyangga kehidupan, yang berakar pada persoalan
pemahaman yang parsial sehingga menimbulkan pendekatan sektoral dan jangka pendek
dalam pengelolaannya.
Dari sisi proses penyusunan perundang-undangan, juga tidak memenuhi prasyarat dan
prinsip seperti telah disebutkan di atas. Akhirnya, terjadi ketimpangan antara peraturan
yang dibuat, implementasi, dan proses penegakan undang-undang yang bersangkutan.
Ada kecenderungan eskalasi kerusakan lingkungan akibat lingkungan tidak dimaknai
sebagai satu kesatuan yang utuh. Lingkungan hidup dimaknai sebagai satu obyek statis
yang hampa dari interaksi dengan manusia. Hak rakyat atas lingkungan hidup yang
bersih dan sehat serta kewajiban negara untuk menjamin hak konstitusional warga
negaranya tidak dapat dijabarkan secara baik keterkaitannya.
Reformasi dalam bidang ini membutuhkan tiga

undang-undang payung bagi

terlaksananya reformasi lingkungan hidup, dalam rangka menjamin pemenuhan


kewajiban negara terhadap hak konstitusional warga negaranya.
Pertama, kita memerlukan undang-undang untuk melaksanakan reforma agraria atau land
reform.

Undang-undang ini mutlak diperlukan untuk menghilangkan dan mengatasi

ketimpangan dan ketidakadilan akses, kontrol, dan kepemilikan sumberdaya agraria yang
bersifat struktural. Jika reforma pertanahan telah selesai dilaksanakan, maka undangundang ini dapat dicabut.
Kedua, adalah undang-undang yang mengatur pengelolaan agraria atau sumberdaya alam
dengan mengacu kepada asas kehati-kehatian (precautionary principle), keadilan antar
dan intragenerasi, kepastian hukum (termasuk kepastian usaha), perlindungan masyarakat
adat, keterbukaan, keterpaduan antarsektor, dan keberlanjutan. Selain itu, juga memuat

hal-hal yang berkenaan dengan aspek-aspek demokrasi pengelolaan Sumber daya alam
yang tercermin dalam pengaturan tentang hak dan peran serta masyarakat yang lebih
hakiki (genuine) dan terinci dengan menjabarkan prinsip akses informasi, partisipasi
publik, dan akses keadilan; kemudian bagaimana pengakuan dan perlindungan secara
utuh hak-hak tradisional, wilayah ulayat, hukum adat, dan sistem nilai masyarakat adat
dalam pengelolaan SDA. Selain itu, pula diatur bagaimana pengawasan dan akuntabilitas
publik, serta transparansi dan keterbukaan manajemen pengelolaan SDA.
Ketiga, undang-undang yang memiliki wewenang untuk perlindungan lingkungan dan
sumber-sumber kehidupan rakyat.

Undang-undang ini mengatur upaya pencegahan

kerusakan, penanganan kerusakan, penegakan hukum/sanksi dan upaya rehabilitasi atau


pemulihan lingkungan.
Adapun pengaturan sektoral tetap diperlukan mengingat karakteristik khusus yang
dimiliki oleh

masing-masing sektor.

Namun demikian, pengaturan tersebut harus

mengacu pada ketiga rambu peraturan perundangan tersebut. Hal ini untuk mencegah
tumpang tindih kewenangan, seperti yang ada pada saat ini.

Peraturan sektoral

hendaknya hanya mengatur urusan teknis pengelolaan sumberdaya yang bersangkutan.

10 Tahun Reformasi Penegakkan Hukum Belum Sesuai Harapan

Padang (ANTARA News) - Sepuluh tahun gerakan reformasi di Indonesia, tetapi upaya
penegakan hukum, terutama pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
belum sesuai dengan harapan, karena masih diwarnai kepentingan politik.
Penilaian itu disampaikan Dekan Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta (UBH)
Padang, Boy Yendra Tamin, SH,MH di Padang, Selasa, ketika diminta tanggapannya
upaya penegakan hukum di era reformasi ini.
Boy mengatakan, satu dari agenda reformasi mengharapkan supremasi hukum dalam
pemberantasan KKN menjadi garda terdepan dalam memperbaiki tatanan ekonomi
bangsa, namun kenyataan sampai sekarang hasilnya belum signifikan.
"Upaya penegakan hukum bukan tidak ada dan memang sudah berjalan, tetapi hasil
belum sesuai dengan apa yang diharapkan agenda reformasi," katanya.
Kekuasaan dipegang orang lama ganjal penegakan hukum terhadap pelaku KKN
Kondisi itu terjadi, menurut dia, karena penegakan hukum sampai sepuluh tahun
reformasi, belum menjadi agenda yang diprioritaskan dan masih berada pada urutan
setelah kepentingan ekonomi dan politik.
Kekuasaan politik masih dominan dan ikut mengganjal lambannya penegakan hukum
terhadap pelaku tindak pidana KKN.
Perubahan lambat tak sesuai perkembangan jaman
Selain itu, belum optimalnya hasil yang dicapai dalam menegakkan hukum
pemberantasan KKN di negeri ini, tak terlepas dari sistem hukum yang terkesan lambat
dilakukan perubahan.

Supaya proses penegakan hukum lebih terlihat hasil yang signifikan, menurut Boy,
pemerintah perlu mengubah sistem hukum yang ada dan disesuaikan dengan situasi atau
zamannya.
Semestinya sistem hukum di Indonesia sudah diubah lebih cepat sejak reformasi
digulirkan serta disesuaikan dengan perkembangan zaman. Tetapi, kenyataan itu tidak
terlaksana.
Dampak sistem hukum tidak sesuai dengan perkembangan bangsa, ketika ada
penyelesaian masalah hukum, selalu muncul persoalan hukum yang baru.
Selain itu, sistem hukum di Indonesia masih dipandang sebagai penindasan, sehingga
posisinya belum menjadi garda terdepan.(*)

Reformasi Digagalkan, Tetap Harus Ada Reformasi Jilid II

Jakarta (ANTARA News) - Pakar politik Prof Dr Hermawan Sulistyo menilai reformasi
tidak berjalan seperti yang diharapkan, bahkan di tingkat daerah dinilai gagal setelah 10
tahun reformasi.
"Politik di daerah jadi transaksi ekonomi, dijadikan sumber penghasilan untuk
menumpuk kekayaan," kata peneliti dari Pusat Penelitian Politik LIPI itu di sela seminar
"Indonesia`s Decade of Democratisation" di Jakarta, Rabu.

Situasi di daerah yang seperti ini, lanjutnya, lebih buruk dibanding situasi politik di
daerah pada 10 tahun yang lalu ketika Orde Baru masih bercokol.
Reformasi politik untuk mencari kepemimpinan baru di tingkat daerah, katanya,
membuat pelaku bisnis justru harus membayar kepada lebih banyak partai di banyak
daerah daripada sebelumnya dan membuat iklim investasi tak prospektif.
Spirit reformasi mengubah manusia, sistem tunduk kepada Tuhan
Di luar negeri, ujarnya, bantuan kepada partai politik dibatasi dengan peraturan,
pengawasan dan sanksi yang jelas, karena uanglah yang jadi sumber politik.
"Kalau di sini kebalikannya, politik menjadi sumber uang. Banyak pentolan parpol kaya
raya karena duduk di legislatif, padahal dia dulu dari jalanan," katanya.
Situasi politik di pusat setelah 10 tahun reformasi, ia menilai, lebih baik dibandingkan 10
tahun lalu, misalnya jika dilihat dari manajemen pemerintahan, pemberantasan korupsi
serta pengurangan kekuasaan yang terlalu besar pada lembaga eksekutif.
Namun, menurut dia, tetap harus ada reformasi jilid II, sehingga pemindahan kekuasaan
tidak hanya dari eksekutif ke legislatif, tetapi juga ke lembaga-lembaga lainnya, misalnya
pers serta lembaga non-pemerintah.
"Sejauh ini pers belum menjadi pilar demokrasi, tetapi hanya penikmat demokrasi. Pers
menikmati kebebasan begitu datang masa reformasi, tetapi pers sendiri tampaknya tak
mengerti substansi reformasi," katanya.
Ia mengatakan semakin banyak sumber kekuasaan semakin bagus karena kekuasaan
semakin terbagi-bagi.(*)

Anda mungkin juga menyukai