Anda di halaman 1dari 7

Tugas Individu

Rahmat Azul Mizan

Mata Kuliah: Teori Keruangan

F1 I1 12 029

Tugas 2.
1. Apa yang dibangun Soeharto selama memimpin Indonesia selama kurang lebih 30
tahun?
Jawab:
Dibalik sejarah yang kelam pada masa orde baru terdapat beberapa keberhasilan
yang telah dicapai selama masa kepemimpinan Soeharto kurang lebih 30 tahun, berikut
beberapa keberhasilan yang telah dicapai selama kurun waktu tersebut:
1. Swasembada Beras
Baru Sektor pertanian harus dibangun lebih dahulu, sektor ini harus ditingkatkan
produktivitasnya. Bertumpu pada sektor pertanian yang makin tangguh itulah, kemudian
dibangun sektor-sektor lainnya. Pemerintah membangun berbagai prasarana pertanian,
seperti irigasi dan perhubungan, cara-cara bertani dan teknologi pertanian yang baru
diajarkan dan disebarluaskan kepada para petani melalui kegiatan-kegiatan penyuluhan,
penyediaan pupuk dengan membangun pabrik-pabrik pupuk. Kebutuhan pembiayaan
para petani disediakan melalui kredit perbankan. Pemasaran hasil-hasil produksi mereka
diberikan kepastian melalui kebijakan harga dasar dan kebijakan stok beras oleh
pemerintah (Badan Urusan Logistik atau Bulog). Strategi yang mendahulukan
pembangunan

pertanian

tadi

telah

berhasil

mengantarkan

bangsa

Indonesia

berswasembada beras, menyebarkan pembangunan secara luas kepada rakyat, dan


mengurangi kemiskinan di Indonesia.
Sejak tahun 1968 sampai dengan tahun 1992, produksi padi sangat meningkat.
Dalam tahun 1968 produksi padi mencapai 17.156 ribu ton dan pada tahun 1992 naik
menjadi 47.293 ribu ton yang berarti meningkat hampir tiga kalinya. Perkembangan ini
berarti bahwa dalam periode yang sama, produksi beras per jiwa meningkat dari 95,9 kg
menjadi 154,0 kg per jiwa. Prestasi yang besar, khususnya di sektor pertanian, telah
mengubah posisi Indonesia dari negara pengimpor beras terbesar di dunia dalam tahun
1970-an menjadi negara yang mencapai swasembada pangan sejak tahun 1984.
Kenyataan bahwa swasembada pangan yang tercapai pada tahun itu, juga selama lima

tahun terakhir sampai dengan tahun terakhir Repelita V tetap dapat dipertahankan
Kesejahteraan Penduduk
Strategi

mendahulukan

pembangunan

bidang

pertanian

disertai

dengan

pemerataan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat yang meliputi penyediaan kebutuhan


pangan, peningkatan gizi, pemerataan pelayanan kesehatan, keluarga berencana,
pendidikan dasar, air bersih, dan perumahan sederhana. Strategi ini dilaksanakan secara
konsekuen dalam setiap Repelita. Dengan strategi ini pemerintah telah berhasil
mengurangi kemiskinan di tanah air. Hasilnya adalah jumlah penduduk miskin di
Indonesia makin berkurang. Pada tahun 1970-an ada 60 orang di antaranya yang hidup
miskin dari setiap 100 orang penduduk. Jumlah penduduk miskin ini sangat besar, yaitu
sekitar 55 juta orang. Penduduk Indonesia yang miskin ini terus berkurang jumlahnya
dari tahun ke tahun. Pada tahun 1990 tinggal 15 orang yang masih hidup miskin dari
setiap 100 orang.
Hanya sedikit negara yang berhasil menurunkan jumlah kemiskinan penduduknya
secepat pemerintah Indonesia. Prestasi ini membuat rasa percaya diri bangsa Indonesia
bertambah tebal. Pada waktu Indonesia mulai membangun tahun 1969, penghasilan
rata-rata per jiwa rakyat Indonesia hanya sekitar 70 dolar Amerika per tahun. Tahun
1993, penghasilannya sudah di atas 600 dolar Amerika. Selain menurunnya jumlah
penduduk miskin dan meningkatnya penghasilan rata-rata penduduk sebagaimana
tersebut di atas, juga harapan hidup masyarakat telah meningkat.
Jika pada awal tahun 1970-an penduduk Indonesia mempunyai harapan hidup rata-rata
50 tahun, maka dalam tahun 1990-an harapan hidup itu telah meningkat menjadi lebih
dari 61 tahun. Dalam kurun waktu yang sama, angka kematian bayi menurun dari 142
untuk setiap 1.000 kelahiran hidup menjadi 63 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup.
Sementara itu, pertumbuhan penduduk juga dapat dikendalikan melalui program
Keluarga Berencana (KB). Selama dasawarsa 1970-an laju pertumbuhan penduduk
mencapai sekitar 2,3% per tahun. Pada awal tahun 1990-an, angka tadi sudah dapat
diturunkan menjadi sekitar 2,0% per tahun.
2. Perubahan Struktur Ekonomi
Berdasarkan amanat GBHN 1983 dengan kebijakan pemerintah dalam
pembangunan telah terjadi perubahan struktur ekonomi. Dari titik berat pada sektor

pertanian menjadi lebih berimbang dengan sektor di luar pertanian. Pada saat Indonesia
mulai membangun (tahun 1969), peranan sektor pertanian dalam Produk Domestik
Bruto (PDB) secara persentase adalah 49,3%. Sektor-sektor di luar sektor pertanian,
seperti sektor industri pengolahan 4,7%, bangunan 2,8%, perdagangan dan jasa-jasa
30,7%. Melalui Repelita terlihat bahwa tahun demi tahun peranan sektor pertanian telah
menurun. Sebaliknya, peranan sektor-sektor di luar sektor pertanian (nonpertanian,
seperti

industri

pengolahan,

bangunan,

perdagangan,

dan

jasa-jasa

lainnya)

menunjukkan peningkatan peranan terhadap PDB.


Pada tahun 1990, sektor industri pengolahan meningkat mencapai 19,3%. Perdagangan,
hotel, dan restoran mencapai 16,1%, sedangkan jasa-jasa mencapai 3,4%. Apabila
dijumlahkan sektor-sektor di luar sektor pertanian tersebut, peranannya terhadap PDB
tahun 1990 mencapai 38,8%, berarti jauh lebih tinggi dari peranan sektor pertanian yang
hanya 19,6%.
3. Perubahan Struktur Lapangan Kerja
Lebih banyak tenaga kerja yang beralih dari lapangan usaha sektor pertanian ke
sektor usaha lainnya karena bertambahnya lapangan kerja baru yang diciptakan. Selama
periode tahun 1971 sampai dengan 1988 pertumbuhan tenaga kerja di luar sektor
pertanian lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan di sektor pertanian. Perubahan
struktur tenaga kerja tersebut telah pula membawa dampak terhadap cara hidup dan
kebutuhan hidup keluarga. Hal ini dengan sendirinya akan berpengaruh terhadap pola
konsumsinya (adanya permintaan masyarakat yang meningkat).
4. Perkembangan Investasi
Kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang senantiasa dilakukan pemerintah di
berbagai sektor ekonomi serta ditunjang adanya sarana infrastruktur yang makin
bertambah baik di daerah-daerah, akan membawa iklim segar bagi investor baik dari
dalam maupun luar negeri. Para investor ini akan menanamkan modalnya di daerah
dengan berbagai produk baik dalam rangka penanaman modal dalam negeri (PMDN)
maupun penanaman modal asing (PMA).

5. Perkembangan Ekspor
Perkembangan investasi (PMDN dan PMA) membawa dampak terhadap produk
yang dihasilkan. Produk yang dihasilkan tersebut tidak hanya ditujukan untuk pasaran
dalam negeri, tetapi lebih banyak ditujukan untuk ekspor (pasaran luar negeri). Jenis
barang yang dihasilkan industri dalam negeri setiap tahun menunjukkan peningkatan
baik jenis maupun nilai ekspor sebagaimana dapat dilihat perkembangannya. Sejak
Repelita I, penerimaan dalam negeri yang bersumber dari penerimaan nonmigas jauh
lebih tinggi dari penerimaan migas. Namun, setelah investor asing menanamkan modal
di sektor perminyakan sekitar tahun 1969/1970 (Repelita II) mulai terlihat hasil ekspor
migas telah meningkat lebih tinggi daripada penerimaan ekspor nonmigas (perpajakan
dan bukan pajak). Hingga tahun 1985/1986 (tahun kedua Repelita IV), penerimaan
dalam negeri sangat bertumpu pada hasil ekspor migas. Namun, saat terjadi krisis
ekonomi yang melanda dunia di tahun 1980-an, maka hal tersebut telah berdampak
negatif terhadap tingkat harga minyak bumi di pasaran dunia. Pasaran harga minyak
bumi sejak terjadinya krisis ekonomi dunia tidak lagi dapat diharapkan. Sejak itu harga
minyak bumi telah anjlokdari 25,13 dolar Amerika per barel dalam bulan Januari 1986
turun menjadi 9,83 dolar Amerika per barel dalam bulan Agustus 1986. Anjloknyaharga
minyak bumi di pasaran dunia telah memengaruhi penerimaan dalam negeri.
Dalam upaya memperbaiki keadaan ekonomi dan keuangan negara, menteri
keuangan RI pada tanggal 12 September 1986, telah mengambil tindakan devaluasi
rupiah terhadap nilai mata uang asing dan segera mengubah struktur penerimaan dalam
negeri dari ketergantungan pada penerimaan migas beralih kepada penerimaan
nonmigas. Dengan devaluasi ini diharapkan komoditas nonmigas Indonesia akan
meningkat karena dengan perhitungan sederhana, devaluasi sebesar 45% barang
(komoditas) Indonesia akan lebih murah 45% bila dibeli dengan dolar Amerika Serikat.
Dengan demikian, barang-barang ekspor nonmigas Indonesia akan mempunyai daya
saing lebih kuat di pasaran internasional. Untuk meningkatkan penerimaan dalam negeri
dari sektor nonmigas, pemerintah telah mengambil langkah-langkah khusus untuk
menaikkan penerimaan dari ekspor nonmigas, seperti kebijaksanaan deregulasi dan
debirokratisasi.
Sebaliknya, dengan devaluasi 45% ini berarti barang-barang impor akan
meningkat harganya 45% jika dibeli dengan rupiah. Berdasarkan gambaran perhitungan

sederhana ini, maka dampak devaluasi yang bisa diharapkan adalah di satu pihak ekspor
nonmigas akan meningkat, di lain pihak impor akan berkurang. Dengan demikian,
neraca pembayaran Indonesia akan dapat dipertahankan pada tingkat yang sehat.
6. Laju Pertumbuhan Ekonomi
Laju pertumbuhan ekonomi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) telah
mendorong laju pertumbuhan ekonomi secara nasional yang diukur dengan Produksi
Domestik Bruto (PDB). Tingkat pertumbuhan PDB selama periode 19691989 yang
diukur atas dasar harga yang berlaku maupun menurut harga konstan menunjukkan
adanya peningkatan. Sejak tahun 1969 sampai dengan tahun 1983 yang merupakan
tahun terakhir Pelita III, tingkat rata-rata pertum-buhannya sebesar 7,2% per tahun.
Selanjutnya, tingkat rata-rata pertumbuhan ekonomi selama Pelita IV yang diukur
dengan PDB tahun 1983 sebesar 5,2% per tahun. Berarti lebih tinggi daripada rata-rata
laju pertumbuhan ekonomi per tahun yang direncanakan dalam Repelita IV sebesar
5,0%. Sementara itu, tingkat pertumbuhan PDB tahun 1989 yang merupakan tahun
pertama pelaksanaan Pelita V (1989/19901993/1994) adalah 7,4%, dan tahun 1990
sebesar 7,4% (tahun kedua). Dalam tahun-tahun berikutnya menunjukkan laju
pertumbuhannya adalah tahun 1991 sebesar 6,8%, tahun 1992 sebesar 6,3%, dan tahun
1993 yang merupakan tahun terakhir pelaksanaan Pelita V sebesar 6,0%. Jadi,
pertumbuhan ekonomi Pelita V rata-rata adalah 6,9% per tahun. Berarti lebih tinggi
daripada rata-rata pertumbuhan ekonomi per tahun yang direncanakan dalam Repelita V
sebesar 5,0%. Repelita VI (1994/19951998/1999) yang merupakan tahapan pembangunan lima tahun pertama dalam periode 25 tahun kedua Pembangunan Jangka
Panjang (PJP II), pertumbuhan ekonomi yang direncanakan dalam Repelita VI adalah
rata-rata 6,2% per tahun.
2. Apa yang telah dibangun sejak era reformasi tahun 1998?
Jawab:
A. Pemerintahan presiden BJ. Habibie
Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang mengawali masa reformasi belum
melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakankebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik. Pada masa

kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup
berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan
ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan
mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang
menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan
oleh presiden Megawati.
B. Pemerintahan presiden Megawati Soekarnoputri
Masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi
dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalanpersoalan ekonomi antara lain : Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8
milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar
negeri sebesar Rp 116.3 triliun. Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah
menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi
perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban
negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia
menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang
diprivatisasi dijual ke perusahaan asing. Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK
(Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam
pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir
dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya
pembangunan nasional
C. Pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Kebijakan kontroversial pertama presiden Yudhoyono adalah mengurangi subsidi
BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi
oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor
pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan
kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin.
Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan
berbagai masalah sosial. Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan

perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong


pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki
iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit
pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepalakepala daerah.
Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan
kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan
untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salahsatunya
adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di
Indonesia,

diharapkan

jumlah

kesempatan

kerja

juga

akan

bertambah.

Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF
sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti
agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negri. Namun wacana untuk
berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa
kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah
penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta
jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena
pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka
menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada
turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga
menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi
pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari
luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negri masih kurang kondusif.

Anda mungkin juga menyukai