F1 I1 12 029
Tugas 2.
1. Apa yang dibangun Soeharto selama memimpin Indonesia selama kurang lebih 30
tahun?
Jawab:
Dibalik sejarah yang kelam pada masa orde baru terdapat beberapa keberhasilan
yang telah dicapai selama masa kepemimpinan Soeharto kurang lebih 30 tahun, berikut
beberapa keberhasilan yang telah dicapai selama kurun waktu tersebut:
1. Swasembada Beras
Baru Sektor pertanian harus dibangun lebih dahulu, sektor ini harus ditingkatkan
produktivitasnya. Bertumpu pada sektor pertanian yang makin tangguh itulah, kemudian
dibangun sektor-sektor lainnya. Pemerintah membangun berbagai prasarana pertanian,
seperti irigasi dan perhubungan, cara-cara bertani dan teknologi pertanian yang baru
diajarkan dan disebarluaskan kepada para petani melalui kegiatan-kegiatan penyuluhan,
penyediaan pupuk dengan membangun pabrik-pabrik pupuk. Kebutuhan pembiayaan
para petani disediakan melalui kredit perbankan. Pemasaran hasil-hasil produksi mereka
diberikan kepastian melalui kebijakan harga dasar dan kebijakan stok beras oleh
pemerintah (Badan Urusan Logistik atau Bulog). Strategi yang mendahulukan
pembangunan
pertanian
tadi
telah
berhasil
mengantarkan
bangsa
Indonesia
tahun terakhir sampai dengan tahun terakhir Repelita V tetap dapat dipertahankan
Kesejahteraan Penduduk
Strategi
mendahulukan
pembangunan
bidang
pertanian
disertai
dengan
pertanian menjadi lebih berimbang dengan sektor di luar pertanian. Pada saat Indonesia
mulai membangun (tahun 1969), peranan sektor pertanian dalam Produk Domestik
Bruto (PDB) secara persentase adalah 49,3%. Sektor-sektor di luar sektor pertanian,
seperti sektor industri pengolahan 4,7%, bangunan 2,8%, perdagangan dan jasa-jasa
30,7%. Melalui Repelita terlihat bahwa tahun demi tahun peranan sektor pertanian telah
menurun. Sebaliknya, peranan sektor-sektor di luar sektor pertanian (nonpertanian,
seperti
industri
pengolahan,
bangunan,
perdagangan,
dan
jasa-jasa
lainnya)
5. Perkembangan Ekspor
Perkembangan investasi (PMDN dan PMA) membawa dampak terhadap produk
yang dihasilkan. Produk yang dihasilkan tersebut tidak hanya ditujukan untuk pasaran
dalam negeri, tetapi lebih banyak ditujukan untuk ekspor (pasaran luar negeri). Jenis
barang yang dihasilkan industri dalam negeri setiap tahun menunjukkan peningkatan
baik jenis maupun nilai ekspor sebagaimana dapat dilihat perkembangannya. Sejak
Repelita I, penerimaan dalam negeri yang bersumber dari penerimaan nonmigas jauh
lebih tinggi dari penerimaan migas. Namun, setelah investor asing menanamkan modal
di sektor perminyakan sekitar tahun 1969/1970 (Repelita II) mulai terlihat hasil ekspor
migas telah meningkat lebih tinggi daripada penerimaan ekspor nonmigas (perpajakan
dan bukan pajak). Hingga tahun 1985/1986 (tahun kedua Repelita IV), penerimaan
dalam negeri sangat bertumpu pada hasil ekspor migas. Namun, saat terjadi krisis
ekonomi yang melanda dunia di tahun 1980-an, maka hal tersebut telah berdampak
negatif terhadap tingkat harga minyak bumi di pasaran dunia. Pasaran harga minyak
bumi sejak terjadinya krisis ekonomi dunia tidak lagi dapat diharapkan. Sejak itu harga
minyak bumi telah anjlokdari 25,13 dolar Amerika per barel dalam bulan Januari 1986
turun menjadi 9,83 dolar Amerika per barel dalam bulan Agustus 1986. Anjloknyaharga
minyak bumi di pasaran dunia telah memengaruhi penerimaan dalam negeri.
Dalam upaya memperbaiki keadaan ekonomi dan keuangan negara, menteri
keuangan RI pada tanggal 12 September 1986, telah mengambil tindakan devaluasi
rupiah terhadap nilai mata uang asing dan segera mengubah struktur penerimaan dalam
negeri dari ketergantungan pada penerimaan migas beralih kepada penerimaan
nonmigas. Dengan devaluasi ini diharapkan komoditas nonmigas Indonesia akan
meningkat karena dengan perhitungan sederhana, devaluasi sebesar 45% barang
(komoditas) Indonesia akan lebih murah 45% bila dibeli dengan dolar Amerika Serikat.
Dengan demikian, barang-barang ekspor nonmigas Indonesia akan mempunyai daya
saing lebih kuat di pasaran internasional. Untuk meningkatkan penerimaan dalam negeri
dari sektor nonmigas, pemerintah telah mengambil langkah-langkah khusus untuk
menaikkan penerimaan dari ekspor nonmigas, seperti kebijaksanaan deregulasi dan
debirokratisasi.
Sebaliknya, dengan devaluasi 45% ini berarti barang-barang impor akan
meningkat harganya 45% jika dibeli dengan rupiah. Berdasarkan gambaran perhitungan
sederhana ini, maka dampak devaluasi yang bisa diharapkan adalah di satu pihak ekspor
nonmigas akan meningkat, di lain pihak impor akan berkurang. Dengan demikian,
neraca pembayaran Indonesia akan dapat dipertahankan pada tingkat yang sehat.
6. Laju Pertumbuhan Ekonomi
Laju pertumbuhan ekonomi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) telah
mendorong laju pertumbuhan ekonomi secara nasional yang diukur dengan Produksi
Domestik Bruto (PDB). Tingkat pertumbuhan PDB selama periode 19691989 yang
diukur atas dasar harga yang berlaku maupun menurut harga konstan menunjukkan
adanya peningkatan. Sejak tahun 1969 sampai dengan tahun 1983 yang merupakan
tahun terakhir Pelita III, tingkat rata-rata pertum-buhannya sebesar 7,2% per tahun.
Selanjutnya, tingkat rata-rata pertumbuhan ekonomi selama Pelita IV yang diukur
dengan PDB tahun 1983 sebesar 5,2% per tahun. Berarti lebih tinggi daripada rata-rata
laju pertumbuhan ekonomi per tahun yang direncanakan dalam Repelita IV sebesar
5,0%. Sementara itu, tingkat pertumbuhan PDB tahun 1989 yang merupakan tahun
pertama pelaksanaan Pelita V (1989/19901993/1994) adalah 7,4%, dan tahun 1990
sebesar 7,4% (tahun kedua). Dalam tahun-tahun berikutnya menunjukkan laju
pertumbuhannya adalah tahun 1991 sebesar 6,8%, tahun 1992 sebesar 6,3%, dan tahun
1993 yang merupakan tahun terakhir pelaksanaan Pelita V sebesar 6,0%. Jadi,
pertumbuhan ekonomi Pelita V rata-rata adalah 6,9% per tahun. Berarti lebih tinggi
daripada rata-rata pertumbuhan ekonomi per tahun yang direncanakan dalam Repelita V
sebesar 5,0%. Repelita VI (1994/19951998/1999) yang merupakan tahapan pembangunan lima tahun pertama dalam periode 25 tahun kedua Pembangunan Jangka
Panjang (PJP II), pertumbuhan ekonomi yang direncanakan dalam Repelita VI adalah
rata-rata 6,2% per tahun.
2. Apa yang telah dibangun sejak era reformasi tahun 1998?
Jawab:
A. Pemerintahan presiden BJ. Habibie
Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang mengawali masa reformasi belum
melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakankebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik. Pada masa
kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup
berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan
ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan
mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang
menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan
oleh presiden Megawati.
B. Pemerintahan presiden Megawati Soekarnoputri
Masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi
dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalanpersoalan ekonomi antara lain : Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8
milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar
negeri sebesar Rp 116.3 triliun. Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah
menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi
perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban
negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia
menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang
diprivatisasi dijual ke perusahaan asing. Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK
(Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam
pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir
dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya
pembangunan nasional
C. Pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Kebijakan kontroversial pertama presiden Yudhoyono adalah mengurangi subsidi
BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi
oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor
pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan
kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin.
Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan
berbagai masalah sosial. Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan
diharapkan
jumlah
kesempatan
kerja
juga
akan
bertambah.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF
sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti
agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negri. Namun wacana untuk
berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa
kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah
penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta
jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena
pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka
menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada
turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga
menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi
pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari
luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negri masih kurang kondusif.