Anda di halaman 1dari 15

3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.

Definisi
Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA) 15 tahun yang lalu,

status epileptikus didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih
rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas
kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan
bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar
kembali selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status
epileptikus.
2.

Epidemiologi
Insiden Status Epileptikus (SE) telah diperkirakan pada 10 sampai 41 kasus

per 100.000 orang pertahun. Sumber lain mengatakan bahwa angka kejadian SE
tipe tonik-klonik umu yang terjadi di Amerika Serikat berkisar 60.000-160.000
pertahunnya. Terhitung sekitar 100.000 menjadi 160.000 orang per tahun di
Amerika Serikat,yang kebanyakan adalah pasien dengan epilepsi. Sekitar 5% dari
orang dewasa dan 10% sampai 25% anak-anak dengan epilepsi akan memiliki
setidaknya satu episode SE, sedangkan 13% dari semua pasien dengan SE akan
memiliki rekurensi Angka kematian keseluruhan dari SE adalah sekitar 20%,
tetapi bervariasi luas, terutama berdasarkan usia, etiologi, dan durasi dari SE.
Mortalitas lebih tinggi pada pasien lanjut usia atau SE sekunder (yaitu, stroke
akut, anoksia, trauma, infeksi, gangguan metabolisme).
Data dari epidemiologi menunjukkan bahwa etiologi dari status epileptikus
dapat dikategorikan pada proses akut dan kronik. Pada usia tua SE kebanyakan
sekunder karena adanya penyakit serebrovaskular, disfungsi jantung dan
demensia. Pada negara miskin, epilepsi merupakan kejadian yang tak tertangani
dan merupakan angka kejadian yang paling tingi.

3.

Etiologi

Status epileptikus tonik-klonik, banyak berasal dari insult akut pada otak
dengan suatu fokus serangan. Penyebab status epileptikus yang banyak diketahui
adalah, infark otak mendadak, anoksia otak, bermacam-macam gangguan
metabolisme,

tumor

otak, menghentikan kebiasaan minuman keras secara

mendadak, atau berhenti makan obat anti kejang. Jarang status epileptikus
disebabkan oleh penyakit degenerasi sel-sel otak menghentikan penggunaan
penenang dengan mendadak, pasca anestesi dan cedera perinatal. Penderita
yang sebelumnya tidak mempunyai riwayat epilepsi, mungkin mempunyai
riwayat trauma kepala, radang otak, tumor, penyakit pembuluh darah otak.
Kelainan-kelainan ini terutama yang terdapat pada lobus frontalis, lebih
sering menimbulkan status epileptikus, dibandingkan dcngan lokasi lain pada
otak. Penderita yang

mempunyai

riwayat

epilepsi,

dcngan

sendirinya

mempunyai faktor pencetus tertentu. Umumnya karena tidak teratur makan obat
atau menghentikan obat sekehendak hatinya. Faktor pencetus lain yang harus
diperhatikan adalah alkohol, keracunan kehamilan, uremia dan lain-lain.
4.

Klasifikasi
Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena

penanganan yang efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada
umunya status epileptikus di karakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan-area
tertentu dari korteks (Partial Onset) atau dari kedua hemisfer otak (Generelized
onste). Kategori lainnya bergantng pada pengamatan klinis yaitu konvulsi atau
non-konvulsi.
Banyak pendekatan klinis diterapkan untuk mengklasifikasikan status
epileptikus. Satu versi mengkategorikan status epileptikus berdasarkan status
epileptikus umum (tonik klonik, mioklonik, absesn, atonik, akinetik) dan status
epileptikus parsial (sederhana atau kompleks). Versi lain membagi berdasarkan
status epileptikus umum (overt atau subtle) dan status epileptikus non-konvulsi
(parsial sederhana,parsial kompleks, absens). Versi ketiga dengan pendekatan
berbeda berdasarkan tahap kehidupan (batas pada periode neonatus, infan dan
anak-anak dan dewasa, dewasa).
Klasifikasi status epileptikus adalah sebagai berikut:
1.

Overt generalized convulsive status epilepticus

Aktivitas kejang yang berkelanjutan dan intermiten tanpa ada kesadaran


penuh.

2.

a. Tonik
b. Tonik
c. Klonik
d. Mioklonik
Subtle generalized convulsive status epilepticus diikuti dengan generalized
convulsive status epilepticus dengan atau tanpa aktivitas motorik.

3.

Simple/partial status epilepticus (consciousness preserved)

a. Simple motor status epilepticus


b. Sensory status epilepticus
c. Aphasic status epilepticus
4.

Nonconvulsive status epilepticus(consciousness impaired)

a. Petit mal status epilepticus


b. Complex partial status epilepticus.
5.

Patofisiologi
Pada status epileptikus terjadi kegagalan mekanisme normal untuk

mencegah kejang. Kegagalan ini terjadi bila rangsangan bangkitan kejang


(Neurotransmiter eksitatori: glutamat, aspartat dan acetylcholine) melebihi
kemampuan hambatan intrinsic (GABA) atau mekanisme hambatan intrinsik tidak
efektif.
Status epileptikus dibagi menjadi 2 fase, yaitu: (1,3)
1. Fase I (0-30 menit) - mekanisme terkompensasi. Pada fase ini terjadi:
Pelepasan

adrenalin dan noradrenalin

Peningkatan
Hipertensi,

cerebral blood flow dan metabolisme

hiperpireksia

Hiperventilasi,

takikardi, asidosis laktat

2. Fase II (> 30 menit) - mekanisme tidak terkompensasi. Pada fase ini terjadi:
Kegagalan

autoregulasi serebral/edema otak

Depresi pernafasan
Disritmia

jantung, hipotensi

Hipoglikemia,

hiponatremia

Gagal

ginjal, rhabdomyolisis, hipertermia dan DIC

Penyebab terjadinya status epileptikus antara lain infeksi, hipoglikemia,


hipoksemia, trauma, epilepsi, panas, dan tidak diketahui (30%). Patofisiologi
status epileptikus terdiri dari banyak mekanisme dan masih sangat sedikit
diketahui. Beberapa mekanisme tersebut adalah adanya kelebihan proses eksitasi
atau inhibisi yang inefektif pada neurotransmiter, dan adanya ketidak seimbangan
aktivitas reseptor eksitasi atau inhibisi di otak. Neurotransmiter eksitatorik utama
yang berperan dalam kejang adalah glutamat. Faktor faktor apapun yang dapat
meningkatkan aktivitas glutamat akan menyebabkan terjadinya kejang.
Neurotransmiter inhibitorik yang berperan dalam kejang adalah GABA.
Antagonis GABA seperti penisilin dan antibiotik dapat menyebabkan terjadinya
kejang. Selain itu, kejang yang berkelanjutan akan menyebabkan desensitisasi
reseptor GABA sehingga mudah menyebabkan kejang.
Kerusakan CNS dapat terjadi oleh karena ketidakseimbangan hormon
dimana terdapat glutamat yang berlebihan yang akan menyebabkan masuknya
kalsium dalam sel neuron dan akhirnya menyebabkan apoptosis (eksitotoksik).
Selain itu, juga dapat disebabkan oleh GABA dikeluarkan sebagai mekanisme
kompensasi terhadap kejang tetapi GABA itu sendiri menyebabkan terjadinya
desensitisasi reseptor, dan efek ini diperparah jika terdapat hipertermi, hipoksia,
atau hipotensi.
Terdapat dua fase dalam status epileptikus yaitu fase pertama ( 0 30 menit)
dan fase kedua (> 30 menit). Pada fase pertama, mekanisme kompensasi masih
baik dan menimbulkan pelepasan adrenalin dan noradrenalin, meningkatnya aliran
darah

ke

otak,

meningkatnya

metabolisme,

hipertensi,

hiperpireksia,

hiperventilasi, takikardi, dan asidosis laktat. Pada fase kedua, mekanisme


kompensasi telah gagal mempertahankan sehingga autoregulasi cerebral gagal dan
menimbulkan odem otak, depresi pernafasan, aritmia jantung, hipotensi,
hipoglikemia, hiponatremia, gagal ginjal, rhabdomiolisis, hipertermia, dan DIC.
Secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima
fase. Fase pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti peningkatan aliran
darah otak dan cardiac output, peningkatan oksigenase jaringan otak, peningkatan
tekanan darah, peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa serum dan

penurunan pH yang diakibatkan asidosis laktat. Perubahan saraf reversibel pada


tahap ini. Setelah 30 menit, ada perubahan ke fase kedua, kemampuan tubuh
beradaptasi berkurang dimana tekanan darah , pH dan glukosa serum kembali
normal. Kerusakan syaraf irreversibel pada tahap ini. Pada fase ketiga aktivitas
kejang berlanjut mengarah pada terjadinya hipertermia (suhu meningkat),
perburukan pernafasan dan peningkatan kerusakan syaraf yang irreversibel.
Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap keempat,
ketika peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme ventilasi.
Keadaan ini diikuti oleh penghentian dari seluruh klinis aktivitas kejang pada
tahap kelima, tetapi kehilangan syaraf dan kehilangan otak berlanjut.
Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi
maksimal pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari
korteks serebri, serebellum, hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala).
Hipokampus mungkin paling sensitif akibat efek dari status epileptikus, dengan
kehilangan syaraf maksimal dalam zona Summer. Mekanisme yang tetap dari
kerusakan atau kehilangan syaraf begitu kompleks dan melibatkan penurunan
inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor GABA dan meningkatkan pelepasan dari
glutamat dan merangsang reseptor glutamat dengan masuknya ion Natrium dan
Kalsium dan kerusakan sel yang diperantarai kalsium.

6.

Manifestasi Klinis
Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk

mencegah keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized


Tonic-Clonic) merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai,
hasil dari survei ditemukan kira-kira 44 sampai 74 persen, tetapi bentuk yang lain
dapat juga terjadi.
A. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status
Epileptikus)
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi
dan potensial dalam mengakibatkan kerusakan.Kejang didahului dengan tonikklonik umum atau kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik
umum.Pada status tonik-klonik umum, serangan berawal dengan serial kejang
tonik-klonik umum tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan dan peningkatan
frekuensi. Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik
yang melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputusputus.Pasien menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi
CO2.Adanya takikardi dan peningkatan tekanan darah, hyperpireksia mungkin
berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi yang
mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik.
Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak
tertangani.

A.

Status

Epileptikus

Klonik-Tonik-Klonik

(Clonic-Tonic-Clonic

Status

Epileptikus)
Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum
mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.

B.

Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)


Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan

kesadaran tanpa diikuti fase klonik.Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik dan
merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut Syndrome.

A. Status Epileptikus Mioklonik


Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan
mioklonus adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya
tingkat kesadaran. Tipe dari status epileptikus tidak biasanya pada enselofati
anoksia berat dengan prognosa yang buruk, tetapi dapat terjadi pada keadaan
toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif.
B. Status Epileptikus Absens
Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia
pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status
presen sebagai suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat
seperti menyerupaislow motion movie dan mungkin bertahan dalam waktu
periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang umum primer atau kejang absens
pada masa anak-anak.Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz monotonus
(monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat.Respon terhadap status epileptikus
Benzodiazepin intravena didapati.
C. Status Epileptikus Non Konvulsif
Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial
kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus nonkonvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma.

10

Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia,delusional,


cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi
psikomotor

dan

pada

beberapa

kasus

dijumpai

psikosis.

Pada

EEG

menunjukkan generalized spike wave discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave


discharges dari status absens.
D. Status Epileptikus Parsial Sederhana
a. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan
jari-jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan
berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin
menetap secara unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG sering tetapi
tidak selalu menunjukkan periodic lateralized epileptiform discharges pada
hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana sering berhubungan dengan proses
destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari status somatomotorik ditandai
dengan adanya afasia yang intermitten atau gangguan berbahasa (status afasik).
b. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala
sensorik unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march.

E. Status Epileptikus Parsial Kompleks


Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi
yang cukup untuk mencegah pemulihan diantara episode.Dapat terjadi
otomatisme,

gangguan

berbicara,

dan

keadaan

kebingungan

yang

berkepanjangan.Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus temporalis atau


frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh.Kondisi ini dapat
dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status
epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus non-konvulsif pada beberapa
kasus.
7.

Penegakan Diagnosis

11

Diagnosa dalam keadaan status epileptikus tidak sukar, akan tetapi


perawatannya memerlukan lebih banyak perhatian. Status epileptikus dapat
timbul karena berbagai sebab. Bilamana dokter dipanggil untuk menolong
penderita, maka ia tidak usah langsung memberi obat untuk menghilangkan
kejang umum yang hebat itu. Dengan tenang harus menyelidiki dahulu penyakit
yang mendasarinya.

Anamnesis:
Anamnesis pasien harus dilakukan secara tertib dan teratur, meliputi lama

kejang, sifat kejang sama ada fokal, umum atau tonik/klonik. Seterusnya, tingkat
kesadaran diantara kejang, riwayat kejang sebelumnya serta riwayat kejang dalam
keluarga. Pasien juga harus ditanya sama ada panas, atau ada trauma kepala,
riwayat persalinan dan tumbuh kembang. Selain itu, riwayat penyakit
sistemik/SSP seperti keganasan, infeksi, kelainan metabolic, keracunan. Riwayat
putus obat atau gagalnya pengobatan yang sudah berjalan juga penting.

Pemeriksaan fisik :
Pemeriksaan neurologi lengkap meliputi tingkat kesadaran, penglihatan

dan pendengaran, refleks fisiologis dan patologi, lateralisasi, papiledema akibat


peningkatan

TIKakibat

tumor,perdarahan

dll.,

sistem

motorik

yaitu

kelumpuhan, tonus, pergerakan tidak terkendali, ataksia, dan sistem sensorik yaitu
parastesia, hipestesia, anestesia.

Pemerikasaan penunjang:
Terdiri dari pemeriksaan laboratorium yaitu darah CBC, elektrolit,

glukosa, fungsi ginjal dengan urin analisis dan kultur, jika ada didugaan infeksi
maka dilakukan kultur darah, dan Imaging yaitu CT scan dan MRI untuk
mengevaluasi lesi struktural di otak, EEG untuk mengetahui aktivitas listrik otak
dan dilakukan secepat mungkin jika pasien mengalami gangguan mental. Pungsi
lumbar dapat kita lakukan jika ada dugaan infeksi CNS atau perdarahan
subaraknoid

12

Gambaran EEG status epileptikus Subtle generalized convulsive status


epilepticus with spike wave activity
8.

Diagnosis Banding
Perlu dipikirkan Serial Epilepsy dan Sinkop merupakan diagnosis banding

daripada status epileptikus.


9.

Penatalaksanaan
Status epileptikus merupakan gawat darurat neurologic.

Harus diatasi

secepat mungkin untuk menghindarkan kematian atau cedera saraf permanen.


Biasanya dilakukan tindakan :
1. Stabilisasi penderita.
2. Menghentikan kejang.
Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang
membutuhkan anamnesa yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik, dan
penanganan segera mungkin dan harus dirawat pada ruang intensif (ICU).
Protokol penatalaksanaan status epileptikus pada makalah ini diambil berdasarkan
konsensus Epilepsy Foundation of America (EFA). Lini pertama dalam
penanganan status epileptikus menggunakan Benzodiazepin. Benzodiazepin yang
paling sering digunakan adalah Diazepam (Valium), Lorazepam (Ativan), dan
Midazolam (Versed). Ketiga obat ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari gaminobutyric acid (GABA) oleh ikatan pada Benzodiazepin-GABA dan kompleks
Reseptor-Barbiturat.

13

Berdasarkan penelitian Randomized Controlled Trials (RCT) pada 570


pasien yang mengalami status epileptikus yang dibagi berdasarkan empat
kelompok (pada tabel di bawah), dimana Lorazepam 0,1 mg/kg merupakan obat
terbanyak yang berhasil menghentikan kejang sebanyak 65 persen.

Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan


Diazepam dan karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat
larut dalam lemak dan akan terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit
setelah dosis awal, konsentrasi Diazepam plasma jatuh ke 20 persen dari
konsentrasi maksimal. Mula kerja dan kecepatan depresi pernafasan dan
kardiovaskuler (sekitar 10 %) dari Lorazepam adalah sama.
Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan menggunakan
Benzodiazepin. Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan
tidak lebih dari 50 mg dengan infus atau bolus. Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika
kejang berulang. Efek samping termasuk hipotensi (28-50 %), aritmia jantung
(2%). Fenitoin parenteral berisi Propilen glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida
dan penyuntikan harus menggunakan jarum suntik yang besar diikuti dengan
NaCl 0,9 % untuk mencegah lokal iritasi : tromboplebitis dan purple glove
syndrome. Larutan dekstrosa tidak digunakan untuk mengencerkan fenitoin,
karena akan terjadi presipitasi yang mengakibatkan terbentuknya mikrokristal.

Protokol Penatalaksanaan Status Epileptikus


Pada : awal menit
1. Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila perlu
intubasi)
a. Periksa tekanan darah
b. Mulai pemberian Oksigen

14

c.

Monitoring EKG dan pernafasan

d. Periksa secara teratur suhu tubu


e.

Anamnesa dan pemeriksaan neurologis

2.

Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar
glukosa, hitung darah lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar antikonvulsan
darah; periksa AGDA (Analisa Gas Darah Arteri)

3. Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat


4. Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan Tiamin 100
mg IV atau IM untuk mengurangi kemungkinan terjadinya wernickes
encephalophaty
5.

Lakukan rekaman EEG (bila ada)

6.

Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8 mg)


intravena dengan kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2 mg/kg (5 sampai
10 mg). Jika kejang tetap terjadi berikan Fosfenitoin (Cerebyx) 18 mg per kg
intravena dengan kecepatan 150 mg per menit, dengan tambahan 7 mg per kg jika
kejang berlanjut. Jika kejang berhenti, berikan Fosfenitoin secara intravena atau
intramuskular dengan 7 mg per kg per 12 jam. Dapat diberikan melalui oral atau
NGT jika pasien sadar dan dapat menelan.
Pada : 20 sampai 30 menit, jka kejang tetap berlangsung

1. Intubasi, masukkan kateter, periksa temperature


2.

Berikan Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg per kg intravena dengan


kecepatan 100 mg per meniT
Pada : 40 sampai 60 menit, jika kejang tetap berlangsung
Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial), kemudian bolus
intravena hingga kejang berhenti, monitoring EEG; lanjutkan infus Pentobarbital
1 mg per kg per jam; kecepatan infus lambat setiap 4 sampai 6 jam untuk
menetukan apakah kejang telah berhenti. Pertahankan tekanan darah stabil.
-atauBerikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75 sampai 10
mg per kg per menit, titrasi dengan bantuan EEG.
-atau-

15

Berikan Propofol (Diprivan) 1 sampai 2 mg per kg per jam. Berikan dosis


pemeliharaan berdasarkan gambaran EEG.
10.

Komplikasi
Asidosis
Hipoglikemia
Hiperkarbia
Hipertensi
Edema

pulmonal

paru

Hipertermia
Disseminated
Gagal

ginjal akut

Gangguan

11.
1.
2.
3.

Intravascular Coagulation (DIC)

keseimbangan cairan dan elektrolit

- Edema otak
Prognosis
Prognosis dari status epileptikus bergantung pada :
Penyakit dasar
Kecepatan penanganan kejang
Komplikasi

BAB III
KESIMPULAN
Status epileptikus didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau
lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau
aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang
tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai
status epileptikus. Penanganan yang cepat dan tanggap sangat diperlukan pada
penanganan status epileptikus untuk mencegah timbulnya mortalitas dan juga
komplikasi yang bisa memperburuk prognosis.

16

DAFTAR PUSTAKA
1.

Nia Kania, dr., SpA., MKes,Kejang pada Anak, Disampaikan pada acara
Siang Klinik Penanganan Kejang Pada Anak di AMC Hospital Bandung, 12

2.

Februari 2007.
Penatalaksanaan

3.

http://owthey.blogspot.com/ diakses 1 April 2011.


Darto Saharso,Status Epileptikus. Divisi Neuropediatri Bag./SMF Ilmu

4.

Kesehatan Anak FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya


Huff,
Steven.
Status
Epilepticus.
Available

5.

http://emedicine.medscape.com/ diakses 3 April 2011


Appleton PR, Choonara I, Marland T, Phillips B, Scott R, Whitehouse W.

status

epileptikus,

Available

at

from:

The treatment of convulsive status epilepticus in children. Arch Dis Child


6.

2000; 83:415-19.
Hanhan UA, Fiallos MR, Orlowski JP. Status epilepticus. Pediatr Clin North

7.

Am 2001;48:683-94.
Turner
C.
Epilepsy.

8.

edition.Philadelphia:Mosby Elsevier:2006.p.95-100
Franzon D.Status Epileptikus [online] [cited on 31 Oktober 2011] Available

In:

Neurology

Crash

course.

17

from : peds.stanford.edu/8_status_epilepticus.pdf

Anda mungkin juga menyukai