Anda di halaman 1dari 4

Wakaf, Tata Cara Perubahan Pengawasan dan Penyelesaian

Perselisihan Harta Wakaf


Posted by Mas Muluk on Jumat, Maret 09, 2012
Disusun Oleh : Kholil Khoirul Muluk
Dalam Rang Memenuhi Tugas Hukum Perdata Islam di Indonesia
BAB I
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wakaf
Secara bahasa wakaf berasal dari kata waqafa adalah sama dengan habasa. Jadi Al-Waaf sama dengan AlHabs yang artinya menahan. Dalam pengertian istilah, wakaf adalah menahan asal harta dan menjalankan
hasil atau mafaatnya. Ada yang memberi pengertian, wakaf adalah menahan atau menghentikan harta yang
dapat diambil manfaatnya guna kepentingan kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam
rumusan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor : 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik pasal 1 ayat (1)
yang juga ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 215 dinyatakan Wakaf adalah perbuatan
hokum seseorang atau kelompok orang atau badan hokum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya
dan melembagakanya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat ataukeperluan umum lainya sesuai
dengan ajaran islam. Beberapa definisi di atas memberikan pemahaman bahwa cakupan pengertian wakaf
meliputi :
1) Harta benda milik sesorang atau sekelompok orang;
2) Harta tersebut bersifat kekal zatnya, tidak habis apabila dipakai;
3) Harta tersebut dilepas kepemilikanya oleh pemiliknya;
4) Harta yang dilepas kepemilikanya tersebut tidak bias dihibahkan, diwariskan atau diperjualbelikan.
B. Macam-macam wakaf
a. Wakaf Ahli
Wakaf keluarga yaitu: wakaf yang manfaat dan hasilnya hanya diberikan wakif kepada seseorang atau
sekelompok orang berdasarkan hubungan dan pertalian yang dimaksud oleh wakif.seperti wakaf untuk
tetangga dengan jumlah dan nama yang telah ditentukan oleh wakif,wakaf untuk istri dan anak-anaknya
serta keturunannya,dan saat ini mayyoritas pemerintah telah memperhatikan pentingnya wakaf keluarga dan
peranannya dijalan kebaikan yang pada akhirnya juga akan menjadi wakaf umum. Karena dalam wakaf
keluarga keluarga juga terdapat pokok benda, atau hak, atau manfaat yang sengaja ditahan untuk tidak
langsung dikonsumsi atau diperlakukan sesuai dengan kehendak perorangan,dan manfaatnya disalurkan
sesuai dengan tujuan wakaf yaitu umumnya adalah anggota keluarga dan keturunan wakif.
b. Wakaf Khairi
Wakaf umum yaitu: wakaf yang tujuannya mencakup semua orang yang berada dalam tujuan wakaf baik
cakupan ini untuk seluruh manusia,atau kaum muslimin,atau orang-orang yang berada di daerah mereka.
Jika wakaf ,tujuannya umum untuk fakir miskin ,maka perlu diperjelas mencakup orang-orang miskin dari
kalangan muslim dan non muslim atau orang-orang miskin dari kalangan muslim saja,atau umat Kristen
saja,atau orang orang-orang miskin kalangan muslim yang berada disuatu daerahtanpa daerah yang lain
C. Rukun dan Syarat Wakaf
a) Waqif (orang yang mewakafkan) .
1. Badan-badan hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang telah dewasa dan sehat akalnya serta
yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dapat
mewakafkan benda miliknya dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Dalam hal badan-badan hukum, maka yang bertindak untuk dan atas namanya adalah pengurusnya yang
sah menurut hukum (ps. 3 PP 28/1977). Sebagai ibadah tabarru, wakaf memang tidak mengharuskan adanya
qabul. Ini harus dipahami bahwa dalam pelaksanaanya, wakaf perlu disertai bukti-bukti tertulis, agar
tindakan hukum wakaf mempunyai kekuatan hukum dan menciptakan tertib administrasi. Dasarnya pun
sebenarnya sangat jelas, karena ayat muamalah dalam QS. Al-Baqarah 282, tentang perintah mencatat dalam
urusan utang piutang, dapat menjadi analogi dalam pencatatan wakaf.
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskanya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskanya
dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskanya sebagaimana Allah telah mengajarkanya, maka

hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakan (apa yang akan ditulis itu),
dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhanya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun dari pada
hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaanya) atau dia sendiri
tidak dapat mengimlakan, maka hendaknya walinya mengilamkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan
dua orang saksi fari orang-orang laki di antaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang
lelaki dan dua orang permpuan dari sajksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang
lagi mengingatkanya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil;
dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu. Baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya.
Yang demikian itu, lebih adil disisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada
tidak (menimbulkan) keraguanmu. (tulislah muamalahmu itu) kecuali jika muamalah itu perdangan tunai
yang kamu jalankan diantara kamu, maka tak ada lagi dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan
persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika
kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan
bertaqwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah maha mengetahui segala sesuatu. (QS. AlBaqarah, 2: 282).
b) Maukuf alaih (tujuan wakaf)
Untuk menghindari penyalahgunaan wakaf, maka wakif perlu menegaskan tujuan wakafnya. Apakah harta
yang diwakafkan itu untuk menolong keuarganya sendiri sebagai wakaf keluarga (waaf ahly), atau untuk
fakir miskin, dan lain-lain,atau untuk kepentingan umum (waaf khairy) .yang jelas tujuanya adalah untuk
kebaikan, mencari keridhaan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Kegunaan wakaf bisa untuk sarana
ibadah murni, bias juga untuk sarana social keagamaan lainya yang lebih besar manfaatnya.
Karena itu, wakaf tidak bisa digunkan untuk kepentingan maksiat, membantu, mendukung atau yang
memungkinkan untuk tujuan maksiat. Menurut Abu Yahya Zakariya, menyerahkan wakaf kepada orang
yang tidak jelas identitasnya adalah tidak sah. Faktor Administrasi, kecermatan dan ketelitian dalam
mewakafkan barang menjadi sangat penting, demi keberhasilan tujuan dan manfaat wakaf itu sendiri.
Alangkah ruginya, jika niat yang baik untuk mewakafkan hartanya, tetapi kurang cermat dalam tertib
administrasinya, mengakibatkan tujuan wakaf menjadi terabaikan. Jika tertib administrasi ini ditempatkan
sebagai wasilah (instrument) hukum, maka hukumnya bisa menjadi wajib. Sebagaimana aksioma hukum
yang diformulasikan para ulama li al-wasail hukm al-maqashid artinya (hukum) bagi perantara, adalah
hukum apa yang menjadi tujuanya.
c) Sighat (ikrar atau prnyataan wakaf)
Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah atau benda miliknya (ps. 1 (3) PP No.
28/1977.Pernyataan ikrar atau wakaf ini harus dinyatakan secara tegas baik lisan maupun tertulis, dengan
redaksi aku mewakafkan atau aku menahan atau kalimat yang semakna lainya. Ikrar ini penting, karena
pernyataan ikrar membawa implikasi gugurnya hak kepemilkan wakif, dan harta wakaf menjadi milik Allah
atau milik umum yang dimanfaatkan untuk kepentingan umum yang menjadi tujuan wakaf itu sendiri.
Karena itu frekuensinya, harta wakaf tidak bias dihibahkan, diperjual belikan, atau pun diwariskan.
Secara teknis, ikrar wakaf diatur dalam pasal 5 PP 28/1977 jo. Pasal 218 KHI :
Pihak yang mewakafkan tanahnya harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada Nadzir
dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) seabgai mana dimaksud pasal 9 ayat (2) yang
kemudian menuangkanya dalam bentuk Aktra Ikrar Wakaf (AIW) dengan disaksikan oleh sekurangkurangnya 2 (dua) orang saksi.
Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dari dari ketentuan dimaksud dalam ayat (1) dapat dilaksanakan
setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri Agama.
D. Tata cara wakaf formal di Indonesia
1. Perorangan atau badan hukum yang akan mewakafkan tanah miliknya (sebagai calon wakif) datang
sendiri di hadapan PPAIW untuk melaksanakan ikrar wakaf. Bila calon wakif tidak dapat datang ke hadapan
PPAIW karena suatu sebab, seperti sakit, sudah sangat tua dan lain-lain dapat membuat ikrar wakaf secara
tertulis dengan persetujuan Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten letak tanah yang bersangkutan di
hadapan dua orang saksi. Ikrar wakaf itu kemudian dibacakan pada nazhir di hadapan PPAIW.
2. Pada waktu menghadap PPAIW tersebut, wakif harus membawa surat-surat sebagai berikut:
a) Sertifikat hak milik atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya seperti surat IPEDA (girik, petok, ketitir dan
sebagainya).
b) Surat Keterangan Kepada Desa yang diperkuat oleh Kepala Kecamatan setempat yang menerangkan
kebenaran pemilikan tanah dan tidak termasuk sengketa.

c) Surat keterangan pendaftaran tanah.


d) Izin dari Bupati/Kotamadya Kepada Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria Setempat.
3. PPAIW kemudian meneliti surat-surat dan syarat-syarat tersebut, apakah sudah memenuhi untuk
pelepasan hak atas tanah (untuk diwakafkan), meneliti saksi-saksi dan mengesahkan susunan nazhir.
4. Menurut Dr. Abdul Ghofur, wakif mengikrarkan kehendak wakif itu kepada nazir yang telah disahkan.
Ikrar tersebut harus diucapkan dengan jelas dan tegas dan dituangkan dalam bentuk tertulis. Bagi wakif yang
tidak dapat mengucapkan ikrarnya, karena bisu misalnya, ia dapat menyatakan kehendaknya itu dengan
isyarat, kemudian mengisi formulir ikrar wakaf. Kemudian semua yang hadir menandatangani blanko ikrar
wakaf. Tentang bentuk dan isi ikrar wakaf tersebut telah ditentukan di dalam peraturan Direktoral Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam tanggal 18 April 1978 No. Kep/D/75/78.
5. PPAIW segera membuat Akta Ikrar Wakaf rangkap tiga dengan dibubuhi materai dan Salinan Akta Ikrar
wakaf rangkap empat. Akta Ikrar Wakaf tersebut paling sedikit memuat: nama dan identitas wakif, nama dan
identitas nadzhir, data dan keterangan harta benda wakaf, peruntukan harta benda wakaf dan jangka waktu
wakaf. Selanjutnya selambat-lambatnya satu bulan sejak dibuatnya akta, akta tersebut wajib disampaikan
kepada pihak-pihak yang bersangkutan. Disamping membuat akta, PPAIW membukukan semua itu dalam
Daftar Akta Ikrar Wakaf dan menyimpannya dengan baik bersama aktanya.
E. Penyelesaian Perselisihan Wakaf
Dalam Undang-undang No. 41 tahun 2004 pada esensinya tidak jauh berbeda dengan Peratuaran Pemerintah
No. 28 tahun 1977, hanya saja pada Undang-undang tersebut memberikan alternative penyelesaian sengketa
melalui musyawarah, mediasi, arbitrase, dan jalan terakhir melalui pengadilan, dan pada dasarnya jalan
utama dalam menyelesaikan sengketa wakaf adalah dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat,
seperti yang terdapat dalam pasal pasal 62 Undang-undang No. 41 tahun 2004, sebagai berikut:
1. Penyelesaian sengketa perwakafan dapat ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.
2. Apabila cara penyelesaian sengketa sebagai mana dimaksud pada ayat 1 tidak berhasil, maka dapat
diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan.
Dalam penyelesaian sengketa perwakafan pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa perwakafan
adalah Pengadilan Agama dan Pengadilan Umum. Sebagaimana yang terdapat dalam pasal Undangundang
No.3 tahun 2006 tentang pengadilan agama, pasal 49 yang menyebutkan: Pengadilan agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam dibidang :
a) Perkawinan;
b) Waris;
c) Wasiat;
d) Hibah;
e) Wakaf;
f) Zakat;
g) Infaq;
h) Shadaqah; dan
i) Ekonomi syariah
Apabila terjadi sengketa hak milik atau keperdataan lain yang terkait dengan obyek sengketa yang diatur
dalam pasal 49 tersebut, apabila subyek sengketanya antara orang-orang yang beragama islam maka
Pengadilan Agama mempunyai wewenang umtuk sekaligus memutus sengketa tersebut sebagaimana yang
disebutkan dalam pasal 50 ayat 2 sebagai berikut:
Apabila terjadi sengketa hak milik sebagai dimaksut pada ayat (1) yang subyek hukumnya antara orangorang yang beragama islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama
perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49
Pengajuan tuntutan kepengadilan bagi pihak yang merasa haknya dilanggar merupakan suatu keharusan
untuk menjamin adanya kepastian hukum, pengadilan sebagai tempat terakhir bagi pencari keadilan dan
dianggap memberikan suatu kepastian hukum karena putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap
dan mengikat para pihak.
Daftar Pustaka
Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan Praktek Perwakafan di Indonesia (Yogyakarta: Pilar Media, 2006).
Imam Suhadi, Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat, Yogyakarta, PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2002.
Yusdani, Kumpulan Seminar Hasil Perwakafan, Departemen Agama RI, Direktorat Jendral Bimas Islam dan Penyelenggara Haji, Direktorat Pengembangan Zakat
Wakaf, Jakarta, 2004.
Internet :
www.google.com
http://contohskripsiku.com/pdf/makalah+hukum+islam+tentang+penyelesaian+kasus+wakaf

Anda mungkin juga menyukai