Untuk dapat memahami hukum sebagai alat intervensi negara maju terhadap negara berkembang,
pertama-tama harus dipahami, hukum memiliki banyak fungsi. Kurang tepat bila hukum semata-mata
dipahami sebagai kaidah yang berfungsi untuk mengatur apa yang baik dan buruk bagi masyarakat.
Dalam kenyataan sehari-hari hukum dapat berfungsi untuk berbagai kepentingan. Hukum dapat
berfungsi sebagai alat pengubah masyarakat, hukum dapat berfungsi sebagai alat pengendali
masyarakat, bahkan hukum dapat berfungsi sebagai instrumen politik.
Sebagai instrumen politik, hukum digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Dalam kehidupan
bernegara, hukum sebagai instrumen politik terjadi saat penguasa menggunakan hukum untuk
mengukuhkan kekuasaan yang dimilikinya. Penguasa dapat menggunakan hukum untuk membatasi,
bahkan memberangus kekuatan oposisi dan kegiatan masyarakat. Sebaliknya, kekuatan oposisi
ataupun LSM dapat menggunakan hukum untuk menjatuhkan pemerintah.
Pada tingkat masyarakat internasional, ada dua cara yang kerap dilakukan negara maju dalam
pemanfaatan hukum sebagai alat politik terhadap negara berkembang.
Pertama, dengan memanfaatkan perjanjian internasional. Kedua, dengan memanfaatkan
ketergantungan di bidang tertentu untuk mendesak pemerintahan negara berkembang melakukan
pembentukan atau perubahan terhadap peraturan perundang-undangannya.
Intervensi melalui dua cara ini tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum internasional.
Keikutsertaan suatu negara dalam perjanjian internasional berarti negara itu dengan sengaja
membebankan dirinya untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban yang termaktub dalam perjanjian
internasional. Salah satu kewajiban itu adalah mentransformasikan ketentuan yang ada dalam
perjanjian internasional ke dalam hukum nasionalnya.
Begitu pula dengan desakan negara maju atas pembentukan peraturan perundang-undangan negara
berkembang dengan memanfaatkan faktor ketergantungan. Ini pun tidak dapat dianggap sebagai suatu
pelanggaran hukum internasional. Kerelaan memenuhi tuntutan dilakukan atas dasar
ketidakberdayaan. Indonesia tidak banyak berkutik ketika Dana Moneter Internasional (IMF)
mensyaratkan Indonesia untuk mengamandemen UU Kepailitan dan membentuk UU Anti Monopoli.
Demikian pula Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) yang bersedia memberi hibah
lembaga keuangan internasional yang mereka kendalikan, semakin rentan negara berkembang itu
untuk diintervensi di bidang peraturan perundang-undangannya.
Ketergantungan ekonomi dapat berbentuk insentif maupun sanksi. Insentif antara lain berupa hibah
atau kuota tekstil yang diberikan kepada negara berkembang hingga tercipta ketergantungan.
Ketidakadilan Perjanjian Pertanian WTO
Sistem perdagangan yang diatur dalam Perjanjian Pertanian WTO dikritik oleh banyak pihak sebagai suatu ketidakadilan global (global injustice) yang hanya
mementingkan kepentingan negara maju, termasuk pada sektor pertanian.
Perjanjian Pertanian WTO yang merupakan pondasi berlakunya liberalisasi pertanian sebenarnya memiliki tiga pilar utama: akses pasar (market access),
dukungan domestik (domestic support), dan subsidi ekspor (export subsidy). Namun demikian, konsep liberalisasi ini hanya terfokus pada pilar pembukaan akses
pasar yang menyebabkan kemudahan impor dan tarif bea masuk yang sangat murah. Hal ini yang kemudian memicu serbuan impor dan penurunan harga impor
dari negara maju.
Sementara itu, pilar subsidi ekspor dan dukungan domestik diabaikan. Padahal melalui dua pilar inilah, negara maju melakukan subsidi yang berlebihan kepada
petani mereka yang memiliki lahan yang lebih luas dan berpendapatan tinggi. Dengan pembukaan akses pasar yang tidak diikuti dengan penghapusan subisdi
negara maju, pebisnis dari Amerika Serikat misalnya, dapat mengimpor kedelai yang umumnya hasil rekayasa genetika (genetically modified foods) dengan
subsidi besar-besaran dari pemerintahnya sehingga menghasilkan harga yang sangat murah. Produk pertanian dari negara berkembang tidak akan mampu
menyainginya.
Selain itu, perlakuan khusus (special and differential treatment) yang diperoleh negara berkembang ternyata dianggap tidak efektif dan kurang fleksibel
(Apriantono: 2007, 454). Ekspor produk pertanian dari negara berkembang pun masih terbentur perjanjian WTO lainnya yaitu mengenai sanitary dan
phytosanitary (SPS) yang mengatur standar kesehatan manusia, hewan, dan tanaman. Standar internasional demikian tentu sangat sulit dipenuhi oleh petani dari
negara berkembang.
Alhasil, pasar pertanian negara maju relatif masih tertutup dari eskpor negara berkembang. Di sisi lain, negara maju sangat menikmati liberalisasi pertanian
dengan terbukanya pasar negara berkembang. Dengan kata lain, hukum internasional disusun untuk menciptakan liberalisasi pertanian yang hanya
menguntungkan negara maju, sementara negara berkembang hanya berperan sebagai penonton.
Ketidakadilan ini memicu diluncurkannya Putaran Pembangunan Doha tahun 2001 sebagai komitmen bersama negara maju dan negara berkembang untuk
menjadikan perdagangan sebagai kunci dari pembangunan dan kesejahteraan. Putaran ini pun sempat nyaris gagal ketika tidak tercapai kesepakatan antara
kedua kubu tersebut pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) di Cancun tahun 2003 dan di Hong Kong tahun 2005.