DEBAT STATUS SISTEMIK BANK CENTURY
Oleh. Saumi Rizqiyanto ______________________________________________________________________________
Diterbitkan sebagai salah satu bahan referensi mengenai kasus dana talangan (bailout) Bank Century yang menelan dana hingga 6.7 Triliun. Tulisan ini tidak memiliki tendensi apapun___________________________
SUARA Sri Mulyani bergetar ketika menjawab pertanyaan yang disodorkan oleh jurnalis tv Kania Sutisnawinata. Menteri Keuangan yang juga mantan PLT Menko Ekuin ini menyatakan ketidaktahuannya ketika tiba-tiba banyak orang, terutama kalangan DPR mempermasalahkan dana Bailout Century
sebesar 6.7 Triliun itu “padahal awalnya sebelum DPR berganti
, kita (pemerintah dan DPR) sudah setuju untuk memberi talangan pada bank century dengan aspek legal berupa Perpu JPSK, UU BI dan berbagai perpu-perpu lainnya
” ujar Sri.
Lebih lanjut, menteri keuangan yang dua kali beturut-turut memperoleh gelar menteri keuangan
terbaik se asia ini menyebutkan “janganlah masyarakat kita diombang
-ambingkan oleh isu-isu yang sebenarnya bukan inti dari permasalaha
n itu sendiri” pernyataan Sri diikuti dengan sejumlah isu yang
dianggapnya tidak benar seperti rekaman yang menyatakan keberadaan Robert Tantular dalam rapat KSSK, dana talangan untuk kampanye partai Demokrat, hingga nama-nama yang mirip politikus dalam laporan BPK.
“kalau masalahnya inkonsti
tusional semua perppu itu bisa dipertanggungjawabkan, adapun isu korupsi kita siap untuk membeberkan data-data yang terkait, silakan pihak PPATK menyisir setiap
transaksi keuangan yang pernah kita lakukan” ujar mantan kepala BAPENNAS ini.
Sebagai orang awam, sungguh persoalan century ini membuat saya menjadi pusing. Di satu sisi, nurani ini terusik ketika terbetik kabar bahwa uang Negara sebesar 6,7 Triliun digelontorkan begitu saja untuk menyelamatkan bank century sedangkan untuk menyediakan infrastruktur listrik saja di daerah pedalaman yang mungkin hanya membutuhkan dana tidak melebihi 1 triliun, pemerintah sepertinya tidak sanggup! Dari sisi keadilan, sikap pemerintah sungguh tidak adil! Nilai fantastis sebesar 6, 7 triliun itu mungkin hanya dinikmati oleh segelintir deposan-deposan besar berikut pejabat yang mungkin turut menikmati, sedangkan penyediaan listrik bisa jadi dinikmati oleh ratusan atau bahkan ribuan masyarakat desa terpencil, membuat kehidupan mereka menjadi lebih baik. Namun rasa ketidakadilan ini terobati ketika deputi bank Indonesia Darmin Nasution menyebut dana 6.7 triliun itu bukan dana dari pemerintah tapi dana dari LPS yang diambil dari setiap simpanan bank-bank yang ada di BI. Sehingga tidak mungkin diambil dari APBN. Oke, alasan ini bisa diterima walau perlu penelusuran lebih lanjut! Hanya saja alasan yang dikemukakan oleh BI sepertinya mentah begitu saja, Pansus DPR tetap berjalan dengan beragam isu yang mengelilinginya. Satu isu yang sepertinya belum diselesaikan dan menjadi akar dari permasalahan ini adalah status century, apakah penutupan century berdampak sistemik atau tidak? Karena status ini yang kemudian menjadi titik judgment bailout century salah atau dibenarkan. Analisis berikut ini tidak akan menyertakan aspek politik karena bagaimanapun kepentingannya murni menyelamatkan Negara diukur dari segi professional keuangan bukan kepetingan politik semata! Penetapan dampak sistemik suatu bank sejatinya memiliki suatu ukuran! Dan baik BPK, maupun BI memiliki standar acuan yang sama yakni MoU Uni Eropa atau lebih jelasnya MoU on Cooperation between The Financial Supervisory Authorities: On Cross Border Financial Stability yang diratifikasi oleh Negara-negara Uni Eropa pada tanggal 1 Juni 2008 dalam menghadapi krisis financial akibat subrime mortgage! Dalam MoU ini dijelaskan ada empat aspek sebagai dasar penentuan dampak sistemik, yaitu aspek institusi keuangan, pasar keuangan, sistem pembayaran dan sektor riil. Keempat-empatnya harus diukur dengan indikator kuantitatif. Saya tidak mungkin mengutip secara keseluruhan analisis kuantitatif BPK maupun BI, saya hanya akan mengutip intisarinya saja.
TEMUAN BPK
Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya BPK menyerahkan hasil audit setebal 600 halaman ke DPR. Badan Pemeriksa Keuangan mencatat sejumlah kelemahan dalam analisis dampak sistemik kasus Bank Century yang dibuat oleh Bank Indonesia dan pemerintah. Salah satunya, kesimpulan yang lebih didasarkan pada judgement kualitatif, sedangkan MoU Uni Eropa mengharuskan kesimpulan berdasarkan judgment kuantitatif. Berikut adalah temuan BPK 1.
Terdapat inkonsistensi BI dalam penerapan MoU Uni Eropa dengan penambahan aspek psikologi pasar ketika menganalisis dampak sistemik Century. 2.
BI tidak menggunakan indikator kuantitatif dalam menilai dampak di luar aspek institusi keuangan. Penilaian lebih didasarkan pada judgment.
3.
Proses pembuatan analisis dampak sistemik Century terkesan tergesa-gesa, karena hanya dibuat dalam dua hari dengan metode yang baru pertama kali digunakan dan belum pernah diuji coba. 4.
Data yang digunakan bukan data mutakhir karena per 31 Oktober 2008. 5.
KSSK tidak mempunyai kriteria terukur untuk menetapkan dampak sistemik Cetnury, tapi lebih mendasarkan keputusannya pada judgement. 6.
Dari aspek institusi keuangan, ukuran Century tidak signifikan dibandingkan industri perbankan masional. Dana pihak ketiga 0,68% Kredit 0,42% Aset 0,72% 7.
KSSK lebih memperhatikan aspek psikologi pasar dalam menetapkan Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Lebih jelasnya seperti ini, bahwa KSSK, baik BI dan Sri Mulyani lebih mementingkan aspek kualitatif dibanding kuantitatif. Hal ini ditunjukkan dengan KSSK yang lebih memegang aspek psikologis pasar disbanding aspek institusi keuangan dan sector riil yang jelas-jelas secara kuantitatif menyebutkan pengaruh century tidak signifikan (low to medium impact)
INDIKATOR MENKEU DAN ALAT UKUR BI
Temuan BPK langsung saja ditanggapi oleh pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Bank Indonesia. Menurut kedua otoritas ini, KSSK dalam memutuskan status century menggunakan unsure penilaian kuantitatif dan
kualitatif. “saya tidak mengerti kenapa BPK menyatakan hanya qualitative judgment, padahal ada sederet angka kuantitaif yang digunakan”
Ujar Sri, bahkan Darmin Nasution menambahakan unsure kualitatif justru lebih penting
“Prioritisation in the assessment.
In the case of a rapidly unfolding crisis, one may need to focus the assessment on the most critical parts of the financial system....In such a situation, one may also need to place more reliance on qualitative judgments rather than on up-to-date quantita
tive information”
Ujar Darmin mengutip isi MoU Uni Eropa itu. Lebih lanjut Baik Sri Mulyani dan Darmin Nasution mengemukakan beragam indicator ketika memutuskan status sitemik century. Berikut adalah deretan indicator tersebut
10 INDIKATOR SRI MULYANI
1.
Pasar uang dunia tertekan pasca kejatuhan Lehman Brothers dan lembaga keuangan global lainnya Pasar saham dunia guncang. Indeks saham Jakarta merosot dari 2.830 (9 Januari 2009) menjadi 1.155 (20 November 2008) 2.
Harga surat utang negara merosot ditandai dengan meroketnya yield dari sekitar 10% menjadi 17,1% (20 November 2008). Setiap kenaikan 1%, beban bunga SUN di APBN bertambah Rp 1,4 triliun). 3.
Credit Default Swap Indonesia melesat dari 250 basis point (awal 2008) menjadi di atas 1.000 bps (November 2008). 4.
Terjadi pelarian modal akibat gangguan likuiditas di pasar saham.
Puaskan Keingintahuan Anda
Segala yang ingin Anda baca.
Kapan pun. Di mana pun. Perangkat apa pun.
Tanpa Komitmen. Batalkan kapan saja.