Anda di halaman 1dari 56

Gautama Lia

~* * *~
Daftar Isi

Joko Vs Wowo
A.I.R
Kolam Lumpur
Ring
Belum Ada Judul

~ * * *~

Gautama Lia

JOJO VS WOWO

Panggung kosong.
Bunyi genderang kencang. Muncul video tentang sebuah negeri (video
hutan, laut, kerajaan. Semua dalam bentuk bayangan).
Narator

: Ini cerita terjadi di sebuah negeri antah berantahyang


dulu katanya negeri kaya raya-agraris-bahari, negeri sejuta
panorama dan kekayaan alam. Negeri yang membuat mata
negeri asing terpesona.
Seorang patih agung bertekad menyatukan pulau-pulau.
Cita-cita
mulia menurutnya. Maka dengan segala
kekuatannya, dia berhasil menyatukan pulau-pulau itu.
Bersatulah pulau-pulau,
bersatulah mereka melawan penjajah,
bersatulah mereka meraih kemerdekaan,
bersatulah mereka memberantas kemiskinan dan
kebodohan.
Bersatu untuk tetap satu!
Tapi kini

Genderang berbunyi lagi. Lama kelamaan semakin kencang.


Video berubah menampilkan penebangan hutan, tsunami, kerajaan-kerajaan
runtuh dan terakhir video orang berkelahi-tercerai berai.
--Seorang penjual Koran masuk panggung membawa pengeras suara.
Penjual Koran

: Ayoayodicari pemimpin negeri ini.


Pemimpin yang benar-benar memimpin.
Pemimpin yang pro Rakyat.
Pemimpin yang tidak menye-menye.
Pemimpin yang tegas dan kerja nyata.
Dicaridicari

Gautama Lia

Seorang mahasiswa lengkap dengan jas almamater masuk ke panggung.


Mahasiswa

: Hei penjual Koran! Sini bawa pengeras suara itu! Aku


akan berorasi!

Penjual Koran

: (nyengir) Ini.
Begitu ya rasanya kalau demo. Terasa gagah.

Mahasiswa

: Ah tahu apa kamu! Sekarang situasi sedang gawat.


Negeri kita kehilangan pemimpin. Seperti kamu bilang tadi.

Penjual Koran

: Memangnya saya ngomong apa?

Mahasiswa

: (lebih bersemangat dan berwibawa)


Ayoayodicari pemimpin negeri ini.
Pemimpin yang benar-benar memimpin.
Pemimpin yang pro Rakyat.
Pemimpin yang tidak menye-menye.
Pemimpin yang tegas dan kerja nyata.
Dicaridicari

Penjual Koran

: Osaya ngomong begitu ya ?! Keren juga. Tapisaya kok


tidak segagah itu ya?

Mahasiswa

: Ya jelas. Kamu kan bisanya cuma jualan koran di jalanan!

Penjual Koran
Mahasiswa

: Saya jadi kepengen ikut demo.


: Ayo kalau begitu ikut saya!

Mahasiswa dan penjual Koran berangkat bersama mengelilingi panggung


sambil berteriak-teriak.
Mh & PK

: Ayoayodicari pemimpin negeri ini.


Pemimpin yang benar-benar memimpin.
Pemimpin yang pro Rakyat.
Pemimpin yang tidak menye-menye.
Pemimpin yang tegas dan kerja nyata.
Dicaridicari
Ayoayodicari pemimpin negeri ini.
Pemimpin yang benar-benar memimpin.
Pemimpin yang

Terdengar suara ringkik kuda berkali-kali.

Gautama Lia

Mahasiswa dan penjual Koran berhenti berteriak.


Suara langkah kuda mendekat.
Penjual Koran
Mahasiswa

: Kuda dari mana itu? Apa mungkin ada pasukan penghalau


demo sekitar sini?

: Sudah jangan dipedulikan. Di sini mana ada pasukan


berkuda.

Mahasiswa dan penjual Koran berkeliling lagi. Masih meneriakkan yang


sama.
Mh & PK

Ayoayodicari pemimpin negeri ini.


Pemimpin yang benar-benar memimpin.
Pemimpin yang pro Rakyat.
Pemimpin yang tidak menye-menye.
Pemimpin yang tegas dan kerja nyata.
Dicaridicari
Ayoayodicari pemimpin negeri ini.
Pemimpin yang benar-benar memimpin.
Pemimpin yang

Suara ringkik kuda semakin keras. Langkah kaki kuda semakin mendekat.
Penjual Koran

: Suaranya tambah keras. Saya jadi merinding.

Mahasiswa

: Hah! Masak sama suara kuda saja takut!

Penjual Koran

: Bagaimana kalau suara itu suara kuda jadi-jadian? Kan


Saudara sendiri yang bilang kalau di sini tidak mungkin ada
pasukan berkuda.

Mahasiswa

: Dasar penjual Koran! Sekarang ini kita sedang sibuk


mencari pemimpin! Tak ada waktu untuk berpikir soal
begituan!

Langkah kuda terdengar jelas mendekat.


Penjual Koran
Mahasiswa

: Suaranya kok seperti menuju ke sini.


: Ah, perasaanmu saja. Kalau takut menguasai, kita akan
berpikir macam-macam. Seharusnya aku tidak
mengajakmu tadi.

Gautama Lia

Penjual Koran
: (tidak menghiraukan perkataan Mahasiswa) Benar,
suaranya mendekat.
Sebuah sinar terang menyorot dari sudut panggung.
Penjual Koran
Mahasiswa

: Sinar apa itu? (menarik-narik jas Mahasiswa)


: Mana?

Mahasiswa dan penjual Koran terpaku pada sinar itu.


Tak lama muncul seorang berpakaian safari putih, peci hitam, selendang di
pinggang dan pedang.
Penjual Koran

: Wah gagahnya
Siapa gerangan kesatria itu?

Mahasiswa

: Tadi katanya takut.

Penjual Koran termangu melihat si kesatria memamerkan pedangnya.


Penjual Koran

: Lihat, dia pasti kesatria penyelamat negeri ini.

Mahasiswa

: Ah kamu cepat sekali terperdaya kilau penampilan.

Penjual Koran

: Kamu tidak lihat, kesatria itu gagah sekali.


Pasti dia cocok jadi pemimpin.

Mahasiswa

: Sok tahu kamu!

Si Kesatria berhenti tepat di dekat mahasiswa dan penjual Koran.


Kesatria

: Hai anak muda.

Mahasiswa dan penjual Koran tidak tahu harus membalas apa.


Kesatria
Penjual Koran
Kesatria
Penjual Koran
MAhasiswa

: Ku dengar kalian berteriak-teriak tadi. Apa benar negeri


ini sedang mencari pemimpin?
: Be-be-benar, Kesatria.
: Sepertinya waktu yang tepat.
: Tepat sekali!
: Anda siapa? (bertanya lancang)

Gautama Lia

Kesatria

Mahasiswa

: (menatap tajam) Kau pasti kaum intelektual ya?


Tidak bisa sopan sedikit ?! Beginikah bangku kuliah
mengajarimu ?!
: (tidak gentar) Anda ini siapa? Kenapa tiba-tiba datang
kemari?

Kesatria

: Tidakkah bisa bertanya lebih sopan? Saya kemari karena


teriakan-teriakan kalian.

Mahasiswa

: Kami berteriak mencari pemimpin.

Penjual Koran
: Betul itu! Apakah kesatria datang untuk menjawab
teriakan kami?
Kesatria

: Ya, saya datang untuk itu.


Saya kesatria berkuda akan menjadi pemimpin negeri ini!

Mahasiswa

: Kenapa anda bisa seyakin itu?

Kesatria

: Saya ditakdirkan untuk menjadi pemimpin. Saya seorang


kesatria yang lebih dulu berjuang untuk negeri ini
dibanding kalian!

Mahasiswa

: Benarkah? Saya tidak mengenal Anda.


(bertanya pada penjual Koran) Apa kamu kenal orang ini?

Penjual Koran

: Tidak. Tapi dia cocok sekali jadi pemimpin.

Mahasiswa

: Nah, dia juga tidak mengenal Anda.

Kesatria

: Saya adalah kesatria yang dibuang. Kesatria yang


terlupakan.
Pemimpin sebelumnya telah menghapus sepak terjang
saya semasa masih mengabdi. Catatan gelap saja yang
disisakan. Hal-hal yang baik tidak pernah diumumkan.
Saya harus menelan penghinaan. Saya dijadikan kambing
hitam.
Generasi kalian tentu saja tidak tahu!
Bertahun-tahun saya terasingkan. Saya harus menahan diri
ketika melihat negeri ini carut marut. Saya menunggu
sampai pemimpin yang membuang saya disingkirkan.
Nah sekarang waktu yang tepat, saya tidak bisa menahan
diri lagi.

Gautama Lia

Saya akan menjadi pemimpin negeri ini! Untuk masa


depan yang lebih baik!
Nanti saya buktikan!
Kesatria berkuda meninggalkan pangung. Penjual Koran memberi hormat.
Mahasiswa
Penjual Koran
Mahasiswa
Penjual Koran
Mahasiswa
Penjual Koran

: Kenapa kau memberi hormat padanya?


: Apa salah?
: Kita tidak tahu siapa dia.
: Lalu kenapa?
: Hah, susah ngomong sama kamu. Otaknya tidak sampai.
: Saya sendiri heran.

Mahasiswa

: Heran kenapa?

Penjual Koran

: Kenapa Saudara cepat sekali naik darah? Apa semua


mahasiswa begitu? Gampang emosian? Bukankah kaum
intelektual itu harus berkepala dingin? Tidak gegabah.

Mahasiswa

: (berkelit) Ah, tahu apa kamu! Ayo kita berkeliling lagi!

Mahasiswa dan penjual Koran berkelilling lagi.


Mh & PK

Ayoayodicari pemimpin negeri ini.


Pemimpin yang benar-benar memimpin.
Pemimpin yang pro Rakyat.
Pemimpin yang tidak menye-menye.
Pemimpin yang tegas dan kerja nyata.
Dicaridicari
Ayoayodicari pemimpin negeri ini.
Pemimpin yang benar-benar memimpin.
Pemimpin yang

Bel sepeda terdengar. Kring-kring-kring


Penjual Koran
Mahasiswa
Penjual Koran

: Minggir Saudara. Ada sepeda mau lewat.


: Mana?
: Masa tidak dengar?

Gautama Lia

Kring-Kring-Kring
Penjual Koran

: Suaranya jelas sekali. Ayo kita minggir!

Sinar menyorot dari sudut panggung.


Penjual Koran
Mahasiswa

: Lihat, di sana ada sinar!


: Masak kesatria itu datang lagi.

Dari sinar, muncul seorang lelaki kurus bersepeda dengan kemeja polkadot.
Penjual Koran

: Bukan. Sepertinya orang biasa. Sudah, tidak usah


diperdulikan. Ayo kita keliling lagi.

Mahasiswa

: Lalu kenapa dia muncul dari sinar seperti kesatria tadi?

Penjual Koran

: Mana saya tahu.

Lelaki bersepeda tersenyum simpul sambil melambaikan tangan.


Mahasiswa

: Saya akan menghentikannya.

Penjual Koran

: Buat apa? Paling orang lewat saja.

Mahasiswa menghadang lelaki bersepeda yang kembali tersenyum sambil


menaikkan dua jari salam perdamaian.
Lelaki bersepeda : Ada apa Anak muda?
Mahasiswa

: (nadanya halus) Anda ini siapa? Kenapa Anda keluar dari


sinar itu?

Lelaki bersepeda : Sinar? Sinar apa? Saya hanya kebetulan lewat.


Penjual Koran
Mahasiswa
Penjual Koran
Mahasiswa

: Tuh kan, Cuma orang lewat. Ayo kita pergi.


: Tunggu dulu.
: Apa lagi?
: (bertanya ke lelaki bersepeda) Anda ada keperluan apa?

Penjual Koran
: Kan dia bilang sendiri cuma numpang lewat.
Cerewet sekali.
Mahasiswa

: Tapi dia berbeda.

Gautama Lia

Penjual Koran

: Beda apanya?

Lelaki bersepeda : Adik-adik sudah makan?


Ayo kita makan siang dulu. Kebetulan saya bawa ubi dan
jagung rebus.
Penjual Koran
Mahasiswa

: Asyik kita ditawari makan.


: Hah, giliran makan paling juara.

Lelaki bersepeda memarkir sepedanya, menggelar tikar dan makanan.


Semua duduk lesehan.
Mahasiswa

: Anda belum menjawab pertanyaan saya.

Lelaki bersepeda : Yang mana? Maaf, saya lupa.


Penjual Koran

: Masih ngeyel. Makan saja yang banyak.

Lelaki bersepeda : Oya, soal kenapa saya keluar dari sinar?


Mahasiswa

: (mengangguk)

Lelaki bersepeda : Kan sudah saya jawab tadi kalau saya hanya kebetulan
lewat sini. Saya suka jalan-jalan naik sepeda. Lihat-lihat
pemandangan sekitar. Soal sinar, saya tidak mengerti sinar
apa itu. Tadi, saya juga tidak merasa ada sinar.
Mahasiswa

: Saya yakin ada sinar saat Anda keluar.

Lelaki bersepeda : Memangnya kenapa dengan sinar itu?


Penjual Koran

: Sebelum Bapak, ada seorang kesatria berkuda datang


kemari. Sinarnya menyilaukan sekali. Kesatria berkuda itu
berkata dengan yakin kalau dia akan menjadi pemimpin
negeri ini.

Lelaki bersepeda : Lalu?


Mahasiswa

: Saya pikir Anda juga sama.

Lelaki bersepeda : Sama?


Penjual Koran

: Ngaku-ngaku akan jadi pemimpin negeri ini.

Lelaki bersepeda : (tertawa kecil) ha ha ha Apa mungkin?

Gautama Lia

Penjual Koran

: Bisa saja.

Lelaki bersepeda : Saya belum begitu tertarik. Saya baru saja dilantik.
Mahasiswa

: Apa Anda terjun ke politik?

Lelaki bersepeda : Kebetulan ya.


Mahasiswa
ini.

: Kalau begitu Anda ada peluang menjadi pemimpin negeri

Lelaki bersepeda : Ah, adik-adik ini bercanda. Kan sudah saya bilang saya
baru saja dilantik. Saya diangkat jadi pemimpin kota kecil
di seberang sana.
Penjual Koran

: Jadi bapak tidak akan nyalon?

Lelaki bersepeda : (tersenyum simpul)


Mahasiswa

: Dibanding kesatria berkuda tadi, Anda lebih cocok.

Lelaki bersepeda : Cocok apa?


Mahasiswa

: Jadi pemimpin.!

Lelaki bersepeda : (tersenyum simpul) Saya belum ada arah ke sana.


Saya harus selesaikan dulu mandat kota seberang.
Kerja itu tidak boleh setengah-setengah.
Nanti saya dikira bajing loncat. Loncat sana, loncat sini.
Mandat itu kan amanah. Harus dikerjakan sampai tuntas.
Baiklah. Saya akan berjalan-jalan lagi. Terima kasih sudah
menemani saya makan siang.
Mahasiswa

: Terima kasih juga (menjabat tangan lelaki bersepeda)

Lelaki bersepeda keluar panggung.


Penjual Koran
Mahasiswa
Penjual Koran
pemimpin.
Mahasiswa

: (Menyindir) Pakai jabat tangan segala.


: Kamu sendiri tadi memberi hormat pada kesatria itu.
: Kesatria itu kan begitu berwibawa. Cocok jadi
: Mana kita tahu kesatria itu bisa memimpin atau tidak!
Bapak bersepeda barusan lebih cocok. Lebih

Gautama Lia

berpengalaman. Buktinya beliau diberi mandat memimpin


kota seberang.
Penjual Koran

: Saudara juga sok tahu! Baru bertemu sekali!


Kesatria itu lebih cocok!

Mahasiswa

: Kamu cuma terpesona penampilannya!

Penjual Koran
sejati!

: Biar! Berwibawa, gagah, tegas! Itu ciri pemimpin

Mahasiswa
lagi!

: Tahu apa kamu! Negeri ini tidak boleh dikuasai militer

Penjual Koran

: Militer apanya? Beliau hanya seorang kesatria berkuda.


Belum tentu militer. Dasar mahasiswa, parno pada yang
berbau militer.

Mahasiswa

: Mereka memberangus aksi-aksi kami! Mereka menangkap


para aktivis! Mereka

Penjual Koran

: Tidak semua kan?! Cuma oknum!


Kaum intelektual muda juga suka anarkis!

Mahasiswa

: Kamu ini di pihak mana sih? Saya kira kita satu tujuan!

Penjual Koran

: Ya, kita mencari pemimpin! Tapi saya berhak memilih


pilihan saya! Ya, kesatria itu!

Mahasiswa

: Saya tidak setuju!

Penjual Koran

: Saya berhak punya pilihan sendiri kan?!


Kalau begitu kita berseberangan sekarang! Saya dengan
jalan saya, kamu dengan jalanmu!

Mahasiswa

: Baik. Saya akan memilih Bapak bersepeda itu!

Penjual Koran

: Silahkan!

Mahasiswa dan penjual Koran berpisah jalan meski masih berteriak soal
mencari pemimpin tapi kini dengan pilihan masing-masing.
--Video wajah-wajah dan pose calon pemimpin muncul di latar panggung :
wajah kesatria berkuda dan lelaki bersepeda.

Gautama Lia

Penjual Koran

: Lihat itu! Baru bilang akan menyelesaikan mandat kota


seberang, sekarang sudah nyalon!

Mahasiswa

: Apa salahnya?!

Penjual Koran
Mahasiswa
Penjual Koran

: Plintat plintut! Itu yang namanya pemimpin?


: Lihat kesatria berkuda itu! Kampanye hitam! Memalukan!
: Belum tentu dia yang melakukannya! Sok tahu!

Video berhenti.
Kesatria berkuda dan lelaki bersepeda masuk panggung memulai atraksi
mereka.
Penjual Koran
Mahasiswa

: Gagahnya. Pemimpin ya kayak begini!


: Kamu buta! Dibutakan tampilan luar!

Lelaki bersepeda tersenyum sambil mengangkat dua jari.


Mahasiswa
Penjual Koran

: Nah ini baru pilihan saya.


: Sok polos! Buntut-buntutnya nyalon juga!

Lelaki bersepeda dan kesatria berkuda keluar panggung.


Penjual Koran
Mahasiswa
Penjual Koran
Mahasiswa
Penjual Koran
Mahasiswa
Penjual Koran
Mahasiswa
Penjual Koran
Mahasiswa
Penjual Koran

: Pokoknya pilihan saya pasti memang!


: Tidak! Pilihan saya yang menang!
: Pilihan saya yang memang!
: Pilihan saya yang menang!
: Pilihan saya!
: Pilihan saya!
: Pilih saya!
: Pilih saya!
: Saya yang menang!
: Saya yang menang!
: Saya!

Gautama Lia

Mahasiswa

: Saya!

Guntur berbunyi. Gendang perang terdengar.


Penjual Koran dan mahasiswa berseteru. Berkelahi seperti anak kecil.
Guntur selesai.
Seorang peri compang-camping muncul dari atas panggung. Mengayunkan
tongkat.
Penjual Koran dan mahasiswa pause.
Peri

: Kalian...kok malah berkelahi sih. Negeri kalian sedang


bingung cari pemimpin sejati. Masak sekarang rakyatnya
berantem hanya karena beda pilihan.
(peri menjewer kuping Mahasiswa dan penjual koran)
Dasar bandel. Gede begini masih berkelahi seperti anak
kecil.

Mahasiswa dan penjual Koran hanya bisa menggerakkan mata. Ngototngototan.


Peri
rasa!

: Ayo, kalian baikan. Nanti ku sihir jadi patung, baru tahu

Mata mahasiswa dan penjual Koran tidak ngotot lagi.


Peri
tongkat sihir)

: Nah, kalau begitu kan enak dilihatnya (mengayunkan

Mahasiswa dan penjual Koran bisa bergerak.


Penjual Koran

: Peri ini, ada-ada saja. Emak saya mau makan apa kalau
saya jadi patung.

Mahasiswa

: Iya, nih.

Peri
mendamaikan.

: Salah kalian sendiri berkelahi. Peri kan datang untuk

Penjual Koran

: Iya, kami damai (merangkul mahasiswa)

Mahasiswa

: Peri, kalau memang Peri bisa mendamaikan kami tentu


Peri bisa juga mendamaikan negeri ini.

Peri
Bebal lagi.

: (Muka sedih) Perkara itu susah. Negeri ini terlalu luas.

Gautama Lia

MH & PK

: Bebal?

Peri

: Iya, seperti kalian berdua. Sedikit-sedikit berantem. Dikitdikit berantem. Lama-lama jadi perang, tahu.

Penjual Koran
Peri
Penjual Koran

: Jadi tidak bisa, Peri?


: Bukannya tidak bisa. Manusia-manusianya yang tidak
mau. Kalian lihat sendiri kelakuan kalian.
: Habisnya pilihan saya diejek.

Mahasiswa

: Kamu juga!

Peri

: Mulai lagi kan.


Awalnya kalian satu tujuan kan?

MH & PK

: (mengangguk)

Peri

: Mencari pemimpin negeri ini kan?

MH & PK

: (mengangguk)

Peri

: Nah sekarang kalian lihat di layar. Negeri ini sudah


menemukan pemimpin.

MH & PK

: Apa? Sudah?!

Latar panggung menampilkan wajah pemimpin baru.


Mahasiswa
Penjual Koran

: Cihui..saya yang memang!


: (muka sedih) Padahal kesatria itu gagah sekali.

Peri
negeri ini kan?

: Sudah, tak ada yang menang dan kalah. Semua untuk

MH & PK

: (mengangguk)

Peri
jumpa!

: Baiklah, kalian sudah mengerti. Peri pergi dulu. Sampai

Peri menari-nari meninggalkan panggung.


Penjual Koran
Mahasiswa

: Selamat ya.
: Tak perlu pakai selamat, Wo. Kan untuk negeri kita.

Gautama Lia

Mahasiswa dan penjual Koran duduk menghadap ke layar. Memandangi


wajah sang pemimpin baru.
Penjual Koran menyalakan rokok, menghisapnya lalu menyerahkannya ke
Mahasiswa.
Penjual Koran
Mahasiswa
emosi.

: Lucu ya kita tadi, Jo.


: Iya, Wo. Kok kita sampai segitunya ya. Saya juga kok jadi

Mahasiswa dan penjual Koran merokok bergantian.


Mahasiswa
Penjual Koran

: Maaf ya, Wo.


: Aku juga minta maaf, Jo.

Layar berubah menampilakan berita tentang pemerintahan yang semakin


semrawut. Para dewan wakil rakyat tidak bersatu. Malah ada yang membuat
dewan tandingan.
Penjual Koran
Mahasiswa

: Ternyata belum selesai ya, Jo.


: Iya, Wo. Kok malah jadi pecah begini.

Mahasiswa dan penjual Koran geleng-geleng.

SELESAI

A.I.R

Gautama Lia

Lampu menyala.
Lima orang berpakaian futuristik namun compang-camping dan dekil dengan
rambut tidak beraturan mengelilingi api di dalam tong. Mereka melakukan
tarian pemanggil hujan.
Lima Orang

: Oge kage Oge kage Oge kage


Oge kage Oge kage Oge kage
Oge kage Oge kage Oge kage
Turunlah hujan!
Turunlah hujan!
Oge kage Oge kage Oge kage
Oge kage Oge kage Oge kage
Oge kage Oge kage Oge kage
Turunlah hujan!
Turunlah hujan!

Suara petir menggelegar. Black out.


--Lampu menyala di salah satu sudut panggung.
Seorang perempuan menduduki galon air kosong. Sibuk menelpon dengan
gadget canggih.
Perempuan 1

: Halo, Sin. Apa kabar?


Begini Aku mau tanya apa di rumahmu masih ada air?
Aku akan bayar berapa pun.
Tidak ada? Serius? Kemarin Andi bilang dia dapat air dari
kamu.
Satu galon sajaatau setengah galon tidak apa-apa.
Tidak ada?
Setengah galon saja, Sin.
Oke. Hubungi aku kalau kamu ada persediaan lebih.
(seperti bernyanyi)
Bagaimana ini?
Uang tak berharga lagi.
Kekeringan ini bikin sakit hati.
Bagaimana ini?
(memukul galon kosong)

Lelaki dengan gerobak berisi botol-botol kosong masuk panggung.

Gautama Lia

Lelaki 1

: Oge kage Oge kage Oge kage


Turunlah hujan!
Turunlah hujan!

Perempuan 1
Lelaki 1

: (ketus) Apa masih berguna mantra itu?


: (tidak menghiraukan)
Oge kage Oge kage Oge kage
Turunlah hujan!
Turunlah hujan!

Perempuan 1
Lelaki 1

: Sudah! Hentikan mantra itu! Aku muak dengarnya!


: Tutup saja telingamu!

Perempuan 1
Lelaki 1

: (menutup telinga dengan earphone)


: (mengambil 2 ranting kayu, lalu memukul botol
bergantian. Seperti bernyanyi)
Lihat peringai manusia kini.
Semua semakin darah tinggi.
Hilang kepercayaan, tak bisa memberi solusi.
Hanya bisa meneriaki dan caci maki.

Perempuan 1
Lelaki 1

: (membuka earphone) Apa kamu bilang tadi?!


: Aku tak bilang apa-apa.

Perempuan 1
Lelaki 1

: Siapa yang caci maki?


: Siapa?

Perempuan 1
Lelaki 1

: Kamu kira siapa?! (melempar galon kosong)


: Hei, Hati-hati. Kita tidak harus berkelahi.

Perempuan 1
Lelaki 1

: Apa yang harus kita lakukan?!


: Mari kita berdoa.

Perempuan 1
Lelaki 1

: Berdoa? Apa masih berguna?


: Kita harus yakin.

Perempuan 1
berguna apalagi doa.

: Tidak. Aku tidak mau! Uang saja sudah tidak

Gautama Lia

Lelaki 1

: Kamu melemah.

Perempuan 1

: Kau juga! Lemah!

Suara tawa terdengar dari kejauhan.


Lelaki 2

: ha..ha..ha.. tarik terus, lebih kuat!

Suara pecut terdengar.


Perempuan 2
satu botol kan?!

: Hei kamu, jangan lemah begitu! Kalian mau dapat

Suara pecut terdengar lagi.


Muncul seorang perempuan dan lelaki bertubuh kurus tinggi berperawakan
bengis duduk di gerobak memuat banyak air. Gerobak ditarik oleh dua lakilaki kurus kering.
Lelaki 2

: Berhenti! Berhenti!

Gerobak berhenti di dekat lelaki 1 dan perempuan 1.


Perempuan 1

: (berbisik pada lelaki 1) Siapa mereka?

Lelaki 1

: Mana aku tahu. Yang pasti mereka punya banyak air.

Lelaki 2

: Hei kalian perlu air?

Perempuan 1
Lelaki 2

: Berapa kau menjualnya?


: Kami tidak perlu uang!

Perempuan 1

: Lalu kau perlu apa?

Perempuan 2

: Kami perlu budak perempuan.

Perempuan 1

: Budak?! Aku tidak sudi menjadi budak kalian!

Lelaki 2

: Jadi kau tidak perlu air?

Perempuan 1

: Kami perlu air tapi tidak untuk jadi budak!

Perempuan 2

: Sayang sekali, kau melewatkan kesempatan emas.

Lelaki 1

: Apa kalian tidak mencari budak laki-laki?

Gautama Lia

Perempuan 1

: Hei, kemana harga dirimu?! Kau tadi menyuruhku berdoa.


Sekarang kau sendiri kehilangan kepercayaan diri!

Lelaki 1

: Mereka punya air. Kau juga yang bilang mantra itu tidak
ada gunanya. Kita perlu air sekarang. Kau masih mau
hidupkan?

Perempuan 1

: Tapi tidak sampai jadi budak!

Lelaki 2

: Budak laki-laki sudah banyak! Kami tidak memerlukanmu!

Lelaki 1
perintahkan.

: Tunggu, aku bisa melakukan apa saja yang kau

Perempuan 1
Lelaki 1
Perempuan 1
Perempuan 2

: Jangan merendah seperti itu!


: Kita perlu air!
: Aku tahu! Kita akan cari cara lain!
: (Hilang kesabaran. Memecut budak yang menarik
gerobak) Ayo jalan. Kita sudah buang-buang waktu di sini.

Perempuan 2 dan lelaki 2 bersama gerobaknya keluar panggung.


Lelaki 1
Perempuan 1
mereka!
Lelaki 1
Perempuan 1
Lelaki 1
Perempuan 1
Lelaki 1
Perempuan 1
menghilang.!
Lelaki 1
Perempuan 1

: Bagaimana ini. Mereka pergi. Ini semua salahmu.


: Sekarang kau menyalahkan orang lain! Kejar sana
: (Diam)
: Ayo, kejar mereka! Nanti keburu jauh!
: (Diam)
: Kejar sana! Sana mengemislah pada mereka!
: (Diam. Duduk dekat gerobaknya)
: Kenapa kau diam?! Lihat, mereka mulai
: (pasrah) Aku tidak punya tenaga untuk mengejar mereka.
Aku juga tidak tega meninggalkanmu sendiri di sini.
: (duduk di sebelah lelaki 1)

Gautama Lia

Lelaki 1 dan perempuan 1 terdiam sejenak. Musik pilu terdengar.


Perempuan 1 tiba-tiba berdiri mengumpulkan sampah-sampah yang
berserakan lalu dimasukkan ke sebuah kaleng besar milik lelaki 1.
Lelaki 1
Perempuan 1
Lelaki 1
Perempuan 1

: Apa yang kamu lakukan?


: Aku mengikuti caramu.
: Caraku?
: Ya, caramu. Bantu aku menyalakan api.

Lelaki 1 mengeluarkan korek untuk membakar sampah.


Lelaki 1
Perempuan 1

: Lalu apa yang akan kita lakukan?


: Kau belum mengerti? Ikuti gerakanku.

Perempuan 1 menyembah api, mengipasnya dengan karton supaya berasap


tebal. Lelaki 1 mengikuti gerakannya.
Perempuan 1
Lelaki 1
Perempuan 1
yakin.
L1&P1

: Kita ucapkan mantra pemanggil hujan!


: Apa ini akan berhasil?
: Kau sendiri yang bilang, kita harus percaya. Harus
: Oge kage Oge kage Oge kage
Oge kage Oge kage Oge kage
Oge kage Oge kage Oge kage
Turunlah hujan!
Turunlah hujan!
Oge kage Oge kage Oge kage
Oge kage Oge kage Oge kage
Oge kage Oge kage Oge kage
Turunlah hujan!
Turunlah hujan!

Lelaki 1 dan perempuan 1 berputar mengelilingi api.


Suara guntur menggelegar beberapa kali. Kilat dan petir menyambarnyambar.

Gautama Lia

Lelaki 1 dan perempuan 1 semakin bersemangat mengucapkan mantra.


L1&P1

: Oge kage Oge kage Oge kage


Oge kage Oge kage Oge kage
Oge kage Oge kage Oge kage
Turunlah hujan!
Turunlah hujan!
Oge kage Oge kage Oge kage
Oge kage Oge kage Oge kage
Oge kage Oge kage Oge kage
Turunlah hujan!
Turunlah hujan!

Tak berapa lama, turun hujan.


Perempuan 1

: Lihat! Kita berhasil!

Lelaki 1

: Iya, berhasil!

L1&P1

: (Berteriak senang sambil berpegangan tangan. Menari.)


Berhasil! Berhasil! Berhasil! (Mandi hujan)

Asap dan api padam. Hujan berhenti.


Perempuan 1
Lelaki 1

: Hujannya berhenti (Tersadar)


: (Kecewa) Kita belum menampung air.

Perempuan 1
Lelaki 1
hujan.

: Iya, kenapa kita begitu bodoh?!


: Kita terlalu senang. Ayo kita coba lagi mantra pemanggil

Perempuan 1
bisa membuat api.
Lelaki 1

: Tidak mungkin. Semua sampah basah. Kita tidak

: Bodohbodohbodoh(Memukul kepala)

Musik pilu terdengar lagi. Black out.


--Lampu menyala.
Beberapa hari telah lewat.

Gautama Lia

Perempuan 1 dan lelaki 1 berusaha lagi memanggil hujan dengan cara


membuat asap tebal.
Perempuan 1

: Aku tidak kuat lagi.

Lelaki 1

: Aku juga. Mungkin sebentar lagi kita akan mati.


Kau tidak mau mencoba lagi?

Perempuan 1

: Tenagaku habis. Kita sudah mencoba berkali-kali tapi


hujan tak turun juga. Semoga saudagar air itu lewat lagi.

Lelaki 1

: Kau akan jadi budak mereka?

Perempuan 1
Lelaki 1
Perempuan 1
Lelaki 1
Perempuan 1
budak laki-laki.
Lelaki 1
Perempuan 1

: Bagaimana lagi
: Lalu aku?
: Maafkan aku
: Kau tak boleh meninggalkanku. Aku sudah menemanimu.
: Tidak ada cara lain, maaf. Mereka tidak butuh
: Kenapa kau tega sekali?!
: Apa dayaku.

Perempuan 1 diam lama sekali. Lelaki 1 mengumpat.


Perempuan 1
caranya.
Lelaki 1

: Aku ada ide. Mungkin memalukan tapi hanya ini


: Apa?

Perempuan 1 membongkar isi tasnya lalu mendandani lelaki 1 menjadi


perempuan lengkap dengan make up, dres bunga-bunga dan kerudung.
Perempuan 1
Lelaki 1
Perempuan 1
Lelaki 1
Perempuan 1

: Kau terlihat cantik. (Menahan tawa)


: Benarkah?!
: Iya. Coba lihat sendiri (Menyodorkan kaca)
: Kau bercanda (Berkaca)
: Iya, kau lebih cantik dari ku (Menahan tawa)

Gautama Lia

Lelaki 1

: Jangan mengejekku (Mencubit perempuan 1)


Kau pikir aku suka berdandan begini.

Perempuan 1
cantik.
Lelaki 1
memang gila.

: Tidak ada pilihan lain. (Tersenyum) Tapi benar, kau


: Hahaha, aku tidak pernah berpikir ide seperti ini. Kamu
Masak iya sih aku cantik (berkaca lagi)

Perempuan 1
perempuan.
Lelaki 1

: Serius, cantik. Sekarang kamu harus bicara seperti


: (Suaranya dilembut-lembutkan) Ah, Tuan ini bisa saja.

Perempuan 1
seperti perempuan.
Lelaki 1

: Nah betul begitu. Sekarang kamu harus berjalan

: (Berjalan lenggak-lenggok) Begini?

Lelaki 1 dan perempuan 1 tertawa terbahak-bahak.


Suara pecut terdengar.
Lelaki 2

: Ayo lebih kuat menariknya!


Kami telah membayarmu dengan banyak air!

Gerobak berhenti.
Perempuan 2
lagi!

: Jangan tidak tahu berterima kasih begitu! Ayo tarik

Suara pecut terdengar.


Lelaki 1 dan perempuan 1 melambaikan tangan.
Lelaki 2
Perempuan 2
Lelaki 2

Perempuan 2

: Berhenti!
: Lihat, siapa yang kita temui.
: (Mengejek) Ya, aku ingat perempuan sombong yang tidak
mau menjadi budak kita. Lihat sekarang dia melambai
pada kita.
: Mereka begitu menyedihkan. Hahaha

Gautama Lia

Lelaki 2

: Sekarang kau mau apa? Meludahi kami?

Perempuan 1
Lelaki 1

: Tidak (Berusaha menahan emosi)


: (Suara perempuan) Kami memerlukan air.

Perempuan 2

: O, perlu air? Teman perempuanmu jauh lebih sopan.

Lelaki 2

: Seperti kamu tahu, kami tidak perlu uang yang kau


punya. Kami hanya perlu budak perempuan! Apa kau mau?

Lelaki 1

: Ya, kami berdua bersedia jadi budak Tuan dan Nyonya.

Perempuan 2 berbisik pada lelaki 2.


Lelaki 2

: Baik. Kau mau jadi budak? (Bertanya pada lelaki 1)

Lelaki 1

: Seperti yang Tuan dengar. Kami bersedia jadi budak.


Kami akan menuruti segala perintah Tuan dan Nyonya.

Perempuan 2

: Tunggu, bukan kalian berdua.


Hanya kamu! Ayo naik dan duduk manis di belakang.

Lelaki 1

: Tetapi

Lelaki 2
budak kami.

: (Turun menarik lelaki 1) Kita sudah sepakat. Kau jadi

Perempuan 2

: Kami tidak perlu perempuan sombong itu!

Perempuan 1

: Tunggu, ini salah. Tunggu.

Lelaki 2
gerobak)

: Ayo kalian tarik gerobaknya! (memecut budak penarik

Perempuan 1

: Tunggu, tunggu kalian membuat kesalahan!

Perempuan 2
memerlukanmu!

: Apa kamu tidak dengar?! Kami tidak

Lelaki 2

: Kami sudah dapat budak perempuan yang kami inginkan!


Sana menyingkir!
(memecut budak penarik gerobak lagi) Ayo lebih cepat!

Perempuan 1

: (Berteriak) Kalian salah!

Gerobak tidak berhenti.

Gautama Lia

Perempuan 1

: (Suara melemah) Aku yang perempuan, dia laki-laki

Gerobak telah keluar panggung.


Perempuan 1

: (Duduk pasrah) Kalian salah.


(Tertawa keras) Hahaha.. dia laki-laki!
Kalian salah! Dia laki-laki!
Haha..ha
Kalian tertipu! Aku yang perempuan, dia laki-laki!
Kalian bodoh! Aku berhasil memperdaya kalian. Haha
ha

Black out.
Gemuruh dan petir bersahutan.
Perempuan 1 meninggal di sebelah galon kosongnya dengan senyum.
Hujan turun.

SELESAI

KOLAM LUMPUR

Panggung: sebuah kolam tanpa air yang dikelilingi pabrik-pabrik.


Dua manusia tinggal di dalam kolam itu.
Lelaki

: Matahari yang cerah.

Perempuan

: Iya. Waktu yang tepat (mengambil kursi pantai dan


kacamata hitam, membuka daster sehingga yang tersisa
hanya tank top dan hot pants. Tak lupa pakai sun block)

Lelaki

: Kenapa kau berpakaian seperti itu?

Perempuan

: Ini waktu yang tepat untuk sun bathing. Baguskan ideku?

Gautama Lia

Lelaki

: Benar juga (melakukan hal yang sama dengan


perempuan)
Kamu benar-benar jenius.

Perempuan

: Memangnya turis saja yang bisa begini.

Lelaki

: Iya, benar. Kita , orang pinggiran juga bisa. Kita punya


banyak waktu. Memangnya seperti pabrik-pabrik itu kerja
24 jam tak henti-henti. Lihat asapnya selalu mengepul.

Perempuan

: Tunggu dulu.

Lelaki

: Kenapa?

Perempuan

: Kamu lupa sesuatu.

Lelaki

: Lupa apa? Aku sudah pakai sun block kok. Tenang saja.
Kulitku yang coklat ini akan semakin eksotik.

Perempuan

: Iya tapi kamu lupa.

Lelaki

: Lupa apa toh? Yang jelas.

Perempuan

: Kamu lupa krupuk-krupuk kita yang siap dijemur.


Keluarkan sana! Kita kan harus tetap jualan.

Lelaki

: O, Iya. Hampir lupa. Untung kamu mengingatkan.


(menata krupuk di papan bambu lalu menaruhnya di
tempat jemuran krupuk.)
Beres. Saatnya bersantai.
Untung kamu jadi reminder-ku.

Perempuan

: Tentu saja harus diingatkan. Lah itu pesanan.


Bisa berabe kalau kamu lupa.
Mari kita mendengarkan radio (menyalakan radio dari
smartphone)

Lagu-lagu pop melayu terdengar mendayu-dayu.


Perempuan & Lelaki santai berjemur sinar matahari.
Siaran berita radio
: Selamat siang para pendengar setia radio Relax FM.
Siang ini saya akan membacakan sebuah berita duka
tentang musibah yang dialami seorang turis di pantai. Turis
tersebut mengalami luka bakar disekujur tubuhnya ssaat
sedang santai sun bathing. Turis asal negeri seberang itu

Gautama Lia

kini dirawat secara intensif di RS Internasional. Menurut


keterangan yang bersangkutan, turis itu sudah
mengenakan sun block dan tidak mempunyai alergi pada
kulitnya. Hanya sekitar 15 menit berjemur, kulitnya terasa
perih dan mengalami pengelupasan.
Melihat kasus ini, para pakar kesehatan kulit menyatakan
bahwa paparan sinar matahari sekarang ini sangatlah
berbahaya. Masyarakat dan para turis asing diharapkan
tidak lagi berjemur di bawah sinar matahari dalam waktu
yang lama. Sekian sekilas berita siang ini. Terima kasih.
Perempuan

: (mematikan radio) Gawat!

Lelaki

: (terbangun kaget) Apanya yang gawat?!

Perempuan

: Apa kamu tidak dengar?

Lelaki

: Aku tidur barusan.

Perempuan

: Dasar tukang tidur!

Lelaki
Pus lagi?

: Memangnya apa yang gawat? Krupuk kita diacak-acak si

Perempuan

: Huh, dasar otak krupuk!


Barusan aku dengar berita radio, seorang turis kulitnya
terbakar gara-gara sun bathing.

Lelaki

: O, aku kira apa. Ya memang begitu kan kalau orang sun


bathing. Kulitnya terbakar menjadi coklat.

Perempuan
berita!

: Hu-uh, aku jadi geregetan. Kamu selalu ketinggalan

Lelaki

: Aku kan tidur barusan.

Perempuan

: Siapa suruh kamu tidur!

Lelaki

: Tidak ada yang suruh. Aku sendiri yang ketiduran.


Kapan lagi bisa santai seperti ini.

Perempuan

: Jawab lagi! Si turis itu kulitnya terbakar parah sampai


mengelupas dan perih. Sampai-sampai dilarikan ke RS
Internasional.

Gautama Lia

Lelaki

: Dia lupa pakai sun block kali.

Perempuan

: Ini dah kalau kerjanya tidur melulu. Turis itu sudah pakai
sun block!
Dia juga tidak punya alergi!
Para pakar kesehatan kulit menganjurkan kita tidak
berjemur sinar matahari lama-lama!

Lelaki

: Apa benar segawat itu? Masak sih?

Perempuan

: Masak radio menyebarkan berita bohong?!


Sekarang sinar matahari cuma aman buat jemur pakaian
dan krupuk!

Lelaki

: Ah, aku tidak mengerti! Ganggu kesenangan saja


(kembali memakai kacamata lalu berbaring.) Radio itu
kehabisan berita mungkin.

Perempuan
lagi!

: Kamu ini dikasi tahu, tidak percaya! Ayo jangan berjemur

Lelaki

: Trus kita ngapain?

Perempuan

: Kamu balik itu krupuk, sana! Sinar matahari sekarang


dasyat. Belum ada setengah jam, krupuk kita sudah kering.

Lelaki

: Ha-ah, baru santai sebentar, sudah harus ngurus krupuk


lagi.
Trus kamu ngapain?

Perempuan

: Aku mau hitung untung bulan kemarin!

Lelaki sibuk membalik krupuk. Perempuan sibuk dengan kalkulator dan


pembukuan di meja kerjanya yang dilindungi payung pantai.
Perempuan

: Untung kita lumayan bulan kemarin.


Gara-gara pesanan hajatan pabrik sebelah.

Lelaki

: Sayang, apa kamu merasa betah tinggal di sini?

Perempuan

: Memangnya kenapa? Usaha kita laku di sini. Kamu mau


pindah?

Lelaki

: Iya.

Perempuan

: Kenapa? Apa yang buatmu tidak betah?

Gautama Lia

Lelaki

: Aku gerah tinggal di sini. Dihimpit pabrik-pabrik itu.

Perempuan

: Justru di situ untungnya. Tempat ini paling stategis!


Kita banyak pesanan dari pabrik-pabrik itu.
Tiap hari, karyawan mereka kan makan siang pakai krupuk.

Lelaki

: Tapi

Perempuan

: Tapi apa lagi? Di tempat lain belum tentu kita semaju ini.
Sebentar lagi, kita bisa punya karyawan yang bantu kamu
buat krupuk.
Kita akan jadi Bos krupuk di daerah sini!

Lelaki

: (diam sejenak memandangi krupuk-krupuk yang dijemur)


Betul juga ya. Tapi perasaanku tidak enak akhir-akhir ini.

Perempuan

: Buang jauh-jauh perasaan tidak enak itu. Bagaimana bisa


maju kalau sedikit-sedikit terbawa perasaan yang bukanbukan.

Lelaki

: Apa jalan kita sudah benar?

Perempuan

: Sudah! Jangan mikir aneh-aneh deh. Kita kan tidak


nyolong, tidak korupsi. Kita cuma jualan krupukya walau
kadang terpaksa pakai bahan kadaluarsa. Tapi itu kan
jarang-jarang. Kalau kepepet saja.

Lelaki

: Mungkin aku lagi galau ya.


Berapa keuntungan kita bulan kemarin?

Perempuan

: Untung bersihnya 10 juta.

Lelaki

: 10 juta?

Perempuan

: Iya.

Lelaki

: Hanya dengan jualan krupuk pesanan kemarin?

Perempuan

: Iya. Hebatkan kita?

Lelaki

: Kita bisa punya tempat tinggal yang lebih layak daripada


ini.

Perempuan

: Ah, kau mulai lagi! Kurang apa kita di sini? TV flat ada,
kulkas, mesin cuci, PS3 mu, laptop, tablet, sofasemua
kita punya. Kurang apa?

Gautama Lia

Lelaki

: Kurang nyaman.

Perempuan

: Ah, kamu ini tidak tahu bersyukur.

Lelaki

: Bukannya begitu.

Perempuan

: Lantas apa maunya?!

Lelaki

: (diam sejenak) Kamu memang tidak mengerti.

Perempuan

: Aku kurang ngerti gimana sama kamu?!

Seorang lelaki berjas masuk panggung.


Lelaki berjas

: (menyapa dari atas) Spada apa ada orang?!


Maaf saya menggangu!

Perempuan

: (menoleh ke arah suara) Oh pak Bos! Silahkan masuk!


Lewat tangga saja!

Lelaki berjas

: (turun lewat tangga) Saya kemari mau pesan krupuk lagi.


Krupuk di sini enak dan murah meriah. Karyawan saya
suka sekali.

Perempuan

: Silahkan duduk, pak Bos. Mau minum apa? Kopi, teh,


sirup juga ada.

Lelaki berjas

: Tidak usah repot-repot. Saya cuma mampir sebentar


(memberi secarik kertas).

Perempuan

: Ah pak Bos ini. Kenapa tidak telpon saja. Atau sms, email.
Kan tidak perlu repot-repot datang kemari. Lah cuma
pesan krupuk saja.

Lelaki berjas

: Tidak apa-apa. Sekalian saya berkunjung.

Perempuan

: Maaf rumah kami ya seadanya begini. Maklum rumah


pedagang krupuk.

Lelaki berjas

: Jangan merendah begitu.


Apa Ibu nyaman tinggal di sini?

Perempuan

: Nyaman, Pak. Ya beginilah kemampuan kami. Dibilang


betah, ya dibetah-betahkan saja.

Lelaki berjas

: Tidak ada rencana pindah?

Gautama Lia

Perempuan

: Saat ini belum ada rencana pindah, pak.

Lelaki

: Pak Bossebenarnya

Lelaki berjas

: Kebetulan kenalan saya sedang usaha properti


perumahan sederhana untuk kalangan menengah ke
bawah. Mungkin cocok untuk keluarga Ibu. Nanti saya yang
pesankan.

Perempuan

: Terima kasih infonya, pak Bos. Kami belum ada niat


pindah.

Lelaki berjas

: Atau kalau perlu saya kasi pinjaman untuk bayar DP-nya.


Soalnya begini

Perempuan

: Begini apa, pak Bos?

Lelaki berjas

: (berubah pikiran. menjawab terburu-buru) Tidak apa-apa.


Kalau begitu saya pamit dulu. Terima kasih.

Perempuan

: Terima kasih, pak Bos. Hati-hati di jalan. Nanti krupuknya


biar suami saya yang antar.

Lelaki berjas keluar panggung.


Masuk lelaki berkemeja.
Lelaki berkemeja : Sepertinya orang itu tidak asing, Mbak.
Perempuan

: Itu kan bos kamu. Karyawannya sendiri kok tidak tahu.

Lelaki berkemeja : Masa, Bang?


Lelaki

: Iya, itu bos mu.

Perempuan

: Ngapain kamu kemari?

Lelaki berkemeja : Ngapain bos saya kemari? Aneh.


Lelaki

: Pesan krupuk.

Lelaki berkemeja : Masa? Tumben ada Bos datang cuma untuk urusan pesan
krupuk. Dia kan banyak punya karyawan yang bisa
disuruh.

Gautama Lia

Perempuan

: Apanya yang aneh? Apa tidak boleh seorang Bos datang


kemari? Bosmu sangat senang dengan krupuk buatan
kami. Dia bilang sendiri ingin berkunjung.

Lelaki berkemeja : Tetap saja aneh.


Perempuan

: Sudah! Trus kamu ngapain kemari?!


Kalau mau ngajak suamiku mancing, tidak boleh!
Pesanan krupuk kami banyak. Tak ada waktu untuk lehaleha.

Lelaki

: Kebetulan, kami perlu asisten. Kamu bantu abanglah.

Lelaki berkemeja : Selain pesan krupuk, Bos bilang apa lagi?


Perempuan

: Tidak ada. Sudah, kamu mau bantu kami buat krupuk


atau tidak?!

Lelaki

: Bantu kami ya?

Lelaki berkemeja : Aku kemari ingin memberitahu desas-desus di pabrik.


Perempuan

: Desas-desus apa? Kamu mau di-PHK ? Bagus kalau


begitu. Kami sedang cari asisten untuk bikin krupuk.

Lelaki berkemeja : Ah, Mbak. Aku serius ini.


Perempuan

: Aku juga serius.

Lelaki

: Desas desus apa?

Lelaki berkemeja : Ada kesalahan teknis di pabrik.


Perempuan

: Bukannya itu biasa.

Lelaki berkemeja : Aku belum selesai cerita, Mbak.


Kesalahan ini parah. Ada kemungkinan pabrik mengalami
kebocoran.
Perempuan

: Lalu hubungannya dengan kami apa? Kan mereka yang


mengalami kerugian.

Lelaki berkemeja : (seolah berbicara pada diri sendiri) Kalau pipa itu
memang bocor dan tidak bisa diperbaiki, maka akan ada
bencana besar.

Gautama Lia

Lelaki

: Bencana besar? Pabrik akan tutup? Itu bencana juga buat


kita.

Lelaki berkemeja : Iya, tetapi pabrik tidak tutup. Lokasi pipa tidak di pabrik.
Lelaki

: Lalu dimana?

Lelaki berkemeja : Tepat di bawah rumah Abang.


Perempuan

: Ah, tidak mungkin. Kamu pasti salah dengar berita.

Lelaki

: Pantas perasaan ku tidak enak akhir-akhir ini.

Perempuan

: Kamu tidak boleh percaya. Berita itu belum tentu benar.

Lelaki

: Bos tadi juga bertanya apa kita berniat pindah.

Perempuan

: Ah perasaanmu saja!
(kepada lelaki berkemeja) Kamu ini datang-datang bawa
berita yang tidak-tidak. Lihat abangmu jadi terpengaruh.

Lelaki berkemeja : Maksud saya kan baik. Memberitahu sejak awal. Saya
sebagai saudara Abang kan tidak bisa diam kalau akan
terjadi bencana pada keluarga saya sendiri. Sebaiknya
Abang dan Mbak segera pindah.
Lelaki

: Saya setuju!

Perempuan

: Apa kamu bilang?! Sudah kamu pergi dari sini! Kamu iri
kan melihat kami sukses dibanding kamu.

Lelaki berkemeja : Jangan salah paham, Mbak. Saya tidak berniat macammacam..
Perempuan

: Ah, sana pergi! Jangan ganggu ketenangan kami lagi!


Kalau kamu masih menghasut Abangmu untuk pindah, kau
tidak boleh datang kemari!

Lelaki berkemeja keluar panggung.


Lelaki

: Sayang, kamu keterlaluan.

Perempuan

: Keterlaluan apanya? Adikmu itu sudah pandai menghasut


sekarang.

Gautama Lia

Lelaki

: Tidak, dia tidak begitu. Maksudnya baik. Hanya


mengingatkan kita.

Perempuan

: (diam)

Lelaki

: Ayo kita segera pindah. Kita tidak tahu kapan bencana itu
terjadi.

Perempuan

: Jangan berkata itu lagi! Pesanan kita sedang banyak! Kita


tidak punya waktu untuk pindah sekarang!

Lelaki dan perempuan diam. Mereka sibuk membuat adonan krupuk.

Perempuan

: Sayang tolong ambilkan tepung. Adonanku kebanyakan


air. Lihat jadi lumpur begini.

Lelaki

: Tak biasanya kamu salah begitu.

Perempuan

: Iya. Pikiranku agak kalut. Semua gara-gara adikmu.

Lelaki

: Sudah, tak usah dipikirkan.

Perempuan

: Dia merusak hari kita yang indah.

Lelaki

:Dia tidak bermaksud begitu.


Ini tepungnya.

Perempuan

: Terima kasih (memasukkan tepung ke adonan)

Perempuan dan lelaki kembali sibuk dengan adonan krupuk masing-masing.


Lumpur telah menggenang semata kaki.
Lelaki

: (tersadar) Sayang, kenapa ada lumpur begini?

Perempuan

: Iya. Lumpur ini datang dari mana?

Lelaki

: Hari ini tidak ada hujan. Tidak mungkin lumpur dari


selokan naik ke sini.

Lumpur semakin lama semakin tinggi.


Perempuan

: Iya, lumpur dari mana ya?

Lelaki

: Apa mungkin ini maksud adikku?

Gautama Lia

Perempuan

: Bagaimana barang-barang kita?

Lelaki

: Tidak usah dipedulikan, kita harus menyelamatkan diri.

Perempuan

: Uang kita. Uang kita. Aku harus menyelamatkan uang


kita. Dimana kotak itu? Lumpur ini menyembunyikannya.

Lelaki

: Sudah, Sayang. Ayo kita naik ke atas.

Perempuan

: Tunggu dulu. Bantu aku mencari.

Lelaki

: Sudah. Tak usah dicari (menarik istrinya)

Perempuan

: Aku harus mencari kotak uang kita. Itu hasil kerja keras
kita!

Lumpur sudah sepinggang.


Lelaki

: (menarik istrinya) Ayo, Sayang. Uang masih bisa kita cari!

Perempuan

: (Tidak menghiraukan suaminya. Tangannya masih


mencari-cari kotak di bawah lumpur.)

Lumpur semakin menyembur.


Lelaki menarik istrinya yang tidak juga ingin keluar.
Tak lama mereka tenggelam di dalam lumpur.

SELESAI

Gautama Lia

RING

Panggung : Ring tinju.


Bunyi gitar listrik berat.
Pembawa Acara

: Selamat malam Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya.


Malam ini akan berlangsung pertandingan seru. Petinju
pribumi kita melawan petinju negeri Holand!

Bunyi gitar listrik berat.


Pembawa Acara

: Tanpa basa-basi lagi, saya akan perkenalkan petinju yang


akan bertanding malam ini.
Di sisi kanan, petinju pribumi kita. Meski dia terlihat kurus
tetapi kekuatan pidato dan diplomasinya sangat kuat. Dia
bisa mempengaruhi lawan untuk melemah.
Mari kita sambut petinju kita, Karna!

Suara tepuk tangan menggelegar.


Pembawa Acara

: Sementara itu, di sisi kiri adalah seorang petinju senior


dari negeri Holand. Tubuhnya besar tinggi! Sukanya
mengekspoitasi. Penuh janji yang tidak ditepati.
Kita sambut Mr.Van Hook!

Suara hu.dari penonton.


Pembawa Acara

: Tenang-tenang Tuan dan Nyonya. Pertandingan malam ini


akan menjadi tontonan yang sangat menarik.

Gautama Lia

Namun sebelum pertandingan dimulai, mari kita


dengarkan lagu kebangsaan masing-masing petinju.
Lagu kebangsaan petinju pribumi dan petinju Negara Holand terdengar.
Pembawa Acara

: Demikianlah lagu kebangsaan kedua petinju. Selanjutnya


saya akan memperkenalkan wasit yang akan mengawasi
pertandingan malam ini. Kita sambut Pak BeBe.

Wasit naik ke atas Ring. Dia menjabat Pembawa Acara dan kedua petinju.
Lalu memberitahu beberapa aturan pertandingan kepada kedua petinju.
Pembawa Acara

: Tuan-Tuan dan Nyonya, pertandingan akan segera


dimulai. Selamat menikmati!

Pembawa Acara keluar Ring.


Seorang wanita seksi membawa papan ronde masuk ke Ring. Berkeliling lalu
keluar dari Ring.
Wasit memberi aba-aba. Bel berbunyi.
Kedua petinju mulai beraksi. Si petinju Holand mulai menyerang dengan
dengan beberapa kali pukulan. Si petinju pribumi berhasil berkelit. Black out.
Adegan selanjutnya juga sama. Si petinju Holand menyerang, si petinju
pribumi hanya menghindar tanpa menyerang balik.
Petinju Holand kelelahan, dia berhenti sejenak. Giliran petinju pribumi siap
menyerang.
Van Hook

: (Logat Belanda) Tunggu dulu! Tunggu dulu!

Wasit

: (Memberi aba-aba berhenti) Ada apa?

Van Hook

:Pertandingan ini tidak seimbang. Lawan saya hanya


berkelit.

Karna

: Barusan saya hendak menyerang Tuan, sebelum Tuan


berkata tunggu dulu.

Wasit

: Petinju Karna benar. Tuan harus melanjutkan


pertandingan. Tuan hanya kurang bersabar saja. Mari kita
lanjutkan pertandingan.

Bel berbunyi tanda istirahat.


Wanita seksi pembawa papan ronde bertuliskan 5 naik ke atas Ring.

Gautama Lia

Penonton laki-laki bersiul.


Wanita seksi keluar dari Ring. Petinju bersiap-siap. Bel berbunyi. Wasit
memberi aba-aba mulai.
Kedua petinju beraksi lagi. Adegan sama dengan sebelumnya. Petinju Holand
menyerang, petinju pribumi berkelit.
Bel berbunyi tanda istirahat. Black out.
Lampu menyala.
Wanita seksi membawa papan ronde bertuliskan 560 berkeliling di Ring. Lalu
keluar.
Bel berbunyi. Wasit memberi aba-aba mulai.
Van Hook

: Tunggu dulu, tunggu. Bisakah kamu tidak berkelit terus


Karna. Saya janji akan membebaskan hutang-hutangmu.

Karna

: Tuan tidak usah berjanji busuk! Saya tidak merasa


berhutang pada Tuan!
Tuan yang menguras seluruh kekayaan dan perkebunan
keluarga besar saya. Tuan ingat itu? Saya sudah lelah
dengan perundingan-perindungan yang memihak sebelah.
Hanya memihak Tuan! Dan pertandingan malam ini adalah
cara saya untuk mengangkat kembali derajat dan martabat
keluarga saya!

Wasit memberi peringatan pada kedua petinju untuk meneruskan


pertandingan.
Petinju Holand kelelahan. Dengan gesit dan cepat Karna menyerang. Petinju
Holand jatuh pingsan.
Wasit menghitung lalu mengangkat tangan Karna sebagai pemenang.
Black out.
--Lampu menyala.
Pembawa Acara

: Selamat malam Tuan-Tuan dan Nyonya-nyonya. Setelah


pertandingan pertama tadi, kita akan menyaksikan
pertandingan kedua yang tidak kalah seru antara

Gautama Lia

pemenang kita melawan petinju dari negeri Asia Timur.


Di sisi kanan, pemenang kita yang telah berhasil
mengalahkan petinju asal Holand, Karna!
Sementara itu, di sisi kiri ring, jangan lihat badannya yang
pendek. Petinju satu ini punya disiplin tinggi, kejam dan
tidak pandang bulu. Tuan Samurai!
Seperti biasa sebelum kita memulai pertandingan, mari
kita dengarkan kedua lagu kebangsaan dari petinju yang
bertanding malam ini.
Lagu kebangsaan terdengar.
Pembawa Acara

: Tanpa berbasa-basi lagi. Mari kita saksikan pertandingan


seru Karna melawan Tuan Samurai! Selamat menyaksikan!

Wanita seksi pembawa papan ronde 1 berkeliling di Ring lalu keluar.


Petinju bersiap. Bel berbunyi. Wasit memberi aba-aba mulai.
Kedua petinju mulai beraksi. Sama-sama menyerang. Kadang Karna sedikit
lengah karena petinju Samurai sangat gesit.
Bel berbunyi tanda istirahat.
Wanita seksi masuk lagi ke atas ring membawa papan ronde 2.
Pelatih Karna

: Karna, Kamu coba gunakan taktik yang sama.


Saat dia lengah, langsung serang.

Bel berbunyi. Wasit memberi aba-aba mulai.


Karna menggunakan taktik yang sama. Setiap petinju Samurai menyerang,
Karna hanya berkelit.
Bel berbunyi tanda istirahat.
Wanita seksi masuk lagi ke atas ring membawa papan ronde 3.
Bel berbunyi. Wasit memberi aba-aba mulai.
Petinju Samurai masih semangat menyerang Karna.
Karna hampir kewalahan karena gerakan petinju Samurai sangat cepat.
Sesekali Karna juga menyerang. Saat Karna melihat ada celah, Karna
langsung memukul membabi buta.

Gautama Lia

Petinju Samurai kehilangan tempo permainannya.


Petinju Karna terus menyerang. Pukulannya mengenai wajah petinju Samurai
dengan keras.
Petinju Samurai terjatuh.
Wasit segera menghitung.
Petinju Samurai berusaha untuk bangun tapi kepalanya masih pusing.
Wasit masih menghitung.
Petinju Samurai belum juga berdiri.
Wasit mengangkat tangan Karna sebagai pemenang.
--Pembawa Acara masuk ke ring.
Pembawa Acara

: Demikianlah pertandingan kedua dimenangkan oleh


petinju kesayangan kita, Karna! Menang telak 3 ronde. KO!
Selanjutnya untuk rehat sejenak, mari kita sambut sexy
dancer.

Empat wanita cantik naik ke atas ring. Meliuk-liuk dan menari.


Penonton laki-laki tak henti-hentinya bersiul.
Di tengah-tengah, Karna yang masih di ring terlihat senang dan bernafsu.
--Pertunjukan sexy dancer selesai. Pembawa acara masuk ke ring lagi.
Pembawa Acara

: Penarinya seksi-seksi bukan? Semoga menghibur Tuantuan dan mungkin juga Nyonya-nyonya.
Selanjutnya kita akan menyaksikan pertandingan ketiga
antara petinju bertahan kita, Karna melawan petinju muda
berpangkat panglima jendral. Di pojok kanan, kita sambut
Harta!

Petinju Harta naik Ring. Mukanya biasa-biasa. Tidak terlihat bengis.


Pembawa Acara

: Wasit kita kali ini adalah Rak Yat!

Gautama Lia

Wasit menjabat tangan pembawa acara dan kedua petinju.


Pembawa Acara

: Tanpa menunggu lama, kita saksikkan pertandingan


ketiga antara Karna melawan Harta! Selamat
menyaksikan!

Wanita seksi membawa papan ronde 1 naik ke ring, berkeliling lalu keluar.
Bel berbunyi. Wasit memberi aba-aba mulai.
Kedua petinju saling menyerang.
Karna kelihatan kelelahan.
Harta yang masih prima berhasil menyarangkan beberapa pukulan ke badan
Karna.
Black Out.
Wanita seksi membawa papan ronde 20 berkeliling ring lalu keluar.
Bel berbunyi. Wasit memberi aba-aba mulai.
Karna terlihat lamban karena kehabisan tenaga. Berjalan agak
sempoyongan.
Harta semakin cepat mengeluarkan pukulan.
Sebelum Harta menyerang lagi, Karna mengangkat tangan.
Karna

: (nafas tersengal-sengal) Saya menyerah! (tertunduk lesu)

Wasit segera mengangkat tangan Harta sebagai pemenang.


Black out.
--Lampu menyala.
Pembawa Acara

: Selamat malam, Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya.


Malam ini, kita akan menyaksikan pertandingan seru. Tak
kalah dengan pertandingan-pertandingan sebelumnya.
Perkenalkan di pojok kanan, petinju yang tak asing lagi.
Juara bertahan selama 30 kali berturut-turut dan belum
pernah terkalahkan. Kita sambut, Harta!
Sementara itu di pojok kiri, penantang kali ini petinju muda

Gautama Lia

yang masih menuntut ilmu di salah satu perguruan tinggi


ternama. Kita sambut, Mahaciwa!
Wasit kali ini kami hadirkan kembali, Rak Yat!
Pembawa acara mewawancarai kedua petinju.
Pembawa Acara

: Sebelum pertandingan dimulai, mari kita tanya Sang


Juara bertahan 30 kali berturut-turut. Bagaimana dengan
pertandingan hari ini, apakah Anda yakin akan bisa
mempertahankan gelar juara Anda?

Harta

: Saya yakin! Meski sudah berumur, stamina saya masih


kuat! Para penonton yang mencintai saya juga pasti ingin
saya menang!

Pembawa Acara

: Mahaciwa, Anda sebagai penantang apakah tidak gentar?


Sepertinya petinju Harta tidak akan melepaskan sabuk
kemenangannya.

Mahaciwa

: Saya yakin 100% akan menumbangkan petinju Harta.

Pembawa Acara

: Banyak petinju muda yang kalah sebelumnya, Anda tahu


kan?

Mahaciwa

: Saya sudah mempelajari sepak terjang petinju Harta.


Saya yakin dengan banyaknya amanah dari petinju
sebelumnya yang kalah, saya akan berhasil membuat KO
sang Juara bertahan.

Pembawa Acara

: Tuan-tuan dan NYonya-nyonya, seperti yang kita dengar,


kedua petinju sama-sama yakin dengan kemampuannya.
Semangat mereka begitu berkobar.
Pertandingan malam ini akan sangat seru dan panas! Saya
yakin pertandingan malam ini akan menjadi pertandingan
yang tak akan terlupakan!
Tanpa berpanjang lebar, selamat menyaksikan!

Wasit masuk ke ring digandengan wanita seksi pembawa papan ronde 1.


Wanita seksi keluar ring.
Kedua petinju bersiap.
Bel berbunyi.

Gautama Lia

Wasit memberikan aba-aba mulai.


Petinju Mahaciwa langsung menyerang dengan penuh amarah dan dendam.
Harta tidak mampu berkelit.
Mahaciwa

: Ini untuk korupsi!


Ini untuk kolusi!
Ini untuk nepotisme!
Ini untuk hutang luar negeri!
Ini untuk orang-orang yang hilang!

Dalam 5 kali pukulan, Harta KO.


Seluruh penonton pendukung Mahaciwa berhampuran naik ke atas ring.
Mereka mengangkat dan mengelu-elukan Mahaciwa.

SELESAI

Gautama Lia

BELUM ADA JUDUL

Panggung: sebuah kamar kecil dengan satu tempat tidur, satu meja, dua
kursi dan dapur kecil.
Seorang wanita berusia 50 tahun sedang memasak sup.
Ibu

: (bernyanyi)
When I was young I fell in love
I asked my sweetheart what lies ahead
Will we have rainbows day after day
Heres what my sweetheart said*

Pintu diketuk. Seorang wanita berumur 25 tahun masuk membawa


bungkusan.
Anak

: Halo Ibu.

Ibu

: (Terkejut seakan lama tidak pernah bertemu. Memeluk.)


Anakku.

Anak

: Hari ini begitu cerah. Bagaimana dengan Ibu?

Ibu

: Sehat seperti biasanya. Jangan khawatirkan Ibu.


Lihat (Menari kecil).

Anak

: Ya, Ibu selalu sehat.

Ibu

: Ibu sedang masak sup. Kenapa kau repot-repot bawa


makanan. Libur?

Anak

:Aku masuk siang.


Tidak repot, aku hanya bawa nasi dan buah.

Ibu

: Asal kau tahu, Ibu sedang diet karbohidrat. Makanya Ibu


hanya masak sup. Kau saja yang makan. Ibu ambilkan
supnya ya.

Anak

:Tidak usah, Bu. Aku sudah sarapan di rumah.

Gautama Lia

Ibu

: Ah kamu ini. Sekarang tidak mau lagi makan masakan


Ibu.

Anak

: Bukan begitu, Bu.

Ibu

: Kalau begitu Ibu makan nanti saja.

Anak

: Ibu makan saja. Ibu belum sarapan kan?

Ibu

: Ibu bosan makan sendiri.

Anak

: Ini, aku menemani Ibu.

Ibu

: Tapi kau tidak ikut makan. Sama saja.

Anak

: Baiklah, aku makan sedikit (Mengambil piring, nasi dan


sup. Juga mengambilkan untuk Ibunya.)
Ibu tidak usah diet kalori. Memangnya Ibu sakit Diabet.

Ibu

: Dulu saat Ibu dapat peran nenek kurus, Ibu diet kalori.

Anak

: Sekarang Ibu kan tidak dalam proses produksi.

Ibu

: Oya, bagaimana kabar suami dan anakmu?

Anak

:Baik-baik. Sehat. Mereka titip salam untuk Ibu.

Ibu

: Mertuamu?

Anak

: (Agak mengeluh) Masih sama.


Bu, sebentar lagi suamiku naik pangkat. Kami akan punya
rumah sendiri. Ya walau kami harus mencicil.

Ibu

: Bagus itu. Ibu ikut senang. Kau jadi bebas bersama suami
dan anakmu tanpa campur tangan mertuamu.
Oya, maafibu lupa datang pas ulang tahun anakmu.

Anak

: Tidak apa, Bu.


Ibu masih suka jalan-jalan?

Ibu

: Tidak. Ibu ingin di kamar saja. Ibu sedang banyak


inspirasi.
Oya, ini beberapa tulisan yang keluar dari kepala Ibu.

Anak

: (Melihat sekilas lembar demi lembar) Banyak sekali.


(Terdengar khawatir) Sudah berapa hari Ibu menulis?

Gautama Lia

Ibu

: Berapa hari yaIbu tidak ingat. Dua minggu atau


mungkin tiga minggu.

Anak

: (Diam. Masih melihat lembar demi lembar.)


Mimpi apa Ibu akhir-akhir ini?

Ibu

: Tidak ada. Tidur Ibu sangat nyenyak.

Anak

: Ibu tidak minum obat tidur kan?

Ibu

: Tidak.

Anak

: (Curiga) Serius?

Ibu

: Iya. Ibu hanya menulis saja sebelum tidur.

Anak

: Dulu Ibu menulis, tapi jarang bisa tidur.

Ibu

: Ya, dulu terlalu banyak kegelisahan.


Entah, akhir-akhir ini pikiran Ibu lebih tenang.

Anak

: Ibu tidak merokok lagi kan?

Ibu

: (Agak tersinggung) Apa hubungannya? Kau pikir itu


membantu?
Dulu Ibu merokok dan tetap gelisah.

Anak

: Baguslah kalau begitu. Kalau hari minggu ini ada waktu,


ikutlah jalan-jalan bersama kami. Aku akan menjemput Ibu.

Ibu

: Tidak usah. Ibu mau menyelesaikan tulisan Ibu.

Anak

: Ibu harus menghirup udara segar. Di sini terlalu pengap.

Ibu

: Pengap apanya? Ibu banyak mendapat inspirasi di kamar


ini.
Jangan buka jendelanya! Nanti semua inspirasi itu lari!

Anak

: Kalau nanti kami sudah punya rumah sendiri, Ibu akan


tinggal bersama kami. Tunggulah.

Ibu

: Tidak, tidak, tidak. Aku akan tetap di sini.


Rumah itu hanya untuk suami dan anakmu. Ibu bisa
mengurus diri sendiri. Kau jangan mengakhawatirkan Ibu.
Kau cukup urus keluargamu. Tidak usah mengurusi Ibu.

Gautama Lia

Anak

: Ibu ini. Kenapa tidak mau tinggal dengan kami? Bahkan


menginap saja Ibu tidak mau.

Ibu

: Ibu punya tempat tinggal sendiri.

Anak

: Apa ada yang berkunjung kemari?

Ibu

: Tidak.

Anak

: Tidak seorang pun?

Ibu

: Oya, Ibu ingat ada satu orang yang kadang suka


berkunjung kemari.

Anak

: (Hampir berteriak) Siapa?

Ibu

: Anak Ibu (Tersenyum senang).

Anak

: Ibu bisa saja bercanda.


Pemilik kontrakan tidak pernah mengecek?

Ibu

: Tidak. Dia hanya datang untuk menagih sewa kamar 6


bulan sekali.
Kamu pikir dia harus mengecek Ibu setiap hari?
Memangnya rumah sakit.

Anak

: Tidak.

Ibu

: Entah, Ibu sedang tidak ingin bertemu siapapun. Ibu


sedang bersemangat menulis. Lama sekali Ibu tidak
sesemangat ini.
Kapan terakhir Ibu menulis ya

Anak

: Sebelum aku menikah. Ibu menulis monolog untuk pesta


pernikahanku.

Ibu

: Apa itu bisa disebut monolog? Ibu terlalu memujimu


sebagai anak Ibu. Apa itu memalukan?

Anak

: Tidak, sama sekali tidak memalukan. Ibu juga banyak


memuji menantu Ibu. Aku dan dia malah terharu.

Ibu

: Lama sekali ya ternyata.


Ibu sudah tidak pernah ke gedung teater lagi. Ibu tidak
pernah lagi bertemu para sutradara, aktor, seniman, juga

Gautama Lia

penonton terutama.
Ibu rindu para penata artistik, make up, kostum,
Anak

: Ibu lama bergelut di dunia panggung, tentu sekarang Ibu


masih merindukannya. Ibu juga pasti rindu jepretan
kamera.

Ibu

: Hah, sudah lupakan saja.


Kau berangkat jam berapa? Jangan sampai terlambat.

Anak

: Setengah jam lagi.

Ibu

:Ibu tidak mau kau kena marah atasanmu gara-gara


menemani Ibu.

Anak

: Apa Ibu tidak pernah merasa sepi?

Ibu

: Sepi, apa itu sepi?


Kau pikir Ibu kesepian?

Anak

: Karena itu, tinggallah bersama kami.

Ibu

: Sudah berapa kali Ibu bilang. Ibu tinggal di sini saja. Ibu
tidak suka mertuamu ikut campur dalam rumah tanggamu.
Ibu juga harus adil. Ibu tidak boleh tinggal bersama kalian.

Anak

: (Diam)

Ibu

: Kau berangkat sekarang. Ibu mau menulis lagi.

Anak

: Kalau begitu aku pamit ya Bu.

Ibu

: Hati-hati di jalan.

Anak dan Ibu berpelukan. Anak pergi.


Ibu menulis lagi. Tak lama kemudian Ibu berhenti menulis lalu mencari
sesuatu di laci meja yang ternyata adalah sebungkus rokok dan korek. Ibu
menyalakan sebatang lalu menghisapnya.
Tepuk tangan penonton. Seperti berada di panggung.
Ibu

: Selamat malam, selamat malam. Terima kasih kalian


semua sudah datang hanya untuk menyaksikan aktris yang
sudah tua ini. Terima kasih kalian tetap menjadi penonton
setia di setiap pementasanku.

Gautama Lia

Kali ini aku akan bermain sendiri. Tanpa aktor dan aktris
lain. Kali ini aku persembahkan sebuah monolog pendek
tentang hidup. Ya mungkin tentang hidupku. Apa kalian
ingin mendengarnya?
Tepuk tangan penonton terdengar lagi. Sebagai jawaban.
Ibu

: Hidup. Apa kalian tidak bosan hidup?


Berapa umur kalian sekarang? 50? 60? 70 ?100?
Sekarang sangat jarang ada manusia sampai umur 100.
Semoga saja aku tidak dianugrahi umur sepanjang itu.
Jika ditawari pun, aku akan menolaknya mentah-mentah.
Bukannya tidak bersyukur, aku tidak berniat punya umur
panjang. Untuk apa hidup lama-lama?!
Makanya kalau ada orang yang membuatku jengkel, aku
sumpahi orang itu supaya berumur panjang. Ha.haha
Supaya dia hidup terus.
Aneh ya aku?
Kalau orang lain kan berharap orang yang menjengkelkan
itu cepat mati. Aku malah sebaliknya. Ku sumpahi dia
panjang umur. Enak sekali kalau orang itu tiba-tiba mati.
Terbebas dari dunia ini. Kalian mau kusumpahi?
Aku sendiri berharap mati muda. Umur 27 tahun.
Sayangnya tidak diberikan oleh Yang Maha Kuasa.
Beruntunglah mereka yang mati muda. Ada juga yang
bilang, beruntunglah yang tidak terlahirkan.
Lihat aku sekarang, 50 tahun.
Bayangkan, setengah abad hidup di dunia ini.
Aku sudah pensiun dari dunia panggung. Katanya tidak
laku. Ketuaan. Aku tanya memangnya tidak ada naskah
yang perlu peran nenek-nenek?
Kata mereka, aku sudah tidak cocok lagi berakting. Sering
lupa naskah.
Alasan! Bilang saja kalau mereka tidak suka lagi padaku!
Aku masih suka menulis. Lihat banyak naskah yang ku
buat. Nanti aku akan coba lagi menawarkan pada
sutradara-sutradara itu.
Kira-kira laku tidak ya?
Ah, kenapa juga aku harus menawarkan naskah-naskahku
yang brilian pada sutradara muda karbitan!
Mereka tidak layak mementaskan karyaku.

Gautama Lia

Mereka terlalu dangkal. Mengentengkan segala hal. Mereka


lupa pada detail-detail dan lebih terfokus pada teknologi.
Ah, hidup sekarang!
Bagaimana hidupmu? Apa terasa mudah dengan segala
kecanggihan teknologi itu?
Apa kau sudah bergantung pada benda-benda itu?
Kita yang seumuran setengah abad ini apa cocok-apa
harus susah-susah menyesuaikan diri dengan
perkembangan jaman?! Apa kalian tidak lelah?!
Untukku, cukuplah aku merasakan masa-masa kejayaan
umur 20 tahunan. Kejayaan dan kesenangan di panggung.
Aku tidak menginginkan umur tua seperti ini.
Tapi sayang, ternyata aku diberi juga hari tua. Entah
sampai berapa lama.
Hidup sendiri dengan imajinasi. Imajinasi lampauku.
Seperti kalian ini. Kalian adalah bentuk dari imajinasiku.
Melelahkan ya ternyata.
Rokokkku sudah habis. Aku hanya merorok sebatang
sehari. Aku tidak berani merokok lebih. Hanya untuk
panggung aku masih melakukannya. Untuk kalian. Ya
kalian penonton setiaku.
Ibu batuk kecil.
Lama-lama batuknya tidak berhenti.
Ibu minum air. Batuknya tidak berhenti juga.
Seharian Ibu hanya batuk-batuk.
Black out.
--Esok harinya.
Pintu diketuk. Anak perempuan masuk.
Anak

: Halo Ibu. Tumben masih di kasur?

Ibu

:Kenapa kamu kemari?

Anak

: Apa tidak boleh? Aku kerja siang lagi hari ini. Aku ingin
mengunjungi Ibu selagi aku sempat.

Gautama Lia

Ibu

: Kemarin kau kan sudah menjengukku.


Ibu ingin berbaring saja. Istirahat.

Anak

: Ibu baik-baik saja?

Ibu

: Ibu hanya ingin istirahat sebentar.

Anak

: Ibu yakin? Tidak perlu memanggil dokter?

Ibu

: Tidak usah. Aku tidak ingin bertemu orang lain. Apalagi


dokter!

Anak

: Ibu sudah sarapan? Aku bawa roti isi daging.

Ibu

: Taruh saja di atas meja. Nanti Ibu makan.

Anak

: Kenapa banyak tisu berserakan? (memungut tisu di


lantai)
Ini darah kan? Ibu tidak baik-baik saja.

Ibu

: Hanya batuk sialan. Kemarin seharian Ibu batuk. Ibu


sudah minum obat lalu Ibu tertidur.

Anak

: Ibu harus diperiksa. Batuk Ibu berdarah.

Ibu

: Sekarang sudah sembuh kan? Tidak usah dilebihlebihkan.

Anak

: Aku tidak berlebihan. Ini bukan batuk biasa. Ibu harus


pindah. Ibu harus tinggal dengan kami. Udara di kamar ini
tidak bagus.

Ibu

: Kau tidak bisa memindahkan Ibu dari kamar ini.

Anak

: Memangnya kenapa Ibu tidak mau meninggalkan kamar


ini?

Ibu

: Kau tahu sendiri, kamar ini dipenuhi kenangan dari kau


bayi hingga dewasa.

Anak

: Iya aku tahu. Tapi kamar ini sudah tidak sehat lagu untuk
Ibu.
Sekarang Ibu makan (membuang bungkus roti ke tong
sampah. Melihat puntung rokok).
Ibu masih merokok kan?!

Gautama Lia

Ibu

: Apa hubungannya?

Anak

: Ibu merokok kan?

Ibu

: Ya Ibu merokok. Hanya sebatang. Biasanya tidak kenapa.


Ibu sedang tidak baik saja.

Anak

: Karena itu tinggallah bersama kami.

Ibu

: Tidak. Aku tidak mau bertemu mertuamu. Aku tidak akan


tinggalkan kamar ini.

Anak

: Ibu

Ibu

: Aku lebih baik mati di kamar ini daripada harus pindah!

Anak

: Ibu, dengarkan aku. Nanti selesai bekerja, aku akan


menjemput Ibu.
Ibu tidak perlu berkemas. Nanti biar aku yang mengemas
pakaian Ibu.
Ibu tidak perlu khawatir. Kontrak kamar ini belum habis.
Jadi Ibu bisa tetap bisa datang kemari. Ibu dengar aku?!

Ibu

: (mengangguk)

Anak

: Aku berangkat (mencium kening Ibu)

Ibu

: Ya. Hati-hati di jalan.

Anak perempuan keluar.


Ibu

: (mengambil rokok dari balik bantal.) Selamat malam


penonton. Selamat malam

Tepuk tangan penonton.


Ibu

: Senang masih bisa bertemu kalian lagi. Mungkin ini


malam terakhir kalian menonton pertunjukanku.
Seperti yang kalian ketahui, kondisiku sedang tidak baik.
Aku batuk seharian kemarin setelah pentas itu.
Anak perempuanku ingin aku tinggal bersama mereka.
Demi kesehatanku. Katannya kamar ini sudah tidak sehat
untukku.
Padahal kalian tahu sendiri, kenangan dan inspirasiku
berada di kamar ini. Bagaimana mungkin aku bisa hidup

Gautama Lia

tanpa imajinasi-imajinasiku.
Dan hal itu akan semakin membuatku sakit. Hidup tanpa
imajinasi sama saja dengan mati.
Ah, seandainya anakku itu mengerti. Dia hanya terlalu
khawatir. Dia tidak tega melihatku sendiri. Dia tidak tahu
kalau aku senang sendiri.
Mungkin selama ini dia melihatku sendiri
membesarkannya. Mungkin dia ingin membahagiakanku.
Tapi dia tidak tahu kalau aku memang suka begini. Hidup
seperti ini. Masa kejayaanku telah usai. Biarlah aku
menikmati kesenangan-kesenanganku di kamar ini. Sendiri.
Dia terlalu khawatir kalau aku tidak keluar kamar. Dia
terlalu khawatir aku sendiri.
Ah, seandainya dia bisa mengerti. Sepertinya hidupku tidak
lama lagi karena harus meninggalkan kamar ini.
Mengetahui hal itu membuatku sedikit terhibur.
Tapi kalian tidak perlu sedih. Anakku masih mengijinkan
aku datang kemari sampai kontrakan kamar ini habis.
Setelah itu kita akan benar-benar terpisah wahai penonton
setiaku.
Apa aku bisa menciptakan ruang seperti ini di rumahnya
nanti?
Apa rasanya akan sama?
Atau aku akan mati di sana?
Ah aku tidak ingin membayangkannya. Apa yang harus ku
lakukan? Kalian punya saran atau solusi?
Tepuk tangan penonton.
Ibu

: Ah kalian bisanya hanya tepuk tangan lalu pulang saat


pementsan selesai. Kalian tidak tahu keadaan aktor dan
aktris di belakang panggung. Di kehidupan nyata. Kalian
tidak pernah mau tahu itu. Kalian hanya perlu hiburan,
tontonan.
Kok aku jadi ngawur begini. Kalian adalah penonton
setiaku. Terima kasih teimakasih.

Ibu batuk-batuk lagi. Dia bangun mengambil air. Batuknya bertambah keras.
Dia mengambil obat batu lalu meminumnya beberapa biji sekaligus.
Batuknya reda. Mata mengantuk. Terlelap. Black out.

Gautama Lia

--Lampu menyala.
Pintu diketuk. Anak perempuan masuk.
Anak

: Ibu masih tidur? Aku datang menjemput Ibu.

Ibu tidak terbangun.


Anak

: Aku akan menngemas pakaian Ibu,

Ibu tidak juga bangun.


Anak perempuan sibuk mengemas pakaian ibunya.
Anak

: Ibu, aku sudah mengemas semua pakaian Ibu.


Bangunlah, Bu (menggoyangkan badan Ibu)

Ibu tidak bangun.


Anak

Musik lirih.

SELESAI

: IbuIbubangun.
Ibu Ayo kita pindah!
Ibu jangan bercanda!. Ibu jangan berakting!
Aku tidak akan tertipu!
Ayo Ibu bangun!
Kita akan tinggal bersama!
Ibu tidak akan sendiri lagi!
Ibu, bangunlah, Ibu!
IbuIbu

Gautama Lia

* Lagu Que Sera Sera

Anda mungkin juga menyukai