Ikterus Obsruktif
Ikterus Obsruktif
TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian
Ikterus adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva dan selaput akibat
penumpukan bilirubin. Sedangkan hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan
konsentrasi bilirubin serum yang menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau
ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin yang tidak dikendalikan. Atau bisa juga
Ikterus adalah akumulasi abnormal pigmen bilirubin dalarn darah yang
menyebabkan air seni berwarna gelap, warna tinja menjadi pucat dan perubahan
warna kulit menjadi kekuningan. Ikterus merupakan kondisi berubahnya jaringan
menjadi berwarna kuning akibat deposisi bilirubin. Ikterus paling mudah dilihat
pada, sklera mata karena elastin pada sklera mengikat bilirubin.
Ikterus harus dibedakan dengan karotenemia yaitu warna kulit kekuningan
yang disebabkan asupan berlebihan buah-buahan berwarna kuning yang
mengandung pigmen lipokrom, misalnya wortel, pepaya dan jeruk. Pada
karotemia warna kuning terutama tampak pada telapak tangan dan kaki disamping
kulit lainnya. Sklera pada karotemia tidak kuning. Istilah ikterus dapat dikacaukan
dengan kolestasis yang umumnya disertai ikterus. Definisi kolestasis adalah
hambatan aliran empedu normal normal untuk mencapai duodenum. Kolestatasis
ini dulu sering dinamakan jaundice obstruktif.
Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal pada sklera mata, dan kalau
ini terjadi kadar bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dL (34 sampai 43
uniol/L). Jika ikterus sudah jelas dapat dilihat dengan nyata maka bilirubin
mungkin sebenamya sudah mencapai angka 7 mg%.
Ikterus (jaundice) didefinisikan sebagai menguningnya warna kulit dan
sklera akibat akumulasi pigmen bilirubin dalam darah dan jaringan. Kadar
bilirubin harus mencapai 35-40 mmol/l sebelum ikterus menimbulkan manifestasi
klinik.
Jaundice (berasal dari bahasa Perancis jaune artinya kuning) atau ikterus
(bahasa Latin untuk jaundice) adalah pewarnaan kuning pada kulit, sklera, dan
membran mukosa oleh deposit bilirubin (pigmen empedu kuning-oranye) pada
jaringan tersebut.
2.1.1 Klasifikasi Hiperbilirubin
Hiperbilirubinemia sendiri dikelompokkan dalam dua bentuk berdasarkan
penyebabnya yaitu hiperbilirubinemia retensi yang disebabkan oleh produksi
yang berlebih (bilirubin indirek meningkat) dan hiperbilirubinemia
regurgitasi yang disebabkan refluks bilirubin kedalam darah karena adanya
obstruksi bilier (bilirubin direknya juga meningkat dan produksi sterkobilinogen
menurun).
Hiperbilirubinemia retensi dapat terjadi pada kasus-kasus haemolisis berat
dan gangguan konjugasi. Hati mempunyai kapasitas mengkonjugasikan dan
mengekskresikan lebih dari 3000 mg bilirubin perharinya sedangkan produksi
normal bilirubin hanya 300 mg perhari. Hal ini menunjukkan kapasitas hati yang
sangat besar dimana bila pemecahan heme meningkat, hati masih akan mampu
meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin larut. Akan tetapi lisisnya eritrosit
secara massive misalnya anemia hemolitik pada kasus sickle cell anemia ataupun
malaria akan menyebabkan produksi bilirubin lebih cepat dari kemampuan hati
mengkonjugasinya sehingga akan terdapat peningkatan bilirubin tak larut didalam
darah (indirek). Peninggian kadar bilirubin tak larut dalam darah tidak terdeteksi
didalam urine sehingga disebut juga dengan ikterus acholuria. Pada neonatus
terutama yang lahir premature peningkatan bilirubin tak larut terjadi biasanya
fisiologis dan sementara, dikarenakan haemolisis cepat dalam proses penggantian
hemoglobin fetal ke hemoglobin dewasa dan juga oleh karena hepar belum matur,
dimana aktivitas glukoronosiltransferase masih rendah. Jika ada dugaan ikterus
hemolitik perlu dipastikan dengan pemeriksaan kadar bilirubin total, bilirubin
indirek, darah rutin, serologi virus hepatitis.
Apabila peningkatan bilirubin tak larut ini melampaui kemampuan
albumin mengikat kuat, bilirubin akan berdiffusi ke basal ganglia pada otak dan
menyebabkan ensephalopaty toksik yang disebut sebagai kern ikterus (ikterus
neonatorum pathologis yang ditandai peningkatan bilirubin direk dan pemecahan
eritrosit). Beberapa kelainan penyebab hiperbilirubinemia retensi diantaranya
seperti Syndroma Crigler Najjar I yang merupakan gangguan konjugasi karena
glukoronil transferase tidak aktif, diturunkan secara autosomal resesif, merupakan
kasus yang jarang, dimana didapati konsentrasi bilirubin mencapai lebih dari 20
mg/dl. Syndroma Crigler Najjar II, merupakan kasus yang lebih ringan dari tipe I,
karena kerusakan pada isoform glukoronil transferase II, didapati bilirubin
monoglukoronida terdapat dalam getah empedu. Syndroma Gilbert, terjadi karena
haemolisis bersama dengan penurunan bilirubin oleh hepatosit dan penurunan
aktivitas enzym konjugasi dan diturunkan secara autosomal dominan.
Hiperbilirubinemia
regurgitasi paling
sering
terjadi
karena
terdapatnya obstruksi saluran empedu, misalnya karena tumor caput pankreas
(ditandai Couvisiers Law), batu, proses peradangan dan sikatrik. Sumbatan pada
duktus hepatikus dan duktus koledokus akan menghalangi masuknya bilirubin
keusus dan peninggian konsentrasinya pada hati menyebabkan refluks bilirubin
larut ke vena hepatika dan pembuluh limfe. Bentuknya yang larut menyebabkan
bilirubin ini dapat terdeteksi dalam urine dan disebut sebagai ikterus choluria.
Karena terjadinya akibat sumbatan pada saluran empedu disebut juga
sebagai ikterus kolestatik. Pada kasus ini didapatkan peningkatan bilirubin direk,
bilirubin indirek, zat yang larut dalam empedu serta batu empedu. Jadi pada
ikterus obstruktif ini perlu dibuktikan dengan pemeriksaan kadar bilirubin serum,
bilirubin urin, urobilin urin, USG, alkali fosfatase.
Beberapa kelainan lain yang menyebabkan hiperbilirubinemia regurgitasi
adalah :
1.
Syndroma Dubin Johnson, diturunkan secara autosomal resesif, terjadi karena
adanya defek pada sekresi bilirubin terkonjugasi dan estrogen ke sistem empedu
yang penyebab pastinya belum diketahui.
2.
Syndroma Rotor, terjadi karena adanya defek pada transport anion an organik
termasuk bilirubin, dengan gambaran histologi hati normal, penyebab pastinya
juga belum dapat diketahui.
3.
Hiperbilirubinemia toksik adalah gangguan fungsi hati karena toksin seperti
chloroform, arsfenamin, asetaminofen, carbon tetrachlorida, virus, jamur dan juga
akibat sirosis. Kelainan ini sering terjadi bersama dengan terdapatnya obstruksi.
Gangguan konjugasi muncul besama dengan gangguan ekskresi bilirubin dan
menyebabkan peningkatan kedua jenis bilirubin baik yang larut maupun yang
tidak larut. Terapi phenobarbital dapat menginduksi proses konjugasi dan ekskresi
bilirubin dan menjadi preparat yang menolong pada kasus ikterik neonatus tapi
tidak pada sindroma Crigler najjar.
4.
Bilirubinometer Transkutan Bilirubinometer adalah instrumen spektrofotometrik
yang bekerja dengan prinsip memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya
dengan panjang gelombang 450 nm. Cahaya yang dipantulkan merupakan
representasi warna kulit neonatus yang sedang diperiksa. Pemeriksaan bilirubin
transkutan (TcB) dahulu menggunakan alat yang amat dipengaruhi pigmen kulit.
Saat ini, alat yang dipakai menggunakan multiwavelength spectral reflectance
yang tidak terpengaruh pigmen. Pemeriksaan bilirubin transkutan dilakukan untuk
tujuan skrining, bukan untuk diagnosis.
2.2 Etiologi
Ikterus merupakan suatu keadaan dimana terjadi penimbunan pigmen
empedu pada tubuh menyebabkan perubahan warna jaringan menjadi kuning,
terutama pada jaringan tubuh yang banyak mengandung serabut elastin sperti
aorta dan sklera (Maclachlan dan Cullen di dalam Carlton dan McGavin 1995).
Warna kuning ini disebabkan adanya akumulasi bilirubin pada proses
(hiperbilirubinemia). Adanya ikterus yang mengenai hampir seluruh organ tubuh
menunjukkan terjadinya gangguan sekresi bilirubin. Berdasarkan penyebabnya,
ikterus dapat dibedakan menjadi 3, yaitu:
1. Ikterus pre-hepatik
Ikterus jenis ini terjadi karena adanya kerusakan RBC atau intravaskular
hemolisis, misalnya pada kasus anemia hemolitik menyebabkan terjadinya
pembentukan bilirubin yang berlebih. Hemolisis dapat disebabkan oleh parasit
darah, contoh: Babesia sp., dan Anaplasma sp. Menurut Price dan Wilson (2002),
bilirubin yang tidak terkonjugasi bersifat tidak larut dalam air sehingga tidak
diekskresikan dalam urin dan tidak terjadi bilirubinuria tetapi terjadi peningkatan
urobilinogen. Hal ini menyebabkan warna urin dan feses menjadi gelap. Ikterus
yang disebabkan oleh hiperbilirubinemia tak terkonjugasi bersifat ringan dan
berwarna kuning pucat. Contoh kasus pada anjing adalah kejadian Leptospirosis
oleh infeksi Leptospira grippotyphosa.
2. Ikterus Hepatik
Ikterus jenis ini terjadi di dalam hati karena penurunan pengambilan dan
konjugasi oleh hepatosit sehingga gagal membentuk bilirubin terkonjugasi.
Kegagalan tersebut disebabkan rusaknya sel-sel hepatosit, hepatitis akut atau
kronis dan pemakaian obat yang berpengaruh terhadap pengambilan bilirubin oleh
sel hati. Gangguan konjugasi bilirubin dapat disebabkan karena defisiensi enzim
glukoronil transferase sebagai katalisator (Price dan Wilson 2002).
3. Ikterus Post-Hepatik
Mekanisme terjadinya ikterus post hepatik adalah terjadinya penurunan
sekresi bilirubin terkonjugasi sehinga mengakibatkan hiperbilirubinemia
terkonjugasi. Bilirubin terkonjugasi bersifat larut di dalam air, sehingga
diekskresikan ke dalam urin (bilirubinuria) melalui ginjal, tetapi urobilinogen
menjadi berkurang sehingga warna feses terlihat pucat. Faktor penyebab
gangguan sekresi bilirubin dapat berupa faktor fungsional maupun obstruksi
duktus choledocus yang disebabkan oleh cholelithiasis, infestasi parasit, tumor
hati, dan inflamasi yang mengakibatkan fibrosis.
Migrasi larva cacing melewati hati umum terjadi pada hewan domestik.
Larva nematoda yang melewati hati dapat menyebabkan inflamasi
dan hepatocellular necrosis (nekrosa sel hati). Bekas infeksi ini kemudian diganti
dengan jaringan ikat fibrosa (jaringan parut) yang sering terjadi pada kapsula hati.
Cacing yang telah dewasa berpindah pada duktus empedu dan menyebabkan
cholangitis
atau
cholangiohepatitis
yang
akan
berdampak
pada
penyumbatan/obstruksi duktus empedu. Contoh nematoda yang menyerang hati
anjing adalah Capillaria hepatica. Cacing cestoda yang berhabitat pada sistem
hepatobiliary
anjing
antara
lain Taenia
hydatigena dan Echinococcus
granulosus. Cacing trematoda yang berhabitat di duktus empedu anjing
meliputi Dicrocoelium dendriticum, Ophisthorcis tenuicollis, Pseudamphistomum
truncatum, Methorcis conjunctus, M. albidus, Parametorchis complexus, dan lainlain (Maclachlan dan Cullen di dalam Carlton dan McGavin 1995).
Ada beberapa keadaan ikterus yang cenderung menjadi patologik:
1. Ikterus klinis terjadi pada 24 jam pertama kehidupan
2. Peningkatan kadar bilirubin serum sebanyak 5mg/dL atau lebih setiap 24
jam
3. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatabilitas darah, defisiensi
G6PD, atau sepsis)
4. Ikterus yang disertai oleh:
o
Infeksi
Hipoglikemia, hiperkarbia
Hiperosmolaritas darah
5. Ikterus klinis yang menetap setelah bayi berusia >8 hari (pada NCB) atau
>14 hari (pada NKB)
2.3 Klasifikasi ikterus
2.3.4 Berdasarkan Penyebab Kuning
Gejala kuning pada yang dikenal sebagai ikterus dibagi 3 golongan
berdasarkan penyebab kuningnya tersebut.
1.
Ikterus hemolitik, ikterus yang timbul karena meningkatnya penghancuran sel
darah merah. Misal pada keadaan infeksi (sepsis), ketidak cocokan gol darah ibu
dengan golongan darah bayi, bayi yang baru lahir (ikterus fisiologik) dsb.
2.
Ikterus parenkimatosa, ikterus yang terjadi akibat kerusakan atau peradangan
jaringan hati, misal pada penyakit hepatitis.
3.
a.
b.
c.
d.
e.
2.3.6
1.
a.
b.
c.
d.
e.
2.
a.
b.
c.
3.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
4.
a.
b.
c.
d.
e.
5.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Hepatosplenomegali (pembesaran hati dan limpa)
9.
Omfalitis (peradangan umbilikus)
10. Hipotiroidisme (defisiensi aktivitas tiroid)
11. Massa abdominal kanan (sering berkaitan dengan duktus koledokus)
12. Feses dempul disertai urin warna coklat
Pikirkan ke arah ikterus obstruktif, selanjutnya konsultasikan ke bagian
hepatologi.
Jaundice merupakan manifestasi yang sering pada gangguan traktus
biliaris, dan evaluasi serta manajemen pasien jaundice merupakan permasalahan
yang sering dihadapi oleh ahli bedah. Serum bilirubin normal berkisar antara 0,5
1,3 mg/dL; ketika levelnya meluas menjadi 2,0 mg/dL, pewarnaan jaringan
bilirubin menjadi terlihat secara klinis sebagai jaundice. Sebagai tambahan,
adanya bilirubin terkonjugasi pada urin merupakan satu dari perubahan awal yang
terlihat pada tubuh pasien.
Bilirubin merupakan produk pemecahan hemoglobin normal yang
dihasilkan dari sel darah merah tua oleh sistem retikuloendotelial. Bilirubin tak
terkonjugasi yang tidak larut ditransportasikan ke hati terikat dengan albumin.
Bilirubin ditransportasikan melewati membran sinusoid hepatosit kedalam
sitoplasma. Enzim uridine diphosphateglucuronyl transferase mengkonjugasikan
bilirubin tak-terkonjugasi yang tidak larut dengan asam glukoronat untuk
membentuk bentuk terkonjugasi yang larut-air, bilirubin monoglucuronide dan
bilirubin diglucuronide. Bilirubin terkonjugasi kemudian secara aktif disekresikan
kedalam kanalikulus empedu. Pada ileum terminal dan kolon, bilirubin dirubah
menjadi urobilinogen, 10-20% direabsorbsi kedalam sirkulasi portal.
Urobilinogen ini diekskresikan kembali kedalam empedu atau diekskresikan oleh
ginjal didalam urin.
bilirubin adalah tindakan ini merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat
meningkatkan morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin
total. Sampel serum harus dilindungi dari cahaya (dengan aluminium foil).
Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin
total > 20 mg/dL atau usia bayi > 2 minggu. Briscoe dkk. (2002) melakukan
sebuah studi observasional prospektif untuk mengetahui akurasi pemeriksaan
bilirubin transkutan (JM 102) dibandingkan dengan pemeriksaan bilirubin serum
(metode standar diazo). Penelitian ini dilakukan di Inggris, melibatkan 303 bayi
baru lahir dengan usia gestasi >34 minggu. Pada penelitian ini hiperbilirubinemia
dibatasi pada konsentrasi bilirubin serum >14.4 mg/dL (249 umol/l). Dari
penelitian ini didapatkan bahwa pemeriksaan TcB dan Total Serum Bilirubin
(TSB) memiliki korelasi yang bermakna (n=303, r=0.76, p<0.0001), namun
interval prediksi cukup besar, sehingga TcB tidak dapat digunakan untuk
mengukur TSB. Namun disebutkan pula bahwa hasil pemeriksaan TcB dapat
digunakan untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan TSB.
Umumnya pemeriksaan TcB dilakukan sebelum bayi pulang untuk tujuan
skrining. Hasil analisis biaya yang dilakukan oleh Suresh dkk. (2004) menyatakan
bahwa pemeriksaan bilirubin serum ataupun transkutan secara rutin sebagai
tindakan skrining sebelum bayi dipulangkan tidak efektif dari segi biaya dalam
mencegah terjadinya ensefalopati hiperbilirubin.
3.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
Untuk memberikan keperawatan yang paripurna digunakan proses
keperawatan yang meliputi Pengkajian, Diagnosa Keperawatan, Perencanaan,
Pelaksanaan dan Evaluasi.
3.1 Pengkajian
Riwayat orang tua :
Ketidakseimbangan golongan darah ibu dan anak seperti Rh, ABO, Polisitemia,
Infeksi, Hematoma, Obstruksi Pencernaan dan ASI.
2.
Pemeriksaan Fisik :
Kuning, Pallor Konvulsi, Letargi, Hipotonik, menangis melengking, refleks
menyusui yang lemah, Iritabilitas.
3.
Pengkajian Psikososial :
Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah orang tua merasa
bersalah, masalah Bonding, perpisahan dengan anak.
4.
Pengetahuan Keluarga meliputi :
Penyebab penyakit dan pengobatan, perawatan lebih lanjut, apakah mengenal
keluarga lain yang memiliki yang sama, tingkat pendidikan, kemampuan
mempelajari Hiperbilirubinemia (Cindy Smith Greenberg. 1988)
1.
4.
No
1.
Analisa Data
Etiologi
Masalah Keperawatan
Do:
Hiperbilirubinemia Kerusakan integritas kulit.
Rusaknya jaringan
kornea,
membran
mukosa,
integumenIkterus pada
atau sub kutan.
leher, badan
Ds : Kerusakan integritas
kulit
2.
Do :
Hiperbilirubinemia hipertermia
Kulit memerah
Suhu
tubuh
meningkat
Indikasi fototerapi
Frekuensi
pernapasan meningkat
Takikardi
Kejang
Sinar
dengan
Ds :
intensitas
Pasien mengatakan
mual
Hipertermia
3.
Do :
Suhu
meningkat.
Tekanan darahIndikasi fototerapi
menurun.
Membran mukosa
kering.
Konsentrasi urinSinar
dengan
meningkat.
intensitas
Penurunan
pengisian vena.
Ds :
Pasien mengatakan
haus
Kekurangan volume
cairan
4.
Do :
Hipertermia
Diare
Tidak tertarik untuk
makan
Anorexia
3.
4.
Peningkatan suhuTujuan:
Beri
suhu
Menjaga
tubuh (hipertermi)Kestabilan suhulingkungan yangkestabilan
suhu
berhubungan
tubuh bayi dapatnetral
tubuh
dengan
efekdipertahankan
Pertahankan Mempertahankan
fototerapi
suhu antara 35,5 -suhu normal
Kriteria Hasil: 37C
Memantau
Ttv normal
Cek tanda-tandaterjadinya
Akral hangat
vital tiap 2 jam
penurunan/peningkat
an suhu tubuh
Kurangnya volumeTujuan:
Catat jumlah dan
1.
Memantau tanda
cairan berhubunganCairan
tubuhkualitas feses
adanya dehidrasi
dengan
tidakadekuat
Pantau turgor
2.
Memantau intake
adekuatnya intake
kulit
output
cairan, dan diare. Kriteria Hasil:
Pantau intake
3. Menambah intake
Ttv normal
output
cairan
Turgor
kulit Beri air diantara
<2detik
menyusui
atau
memberi botol
Pemenuhan nutrisiTujuan:
Berikan minum Untuk memenuhi
kurang
dariKebutuhan
melalui
sondekebutuhan nutrisi
kebutuhan
nutrisi terpenuhi. (ASI/ PASI)
Meningkatkan
berhubungan
Lakukan oralnafsu makan
dengan reflek hisapKriteria Hasil: hygiene dan olesi Memantau intake
menurun
BB normal
mulut
denganserta output
Intake adekuat kapas basah
Monitor intake
dan output BB
Observasi tugor
dan
membran
mukosa
DAFTAR PUSTAKA
Bobak, J. (1985). Materity and Gynecologic Care. Precenton.
Cloherty, P. John (1981). Manual of Neonatal Care. USA.
Harper. (1994). Biokimia. EGC, Jakarta.
Hazinki, M.F. (1984). Nursing Care of Critically Ill Child. , The Mosby Compani
CV, Toronto.
Markum, H. (1991). Ilmu Kesehatan Anak. Buku I. FKUI, Jakarta.
Mayers, M. et. al. ( 1995). Clinical Care Plans Pediatric Nursing. Mc.Graw-Hill.
Inc., New York.
Pritchard, J. A. et. al. (1991). Obstetri Williams. Edisi XVII. Airlangga
UniversityPress,Surabaya.
Susan, R. J. et. al. (1988). Child Health Nursing. California,